Halaman

Jumat, 27 Oktober 2017

Wacana Penguasa




Sekilas tampak kasat mata, antara bahasa dan kekuasaan tidak terdapat hubungan sama sekali. Bahasa tertengarai bermain pada area linguistik, sedangkan kekuasaan bermain pada area politik dan cenderung diperani oleh politikus dan para elite politik. Dalam konteks wacana, pertarungan antara bahasa dan kekuasaan dimulai setelah pandangan empiris-positivis dianggap tak secara total membongkar keseluruhan makna dan pesan dalam sebuah wacana. Sebaliknya, munculnya pandangan kognitivisme dan pandangan kritis dianggap mampu menjembatani kajian bahasa untuk tidak lagi sekadar mengaji bahasa, tetapi juga wacana (Eriyanto, 2009). Dua pandangan terakhir ini dianggap  penyeimbang kadar sebuah bahasa, yakni sedapatnya bahasa ditakar dalam konteks yang beraneka ragam untuk memahami maknanya.
Kaum kognitivis menekankan bahasa pada aspek kebenaran sintaksis dan semantik, dan kaum kritis menekankan bahasa pada upaya membongkar “sesuatu” di balik bahasa itu sendiri. Bahasa yang terkonstruk secara verbal dan nonverbal terkadang dirasakan semakin “jauh” dari harapan. Itulah bahasa, yang tidak saja memerani tugas mulia sebagai sarana dan jembatan komunikasi, namun menyembunyikan “sesuatu” yang terselubung, sekaligus menghadirkan fenomena kegandaan dalam komunikasi. Kuasa menjadi semacam ajang panggung seni dan arena tempat bertemu dan berkumpulnya orang atau kelompok orang yang memiliki kepentingan.
Dinamika pasang surut perpolitikan bangsa ini sulit ditebak. Selalu berubah dan makin membingungkan. Katanya, kalau tidak begitu, bukan politik. Ada banyak contoh yang koheren untuk mengungkap gejala ini. Mulai urusan kenegaraan sampai perihal hiburan pun terus dipelintir dan dipolitisasi. Yang paling aktual adalah kisah getir “vaksin palsu” oleh dokter di rumah sakit, bahkan para politisi Senayan ketika rapat dengar pendapat dengan komisi IX DPR ‘mengancam’ untuk buka-bukaan asal ‘dilindungi’, dan ketidakselesaian isu reshuffle kabinet oleh Presiden Jokowi pemilik hak prerogatif. Para tikus (tim sukses) calon pasangan cabup-cawabup keluar masuk kampung menawarkan program unggulan jagoannya. Para jurkam (juru kampanye) berapi-api menggelontorkan kata-kata dan menghipnotis massa ketika kampanye. Lain lagi misalnya, para bawahan membuat laporan asal bapak senag (ABS) kepada atasannya. Dan, atasan pun manggut-manggut percaya. Kepala dinas pendidikan menargetkan persentasi kelulusan di wilayahnya dengan persentasi yang tinggi. Para kepala sekolah sangat yakin dan percaya diri mematok target kelulusan dengan angka yang maksimal di awal tahun.
Selanjutnya, para guru di sekolah juga tidak kehilangan muka, memasang target persentasi sebelum ujian digelar. Atau, bolak-balik berkas pemeriksaan perkara antara penyidik dan kejaksaan, dan macam-macam lagi. Bukankah demikian segala urusan tetek bengek dipolitisasi untuk kepentingan penguasa? Inilah kredo kebingungan rakyat bangsa ini. Kebingungan kolektif itu kita rasakan ketika banyak pengujar statemen menggunakan posisi dalam kapasitasnya sebagai penguasa. Dalam kapasitas inilah statemen akan berbeda. Sangatlah gamblang bahwa penguasa tidak menciptakannya melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi melalui berbagai pernyataan, kata-kata, regulasi, aturan-aturan, dan normalisasi. Bahasa dalam koridor kekuasaan inilah dikeluarkan para penguasa untuk diperdengarkan, dipercayai, dipatuhi, dijawab, dilaksanakan dan tidak boleh dipertanyakan karena bahasa tersebut layaknya bahasa Tuhan yang mutlak kebenarannya. Penguasa yang demikian, dengan remeh-temeh mentopdown bahasa untuk kepentingan status quo. Kondisi inilah memunculkan kegelisahan di kalangan masyarakat, dan bakal menjadi sumber petaka.
Kegelisahan dirasakan semakin pincang ketika melihat ketimpangan sosial yang menganga luar biasa antara kaum berpunya dan tak berpunya. Kondisi inilah yang menciptakan kegusaran dan ketidakpercayaan masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis, akan peran pemerintah. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, menjadi semakin membias yang sepertinya sengaja dipelihara, yang dengan sendirinya menambah prahara keterpurukan bangsa. Ya, seperti sebuah panggung hiburan. Panggung hiburan: menghibur dan menguasai dalam kuasa ‘kata’ yang tidak pernah luput dan lepas dari kepentingan pihak penguasa terhadap yang dikuasai. Yang terkuasai (rakyat) secara sengaja dibohongi, dikekang, dan dikungkung oleh penguasa hanya dengan permainan-permainan bahasa. Dalam pandangan Bourdieu (1990), bahasa yang tampil melalui kekuasaan ‘kata’ dijadikan alat oleh penguasa untuk memobilisasi demi melegitimasikan otoritasnya sebagai penguasa. Kata dalam perspektif Bourdieu tentunya mempunyai kuasa yang besar, dimana kekusaan kata seseorang dapat melegalkan yang ilegal dan membuat baik menjadi tidak baik, sesuatu yang salah menjadi benar, yang tidak biasa menjadi biasa.
Yang hendak dikatakan di sini bahwa bahasa sesungguhnya merupakan simbol kekuasaan yang perlu diwaspadai. Kekuasaan melalui bahasa digunakan penguasa dan para elite untuk mengamankan kekuasaannya. Oleh karena itu, elite politik melakukan konsolidasi di segala bidang, termasuk rekayasa bahasa. Pembengkokan dan pengerdilan makna kata demi alasan pembangunan dan alasan-alasan tertentu menjadi akar kebohongan,  penyelewengan, hingga melahirkan keterpurukan di berbagai bidang kehidupan. *



[1] Tulisan ini Dimuat pada HU Flores Pos, 13 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar