Halaman

Jumat, 25 Oktober 2024

Lokakarya Bahasa Daerah di Dalam Kelas

 

Bertempat di Aula FKIP Universitas Flores, Jalan Sam Ratulangi Ende dilaksanakan Lokakarya dengan topik “Bahasa Daerah di Dalam Kelas (Making Space for Local Languages in Our Classroom)”. Lokakarya menghadirkan Grace B. Wivell, PhD Candidate, Stony Brook University. Peserta lokakarya terdiri dari para guru SD, SMP, SMA, sekabupaten Ende. Lokakarya ini juga dihadiri oleh para dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores Ende. 


 

Mewakili Dekan FKIP Universitas Flores, Wakil Dekan Bidang Akademik  Yasinta Embu Ika, S.Pd., M.Pd., menyampaikan bahwa bahasa daerah tidak sekadar dipahami sebagai alat komunikasi masyarakat etnik, melainkan menjadi cerminan kekayaan budaya dan kearifan lokal. “Bahasa daerah kita tidak hanya sebagai alat komunikasi saja, melainkan cerminan budaya dan kearifan lokal,” tegas Sinta. Untuk itulah, kita juga anak-anak kita harus merasa bangga atas Bahasa daerah atau Bahasa ibu mereka.

Dalam penyampaian awal lokakarya, Grace yang sedang melakukan riset disertasi tentang A Morphosyntactic Grammar of Lio menegaskan bahwa tujuan dilaksanakan lokakarya ini adalah untuk melestarikan budaya dan pengetahuan lokal, terutama membincangkan upaya melestarikan bahasa daerah yang ada di setiap etnik. Menyitir data Kongres Bahasa Indonesia 2023, menunjukkan bahwa terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia, yang antara lain 90% di wilayah Indonesia timur, 428 di Papua, 80 di Maluku, 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di Sulawesi. Untuk itulah, menurutnya perlu ada upaya menciptakan kolaborasi antara sekolah dan masyarakat setempat. Setidaknya, generasi muda dapat berbahasa daerah dengan baik.

Grace memulai pemaparannya dengan mengulas perihal bilingualisme. Topik yang yang dari perspektif sosiolinguistik menandakan kemampuan seseorang yang menggunakan dua bahasa. Istilah ini sering disebut kedwibahasaan atau dwibahasa. Lanjutnya, fenomena ini terjadi karena adanya multilingualisme. “Seseorang memiliki kemampuan untuk menggunakan dua bahasa dalam kehidupan merupakan fakta masyarakat yang multilingualisme”, tandas Grace yang fasih berbahasa Lio Flores itu.

Setelah menyampaikan topik bilingualisme, berturut-turut Grace yang pernah mengajar Bahasa Inggris di Malang, Gorontalo Indonesia, dan New York tersebut menyajikan topik lain tentang jenis program pendidikan dwi bahasa, bahasa daerah dan pendidikan dwi bahasa, situasi di Indonesia, dan contoh proyek yang membawa bahasa daerah ke dalam kelas.

Lokakarya diakhiri dengan sesi share pengalaman mengajar para peserta. Mereka punya komitmen kuat untuk terus mengupayakan revitalisasi bahasa daerah di dalam kelas dengan maksud agar bahasa daerah yang adalah identitas etnik tidak punah. “Di sekolah saya sering menerjemahkan materi-materi tertentu ke dalam bahasa daerah setempat agar materi dimaksud lebih jelas untuk dipahami oleh siswa. Apalagi para siswa di kampung yang masih kental menggunakan bahasa daerah”, tutur Romana Mariani Ere, guru dari SDK Wolofeo Ende. 

Lokakarya sangat bermanfaat bagi para peserta. Manfaat yang sama juga diperoleh oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores yang sekaligus dipercayakan sebagai panitya lokakarya. “Lokakarya ini sangat bermanfaat bagi kami yang sebentar lagi akan menamatkan studi di kampus ini”, ungkap Muzia Devi, mahasiswa semester akhir Program Studi PBSI Universitas Flores.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar