Jelajahi dunia dan akhirat dengan membaca, dan
Ikatlah dengan menulisnya (anonim)
Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme
Dunia jurnalistik mengajak Anda melalangbuana. Berpetualang
sama ketika Anda sedang berselancar mengarungi area laut luas. Namun, saya
hendak mengkapling dan mengerucutkan petualangan ini pada satu dua gagasan yang
lebih merupakan sentuhan etis-psikologis-emosional untuk menginspirasi Anda
dalam memahami hidup Anda (mahasiswa) sebagai satu kelompok sosial kategorial yang “plus”.
Di dalam
sebuah masyarakat, bangsa, dan negara, mahasiswa dapat dikategorikan sebagai
kelompok strategis. Ia diharapkan
memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dan memainkan peran-peran tertentu demi
kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai kelompok strategis,
mahasiswa dapat dikategorikan sebagai intelegensia, bahkan intelektual
(cendekiawan—cerdas, berakal, pikiran
jernih berdasar ilmu pengetahuan).
Sebagaimana umumnya kaum intelektual, mahasiswa sudah selayaknya (a) menunjukkan kemampuan nalar (reasoning
power) yang baik dan cemerlang, (b) menunjukkan kemampuan berpikir bebas
dan kritis, (c) meminati persoalan-persoalan rohani (things of mind),
dan (d) memiliki kemampuan mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang berlaku
pada suatu saat demi kebenaran yang lebih hakiki, tinggi, dan luas.
Di
samping itu, mahasiswa sebagai kelompok intelektual
harus memiliki asketisme (?) intelektual,
gaya hidup atau gaya kerja yang tidak mengejar keuntungan-keuntungan praktis
kebendaan. Ia harus dapat hidup dan bekerja dengan penuh kegembiraan di segala
lapangan kehidupan.
Pemuda adalah
subyek yang hidup dengan kelimpahan
idealisme yang perlu dieksploitasi dalam kehidupan nyata. Namun, terkadang
pemuda cenderung bersikap eksklusif dan radikal juga mengedepankan rasionalitas tujuan dan mengabaikan
rasionalitas nilai. Dalam idealisme yang berkelimpahan tersebut, mesti
ada signifikansi antara daya kecerdasan dan relevansi sosial, terutama
relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan
eksis berdiri di kepulauan
di Nusantara ini. Oleh karena itu
mahasiswa mesti sebagai “ragi” penggembur nilai-nilai kebaikan melalui
“demonstrasi tulis”.
Transformasi
idealisme pemuda dalam membangun integritas bangsa mulai tampak pada peristiwa
28 Oktober 1928. Namun, sebuah dosa sejarah yang mesti ditanggung oleh pemuda
rezim Orde Baru, bahwa posisinya yang partisan
di hadapan politik penguasa. Ketika itu pemuda tidak berkembang signifikan
dalam mempengaruhi kebijakan penguasa. Sebagai bagian yang inheren dari rakyat,
pemuda memiliki posisi tawar yang lemah, bahkan dalam banyak kasus pemuda
justru tergoda dan terkooptasi dengan iming-iming pragmatisme politik dan
ekonomi yang ditawar oleh rezim Orde Baru dan agen kapitalisme.
Fakta
yang menimpa pemuda dan mahasiswa semasa Orde Baru tentu saja tidak bersifat pars pro toto (generalisasi), karena
dalam skala kecil dan bersifat sproradis, tumbuh pula gerakan kritis
pemuda terhadap hegemoni kekuasaan Orde
Baru. Daya kritis pemuda yang terus tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu
telah melahirkan gerakan reformasi 1998 yang akhirnya menggenjot dan menambah
perbendaharaan peran historis pemuda. Modal terbesar pemuda adalah idealisme.
Jika modal ini dipelihara, maka akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk
menggilas penindasan, penipuan, kebohongan, praktik KKN, serta kebobrokan
sosial lainnya. Tanpa idealisme, Ibu Pertiwi tak mungkin terlepas dari
cengekeraman kolonialisme dan imperealisme. Tanpa idealisme tanah air kita akan
tetap menjadi tanah jajahan tempat berkubangnya para perampok. Tanpa idealisme,
negeri ini tak mungkin merdeka. Tanpa idealisme rezim represif Orde Baru yang
mengingkari kedaulatan rakyat tidak mungkin lengser.
Sajian
singkat di atas, menyiratkan bahwa perlu adanya redefinisi peran pemuda. Perlu
ada reorientasi paradigma terhadap eksistensi pemuda sebagai social-category.
Hal demikian mengandung makna bahwa pemuda merupakan asset sosial dan asset
bangsa yang paling strategis. Oleh karena itu, jiwa kepeloporan dan partisipasi
perlu terus digali dan ditingkatkan kualitasnya dalam upaya pencarian dan
penemuan tujuan kehidupan berbangsa dn bernegara sebagaimana teramanah dalam
UUD 1945. Kesadaran pemuda dalam peta demografis bangsa amat strategis dari
perspektif kuantitas. Hampir 80 juta orang dari 220 juta populasi masyarakat
Indonesia terkategori sebagai pemuda atau generasi muda. Ini adalah potensi
yang sungguh tinggi derajat eksistensialnya bagi konstelasi kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Jurnalis: Sebuah Pilihan Pekerjaan
Menjadi
Jurnalis adalah sebuah pilihan pekerjaan. Sebagaimana Anda sedang menimba ilmu
sekarang ini dengan karakteristik disiplin ilmu yang berbeda. Anda sedang
berorientasi menjadi guru bidang studi A, B, C, atau D. Maka, menjadi Jurnalis
merupakan sebuah pilihan profesi yang menarik untuk digeluti. Sebagai guru,
Anda perlu mengalami suasana tulis-menulis dan menjadikannya sebagai suasana
yang lazim dan berkesinambungan. Mulai dari merancang rencana pembelajaran,
penyusunan evaluasi, sampai proses dan penentuan penilaian. Itulah rangkaian
kegiatan tulis-menulis seorang guru. Dengan demikian, menjadi jurnalis tidak
saja harus menjadi “wartawan”, melainkan menjadi guru yang jurnalis atau guru
yang wartawan.
Hal ini penting saya ungkapkan
di sini mengingat guru sekarang tidak sama dengan guru tempoe dulu. Guru
sekarang adalah guru yang mesti menulis secara berkelanjutan. Untuk setiap
kenaikan pangkat mulai dari Golongan IIIa ke IIIb, guru mesti menulis karya ilmiah,
melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) secara reguler, menghasilkan
berbagai karya ilmiah sampai menulis artikel ilmiah yang dipublikasikan pada
jurnal yang ber-ISSN (International Standard Serial Number).
Inilah guru yang sebenarnya.
Guru yang memiliki niat dan ikhtiar untuk maju terus dan pantang untuk mundur.
Dalam mekanisme kenaikan pangkat dan golongan yang kian ketat dan menantang seperti
inilah “memaksa” Anda yang masih mahasiswa ini untuk terus belajar tanpa henti.
Menyiapkan diri dan mengasah kemampuan dan nalar Anda secara jernih untuk
memperoleh banyak faedah dan keuntungan.
Faedah yang paling tampak dari
seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca dan
menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan
keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh
kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang inheren dan tidak terpisahkan dalam diri
seorang mahasiswa. Ingat, ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan
mengayuh sepeda onthel. Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda
itu. Begitu juga menulis.
Tulisan
telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan
dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan
kesinnambungan
hidup manusia sehingga menjadi warisan
peradaban dunia.
Tanpa tulisan, bisa
jadi, masyarakat sekarang tak
bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai
dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka,
masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan
masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia
kultural (1996: 275).
Rektor Uniflor, Profesor Stephanus Djawanai juga
berpendapat yang sama bahwa dunia tulis-menulis merupakan sebuah dunia yang
mengekspresikan ciri keintelektualan manusia, untuk mengenal inti budaya dan
kehidupan manusia universal (Flores Pos, 23 Maret 2015). Jelaslah bahwa amnesia
sejarah ini terjadi
lantaran tak disangga oleh tulisan.
Inilah pesan penting para pemashyur, pemikir dan penulis
andal yang karyanya masih tetap unggul dan relevan bagi persemaian peradaban
dan ilmu pengetahuan abad ini.
Berpikir, membaca, dan menulis menurut Bacharuddin Jusuf
Habibie merupakan terapi-diri (self-healing).
Untuk mencegah apa yang disebut sebagai “black-hole”, yaitu kondisi “psiko
somatic malignan”, yakni gangguan emosional berdampak negatif pada sistem
organ vital manusia. Untuk memperpanjang umurnya, Habibie memilih untuk
melakukan kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya
dengan menulis (Habibie & Ainun, 2012: xiv).
Bangsa-bangsa
atau negara-negara yang memiliki tradisi ilmu yang kuat selalu memiliki tradisi
berpikir-menulis-membaca yang baik dan tinggi. Tradisi menulis dan membaca tentu memerlukan tradisi berpikir–terutama
berpikir kritis atau kreatif yang disangga oleh penalaran. Tradisi berpikir
bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga
peradaban keberaksaraan (literacy) yang berfondasikan teks, bukan
kelisanan (orality) yang berfondasikan tuturan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai karya khasanah
fatis yang ada, hidup, terawat dan awet dalam masyarakat kita. Kapan dan siapa
yang bertanggung jawab mengaksarakan berbagai karya khasanah fatis dalam
tradisi lisan tadi menjadi tradisi tulis. Paling kurang generasi yang akan
datang dapat mengetahui dengan runut dan runtut khasanah-khasanah fatis
dimaksud melalui tulisan. Ada pesan moral yang ditinggalkan untuk mereka, yakni
bagaimana menghargai kehidupan ini dengan menulisnya. Lembaga-lembaga dan
satuan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu
pengemban amanat tradisi ilmu. Karena
itu, harus memiliki sekaligus memelihara penguasaan tradisi
berpikir-menulis-membaca secara baik. Ini artinya, kegiatan berpikir-menulis-membaca
sekaligus kegiatan mengasah penguasaan bahasa Indonesia, diikuti dengan memberikan pelayanan yang memadai merupakan langkah konkrit memuliakan tulisan.
Tentu ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari visi
dan misi membangun Indonesia sejahtera.
Merubah Kultur, Merubah Mindset
Tidak mudah bagi seseorang dapat merubah kebiasaan atau
kultur, lebih-lebih kebiasaan yang kurang bagus. Merubah mindset (cara
pikir, cara pandang). Diperlukan keberanian ekstra untuk usaha merubah
kebiasaan jelek. Satu contoh di masyarakat kita tumbuh kultur jam karet (sering
terlambat, molor, menunggu teman, cepat puas dengan apa yang ada, putus asa)
kurang disiplin dan kurangnya penghargaan terhadap waktu. Tidak heran bila ada
satu orang mencoba tepat waktu, maka akan banyak komentar dari sekelilingnya. Namun,
bagi Anda yang mau maju ikutilah hal ini. Niscaya, Anda berhasil. Kata orang sedikit-sedikit menjadi bukit.
Memanfaatkan sampai Mencipta Peluang
Mahasiswa sebagai
subyek “kreator” yang mesti terus berusaha, mencipta, memodifikasi segala
sesuatu agar bisa menemukannya. Bicara, omong atau bertutur saja tidak cukup.
Akan menguap begitu saja. Alangkah lebih bijak Anda mesti menguasainya secara
berimbang: omong oke, tulis pun oke. Dalam konteks ini, daya, kemampuan, dan
potensi yang ada pada diri Anda mesti dieksplorasi. Tinggalkan sikap malas dan
“nrimo”, menerima saja nasib. Selalu berpikir positif. Buang jauh-jauh
pikiran-pikiran yang membelenggu diri. Jadilah Anda kaum intelektual—cendikia
yang bermartabat. Setia pada pilihan pekerjaan Anda. Kendati menjadi GURU. Guru
yang Jurnalis.
Ende, 9 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar