Judul Buku : Ambon Manise
Nama Pengarang : Denny Tulaseket Rizky Umahuk Rudy Rahabea Stefy Thenu Weldemina Yudit Tiwery
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia
Tahun Terbit : Agustus 2018
Nomor ISBN : 978-602-5896-16-3
Tebal Buku : 109 halaman
.....
Buku Puisi Esai Ambon Manise diawali dengan sebuah negasi tentang masa lalu Ambon
yang oleh kaum kolonial (terutama Belanda) menjadikannya sebagai incaran untuk
ekspansi ke negeri ini. Dendam sejarah akan keterkoyakan masyarakat Negeri
Angin Mamiri itu telah menjadi pelajaran pahit dan berharga bagi masyarakat
Ambon buat menenun dan merajut cita-cita dan harapan hidup baru yang bahagia
penuh persaudaraan. Sambil mencoba meraih asa, tiba-tiba rautan kebersamaan itu
pecah dalam sebuah konflik horizontal antarkomunitas Maluku. Saling sangka dan
saling serang, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan korban material. Dengan kebijaksanaan
dan pisau bedah kearifan lokal, Pela
Gandong, disertai titian formal Perjanjian Malino II, konflik tiga tahunan
itupun teratasi, dan lenyap dari bumi Ambon.
Di tengah rayaan kegembiraan dalam
dasawarsa terakhir ini, harapan dan asa menjadikan Ambon Manise tetap harum semerbak bak semerbak rempah Maluku, Deny
Tulaseket, dalam puisi esainya “Jangan
Lagi Ambon Manise Terkoyak” mendaras harapan dalam bait-bait berikut ini.
//Ya,
jangan ada lagi konflik ledakan horisontal/Jangan pula kita rentan terhadap
potensi rusuh/Negeri ini plural,ayo antisipatif dalam membaca/dan menalar
suasana secara komprehensif/ jangan lagi ada disharmoni di antara elemen yang
ada/entah dalam skala individu maupun kelompok/kita syukuri anugerah negeri
multikultural ini/tinggalkan masa kelam dalam sejarah Ambon//.
Seorang Deny
Tulaseket memakai optik masa kini dalam menalar dimensi historisitas perjuangan bangsa Indonesia demi mereguk oase
kemerdekaan. Apabila tapak dan rekam jejak historisitas perjuangan kemerdekaan bangsa dibaca dalam
kerangka pandang kebangsaan bersama, maka segenap anak bangsa, siapapun, dan di
manapun dia berada, segenap daya dan perhatiannya akan dicurahkan untuk
kebaikan bersama atau demi kebaikan bangsa. Dengan demikian, perlu dibangun
ruang kesadaran bersama dalam aneka diskursus intelektual untuk memaknai
keperbedaan dalam semangat kekitaan bersama, sehingga,semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika dan spirit toleransi beragama senantiasa
diinternalisasi, diwariskan, dan
terus dihidupkan guna
mengantisipasi tragedi berdarah yang terjadi di berbagai tempat di Nusantara
tercinta ini.
…..
Pengarang kedua, Rizky Umahuk, mengajak
kita ke masa lalu. Semacam kilas balik keberadaan manusia Maluku (baca:
Indonesia) dalam bahasa Umahuk, katongyang
berarti kita semua(hlm. 29) sebagai bangsa. Melalui Maluku dalam Bayangan Nenek Luhu, Umahuk, melakar masa lalu melalui
jalan budaya. Nenek Luhu adalah sosok atau tokoh telah menjadi inspirator
merajut kebangsaan. Ia berasal dari negeri Pulau Seram dengan rajanya yang
terkenal Raja Gimalaha.
Jika ditelisik lebih dalam, tokoh iniadalah
tokoh migratoris dalam aneka cerita yang tersebar di seantero negeri ini. Proses penguatan ini perlu direkat
kuat-kuat saat
ini dan pada masa yang akan datang ketika kecenderungan diperhadapkan pada krisis-krisis dan
tantangan-tantangan terhadap bangsa, sesama, dan alam raya. Proses peradaban ini perlu diusahakan terus-menerus sehingga
secara kolektivitas anggota-anggota masyarakat perajut kebudayaan semakin
manusiawi dalam masyarakat untuk saling menghormati harkat dan martabat sebagai
manusia sehingga berguna bagi dirinya dan orang lain. Karena itu, masyarakat
berada dalam suatu rentang dan ruang
waktu peradaban yang humanis
untuk teguh berdiri dan berjalan di atas nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk.
Sebagai anggota masyarakat budaya kita bertanggung jawab membangun pribadi
keinsanan individu, dan memupuk kehalusan adab dan budi agar menjadi masyarakat
yang berperadaban dan berperilaku luhur sebagai anggota komunitas. Agar nilai-nilai
kristalisasi bangsa ini dapat berfaedah demi menempah hati yang keras menjadi
halus, tidak sopan menjadi sopan, tidak menghargai menjadi menghargai, buruk
menjadi baik, lembut dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memiliki perasaan,
kepekaan dan sensitivitas kemanusiaan yang tinggi, sehingga terhindar dari
tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil dan picik. Ajakan untuk mempertebal rasa kebangsaan, dan menghindari erosi kebangsaan
melalui jalan budaya, seperti disuarakan Umahuk berikut ini.
//Hidup
dalam kebersamaan yang teratur/dengan kehidupan persaudaraan begitu indah/tanpa
memandang latar belakang/ suku, agama, ras, dan golongan/ semoga segera tercipta
lagi/ Maya merindukan kedamaian Maluku/ belajar kearifan lokal dongeng dan
legenda/menangkap bayang-bayang kisah Nenek Luhu/ belajar kebersamaan dan
kesetiakawanan/ membangun masa depan nan gemilang//.
Interpretasi semantis
menyodok perhatian seorang Umahuk pada khazanah kebijaksanaan lokal. Disadari atau tidak, bangsa dengan aneka kekayaannya,
termasuk soal budaya harus dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal
sosial-kultural pembangunan bangsa. Budaya, tidak sekadar ergon, sebuah hasil perbuatan, melainkan
juga sebagai energia, kekuatan untuk
mencipta, tenaga yang aktif, dan dinamis.Dalam konteks ini, kebudayaan dipandang sebagai energia histories, motivasi yang telah
menghantar manusia bangsa
ini mengalami proses peradaban yang lebih modern.
Oleh karena itu, sebagai
masyarakat yang multietnik dan multilingual, kita atau setiap anggota masyarakatnya mesti hadir sebagai “rawi”
sekaligus “ragi”. Sebagai “rawi” penggembur ladang Indonesia yang luas dan
lapang. Merawi peradaban budaya dengan lurus dan ikhlas. Sebagai “ragi” merekat
relasi-relasi kemanusiaan secara adil, berimbang, serasi, dan merata antaretnik
dan guyub kultur.
…..
Di tengah peradaban sambil merayakan
kemajemukan bangsa dengan estetika dan keunikan yang plural, masih saja ada “kesangsian”
dalam setiap kita tentang benarkah kemajemukan tersebut menjadikan kita
bersatu. Dalam nada interogasi yang sangat eksplisit, seorang Rudy Rahabeat
mempertanyakan hal tersebut dalam puisinya berjudul Benarkah Katong Semua Basudara?
Rahabeat mungkin saja berkaca pada
situasi kebangsaan kita saat ini. Tidak dapat disangkal bahwa kerap meledak peristiwa-peristiwa
yang bernuansa destruktif akhir-akhir ini. Pengarang inipun menjadikan
pengamatan juga pengalaman sosiologisnya tentang rasa kebangsaannya tersebut
menjadi tesis dasar menarasi puisi ini. Lagi-lagi /”Benarkah katong semua basudara”?/ lahir dari sebuah kejujuran nan
ikhlas dan kebeningan nurani tentang realitas kita. Konflik-konflik horizontal
yang kian merangsek masuk pada sum-sum ikatan kebangsaan adalah musuh kita
bersama. Ada dikotomi genealogis kedaerahan dalam ucapan-ucapan verbal yang
teridentifikasi oleh Rahabeat sebagai pemicu bergejolaknya suhu persaudaraan.
Dalam bait /Jangan lagi tanya,“Anda dari
mana”?/ telah membuka ruang perbedaan antara satu anggota kelompok atau
anggota komunitas dengan komunitas lainnya. Ruang perbedaan inilah dimanfaatkan
oleh oknum bahkan kelompok untuk menegasikan yang satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, respons /”Benarlah kita bersaudara”/menjadi
respons dan ikhtiar meraut kembali visi kebangsaan. Menenun kerenggangan kemudian
merawat dan mempertebal rasa solidaritas kebersamaan di antara kita dalam
kerangka bernegara dan berbangsa. Puisi
ini hemat saya sedang mengajak kita untuk berhenti dan mengatakan “titik” pada
hal-hal yang mengarah pada perceraian relasi di antara kita. Dalam konteks
itulah, kitapun diajak masuk menuju lorong terang nur cahaya di negeri yang ramah kemanusiaan ini. Karena
rasa kebersamaan tidak saja dialami dalam keindahan kata-kata (hlm. 54),
melainkan melalui tindakan yang penuh suka cita.
…..
Stefy Thenu, pengarang keempat dalam
puisi esai yang berjudul Satu Darah,
Maluku memasukkan metafora tumbuhan pohon beringin atau dalam bahasa
setempat ahuneng di awal puisinya.
Metafora Beringin dalam puisi ini hemat saya dibaca dalam konteks Indonesia,
hendak menyimbolkan sebuah rumah besar atau rumah bersama Indonesia (hlm. 58),
tempat kita berteduh dan bernaung dengan aman dalam nuansa persaudaraan. Sebagaimana
Maluku yang disebut Thenu sebagai sebuah keindahan, maka Indonesia sebagai
rumah bersama juga adalah sebuah keindahan, estetika eksotis yang sangat
menakjubkan, sehingga menjadi buruan kaum kolonial.
Rakyat Maluku, bahu-membahu melawan
keegoan dan keserakahan penjajah. Dalam semangat kesetiakawanan dan solidaritas
yang tinggi untuk mengusir penjajah dari bumi yang kaya raya ini. Ibarat
beringin, rakyat Maluku tampil penuh sigap, kekar, maju pantang menyerah
membela tanah tumpah darah, yang berdampak pada sebagian dari mereka, kira-kira
12.500 orang harus dibuang ke Belanda pada tahun 1951 (hlm. 61). Semangat yang
berkobar-kobar sampai pada pertumpahan darah di Maluku, juga adalah
representasi perjuangan rakyat bangsa ini merebut kemerdekaan dari tangan
penjajah.
Menyadari kondisi perjuangan kala itu
yang mengorbankan jiwa dan harta, maka Thenu lagi-lagi memberi semacam
awasanatau peringatan bagi bangsa ini secara umum dalam baris-baris puisi
berikut ini.
//Darah/ bagi kami orang Maluku/bukan
lagi sekadar warna/ yang merah/ darah menjadi simbol persatuan// (hlm.65).
Peringatan
untuk tidak jatuh pada percekcokan sampai pada pertumpahan darah. Percekcokan
tidak saja dengan pihak luar atau bangsa luar, namun bisa muncul dalam bentuk
yang berbeda, karena musuh yang terbesar adalah dengan sesama bangsa sendiri. Untuk
itu, jangan ada curiga di antara sesama sebagai anak bangsa. Kita adalah
satu-kesatuan. Fakta telah menunjukkan bahwa bangsa kita adalah sebuah bangsa yang
plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya yang menjunjung tinggi toleransi.
…..
Pengarang kelima, Weldemina Yudit
Tiwery dalam puisinya yang berjudul Natal
1999, Curahan Hati Gadis Kayeli. Tiwery menarasikan dengan sangat lancar
dan detail tentang peristiwa menjelang Natal 1999 di Kayeli. Dalam suasana
mempersiapkan diri dan batin menyongsong pesta rahmat kelahiran Yesus Mesias
Sang Raja Damai, beredar isu tentang nanti terjadi konflik. Sontak jemaat
menjadi kacau balau. Hiruk pikuk mencari persembunyian. Konflik horizontal itupun
pecah. Warga tercerai berai. Apakah kita sekarang ini menghendaki konflik-konflik
serupa terjadi lagi? Tentu dengan nada lantang kita mengatakan tidak. Atau
“titik” untuk konflik yang demikian.
Kisah getir pahit dan merisaukan ini
bagai mimpi, namun benar adanya. Ia telah berlalu. Dalam nada dan birama yang
sama, sekali lagi Tiwery mengajak kita sebagai bangsa untuk “menenggelamkan”
kisah getir ketika itu, serentak membangun “mimpi baru” (hlm.89), membangun
“kekitaan” kolektif sebagai sebagai saudara dan bangsa. Karena kita yakini
bahwa perbedaan di antara kita dalam bangsa ini sesungguhnya merupakan detail
kekayaan yang perlu digembur demi menambah semarak kebangsaan.
Akhirnya, jalan panjang esai ini menghantar kita tiba pada
kesimpulan bahwa secara literer Indonesia merupakan sebuah teks yang sangat
luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun
sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya
sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri.(*)
[1] Resensi ini
diikutsertakan dalam “Lomba Meresensi E-Book Puisi Esai Indonesia” pada Oktober
2018. Kirim ke Panitya Lomba, Selasa, 23 Oktober 2018. Saya meresensi E-Book
Esai dengan Judul Ambon Manise yang
ditulis oleh Deny Tulaseket, dkk.