Halaman

Jumat, 25 Oktober 2024

Rakyat

 

Judul tulisan ini saya ambil persis dari judul puisi yang ditulis oleh penyair Hartojo Andangdjaja yang berjudul Rakyat. Saya kutip penggalan puisi bait pertama tersebut. Rakyat ialah kita/jutaan tangan yang mengayun dalam kerja/di bumi di tanah tercinta/. Puisi Rakyat terhimpun dalam antologi puisi Buku Kita (1973). Hartojo Andangdjaja lahir pada 4 Juli 1933. Beliau seorang penyair yang juga berprofesi sebagai guru. Pada bagian awal puisi Rakyat, penyair Hartojo menulis /Hadiah hari krida/Buat siswa-siswa SMA Negeri/Simpang Empat Pasaman/. Melalui catatan awal tersebut, dipastikan puisi ini didedikasikan untuk para siswa SMA Negeri Pasaman Sumatera Barat, tempat penyair mengabdi sebagai guru pegawai negeri. Secara eksplisit kita pun tahu bahwa adalah keniscayaan peran seorang guru untuk mendidik para siswa secara khusus menyampaikan pesan dan nilai-nilai kehidupan bagi para siswanya.

Namun, apakah kehadiran dan pesan puisi tersebut hanya untuk para siswa yang disebutkan secara eksplisit dalam puisi tersebut? Atau pesan itu juga mendarat pada setiap kita yang bernama rakyat. Ya, rakyat. Rakyat adalah kita, tandas Hartojo. Tentu saja ia, karena puisi rakyat ditulis dalam bahasa rakyat yang jernih dan sederhana. Menjunam pada kedalaman makna dan suasana batin dan realitas hidup kerakyatan. Dicipta beberapa dasawarsa lalu, tetapi tentu saja pesanya masih sangat relevan bagi kehidupan kita saat ini. Penyair percaya pada sikapnya bahwa puisi yang baik justru sampai ke pembacaan pembaca dan mudah ditangkap maknanya, oleh orang awam sekalipun, termasuk oleh kita rakyat kebanyakan. Sebab, Hartojo sang penyair tahu bahwa dalam skala berbangsa (baca juga daerah) kita: rakyat merupakan sumber kedaulatan dan penentu bagi tegak dan berdirinya negara. Untuk itulah, rakyat menjadi elemen strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Puisi Rakyat saya kutip di sini untuk semacam memberikan apresiasi dan penghargaan bagi jubelan wakil rakyat di parlemen-parlemen kita dari pusat sampai daerah yang baru saja dilantik dan diambil sumpah mewakili rakyat kebanyakan. Kutipan ini pula sekaligus merupakan awasan agar para wakil rakyat terhormat tidak terlena dan jatuh dalam hedonisme dan tawaran mendadak. Apalagi, mereka telah dan sedang menempati gedung-gedung terhormat. Duduk di kursi-kursi empuk. Menikmati fasilitas-fasilitas mewah. Aduhai, bahkan mungkin dengan make up dan dandanan gemerlap. Digaji dengan hasil uang rakyat. Berpuluh-puluh juta. Ya, mereka prioritas, karena tugas mulia berpikir dan bertindak untuk rakyat. Kita mengucapkan selamat datang kepada mereka.

Jangan lupa rakyat yang telah memilih dan mengutusmu ke tempat terhormat itu. Pakailah amanat tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Bukan saja di daerah pemilihanmu. Bukan juga untuk kroni-kronimu dan keluargamu semata. Jangan pula hanya untuk para tim suksesmu yang ingin selalu di depan. Namun, untuk semua kita: rakyat. Rakyat adalah kita. Bukan tentang asal-usulmu saja.

Rakyat yang dijanjikan program sewaktu kampanye. Mereka dengan peluh keringat melawan gelombang pasang, mendayung sampan untuk istri dan anak. Mereka kaum petani mencecap daki yang menetes disergap matahari siang. Para buru tukang yang terus setia menyeruput bau bahan bangunan tanpa jedah. Rintihan anak sekolah yang sepatunya aus setelah bolak-balik berkilo mengenyam nasib pendidikan masa depan. Dan, masih banyak lagi kisah keseharian rakyat. Mereka butuh keadilan sosial agar hidup, terutama masa depan anak cucu dapat lebih baik.

Dalam konteks serupa, penyair Flores John Dami Mukese dalam bagian puisi Doa Kaum Jelata yang ditulis di Ende tahun 1983 menulis begini: /Saudaraku, kuharap kau dengar doaku malam tadi/Bukan agar kau ditimbuni harta bergudang/Atau dibanjiri rupiah berjuta/Karna hidup bukanlah timbunan barang/Tapi cumalah himpunan amal/Juga tidak gunungan uang/Tapi niscaya bukit perjuangan/ Saudaraku, kuharap kau dengar doaku malam tadi/Dan tahu kalau ada seseorang berdoa untukmu/Bukan Malaikat, bukan orang kudus/Bukan raja, bukan pula menteri/Tapi aku, sesamamu jelata/Yang tahu persis nuansa derita.

Penggalan puisi John Dami Mukese adalah juga merupakan doa bagi para wakil rakyat kita. Hari-hari ini, kita rakyat yang sama yang punya kedaulatan sedang menghadapi masa kampanye pemilihan kepala daerah langsung serentak. Pilihan kita sangat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama pada masa yang akan datang. Kita pun percaya mereka akan mendengar doa dan seruan penyair Dami Mukese, serta doa dan harapan rakyat. Rakyat dan Doa Kaum Jelata senafas dengan harapan kita bersama. (*)

Lokakarya Bahasa Daerah di Dalam Kelas

 

Bertempat di Aula FKIP Universitas Flores, Jalan Sam Ratulangi Ende dilaksanakan Lokakarya dengan topik “Bahasa Daerah di Dalam Kelas (Making Space for Local Languages in Our Classroom)”. Lokakarya menghadirkan Grace B. Wivell, PhD Candidate, Stony Brook University. Peserta lokakarya terdiri dari para guru SD, SMP, SMA, sekabupaten Ende. Lokakarya ini juga dihadiri oleh para dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores Ende. 


 

Mewakili Dekan FKIP Universitas Flores, Wakil Dekan Bidang Akademik  Yasinta Embu Ika, S.Pd., M.Pd., menyampaikan bahwa bahasa daerah tidak sekadar dipahami sebagai alat komunikasi masyarakat etnik, melainkan menjadi cerminan kekayaan budaya dan kearifan lokal. “Bahasa daerah kita tidak hanya sebagai alat komunikasi saja, melainkan cerminan budaya dan kearifan lokal,” tegas Sinta. Untuk itulah, kita juga anak-anak kita harus merasa bangga atas Bahasa daerah atau Bahasa ibu mereka.

Dalam penyampaian awal lokakarya, Grace yang sedang melakukan riset disertasi tentang A Morphosyntactic Grammar of Lio menegaskan bahwa tujuan dilaksanakan lokakarya ini adalah untuk melestarikan budaya dan pengetahuan lokal, terutama membincangkan upaya melestarikan bahasa daerah yang ada di setiap etnik. Menyitir data Kongres Bahasa Indonesia 2023, menunjukkan bahwa terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia, yang antara lain 90% di wilayah Indonesia timur, 428 di Papua, 80 di Maluku, 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di Sulawesi. Untuk itulah, menurutnya perlu ada upaya menciptakan kolaborasi antara sekolah dan masyarakat setempat. Setidaknya, generasi muda dapat berbahasa daerah dengan baik.

Grace memulai pemaparannya dengan mengulas perihal bilingualisme. Topik yang yang dari perspektif sosiolinguistik menandakan kemampuan seseorang yang menggunakan dua bahasa. Istilah ini sering disebut kedwibahasaan atau dwibahasa. Lanjutnya, fenomena ini terjadi karena adanya multilingualisme. “Seseorang memiliki kemampuan untuk menggunakan dua bahasa dalam kehidupan merupakan fakta masyarakat yang multilingualisme”, tandas Grace yang fasih berbahasa Lio Flores itu.

Setelah menyampaikan topik bilingualisme, berturut-turut Grace yang pernah mengajar Bahasa Inggris di Malang, Gorontalo Indonesia, dan New York tersebut menyajikan topik lain tentang jenis program pendidikan dwi bahasa, bahasa daerah dan pendidikan dwi bahasa, situasi di Indonesia, dan contoh proyek yang membawa bahasa daerah ke dalam kelas.

Lokakarya diakhiri dengan sesi share pengalaman mengajar para peserta. Mereka punya komitmen kuat untuk terus mengupayakan revitalisasi bahasa daerah di dalam kelas dengan maksud agar bahasa daerah yang adalah identitas etnik tidak punah. “Di sekolah saya sering menerjemahkan materi-materi tertentu ke dalam bahasa daerah setempat agar materi dimaksud lebih jelas untuk dipahami oleh siswa. Apalagi para siswa di kampung yang masih kental menggunakan bahasa daerah”, tutur Romana Mariani Ere, guru dari SDK Wolofeo Ende. 

Lokakarya sangat bermanfaat bagi para peserta. Manfaat yang sama juga diperoleh oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores yang sekaligus dipercayakan sebagai panitya lokakarya. “Lokakarya ini sangat bermanfaat bagi kami yang sebentar lagi akan menamatkan studi di kampus ini”, ungkap Muzia Devi, mahasiswa semester akhir Program Studi PBSI Universitas Flores.