Wajah dapat diartikan
sebagai roman muka atau muka. Semua orang memiliki wajah dan tentu sangat
berharap agar wajah tersebut memancarkan sesuatu yang baik. Diksi wajah ini
dipilih untuk melengkapi diksi Indonesia sebagai judul antologi cerpen siswa
SMA Flores Lembata. Wajah yang secara khusus menyentuh dan melekat kuat pada
kedirian seseorang digunakan dalam konteks ini untuk mengungkap sesuatu yang
lebih luas menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya,
setidak-tidaknya wajah sebuah Indonesia dapat ditemukan dalam antologi cerpen
ini. Pemakaian diksi Indonesia saja dalam konteks ini, telah memunculkan rasa bangga
tentang sebuah nama juga tempat yang spesial di hati kita semua anak bangsa. Sebuah
nama yang memang secara empiris sangat multikultural, multilingual, dan
pluralistis dengan ruang geografis pulau Nusantara, dan lingkungan
sosiokultural yang unik dan spesifik. Sangat menakjubkan
dunia sejagat.
Wajah Indonesiaku menjadi
lengkap apabila dipandang dari dua sisi yang berbeda, sebagaimana eksistensi
kehidupan manusia itu sendiri yang dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan
kematian. Pilihan Wajah Indonesiaku juga masih dalam semangat yang sama yakni
ingin menampilkan sisi lain kehidupan sebuah Indonesia. Sebuah wajah yang
dahulunya cantik dan ayu, sekarang tampak bopeng, karut marut, tercabik-cabik,
penuh dengan konflik horizontal. Dari pusat sampai ke daerah, bahkan menusuk
hingga ke kampung-kampung. Inilah sebuah realitas kekinian yang sedang menimpa
wajah Indonesia. Wajah lain yang dimaksudkan tertuang dalam antologi cerpen
siswa SMA Flores Lembata. Letupan emosi dan ekspresi penghayatan juga
pengalaman kekinian mereka tentang kehidupan sesungguhnya. Bagaimana mereka
berusaha menghayati dan mencipta dengan sungguh realitas sekitar. Mereka telah berusaha melihat dengan mata telanjang dan mengangkat
sesuatu yang terlewatkan oleh kebanyakan orang. Mereka juga telah memposisikan
diri sebagai produsen dalam mengangkat dan menggarap sesuatu tidak pada tempatnya untuk dipasarkan
ke tengah masyarakat. Mereka telah menjadi lentera kehidupan
yang selalu menyalakan kandil di tengah kegelapan.
Bagi saya letupan perasaan para siswa SMA Flores Lembata
yang tertuang dalam karya sastra cerpen ini menjadi semacam renungan profetis. Renungan-renungan
ikhlas tentang serangkaian kehidupan coba
ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani dan kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di
sekitarnya. Dengan demikian, sastra menjadi media
interaksi sosial masyarakat. Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok sosial
yang lebih besar. Sastra juga menjadi media belajar bersama tentang hidup nan
kompleks. Sastra menjadi “bahasa penghubung” tentang kehidupan material dan
spiritual, di samping menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur
kehidupan masyarakat secara universal. Renungan-renungan dimaksud telah
menghadirkan sebuah interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di
antara dua orang atau lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, daan kontak
sosial. Karya sastra dapat pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang
dinamis antara dorongan batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.
Namun, karya
sastra sebagai teks hanyalah jejak (trace), bekas telapak kaki, di
dalamnya pembaca harus menemukan manusianya, demikian ungkap Derrida. Jejak
bukanlah makna itu sendiri, jejak hanyalah mediasi antara kehadiran dan
ketidakhadiran, antara yang tertinggal dengan yang harus dicari. Pembacalah
yang harus mencarinya, bukan penulis. Di sanalah eksistensi pengarang ditemukan
sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Aspek yang tertulis
adalah kesadaran, dan aspek yang tidak tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat
metafora gunung es, yang menjadi aspek yang jauh lebih luas, dalam dan beragam.
Dengan kata lain, unsur-unsur di luar bahasalah yang lebih kaya yang dapat
dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan pemahaman yang
komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh pengarang. Ini dilandasi
oleh pemikiran bahwa sastra bukan merupakan sebuah ilmu pasti yang sekali baca
langsung dipahami, namun sastra merupakan karya interpretatif yang menyajikan
sekian banyak kemungkinan penyelesaian persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan, tuangan karya interpretatif dalam antologi ini merupakan wujud kepedulian para siswa kita yang adalah bagian dari
anggota masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana interaksi sastra untuk
membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.
Kehadiran antologi ini sekaligus disertai dengan sebuah
harapan yang sama bahwa akan lahir lagi karya-karya sastra yang lain dari
anak-anak bangsa, terutama anak-anak Flores Lembata. Mudah-mudahan antologi ini
dapat memberikan sesuatu yang lain dalam kehidupan para pembaca. *
Selamat membaca!
[1]
“Wajah Indonesia, Wajah Kita Semua” dalam Antologi Cerpen Siswa SMA
Flores Lembata. (Yohanes Sehandi, dkk. Ed). Yogyakarta: Penerbit dan
Percetakan Aditya Media Yogyakarta. ISBN: 978-602-7957-41-1
[2] Pengasuh mata kuliah
Sosiolinguistik pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores
Tidak ada komentar:
Posting Komentar