Sebagai sebuah bangsa kita
telah menjejak jalan hidup panjang dengan bersandar pada nilai-nilai kebangsaan
yang telah tertanam dalam bangunan bangsa Indonesia. Keuletan dan ketokohan
para pendahulu untuk teguh pendirian menghadirkan sebuah bangsa Indonesia yang
berdaulat. Mereka mulai meratas dan meretas “jalan panjang” penuh liku menuju
bangunan NKRI yang satu. Mereka adalah representasi “sedikit” orang dari
“banyak” orang, jika ditilik dari situasi kekinian, yang memiliki itikad dan
ikhtiar untuk terus merawat perdamaian.
Perdamaian yang dialami
sekarang juga adalah bukti sebuah “jalan panjang” yang ditenun secara
bersama-sama. Maka, atas nama perdamaian di tengah kebinekaan, upaya “berdamai”
dengan sesama anak bangsa harus tetap diperjuangkan. Tanpa melihat ada
perbedaan sedikitpun, karena justru perbedaan itulah telah berperan merekat dan
memadukan semua kita dalam satu negara Indonesia. Negara yang berkarakter kuat
dalam gagasan dan pandangan yang humanis kemanusiaan, maupun dalam tindakan,
perilaku, dan sikap hidup. Karena bahwa setiap manusia secara imanen mempunyai
kesadaran terhadap apa yang ada di sekeliling kita yang masing-masing berbeda,
sehingga sebaiknya kita harus mengakui kesadaran itu, tanpa bermaksud
menilainya baik atau buruk dan kurang atau lebih.
Dalam
kehidupan heterogenitas masyarakat, memang cenderung
terjadi polarisasi hubungan antara orang perorang, maupun antara satu kelompok
dengan kelompok yang lain. Faktornya juga bermacam-macam. Salah satunya adalah
pertentangan atau perbedaan itu terjadi akibat cara pandang dua kelompok yang
berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam struktur masyarakat yang
demikian, hubungan seperti ini sering berjalan tidak linier. Sebagai jalan
tengah memulihkan relasi akibat polarisasi dimaksud, maka masyarakat mesti
membangun dan merajut kembali interaksi dialogis.
Dalam
cara pandang interaktif dialogis yang demikian, Bourdieu mengajukan dua konsep
yang disebutnya sebagai habitus dan ranah. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai
individu dan realitas sosial. Oleh karena itu, habitus merupakan struktur
subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu
lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus bagi
Bourdieu (Takwin, 2009: xix), merupakan produk budaya sejarah yang terbentuk
setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat. Pada proses interaksi
dengan pihak luar itulah, terbentuklah ranah yang menjadi pertemuan pada
ruang sosial untuk memungkinkan individu dan habitusnya berhubungan dengan
individu lain dalam berbagai realitas sosial.
Dalam
koridor hubungan yang demikianlah ranah telah menjadi pertaruhan
kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak
memiliki modal. Para pemodal, penguasa dan kelompok elite adalah contoh konkrit
kelompok yang memiliki skemata kognisi yang mapan sebagai perwujudan habitus
dalam rangka melakukan tawar-menawar untuk mendapatkan ranah atau posisi dan
kekuatan mempertahankan status quo. Mereka akan berbaur dengan kelompok-kelompok
humanis yang senantiasa mengusung perdamaian dan “menolak” untuk melanggengkan
konflik, sehingga mereka terus tak henti menganjurkan jalan keluar penyelesaian
melalui jalur damai. Pendekatan
yang barangkali tidak diminati kelompok kekuatan kognisi maupun kekuatan modal.
Dari sudut yang lain, bolehlah kita jujur bahwa penyebab sikap dan perilaku
yang destruktif disebabkan juga oleh adanya kepesatan perkembangan teknologi
dan informasi. Ketika bangsa ini belum siap mental dan psikologis, menghadapi godaan dan terpaan
teknologi yang datang secara
massif. Jadilah bangsa inipun kaget dan menjadi bangsa yang konsumtif. Namun
demikian, tentu kitapun tidak bisa menolak, mengelak dengan kepesatan yang ada.
Melalui pintu pendidikan segenap anak bangsa mesti memiliki sikap selektif yang
baik untuk memilah dan memilih aneka macam informasi agar tidak mempercayai
begitu saja informasi-informasi tersebut, di tengah aliran deras informasi hoaks dan ujaran kebencian yang kian tak
terelakan.Oleh sebab
itu, warga bangsa, terutama generasi muda dan mahasiswa secara khusus perlu
menanamkan dan melestarikan nilai-nilai kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat. Bineka Tunggal Ika dan Pancasila adalah estetika keindahan
bangsa dalam merajut dan merawat perjalanan bangsa ini ke depan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar