Kondisi pertanian lahan kering di NTT sangat menjanjikan. Jika diolah secara terintegrasi, maka akan menjadi lumbung penyedia pangan lokal yang berkesinambungan. Model pengelolaan lahan secara integratif juga menjamin ketersediaan tanaman-tanaman obat dan tanaman-tanaman lokal lainnya yang menjadi kekhasan etnik. Dengan demikian, masyarakat dapat menangkal krisis pangan dan ancaman wabah atau penyakit dengan ketersediaan pangan dan ketercukupan tanaman obat tradisional yang mengandung nutrizi, nilai-nilai sosial kemasyarakatan, dan kekebalan tubuh.
Berdasarkan pengantar tema
yang saya tuliskan di atas, berikut ini saya kemukakan tiga usul saran.
1. Memasuki musim tanam tahun ini, gerakan menanam tanaman, tidak
hanya tanaman pangan, tetapi juga berbagai tanaman obat tradisional, seperti tanaman
jenis eukaliptus yang pernah
direkomendasikan pemerintah semenjak Covid-19. Perlu diikuti dengan sosialisasi
dan pendampingan yang menyeluruh melibatkan berbagai unsur masyarakat, seperti kepala
desa, unsur RT, RW, pelajar, mahasiswa, pemuda mesjid, OMK, karang taruna, PKK,
guru, dan berbagai jenis organisasi lainnya di masyarakat. Untuk di kota
dihidupkan kembali program pekarangan apotik di halaman rumah atau lingkungan
RT. Dengan begitu, masyarakat tidak menggantungkan diri pada jenis obat kimia,
namun kembali ke alam. Ada proteksi diri dari mayarakat terhadap serangan
penyakit dari luar. Jika ketersediaan pangan memadai, maka mobilisasi orang ke
luar daerah pun akan semakin kecil.
2. Perilaku hidup sehat dilaksanakan dengan cara saling mengingatkan
di antara warga untuk bahu-membahu, gotong royong melalui kerja bakti
membersihkan selokan, lorong, membuang sampah pada tempatnya, dan menjaga kebersihan
pekarangan. Modal-modal sosial kultural ini, akhir-akhir ini telah “tergerus” karena
ketergantungan masyarakat terhadap berbagai bantuan sosial, termasuk kepedulian
instansi atau lembaga-lembaga pemerintahan, swasta, maupun lembaga pendidikan membersihkan
tempat-tempat umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar