Pendulum ilmu pengetahuan sedang
bergerak menuju ke ranah ilmu bahasa. Atas daasar itulah, bahasa menjadi medium
paling elementer bagi manusia untuk merealisasikan eksistensinya.
Sejak
awal, Bapak Kanis Rambut “jatuh cinta berat” pada ilmu bahasa. Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris diselesaikan di Undana Kupang (1985).
Dengan biaya dari pemerintah Australia (1991),
Pak Kanis menyelesaikan pendidikan singkat dalam bidang Applied Linguistic di Northern Territory University (NTU) Darwin.
Demi
peningkatan kompetensi ilmu bahasa, Pak Kanis memutuskan untuk melanjutkan
studi ke jenjang pascasarjana.
Tahun 2003, Pak Kanis menyelesaikan studi jenjang S-2 di Universitas Udayana Denpasar dengan
konsentrasi studi Sosiolinguistik.
Lepas
dari studi S2, Pak Kanis kembali ke Universitas Flores dan mengabdikan ilmunya
di Fakultas Bahasa dan Sastra. Pesona ilmu bahasa mendorong Pak Kanis untuk
kembali ke Bali memperdalam ilmu bahasa. Tahun 2015, Pak Kanis berhasil
mempertahankan Disertasinya dalam bidang Linguistik Kebudayaan di Universitas
Udayana Denpasar dengan judul “Bahasa
Ritual Barong Wae dalam Dinamika
Guyub Tutur Bahasa Manggarai”,
yang dipromotori
oleh Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, MA., Prof. Dr. Made Budiarsa, MA., Prof.
Dr. Aron Meko Mbete, M.A.
Relevansi Praksis Keilmuan
Pengajuan topik Disertasi
didasari oleh keprihatinan yang sangat mendalam terhadap daya survival bahasa ritual lokal yang dewasa
ini sedang berada di ambang kepunahan.
Dr.
Kanis mengajukan contoh, jumlah penutur bahasa ritual Manggarai, sangat sedikit
(diperkirakan hanya berjumlah sekitar 100 orang). Penyebab kepunahan bahasa
ritual lokal karena faktor internal yaitu sifat bahasa ritual yang baku
(susunannya tidak bisa diubah-ubah, tidak bisa diucapkan di sembarang tempat
dan kondisi),
dan spiritual (merupakan bahasa leluhur yang dipakai sebagai alat komunikasi
kepada roh leluhur pada upacara tertentu). Faktor eksternal yang turut berperan
yaitu kebijakan pemerintah dalam program pengembangan bahasa dan budaya yang
belum memberikan ruang bagi pengembangan bahasa local, di samping dominasi bahasa global
(bahasa asing).
Disertasi Pak Kanis, terkonsentrasi pada
perluasan teori kesenjangan kognitif dalam upaya pelestarian bahasa ritual Barong Wae. Teori ini bertolak dari tiga
premis dasar yakni 1) terjadinya
kesenjangan konitif karena adanya keterputusan mata rantai (ber)-komunikasi
antara generasi tua dan generasi muda, sifat
bahasa yang baku (tidak bisa diubah) dan dan sifat bahasa yang spiritual (hanya dipakai pada saat
berkomunikasi dengan roh leluhur dalam upacara adat tertentu).
Menyadari
fakta kepunahan bahasa lokal, maka Dr. Kanis mengidealkan terbentuknya Sanggar
Bahasa, Budaya dan Lingkungan di wilayah Manggarai untuk memediasi pertemuan
antara generasi tua dan generasi muda sehingga memudahkan transfer kebudayaan
lokal. Misalnya melatih anak-anak muda bertutur, mendongeng, bercerita,
bersajak dalam bahasa lokal. Pesan
Dr. Kanis buat generasi bahwa bahasa adalah cerminan identitas. Bahasa daerah
seseorang merupakan identitas orang tersebut karena mengandung nilai-nilai
kebijaksanaan, sopan santun, kebersamaan dan spiritualitas. Generasi muda
hendaknya tidak hanya berusaha untuk mampu bertutur dalam bahasa daerahnya,
melainkan lebih dari itu, menggali nilai-nilai yang dikandung dalam bahasa yang
digunakannya tersebut.
Kembali ke Uniflor: Merajut Idealisme
Menulis karya akademis tentang
esensi kebahasaan yang tertuang dalam disertasi, membawa implikasi penting bagi
civitas akademis Uniflor.
Melalui Disertasi ini, Dr. Kanis ingin mendorong segenap dosen agar 1) melakukan riset dalam bidang linguistic, khususnya membedah sastra lokal (termasuk
di dalamnya kajian tentang bahasa ritual lokal) agar kelak penelitian tentang
kebudayaan lokal khususnya sastra lokal tidak lagi hanya mengacu pada peneliti
asing, serta mengupayakan
agar peneliti Uniflor
bisa menjadi referensi acuan bagi para peneliti asing yang ingin meneliti
tentang kebudayaan lokal khususnya sastra lokal.
Mempertimbangkan urgensi gagasan
di atas, maka bagi Uniflor, Dr. Kanis menyarankan agar membentuk Prodi Bahasa dan Sastra Daerah untuk mendidik generasi muda yang bisa
mengenal, memahami, dan merawat bahasa daerah, dan memberikan ruang/forum khusus bagi para
doktor (lintas disiplin ilmu) untuk menjadi “provokator” ide-ide positif
penelitian dan pengembangan keilmuan.
Atmosfir
akademis yang kondusif, tidak datang begitu saja seperti hembusan angin
sepoi-sepoi melainkan perlu dibangun secara intens. Dr. Kanis menyarankan agar
setiap semester para dosen perlu melakukan penelitian yang paling sederhana
sekalipun. Melalui aktivitas penelitian tersebut, para dosen dapat menemukan
inovasi-inovasi baru dalam mengajar. Selanjutnya, pihak Universitas dan
Yapertif dapat memberikan dukungan dengan cara menyelenggarakan pelatihan
penyusunan proposal dosen, juga memberikan insentif kepada dosen peneliti (*)
Feature
ini telah dimuat pada Harian
Umum Flores Pos, 2 April
2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar