Halaman

Rabu, 25 Oktober 2017

Kuasa Kata





        Kata adalah sebuah anugerah nativus kepada kita. Setiap hari kita menggunakan kata. Bahkan, setiap saatpun kita memakai kata untuk berkata-kata. Untuk keperluan apa saja, kita tak pernah lepas dari kata. Kalau tidak punya kekayaan kata (verbal repertoar) kita hampir pasti tidak bisa berkata-kata. Kitapun tidak bisa hidup tanpa kata. Sama halnya, kalau orang tidak memiliki uang, maka orang tidak bisa membeli atau mengerjakan sesuatu. Kita menggunakan kata secara bebas dalam berbahasa untuk mewakili suatu maksud yang ingin kita sampaikan kepada orang lain. Kita terlahir ke dunia, karena adanya kata. Cinta, itulah kata pertama yang melandasi awal kehadiran kita. Dan karena itu hidup kita penuh warna-warni karena kehadiran kata. Berapa kalikah dalam sehari kita menggunakan kata dalam tugas-tugas kita? Tentu tidak dapat kita hitung secara pasti. Ajaib. Ketika seorang dosen sedang mengajar dan karena ruangan panas, lantas ia meminta seorang mahasiswa untuk menghidupkan kipas angin. Permintaan tadi seketika pula berubah menjadi tindakan mahasiswa menghidupkan kipas angin. Kata-kata telah berfungsi menjadi media penghubung dosen dan mahasiswa. Dia bagai lem, “perekat untuk menghadirkan ruang komunikasi yang efektif.
Kata menjaga eksistensi kita. Ia menampilkan sekaligus menjadi saksi keberadaan seseorang kepada orang lain. Kata memberi kesaksian tentang seseorang. Apabila seorang marah, ia memilih dan menggunakan kata yang sangat berbeda dari nada suara dan kata yang ia gunakan waktu mengajar dan berdoa. Coba saksikan seorang penjual obat di pasar, bagaimana dia menghambur kata-kata demi membius perhatian para pembeli. Bagaimana seorang orator memilah dan memilih kata dengan teliti mewakili maksud agar maksud yang sama dapat diterima pendengarnya. Bagaimana seorang anggota tim sukses pasangan calon kepala daerah mengumbar janji melalui pilihan kata-kata yang menjanjikan. Bagaimana pula seorang penulis mendetil kata-kata bagai air mengalir agar jalan pikirannya masuk menyatu ke dalam jalan pikiran pembaca.

Kata yang tersimpan dan tertumpuk rapi dalam memori kita memiliki kuasa. Itulah kuasa kata. Fakta berkuasanya kata, jauh sebelumnya diingatkan oleh Herakleitos, “jangan dengar aku, dengarlah pada sang kata” (Kaelan,2009:67). Proverba ini membenarkan bahwa kata, menggambarkan sebuah tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa dalam berbagai lingkup kehidupan hayati manusia. Hoesada (2007) menyebut bahwa kata dapat menjadi racun. Kata yang dimasukkan ke dalam benak melalui mata dalam aneka tulisan, atau telinga melalui aneka berita lisan, provokasi, fitnah, membakar hati, membangkitkan kebencian, dendam atau cemburu, mampu membuat orang marah, murka, bunuh diri, atau pun merana dan patah hati. Kata provokasi yang merakyat akhir-akhir ini menjadi semacam bom waktu yang dapat meledakkan rumah tangga bahagia, mengobarkan perang antarbangsa, bahkan pembunuhan massal. Dan karena itu, benar seperti yang disitir kritikus sastra  A. Teeuw, semuanya tergantung pada kata. Kata menjadi wadah, media untuk merangkai, memformulasikan, dan mengkonstruksi ide dan gagasan secara lebih hidup dan bermakna.
Makna sebuah kata tidaklah terbatas. Ia merupakan suatu hal yang bebas. Kata-kata dan ungkapan kebahasaan lainnya memiliki banyak hubungan, baik hubungan persamaan, kontras, saling melengkapi, serta pencantuman. Makna suatu kata tergantung pada beberapa banyak hubungan kata tersebut dengan kata yang lainnya. Jadi, selain kosakata, suatu bahasa terdiri dari daftar acak kata-kata yang terbatas, dan makna dari masing-masing kata tersebut, terdiri dari sekelompok kata yang dihubungkan dengan sistem pemaknaan yang berlaku dalam masyarakat.

Di Indonesia orang yang sakit dapat diobati dengan kata-kata. Kepercayaan pada mantra adalah kepercayaan pada kekuatan kata-kata. Kata dapat membentuk realitas, dapat menyembuhkan orang, dan dapat menyakiti orang (Bandel,2009:16). Kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan tradisional pada hal-hal gaib yang tidak diakui secara ilmiah. Misalnya, dalam pengobatan asli Indonesia, penyakit biasanya diklasifikasikan sebagai penyakit yang biasa (alami) dan luar biasa (disebabkan oleh kekuatan gaib), sedangkan ilmu kedokteran biomedis tidak mengenal penyakit yang luar biasa. Perlu diingat pula bahwa penjajahan yang dialami, tidak terjadi secara fisik saja, melainkan terjadi lewat sihir kata-kata atau penjajahan tekstualitas.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang disampaikan di atas memiliki makna kultural dalam berbagai aspek kehidupan. Semuanya dapat menunjukkan betapa makna dan nilai kekuasaan dikonstruksi secara verbal. Nilai-nilai kekuasaan antara gurumurid, dosenmahasiswa, presidenrakyat, laki-lakiperempuan, orangtuaanak, atasan–bawahan, bahkan ungkapan-ungkapan tertentu dalam doa ritual persembahan etnik. Dalam berkomunikasi dengan leluhur kitapun terskematisasi bangunan wacana khas yang memiliki daya pikat betapa sebuah kata memiliki kekuasan.
Dengan demikian, hidup yang sesungguhnya adalah sebuah, media, ruang terbuka untuk berjumpahnya kata-kata. Rangkaian kata-kata memiliki kuasa, karena selain menginformasikan keberadaan kita dan suatu kelompok masayarakat secara luas, kata juga mampu mengusung berbagai nilai dan fungsi sosial kemasyarakatan yang lebih luas dan mendalam. Dengan demikian, kata-kata  sungguh merupakan kuasa tanpa batas. Bisa menjadi penyubur dan penggembur. Bisa menjadi racun. Jagalah mulut, jagalah kata-kata.*


Tulisan ini dimuat pada HU Flores Pos, Sabtu, 21 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar