Halaman

Jumat, 09 Oktober 2020

Menulis Perjumpaan, Mengawetkan Kehidupan



 

Ketika beradu: tuntaslah tulisan di tanganku,

lalu kubaca pelan dan pasti: kau hadir bagai

matahari kehidupan

dalam renung tulisan

(Karena kehidupan, aku berpuisi

dari kehidupan aku menulis.

Maukah kamu menyatu menemani?)

[Mudji Sutrisno, Getar-Getar Peradaban, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 1994: 8]

 

 Sepanjang Detak Waktu (SDW) adalah rentetan kisah estetis penulis dari waktu ke waktu. Sepanjang waktu 2006–2017, kisah dan catatan tentang sebuah perjalanan pelayanan “kehidupan” terpatri indah dalam untaian bait-bait puisi. Rentetan ini sekaligus menjadi momentum literer. Sebab SDW merupakan bagian perjalanan leterasi menulis perjumpaan. Mengasah daya dan budi, mengurut kata memadat hati menemukan jalan keluar melalui pintu yang selalu terkuak: /Pintu itu...lapang hati/. Pintu simbol kelapangan hati, keterbukaan, keleluasaan, kebersediaan, niat, dan ikhtiar membuka diri sekaligus memberi diri untuk kebaikan orang lain. Menulis perjumpaan juga hendak momentum perjumpaan itu sendiri, beserta hal ihwal di sekelilingnya. Upaya ini pula merupakan jalan atau pintu mengawet kehidupan. Sebuah upaya ekspresi romantisme nostalgia bagi masyarakat untuk terus mencintai masa lampau. Sehingga karya literer ini adalah sebentuk menulis kehidupan masa lampau secara sungguh-sungguh dan lebih bermakna.

 Sepanjang Detak Waktu adalah sebuah penjelajahan kemanusiaan

Puisi sebagai karya sastra bernuansa seni hasil produksi pikir kreatif dengan mengandalkan daya imajinasi penulisnya menjadi semacam jalan meniti perjalanan panjang. Menjelajahi ruang-ruang belantara kehidupan. Menapaki lorong-lorong rindu menemui sahabat semesta. Sebuah karya seni yang telah diciptakan dan diapresiasi oleh masyarakat tidak dapat ditarik kembali oleh waktu (Ars longa vita brevis). Sebab itulah, segala karya seni, termasuk puisi dapat hidup sepanjang masa. Dan, oleh karena itu pula seni tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan masyarakat. Sebagai karya sastra, puisi memiliki sifat seni sekaligus menjadi balada keabadian. Padanya kita dapat memahami dan menikmati lanskap alam raya dengan aneka dandanan geososial dan geokultural,  menimba akan keterpaduan kehidupan semesta dan jagat kosmis, serta rentetan penjelajahan eksistensi lain, dari yang tidak dapat terobservasi oleh panca indera hingga runtutan dan tumpukan narasi perjumpaan dengan orang-orang tercinta.

Pada simpul perjumpaan demikianlah, hidup menjadi lebih kaya makna melalui bobot karya pelayanan akan satu dengan yang lain. Semuanya mengalami eksistensi keterberian untuk saling meningkatkan derajat pengalaman perjumpaan dimaksud. Dalam perspektif teoretis, benar yang dikatakan Lafevere bahwa sastra adalah pengetahuan kemanusiaan (existential knowledge) yang sejajar dengan bentuk dan perjalanan hidup itu sendiri. Untuk demikianlah, sastra secara khusus puisi menjadi sangat penting ditulis dan dipelajari dewasa ini sebagai sarana berbagi pengalaman (sharing) dalam mencari dan menemukan kebenaran kemanusiaan. Tidak sekadar diperlukan persepsi, melainkan observasi. Persepsi berfungsi sebagai peta jalan yang digunakan untuk mencari kebenaran dan kenyataan sesungguhnya. Observasi membuat kita terlibat secara aktif kepada aspek-aspek tertentu yang menarik perhatian kita. Hasil dimaksud tidak hanya memiliki kedalaman pemahaman, melainkan kita membuat kedalaman pemahaman itu sesuai dengan pengalaman-pengalaman kehidupan kita sendiri di antara perjumpaan pengalaman dengan realitas yang sesungguhnya.

Dalam pemahaman ini, hemat saya “Sepanjang Detak Waktu” (SDW) telah mencapai titik kontekstualisasi perjumpaannya pada debur-debur semesta. Saya mencatat, misalnya, 18 judul puisi dari 76 puisi dalam SDW yang menggunakan kata depan atau preposisi di”. Fungsi utama preposisi “di” adalah menyatakan tempat. Dalam konteks ini, preposisi “di” menukik atau menunjuk pada satu titik atau lokasi perjumpaan. Di sinilah kontekstualisasi dari apa yang saya sebut sebagai penjelajahan kemanusiaan. Judul-judul puisi dimaksud adalah Di Jantung Malam, Di Bulan Uzur, Di Teras Rumah, Di Tanah Ini, Bias Di Awal Tahun, Di Bawah Rembulan, Di Stasiun Kereta, Di Taman Ini, Di Bukit Ini, Di Atas Pasir, Malam Di Bukit Ini, Di Laut Malam, Berkaca Di Air Keruh, Di Tengah Badai, Purnama Di Bukit Ini, Pergimu Di Ubun Pagi, Di Jantung Kota, dan Di Restaurante.

Penjelajahan kemanusiaan bertemu dengan keindahan. Manusia sebagai homo educandus,  semesta alam raya, dan ruang kosmis adalah pengalaman keindahan itu. Kisah-kisa perjumpaan yang dilukis gamblang dan mempesona dalam SDW menjadi pengalaman yang vital yang tidak lain adalah cuatan keaslian ekspresi penulis yang sensibilitas. Pengalaman-pengalaman yang hebat serta refleksi dalam ragam perasaan dan nuansa natural itulah disampaikan dengan figura bahasa yang baik. Secara umum, SDW mendapat amplifikasi (perkuatan) secara kontras yang kaya ekspresi figuratif personifikasi. Penulis menghayati hidupnya dalam semangat perjumpaan sebagaimana hidup itu sendiri sebagai seni. Kita pun diajak untuk menikmati hidup itu layaknya sebuah karya kreatif (seni). Saya dan Anda harus membaca buku ini, terutama mahasiswa, dosen dan mereka yang menggandrungi dunia sastra. (*)

 

 



[1] Epilog untuk Antologi Puisi “Sepanjang Detak Waktu” (SDW) karya Ignasius Ukun Kaha (Ignas Kaha), Lahir di Augelaran, Solor Barat, Flores Timur, pada tanggal 24 Desember 1975. Pernah belajar Filsafat dan Teologi di STFK Ledalero, Maumere, dari tahun 1997 hingga tahun 2004. Sekarang berkarya sebagai Misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) di Mozambique, Afrika. Prolog Antologi Puisi “Sepanjang Detak Waktu” (SDW) ditulis oleh Dr. Fidelis Regi Waton, SVD–Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Sankt Augustin, Jerman.

 

[2]  Dosen Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar