JEAN
PAUL SARTRE, menulis “manusia bukan sebuah koleksi, tetapi merupakan suatu
totalitas”. Pemikiran seorang Sartre ini menyiratkan pesan bahwa manusia
haruslah menyatakan secara keseluruhan potensinya, bukan bagian demi bagian,
termasuk kemampuan bersastra yang adalah asset penting dalam mengungkap
fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan dalam rangka mencari solusi masalahnya.
Bersastra
Bersastra berarti berusaha ‘mengangkat’
sesuatu yang realitas-obyektif menjadi realitas baru, yakni realitas-imajinatif
dengan melewati proses kreativitas yang tinggi, hasil pengamatan yang intens,
terhadap realitas kehidupan yang telah mengkristal dalam diri seorang
pengarang. Kristalisasi realitas kehidupan tersebut, tampak lewat pengalaman
diri, pengalaman bahasa maupun pengalaman estetik yang diracik khas dengan
menhadirkan irama mempesona, menghanyutkan tetapi tetap memperhatikan
satu-kesatuan makna dalam mencapai tujuan sang pengarang itu sendiri. Dengan
demikian, sastra merupakan suatu alternatif penting dalam menyingkap tabir
kehidupan ini.
Dalam mengenang kembali kematian Chairil
Anwar, penyair termashur angkatan ’45, yang meninggal 28 April 1949, maka kami
mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengadakan temu sastra dengan
tema: SASTRA WAHANA PENGUNGKAP REALITAS KEHIDUPAN. Hal ini dilatari oleh
situasi dan kondisi yang berkembang sepanjang ini. Dari sinilah kita dapat
menemukan peran sastra terhadap pembangunan bangsa. Chairil Anwar, seorang
penyair individualistis yang memiliki vitalisme tinggi, tenaga hidup, api
hidup, yang membawa angin segar dalam kesusastraan Indonesia. Padanya, AKU,
adalah paling penting. Kenyataan ini tergambar dalam cita-cita hidupnya, yakni
hendak mereguk hidup ini
sepuas-puasnya, Aku ingin
hidup seribu tahun lagi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar