Halaman

Kamis, 21 Desember 2017

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme: Sebuah Sentuhan Jurnalistik




Jelajahi dunia dan akhirat dengan membaca, dan
Ikatlah dengan menulisnya (anonim)

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme
Dunia jurnalistik mengajak Anda melalangbuana. Berpetualang sama ketika Anda sedang berselancar mengarungi area laut luas. Namun, saya hendak mengkapling dan mengerucutkan petualangan ini pada satu dua gagasan yang lebih merupakan sentuhan etis-psikologis-emosional untuk menginspirasi Anda dalam memahami hidup Anda (mahasiswa) sebagai satu kelompok  sosial kategorial yang “plus”.
Di dalam sebuah masyarakat, bangsa, dan negara, mahasiswa dapat di­kategorikan sebagai kelompok strategis. Ia diha­rapkan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dan memainkan peran-peran ter­tentu demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai kelompok strategis, mahasiswa dapat dikategorikan sebagai intele­gensia, bahkan intelektual (cendekiawan—cerdas, berakal, pikiran jernih berdasar ilmu pengetahuan).
             Sebagaimana umumnya kaum intelektual, mahasiswa sudah selayaknya (a) menunjukkan kemampu­an nalar (reasoning power) yang baik dan cemerlang, (b) menunjukkan ke­mampuan berpikir bebas dan kritis, (c) meminati persoalan-persoalan rohani (things of mind), dan (d) memiliki kemampuan mempertanyakan kebenaran-kebenar­an yang berlaku pada suatu saat demi kebenaran yang lebih hakiki, tinggi, dan luas.
            Di samping itu, mahasiswa sebagai kelompok intelektual harus memiliki asketisme (?) intelektual, gaya hidup atau gaya kerja yang tidak mengejar keun­tung­an-keuntung­an praktis kebendaan. Ia harus dapat hidup dan bekerja de­ngan penuh kegembiraan di segala lapangan kehidupan.
                Pemuda adalah subyek yang hidup dengan kelimpahan idealisme yang perlu dieksploitasi dalam kehidupan nyata. Namun, terkadang pemuda cenderung bersikap eksklusif dan radikal juga mengedepankan rasionalitas tujuan dan mengabaikan rasionalitas nilai. Dalam idealisme yang berkelimpahan tersebut, mesti ada signifikansi antara daya kecerdasan dan relevansi sosial, terutama relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di kepulauan di Nusantara ini. Oleh karena itu mahasiswa mesti sebagai “ragi” penggembur nilai-nilai kebaikan melalui “demonstrasi tulis”.
  Transformasi idealisme pemuda dalam membangun integritas bangsa mulai tampak pada peristiwa 28 Oktober 1928. Namun, sebuah dosa sejarah yang mesti ditanggung oleh pemuda rezim Orde Baru, bahwa posisinya yang partisan di hadapan politik penguasa. Ketika itu pemuda tidak berkembang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan penguasa. Sebagai bagian yang inheren dari rakyat, pemuda memiliki posisi tawar yang lemah, bahkan dalam banyak kasus pemuda justru tergoda dan terkooptasi dengan iming-iming pragmatisme politik dan ekonomi yang ditawar oleh rezim Orde Baru dan agen kapitalisme.
          Fakta yang menimpa pemuda dan mahasiswa semasa Orde Baru tentu saja tidak bersifat pars pro toto (generalisasi), karena dalam skala kecil dan bersifat sproradis, tumbuh pula gerakan kritis pemuda  terhadap hegemoni kekuasaan Orde Baru. Daya kritis pemuda yang terus tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu telah melahirkan gerakan reformasi 1998 yang akhirnya menggenjot dan menambah perbendaharaan peran historis pemuda. Modal terbesar pemuda adalah idealisme. Jika modal ini dipelihara, maka akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk menggilas penindasan, penipuan, kebohongan, praktik KKN, serta kebobrokan sosial lainnya. Tanpa idealisme, Ibu Pertiwi tak mungkin terlepas dari cengekeraman kolonialisme dan imperealisme. Tanpa idealisme tanah air kita akan tetap menjadi tanah jajahan tempat berkubangnya para perampok. Tanpa idealisme, negeri ini tak mungkin merdeka. Tanpa idealisme rezim represif Orde Baru yang mengingkari kedaulatan rakyat tidak mungkin lengser.
       Sajian singkat di atas, menyiratkan bahwa perlu adanya redefinisi peran pemuda. Perlu ada reorientasi paradigma terhadap eksistensi pemuda sebagai social-category. Hal demikian mengandung makna bahwa pemuda merupakan asset sosial dan asset bangsa yang paling strategis. Oleh karena itu, jiwa kepeloporan dan partisipasi perlu terus digali dan ditingkatkan kualitasnya dalam upaya pencarian dan penemuan tujuan kehidupan berbangsa dn bernegara sebagaimana teramanah dalam UUD 1945. Kesadaran pemuda dalam peta demografis bangsa amat strategis dari perspektif kuantitas. Hampir 80 juta orang dari 220 juta populasi masyarakat Indonesia terkategori sebagai pemuda atau generasi muda. Ini adalah potensi yang sungguh tinggi derajat eksistensialnya bagi konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara.



Jurnalis: Sebuah Pilihan Pekerjaan

      Menjadi Jurnalis adalah sebuah pilihan pekerjaan. Sebagaimana Anda sedang menimba ilmu sekarang ini dengan karakteristik disiplin ilmu yang berbeda. Anda sedang berorientasi menjadi guru bidang studi A, B, C, atau D. Maka, menjadi Jurnalis merupakan sebuah pilihan profesi yang menarik untuk digeluti. Sebagai guru, Anda perlu mengalami suasana tulis-menulis dan menjadikannya sebagai suasana yang lazim dan berkesinambungan. Mulai dari merancang rencana pembelajaran, penyusunan evaluasi, sampai proses dan penentuan penilaian. Itulah rangkaian kegiatan tulis-menulis seorang guru. Dengan demikian, menjadi jurnalis tidak saja harus menjadi “wartawan”, melainkan menjadi guru yang jurnalis atau guru yang wartawan.
        Hal ini penting saya ungkapkan di sini mengingat guru sekarang tidak sama dengan guru tempoe dulu. Guru sekarang adalah guru yang mesti menulis secara berkelanjutan. Untuk setiap kenaikan pangkat mulai dari Golongan IIIa ke IIIb, guru mesti menulis karya ilmiah, melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) secara reguler, menghasilkan berbagai karya ilmiah sampai menulis artikel ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal yang ber-ISSN (International Standard Serial Number).
         Inilah guru yang sebenarnya. Guru yang memiliki niat dan ikhtiar untuk maju terus dan pantang untuk mundur. Dalam mekanisme kenaikan pangkat dan golongan yang kian ketat dan menantang seperti inilah “memaksa” Anda yang masih mahasiswa ini untuk terus belajar tanpa henti. Menyiapkan diri dan mengasah kemampuan dan nalar Anda secara jernih untuk memperoleh banyak faedah dan keuntungan.
        Faedah yang paling tampak dari seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca dan menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang mahasiswa. Ingat, ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan mengayuh sepeda onthel. Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda itu. Begitu juga menulis.
        Tulisan telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan kesinnambungan hidup manusia sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275).
    Rektor Uniflor, Profesor Stephanus Djawanai juga berpendapat yang sama bahwa dunia tulis-menulis merupakan sebuah dunia yang mengekspresikan ciri keintelektualan manusia, untuk mengenal inti budaya dan kehidupan manusia universal (Flores Pos, 23 Maret 2015). Jelaslah bahwa amnesia sejarah ini terjadi lantaran tak disangga oleh tulisan. Inilah pesan penting para pemashyur, pemikir dan penulis andal yang karyanya masih tetap unggul dan relevan bagi persemaian peradaban dan ilmu pengetahuan abad ini.
 Berpikir, membaca, dan menulis menurut Bacharuddin Jusuf Habibie  merupakan terapi-diri (self-healing). Untuk mencegah apa yang disebut sebagai “black-hole”, yaitu kondisi “psiko somatic malignan”, yakni gangguan emosional berdampak negatif pada sistem organ vital manusia. Untuk memperpanjang umurnya, Habibie memilih untuk melakukan kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya dengan menulis (Habibie & Ainun, 2012: xiv). 
 Bangsa-bangsa atau negara-negara yang memiliki tradisi ilmu yang kuat selalu memiliki tradisi berpikir-menulis-membaca yang baik dan tinggi. Tradisi menulis dan membaca tentu memerlukan tradisi berpikir–terutama berpikir kritis atau kreatif yang disangga oleh penalaran. Tradisi berpikir bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga peradaban keberaksaraan (literacy) yang berfondasikan teks, bukan kelisanan (orality) yang berfondasikan tuturan.
   Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai karya khasanah fatis yang ada, hidup, terawat dan awet dalam masyarakat kita. Kapan dan siapa yang bertanggung jawab mengaksarakan berbagai karya khasanah fatis dalam tradisi lisan tadi menjadi tradisi tulis. Paling kurang generasi yang akan datang dapat mengetahui dengan runut dan runtut khasanah-khasanah fatis dimaksud melalui tulisan. Ada pesan moral yang ditinggalkan untuk mereka, yakni bagaimana menghargai kehidupan ini dengan menulisnya. Lembaga-lembaga dan satuan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu pengemban amanat tradisi ilmu. Karena itu, harus memiliki sekaligus memelihara penguasaan tradisi berpikir-menulis-membaca secara baik. Ini artinya, kegiatan berpikir-menulis-membaca sekaligus kegiatan mengasah penguasaan bahasa Indonesia, diikuti dengan memberikan pelayanan yang memadai merupakan langkah konkrit memuliakan tulisan. Tentu ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari visi dan misi membangun Indonesia sejahtera.

Merubah Kultur, Merubah Mindset

Tidak mudah bagi seseorang dapat merubah kebiasaan atau kultur, lebih-lebih kebiasaan yang kurang bagus. Merubah mindset (cara pikir, cara pandang). Diperlukan keberanian ekstra untuk usaha merubah kebiasaan jelek. Satu contoh di masyarakat kita tumbuh kultur jam karet (sering terlambat, molor, menunggu teman, cepat puas dengan apa yang ada, putus asa) kurang disiplin dan kurangnya penghargaan terhadap waktu. Tidak heran bila ada satu orang mencoba tepat waktu, maka akan banyak komentar dari sekelilingnya. Namun, bagi Anda yang mau maju ikutilah hal ini. Niscaya, Anda berhasil. Kata orang  sedikit-sedikit menjadi bukit.

Memanfaatkan sampai Mencipta Peluang

Mahasiswa sebagai subyek “kreator” yang mesti terus berusaha, mencipta, memodifikasi segala sesuatu agar bisa menemukannya. Bicara, omong atau bertutur saja tidak cukup. Akan menguap begitu saja. Alangkah lebih bijak Anda mesti menguasainya secara berimbang: omong oke, tulis pun oke. Dalam konteks ini, daya, kemampuan, dan potensi yang ada pada diri Anda mesti dieksplorasi. Tinggalkan sikap malas dan “nrimo”, menerima saja nasib. Selalu berpikir positif. Buang jauh-jauh pikiran-pikiran yang membelenggu diri. Jadilah Anda kaum intelektual—cendikia yang bermartabat. Setia pada pilihan pekerjaan Anda. Kendati menjadi GURU. Guru yang Jurnalis.

Ende, 9 Desember 2016



[1] Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Jurnalistik yang Diselenggarakan Oleh BEM FKIP Universitas Flores, Bertempat di Aula FKIP Universitas Flores, Jumad, 9 Desember 2016
[2] Dosen Universitas Flores, Ende

Tidak ada komentar:

Posting Komentar