Kata
adalah sebuah anugerah nativus
kepada kita. Setiap hari kita menggunakan kata. Bahkan, setiap saatpun kita
memakai kata untuk berkata-kata. Untuk keperluan apa saja, kita tak pernah
lepas dari kata. Kalau tidak punya kekayaan kata (verbal repertoar) kita
hampir pasti tidak bisa berkata-kata. Kitapun tidak bisa hidup tanpa kata. Sama
halnya, kalau orang tidak memiliki uang, maka orang tidak bisa membeli atau
mengerjakan sesuatu. Kita menggunakan kata secara bebas dalam berbahasa untuk
mewakili suatu maksud yang ingin kita sampaikan kepada orang lain. Kita
terlahir ke dunia, karena adanya kata. Cinta, itulah kata pertama yang
melandasi awal kehadiran kita. Dan karena itu hidup kita penuh warna-warni
karena kehadiran kata. Berapa kalikah dalam sehari kita menggunakan kata dalam
tugas-tugas kita? Tentu tidak dapat kita hitung secara pasti. Ajaib. Ketika
seorang dosen sedang mengajar dan karena ruangan panas, lantas ia meminta
seorang mahasiswa untuk menghidupkan kipas angin. Permintaan tadi seketika pula
berubah menjadi tindakan mahasiswa menghidupkan kipas angin. Kata-kata telah
berfungsi menjadi media penghubung dosen dan mahasiswa. Dia bagai lem, “perekat” untuk menghadirkan ruang komunikasi yang efektif.
Kata menjaga eksistensi kita. Ia menampilkan sekaligus menjadi
saksi keberadaan seseorang kepada orang lain. Kata memberi
kesaksian tentang seseorang. Apabila seorang marah, ia memilih dan menggunakan kata yang sangat berbeda dari nada suara
dan kata
yang ia gunakan waktu mengajar dan berdoa. Coba
saksikan seorang penjual obat di pasar, bagaimana dia menghambur kata-kata demi
membius perhatian para pembeli. Bagaimana seorang orator memilah dan memilih
kata dengan teliti mewakili maksud agar maksud yang sama dapat diterima
pendengarnya. Bagaimana seorang anggota tim sukses pasangan calon kepala daerah
mengumbar janji melalui pilihan kata-kata yang menjanjikan. Bagaimana pula
seorang penulis mendetil kata-kata bagai air mengalir agar jalan pikirannya
masuk menyatu ke dalam jalan pikiran pembaca.
Kata yang tersimpan dan tertumpuk rapi dalam memori kita
memiliki kuasa. Itulah kuasa kata. Fakta berkuasanya kata, jauh sebelumnya
diingatkan oleh Herakleitos, “jangan dengar aku, dengarlah pada sang kata”
(Kaelan,2009:67). Proverba ini membenarkan bahwa kata, menggambarkan sebuah
tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa dalam berbagai lingkup kehidupan
hayati manusia. Hoesada (2007) menyebut bahwa kata dapat
menjadi racun. Kata yang dimasukkan ke dalam benak melalui mata dalam aneka tulisan, atau telinga melalui aneka berita lisan,
provokasi, fitnah, membakar hati, membangkitkan kebencian, dendam atau cemburu,
mampu membuat orang marah, murka, bunuh diri, atau pun merana dan patah hati. Kata provokasi yang merakyat
akhir-akhir ini menjadi semacam bom waktu yang dapat meledakkan rumah tangga
bahagia, mengobarkan perang antarbangsa, bahkan pembunuhan massal. Dan karena itu, benar seperti yang
disitir kritikus sastra A. Teeuw, “semuanya
tergantung pada kata”. Kata menjadi wadah, media untuk merangkai,
memformulasikan,
dan mengkonstruksi ide dan gagasan secara lebih hidup dan bermakna.
Makna
sebuah kata tidaklah terbatas.
Ia
merupakan suatu hal yang bebas. Kata-kata
dan ungkapan kebahasaan
lainnya memiliki banyak hubungan, baik hubungan persamaan, kontras, saling
melengkapi, serta pencantuman. Makna suatu kata tergantung pada beberapa banyak
hubungan kata tersebut dengan kata yang lainnya. Jadi, selain kosakata, suatu
bahasa terdiri dari daftar acak kata-kata yang terbatas, dan makna dari
masing-masing kata tersebut, terdiri dari sekelompok kata yang dihubungkan
dengan sistem pemaknaan yang berlaku dalam masyarakat.
Di
Indonesia orang yang sakit dapat
diobati dengan kata-kata. Kepercayaan pada mantra adalah kepercayaan pada
kekuatan kata-kata. Kata dapat membentuk realitas, dapat menyembuhkan orang,
dan dapat menyakiti orang (Bandel,2009:16). Kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan tradisional pada
hal-hal gaib yang tidak diakui secara ilmiah. Misalnya, dalam pengobatan asli
Indonesia, penyakit biasanya diklasifikasikan sebagai penyakit yang biasa (alami) dan luar biasa (disebabkan
oleh kekuatan gaib), sedangkan ilmu kedokteran biomedis tidak mengenal penyakit
yang luar biasa. Perlu diingat pula bahwa penjajahan yang dialami, tidak
terjadi secara fisik saja, melainkan terjadi lewat sihir kata-kata atau penjajahan tekstualitas.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang disampaikan di atas
memiliki makna kultural dalam berbagai aspek kehidupan. Semuanya dapat
menunjukkan betapa makna dan nilai kekuasaan dikonstruksi secara verbal. Nilai-nilai
kekuasaan antara guru–murid,
dosen–mahasiswa,
presiden–rakyat,
laki-laki–perempuan, orangtua–anak, atasan–bawahan, bahkan
ungkapan-ungkapan tertentu dalam doa ritual persembahan etnik. Dalam berkomunikasi dengan leluhur kitapun terskematisasi bangunan wacana khas
yang memiliki daya pikat betapa sebuah kata memiliki kekuasan.
Dengan demikian,
hidup yang sesungguhnya adalah sebuah, media, ruang terbuka untuk berjumpahnya kata-kata. Rangkaian kata-kata
memiliki kuasa, karena selain menginformasikan keberadaan kita dan suatu kelompok masayarakat secara luas,
kata juga mampu mengusung berbagai nilai dan fungsi sosial kemasyarakatan yang lebih luas dan mendalam. Dengan
demikian, kata-kata
sungguh merupakan kuasa tanpa batas. Bisa menjadi
penyubur dan penggembur. Bisa menjadi racun. Jagalah mulut, jagalah kata-kata.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar