Judul tulisan ini saya ambil persis dari judul puisi yang ditulis oleh penyair Hartojo Andangdjaja yang berjudul Rakyat. Saya kutip penggalan puisi bait pertama tersebut. Rakyat ialah kita/jutaan tangan yang mengayun dalam kerja/di bumi di tanah tercinta/. Puisi Rakyat terhimpun dalam antologi puisi Buku Kita (1973). Hartojo Andangdjaja lahir pada 4 Juli 1933. Beliau seorang penyair yang juga berprofesi sebagai guru. Pada bagian awal puisi Rakyat, penyair Hartojo menulis /Hadiah hari krida/Buat siswa-siswa SMA Negeri/Simpang Empat Pasaman/. Melalui catatan awal tersebut, dipastikan puisi ini didedikasikan untuk para siswa SMA Negeri Pasaman Sumatera Barat, tempat penyair mengabdi sebagai guru pegawai negeri. Secara eksplisit kita pun tahu bahwa adalah keniscayaan peran seorang guru untuk mendidik para siswa secara khusus menyampaikan pesan dan nilai-nilai kehidupan bagi para siswanya.
Namun, apakah kehadiran dan pesan puisi tersebut hanya untuk para siswa yang disebutkan secara eksplisit dalam puisi tersebut? Atau pesan itu juga mendarat pada setiap kita yang bernama rakyat. Ya, rakyat. Rakyat adalah kita, tandas Hartojo. Tentu saja ia, karena puisi rakyat ditulis dalam bahasa rakyat yang jernih dan sederhana. Menjunam pada kedalaman makna dan suasana batin dan realitas hidup kerakyatan. Dicipta beberapa dasawarsa lalu, tetapi tentu saja pesanya masih sangat relevan bagi kehidupan kita saat ini. Penyair percaya pada sikapnya bahwa puisi yang baik justru sampai ke pembacaan pembaca dan mudah ditangkap maknanya, oleh orang awam sekalipun, termasuk oleh kita rakyat kebanyakan. Sebab, Hartojo sang penyair tahu bahwa dalam skala berbangsa (baca juga daerah) kita: rakyat merupakan sumber kedaulatan dan penentu bagi tegak dan berdirinya negara. Untuk itulah, rakyat menjadi elemen strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Puisi Rakyat saya kutip di sini untuk semacam memberikan apresiasi dan penghargaan bagi jubelan wakil rakyat di parlemen-parlemen kita dari pusat sampai daerah yang baru saja dilantik dan diambil sumpah mewakili rakyat kebanyakan. Kutipan ini pula sekaligus merupakan awasan agar para wakil rakyat terhormat tidak terlena dan jatuh dalam hedonisme dan tawaran mendadak. Apalagi, mereka telah dan sedang menempati gedung-gedung terhormat. Duduk di kursi-kursi empuk. Menikmati fasilitas-fasilitas mewah. Aduhai, bahkan mungkin dengan make up dan dandanan gemerlap. Digaji dengan hasil uang rakyat. Berpuluh-puluh juta. Ya, mereka prioritas, karena tugas mulia berpikir dan bertindak untuk rakyat. Kita mengucapkan selamat datang kepada mereka.
Jangan lupa rakyat yang telah memilih dan mengutusmu ke tempat terhormat itu. Pakailah amanat tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Bukan saja di daerah pemilihanmu. Bukan juga untuk kroni-kronimu dan keluargamu semata. Jangan pula hanya untuk para tim suksesmu yang ingin selalu di depan. Namun, untuk semua kita: rakyat. Rakyat adalah kita. Bukan tentang asal-usulmu saja.
Rakyat yang dijanjikan program sewaktu kampanye. Mereka dengan peluh keringat melawan gelombang pasang, mendayung sampan untuk istri dan anak. Mereka kaum petani mencecap daki yang menetes disergap matahari siang. Para buru tukang yang terus setia menyeruput bau bahan bangunan tanpa jedah. Rintihan anak sekolah yang sepatunya aus setelah bolak-balik berkilo mengenyam nasib pendidikan masa depan. Dan, masih banyak lagi kisah keseharian rakyat. Mereka butuh keadilan sosial agar hidup, terutama masa depan anak cucu dapat lebih baik.
Dalam konteks serupa, penyair Flores John Dami Mukese dalam bagian puisi Doa Kaum Jelata yang ditulis di Ende tahun 1983 menulis begini: /Saudaraku, kuharap kau dengar doaku malam tadi/Bukan agar kau ditimbuni harta bergudang/Atau dibanjiri rupiah berjuta/Karna hidup bukanlah timbunan barang/Tapi cumalah himpunan amal/Juga tidak gunungan uang/Tapi niscaya bukit perjuangan/ Saudaraku, kuharap kau dengar doaku malam tadi/Dan tahu kalau ada seseorang berdoa untukmu/Bukan Malaikat, bukan orang kudus/Bukan raja, bukan pula menteri/Tapi aku, sesamamu jelata/Yang tahu persis nuansa derita.
Penggalan puisi John Dami Mukese adalah juga merupakan doa bagi para wakil rakyat kita. Hari-hari ini, kita rakyat yang sama yang punya kedaulatan sedang menghadapi masa kampanye pemilihan kepala daerah langsung serentak. Pilihan kita sangat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama pada masa yang akan datang. Kita pun percaya mereka akan mendengar doa dan seruan penyair Dami Mukese, serta doa dan harapan rakyat. Rakyat dan Doa Kaum Jelata senafas dengan harapan kita bersama. (*)