Halaman

Rabu, 08 Maret 2023

Pronomina Persona Jamak dalam Bahasa Indonesia dan Hubungannya dengan Nasionalisme Berbangsa

 


Bahasa Indonesia mengenal beberapa macam pronomina persona jamak. Ada dua macam pronomina persona jamak orang pertama, yakni kita dan kami. Bahasa-bahasa fleksi pada umumnya hanya satu macam. Misalnya, we (bahasa Inggris), nos-nobis (bahasa Latin). Kami bersifat eksklusif, artinya pronomina itu mencakup pembicara/penulis atau pendengar atau pembaca di pihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain di pihak pendengar atau pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif, artinya pronomina itu mencakup tidak saja pembicara atau penulis tetapi juga pendengar atau pembaca, dan mungkin juga pihak lain (Alwi, 2003: 249).

Masyarakat Indonesia memiliki banyak variasi pemakaian kata kamu. Berdasarkan umur, orang lebih muda usianya akan menunjukkan rasa hormat kepada mereka yang lebih tua. Penyapa yang berusia muda akan menggunakan kata Bapak atau Ibu terhadap yang lebih tua. Sedangkan, yang lebih tua akan menyapa yang muda dengan kata kamu. Demikian pula yang terjadi dalam strata sosial. Seorang pegawai tak akan menyapa atasannya dengan kata kamu; sebaliknya atasannya akan menyapa bawahannya dengan kata kamu. Kadang-kadang dalam situasi akrab, kata kamu dipakai bersamaan antara dua orang sahabat meskipun keduanya berbeda strata sosialnnya. Akan tetapi, dalam situasi formal, akan terjadi seperti di atas. Misalnya, antara guru dan siswanya.

Pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Pada umumnya kata mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain. Misalnya, dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya. Namun, dalam cerita fiksi atau narasi lain, kata mereka kadang-kadang dipakai untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Kata mereka dipakai untuk menyebut orang-orang di luar saya, kita, kami, dan kamu.

Agar lebih jelas, jika pernyataan atau uraian di atas diungkapkan dalam kalimat-kalimat supaya kita mudah melihat implikasinya.

(1)   Kami akan bergabung dengan kamu apabila tujuan perjuangan tersebut bermakna bagi kami.

(2)   Kita semua, masing-masing berbeda etnik, budaya, agama, dan bahasa tetapi apabila kita mau merdeka dan lepas dari penjajahan, kita perlu memiliki satu tanah air, kita harus berbangsa satu, dan memiliki bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia.

(3)   Kamu adalah orang-orang yang harus mengikuti kami, karena kami pemilik tanah ini.

(4)   Mereka adalah kelompok pinggiran sehingga tak perlu diperhatikan tuntutannya.

Implikasi kalimat-kalimat di atas cukup jelas bagi kita yang menyimaknya. Dalam masyarakat pluralistik akan mudah terjadi konflik jika komitmen untuk saling menerima tergeser oleh emosi-emosi sesaat dalam pernyataan-pernyataan yang menyesatkan.

Fokus penulisan ini ditujukan kepada sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak praperjuangan, masa perebutan kemerdekaan sampai pascaproklamasi hingga sekarang.

Sementara itu bagaimana kita, kami, kamu, dan mereka, yakni masyarakat ‘akar rumput’ terlibat dan melibatkan diri dalam berinteraksi memperjuangkan kemerdekaan tersebut. Rakyat yang dalam keadaan buta huruf, tidak mengetahui tentang tujuan dan arah perjuangan, pola pandangannya dibatasi oleh kepentingan kelompok saja, dan mereka akan bersikap tidak mau tahu dengan perkembangan di luar dirinya. Oleh sebab itu, interaksi sosial yang diarahkan untuk melawan kaum imperialis hanya dilakukan oleh kita, kami, dan mereka golongan menengah saja. Hal ini dapat dibaca dalam buku Pramudya Ananta Tur, Roman Tetralogi Buru. Secara sngkat perjuangan tersebut baru berawal dan bermakna mulai dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Inilah dua pilar perjuangan yang menentukan nasionalisme kita bangsa Indonesia. Sementara menapaki dan melakoni hasil perjuangan tersebut untuk memberi makna kepada kemerdekaan yang sejati, para founding father merasa terganggu dengan munculnya berbagai silang pendapat antara para pemimpin tentang arah dan tujuan pembentukan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kekitaan kolektif mulai terganggu dengan kekamian eksklusif. Dengan demikian, masalah yang dicermati dalam penulisan ini adalah apakah politik identitas atau kekamian eksklusif mengganggu kestabilan hasil perjuangan kekitaan kolektif yang dicanangkan sejak Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan 1945. 

Manfaat yang dapat disimak dari tulisan ini adalah sebagai masukan bagi kita sebagai bangsa yang merdeka, terutama generasi muda agar menghayati dan secara sadar mengamalkan nilai-nilai perjuangan generasi sebelumnya khususnya para founding fathers yang telah menggagas nasionalisme bagi bangsa Indonesia yang pluralistik. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar