Halaman

Jumat, 31 Agustus 2018

Membangun Reputasi

 


Ketika itu, kira-kira di pengujung 2009, pada Bulan esember, bertepatan dengan wisuda sarjana Universitas Flores. Prof. Steph tampil membawakan pidato ilmiah dengan tajuk “Universitas Flores Mengubah Pola Pikir Anak Indonesia". Tajuk inspiratif yang sekaligus menjadi visi Prof. Steph (almh) memimpin lembaga Universitas Flores dalam dua periode. Bertitik tolak pada visi inspiratif itulah, Prof Steph dalam hampir setiap kesempatan senantiasa “mendengungkan” terminologi “Reputasi”. Berikut cuplikan berita tentang motivasi inspiratif dari Sang Tokoh Inspiratif untuk civitas Akademica Universitas Flores.
Membangun reputasi merupakan cara terbaik dalam mengelola Universitas Flores (Uniflor) agar dapat menjadi magnet dari timur. Uniflor dapat setara dengan perguruan tinggi besar lain di pulau Jawa dan menjadi daya tarik bagi masyarakat. Penegasan ini disampaikan Rektor Uniflor Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., beberapa waktu lalu, di ruang rapat Rektor, yang dihadiri oleh para kepala lembaga, pimpinan fakultas, dan pimpinan program studi. Pertemuan bertujuan silaturahim akademik untuk sinkronisasi dan sinergisitas berbagai program. “Saya mengucapkan terima kasih atas semua peran dan tanggung jawab yang telah Anda berikan dalam membangun lembaga ini. Hendaklah keberhasilan yang telah diraih ini menjadi momentum kebangkitan guna mempertegas semangat dan jati diri kekaryaan untuk terus berkonsentrasi dan kokoh berjuang membangun reputasi lembaga ini. Dalam perjuangan itulah, semua peran yang ada kita padukan dan mengupayakan agar Uniflor menjadi magnet dari timur sekaligus benteng moral bagi mahasiswa yang tengah dan akan menimba ilmu di lembaga ini. Untuk itulah, civitas akademika terus membangun reputasi secara berkelanjutan”.
Salah satu strategi yang dijalankan, menurut Prof. Steph adalah membangun reputasi melalui peningkatan cara belajar-mengajar yang konstruktif dengan mengembangkan potensi mahasiswa melalui pembelajaran yang kreatif, inovatif berlandaskan pada model pembelajaran tematik integratif. “Mahasiswa dibimbing untuk menjawab pertanyaan minggu depan saya bisa buat apa dari perkuliahan ini”.  Dengan demikian, semua rencana perkuliahan sedapatnya diramu dalam bentuk proyek yang mewajibkan mahasiswa untuk mengkonstruksi proyek-proyek pembelajaran dalam uraian-uraian sistematis, berupa artikel, esei, dan lain-lain berdasarkan hasil pengamatan dan pengalamannya sendiri. Hemat Prof. Steph, ilustrasi ini adalah satu contoh dari sekian banyak model dan pendekatan pembelajaran yang bisa diterapkan. Tentu melalui hasil pencermatan Bapak/Ibu dosen atas karakteristik, keluasan, dan kedalaman mata kuliah yang diajarkan. Selain harapan dalam domain pembelajaran, bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakan juga menjadi perhatian rektor. “Kita tetap konsentrasi pada tiga darma, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan begini lembaga mampu memiliki reputasi yang baik”, tegasnya mengakhiri pertemuan.
Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif) selalu mendukung peningkatkan kapasitas dan kapabilitas keilmuan para dosen melalui penguatan tri dharma perguruan tinggi, meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. “Dukungan selalu akan Yapertif berikan dalam berbagai bentuk, baik dana, sarana dan prasarana dan berbagai kebutuhan pembelajaran lain untuk meningkatkan kapasitas dosen dan mempermudah proses belajar mengajar mahasiswa dan dosen. Dukungan ini kita berikan juga bertujuan untuk pencapaian visi Uniflor sebagai magnet di Indonesia Timur”, kata Ketua Yapertif Dr. Laurentius Dominicus Gadi Djou, Akt., beberapa waktu lalu di ruang kerjanya.
      Yapertif memberi apresiasi kepada seluruh civitas academika yang telah melaksanakan program akademik semester Ganjil 2017/2018 dengan baik. Pelaksanaan kegiatan akademik yang seperti ini kami harapkan untuk tetap dipertahankan pada semester yang akan datang. Dengan begitu, mahasiswa mendapat pelayanan akademik yang maksimal. “Saya sudah tegaskan kepada semua kepala tata usaha di masing-masing program studi untuk memberikan pelayanan akademik secara cepat dan tepat kepada mahasiswa. Kita ingin agar semua mahasiswa mendapat pelayanan yang maksimal. Jangan menunda pekerjaan, apalagi berakibat merugikan mahasiswa” demikian  harap Dr. Lory. (*).






[1] Telah dimuat dalam HU Flores Pos, 31 desember 2017

Tradisi Lisan: Wujud Tenunan Kehidupan Manusia





                                         
Bahasa adalah suatu rekayasa teknologi untuk mengemas pengetahuan yang tertangkap manah (mind) untuk menghimpun, menyebarkan, dan mewariskan pengetahuan. Bahasa juga menjadi wadah penyimpan informasi, dan ia berkembang secara simbiosis dengan budaya dan keberlangsungan kehidupan. Perlu dikemukakan di sini bahwa fungsi utama bahasa manusia bukanlah untuk komunikasi saja, melainkan untuk simbolisasi (Piaget, 1963). Simbol adalah representasi kulltural dan ekologis dari realitas; jadi selalu sesuai dengan konteks orang, waktu, dan tempat, dalam hubungannya dengan manah (mind), pikiran, cara berpikir dan bertindak.
Sebagai pewaris dan pengguna bahasa, manusia juga dikenal sebagai makhluk naratif, yang suka berkisah, berceritera, dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia. Karena bahasa pada dasarnya adalah lambang untuk merepresentasikan apa pun, maka manusia menggunakan bahasa untuk berpikir, berkisah, bercakap, berceritera, umumnya secara verbal, memakai kata-kata tentang apa pun yang dipikirkannya, dialaminya (optik, auditoris, taktil, olfaktoris, kecap), dan dirasakannya. Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi mengenai apa yang dibayangkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu apa pun. Manusia bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Tetapi dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi beradab (Gusdorf, 1965: 3–10).
Selain bahasa, juga terdapat sastra yang dapat berbentuk lisan dan tulisan. Orang berceritera secara lisan sehari-hari, dan ketika ditekankan pada nilai keindahan berceritera, lahirlah sastra. Bahasa tulisan mulai dikenal manusia kira-kira 35.000 tahun yang lalu dalam bentuk coretan dan lukisan di gua-gua (Corballis, 1991: 45). Coretan dan lukisan itu mungkin digunakan untuk membuat catatan atau meninggalkan pesan kepada orang lain; dan bagi peneliti masa kini coretan atau lukisan itu dapat digunakan untuk merekonstruksi kesadaran manusia akan dirinya, sejarahnya, dan lingkungannya (Ong, 1982: 15). Bahasa dan sastra adalah warisan sosial, kultural, dan spiritual yang khas dan tak tergantikan.
Tradisi Lisan adalah roh kehidupan manusia. Semua pengalaman hidup manusia dipatri dalam tradisi lisan mulai dari pangkuan ibu, ayah, nenek, kakek, maupun pengasuh yang lain. Seorang anak mengenal dunia melalui tradisi lisan. Sebagai pengamatdan peneliti bahasa saya selalu terbawa oleh dahsyatnya memori manusia sebagaimana dicatat di dalam bahasanya. Melalui memori kita mengingat masa lampau: semua yang kita alami dan pelajari tentang dunia; dan dengan memori kita membuat proyeksi ke masa depan. Dalam sejarah perkembangan makhluk manusia kita mengalami tiga tahap penting dalam kehidupan. Pertama, kita berevolusi karena adanya dan mengikuti DNA (deoxyribonuclieic acid), suatu ensiklopedia yang memuat informasi lengkap tentang wujud fisik genetis manusia; kedua, munculnya sistem saraf dalam otak manusia, terutama neo-korteks, yang menyimpan memori manusia sejak lahir sampai wafatnya; dan ketiga, munculnya bahasa, yang menjadi alat untuk mencatat seluruh pengetahuan manusia dan alat untuk mengkomunikasikannya dengan manusia lain dan mewariskan pengetahuan itu kepada keturunannya (Periksa Midner, Vesna. 2008. The Cognitive Neuroscience of Human Communication).
Ketiga hal di atas telah menjadi perhatian para ahli genetika, ahli neurologi, dan ahli bahasa. Dan, kita semua dibuat tertegun dengan pengetahuan itu karena di situ ditunjukkan betapa Maha Besarnya, betapa Maha Kasihnya Tuhan yang telah menciptakan manusia, yang sungguh-sungguh berbeda dengan makhluk lain, termasuk kerabat paling dekat kita secara evolusi, yaitu primata atau kera–yang menurut penelitian ahli genetika, 98 persen sama dengan kita secara fisik. Kita bersyukur bahwa ada perbedaan sekitar dua persen. Perbedaan antara “langit dan bumi”, dua persen itu adalah bahasa dan budaya.
Yang saya sebutkan di atas adalah pengantar bagi kuliah umum yang akan diberikan oleh Ibu Profesor Doktor Pudentia. Kami sangat berbangga dengan karya dan nama Anda di bidang pengkajian tentang tradisi lisan dan kami siap belajar dari pengalaman Anda, dan di masa yang akan datang bekerja sama untuk mengembangkan studi tentang tradisi lisan di Universitas Flores ini. Kami sadari betapa pentingnya tradisi lisan karena ia mengkaji dan berhubungan langsung dengan serat, fabric, yang merupakan dasar untuk membangun wujud “tenunan” text, kehidupan manusia. Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalmnya atas kesediaan Ibu mengunjungi Universitas Flores dan memberikan kuliah umum untuk menambah wawasan kami tentang tradisi lisan. (*)



[1]  Disari dari Naskah Pidato Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.,Rektor Universitas Flores, Ende yang Disampaikan pada Acara Pelantikan Pengurus Asosiasi Tradisi Lisan Flores Ende, pada Selasa, 22 Maret 2016, di Auditorium H.J.Gadi Djou, Jl. Sam Ratulangi Ende, Artikel ini telah dimuat pada HU Flores Pos, 2 April 2016.