Halaman

Minggu, 18 September 2022

Memanjakan Mata, 16 September 2022

Indonesia merupakan negara agraris. Banyak penduduk yang menyandarkan nafkahnya dalam bidang pertanian. Lahan dikelola dan ditanami dengan berbagai jenis tanaman padi, jagung, dan tanaman holtikultura lainnya. Mungkin karena alasan inilah, masyarakat kita harus makan nasi. Kendati sudah makan makanan pokok lain, semisal ubi-ubian, pisang, dan sejenisnya. Dengan lahan yang cukup luas, para petani berusaha untuk mengelolanya secara tradisonal, maupun modern. Pengolahan lahan yang demikian bertujuan untuk mendatangkan hasil yang sebanyak-banyaknya. Tentu bukan demi kebutuhan para petani sendiri, melainkan untuk kebutuhan masyarakat atau para konsumen beras.

Penguatan kapasitas para petani di tengah anomali cuaca dan paceklik la nina yang tak terdeteksi secara pasti merupakan tanggung jawa pemerintah melalui dinas teknis pertanian. Hal ini penting agar jaminan keberlanjutan atau ketersediaan pangan terus terjaga. Oleh karena itu, pelatihan dan pendampingan kapasitas bertani dan jaminan ketersediaan peralatan pertanian terus diperbaharui untuk meningkatkan produksi petani. Jika sistem akses seperti ini terus dilaksanakan sesuai target, maka ketersediaan pangan tetap terjaga dan kesejahteraan para petani pun terjaga atau meningkat.

Selain pengelolaan areal sawah secara berkelanjutan, para petani pun didorong untuk menanam tanaman-tanaman holtikultura di areal lain sebagai bahan mentah makanan maupun obat-obatan. Di samping menjaga ketersediaan pangan lokal.

Lanskap Persawahan Welamosa

Lanskap persawahan yang memanjakan mata. Kerja keras para petani sawah di Welamosa Kabupaten Ende. Dan, kita menikmati kerja keras mereka melalui ketersediaan pangan dan aneka bahan pangan lainnya. Jika mereka lalai, maka bisa dipastikan masayarakat akan mengalami kelaparan. Infrastruktur layanan ke tempat-tempat vital ini, termasuk sarana-sarana pertanian menunjang keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan perlu mendapat perhatian serius. (*)

Jumat, 02 September 2022

Manusia sebagai Makhluk Naratif


Manusia itu makhluk naratif. Makhluk pencerita: pembuat dan pewaris cerita. Warisan adiluhung yang tak terwariskan secara baik. Justru kita ada hari ini karena ada cerita hari kemarin. Demikian Prof. Stephanus Djawanai,M.A., suatu ketika dalam omong-omong di ruang kerjanya. Dan, hari kemarin di akhir Agustus 2018, cerita kala itu terngiang kembali ketika mendengar berita kepulangan keharibaan Sang Khalik, Prof. Steph, pakar linguistik Indonesia asal Bajawa Flores yang rendah hati itu.

Kekuatan cerita terletak pada bagaimana kita menenunnya ke dalam rangkaian bahasa sehari-hari agar mudah diingat dan diwarisi.


Bahasa Adalah Rentetan Cerita

Menurutnya, bahasa itu sendiri adalah sebuah rentetan cerita atau tutur yang merupakan pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia yang digunakan dalam berpikir, berkisah, bercakap tentang dirinya juga tentang apapun di sekitarnya. Bercerita akan melahirkan nilai keindahan spiritual bagi peradaban manusia.

Profesor yang sangat concern dengan budaya, terutama pada upaya membangun pendidikan seturut ekologi manah (mind). Manah menjadi penting agar para lulusan atau generasi kita dapat mengatur pola pikir, pola pikir menguasai perasaan, perasaan menentukan sikap hidup, sikap hidup memandu perilaku, perilaku membangun watak kepribadian dan watak kepribadian menentukan jalan hidup demi membangun bangsa.

Cerita tentang hidupmu dan orang-orang di sekitarmu pun telah sampai di tapal batas. Tuhan telah memanggilmu pulang sebagai "Pencerita" bersama barisan para Kudus di Surga.

Selamat jalan Prof. Steph. Amal ibadahmu mendapat tempat yang layak di Sisi Tuhan. (*)