Halaman

Jumat, 29 Desember 2017

Wajah Indonesiaku: Wajah Kita Semua



Wajah dapat diartikan sebagai roman muka atau muka. Semua orang memiliki wajah dan tentu sangat berharap agar wajah tersebut memancarkan sesuatu yang baik. Diksi wajah ini dipilih untuk melengkapi diksi Indonesia sebagai judul antologi cerpen siswa SMA Flores Lembata. Wajah yang secara khusus menyentuh dan melekat kuat pada kedirian seseorang digunakan dalam konteks ini untuk mengungkap sesuatu yang lebih luas menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, setidak-tidaknya wajah sebuah Indonesia dapat ditemukan dalam antologi cerpen ini. Pemakaian diksi Indonesia saja dalam konteks ini, telah memunculkan rasa bangga tentang sebuah nama juga tempat yang spesial di hati kita semua anak bangsa. Sebuah nama yang memang secara empiris sangat multikultural, multilingual, dan pluralistis dengan ruang geografis pulau Nusantara, dan lingkungan sosiokultural yang unik dan spesifik. Sangat menakjubkan dunia sejagat.
Wajah Indonesiaku menjadi lengkap apabila dipandang dari dua sisi yang berbeda, sebagaimana eksistensi kehidupan manusia itu sendiri yang dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian. Pilihan Wajah Indonesiaku juga masih dalam semangat yang sama yakni ingin menampilkan sisi lain kehidupan sebuah Indonesia. Sebuah wajah yang dahulunya cantik dan ayu, sekarang tampak bopeng, karut marut, tercabik-cabik, penuh dengan konflik horizontal. Dari pusat sampai ke daerah, bahkan menusuk hingga ke kampung-kampung. Inilah sebuah realitas kekinian yang sedang menimpa wajah Indonesia. Wajah lain yang dimaksudkan tertuang dalam antologi cerpen siswa SMA Flores Lembata. Letupan emosi dan ekspresi penghayatan juga pengalaman kekinian mereka tentang kehidupan sesungguhnya. Bagaimana mereka berusaha menghayati dan mencipta dengan sungguh realitas sekitar. Mereka telah berusaha melihat dengan mata telanjang dan mengangkat sesuatu yang terlewatkan oleh kebanyakan orang. Mereka juga telah memposisikan diri sebagai produsen dalam mengangkat dan menggarap sesuatu tidak pada tempatnya untuk dipasarkan ke tengah masyarakat. Mereka telah menjadi lentera kehidupan yang selalu menyalakan kandil di tengah kegelapan.
Bagi saya letupan perasaan para siswa SMA Flores Lembata yang tertuang dalam karya sastra cerpen ini menjadi semacam renungan profetis. Renungan-renungan ikhlas tentang serangkaian kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani dan kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya. Dengan demikian, sastra menjadi media interaksi sosial masyarakat. Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok sosial yang lebih besar. Sastra juga menjadi media belajar bersama tentang hidup nan kompleks. Sastra menjadi “bahasa penghubung” tentang kehidupan material dan spiritual, di samping menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur kehidupan masyarakat secara universal. Renungan-renungan dimaksud telah menghadirkan sebuah interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di antara dua orang atau lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, daan kontak sosial. Karya sastra dapat pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang dinamis antara dorongan batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.
Namun, karya sastra sebagai teks hanyalah jejak (trace), bekas telapak kaki, di dalamnya pembaca harus menemukan manusianya, demikian ungkap Derrida. Jejak bukanlah makna itu sendiri, jejak hanyalah mediasi antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara yang tertinggal dengan yang harus dicari. Pembacalah yang harus mencarinya, bukan penulis. Di sanalah eksistensi pengarang ditemukan sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Aspek yang tertulis adalah kesadaran, dan aspek yang tidak tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat metafora gunung es, yang menjadi aspek yang jauh lebih luas, dalam dan beragam. Dengan kata lain, unsur-unsur di luar bahasalah yang lebih kaya yang dapat dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan pemahaman yang komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh pengarang. Ini dilandasi oleh pemikiran bahwa sastra bukan merupakan sebuah ilmu pasti yang sekali baca langsung dipahami, namun sastra merupakan karya interpretatif yang menyajikan sekian banyak kemungkinan penyelesaian persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan, tuangan karya interpretatif dalam antologi ini merupakan wujud kepedulian para siswa kita yang adalah bagian dari anggota masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana interaksi sastra untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.
Kehadiran antologi ini sekaligus disertai dengan sebuah harapan yang sama bahwa akan lahir lagi karya-karya sastra yang lain dari anak-anak bangsa, terutama anak-anak Flores Lembata. Mudah-mudahan antologi ini dapat memberikan sesuatu yang lain dalam kehidupan para pembaca. *
Selamat membaca!







[1] “Wajah Indonesia, Wajah Kita Semua” dalam Antologi Cerpen Siswa SMA Flores Lembata. (Yohanes Sehandi, dkk. Ed). Yogyakarta: Penerbit dan Percetakan Aditya Media Yogyakarta. ISBN: 978-602-7957-41-1
[2] Pengasuh mata kuliah Sosiolinguistik pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores

Tidak ada komentar:

Posting Komentar