Halaman

Rabu, 03 April 2019

Membaca Indonesia dalam “Ambon Manise”

Judul Buku                      : Ambon Manise
Nama Pengarang             : Denny Tulaseket  Rizky Umahuk                                                Rudy Rahabea      Stefy Thenu                                                      Weldemina Yudit Tiwery
Penerbit                           : Cerah Budaya Indonesia
Tahun Terbit                    : Agustus 2018
Nomor ISBN                   : 978-602-5896-16-3
Tebal Buku                      : 109 halaman

.....
Buku Puisi Esai Ambon Manise diawali dengan sebuah negasi tentang masa lalu Ambon yang oleh kaum kolonial (terutama Belanda) menjadikannya sebagai incaran untuk ekspansi ke negeri ini. Dendam sejarah akan keterkoyakan masyarakat Negeri Angin Mamiri itu telah menjadi pelajaran pahit dan berharga bagi masyarakat Ambon buat menenun dan merajut cita-cita dan harapan hidup baru yang bahagia penuh persaudaraan. Sambil mencoba meraih asa, tiba-tiba rautan kebersamaan itu pecah dalam sebuah konflik horizontal antarkomunitas Maluku. Saling sangka dan saling serang, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan korban material. Dengan kebijaksanaan dan pisau bedah kearifan lokal, Pela Gandong, disertai titian formal Perjanjian Malino II, konflik tiga tahunan itupun teratasi, dan lenyap dari bumi Ambon.
Di tengah rayaan kegembiraan dalam dasawarsa terakhir ini, harapan dan asa menjadikan Ambon Manise tetap harum semerbak bak semerbak rempah Maluku, Deny Tulaseket, dalam puisi esainya “Jangan Lagi Ambon Manise Terkoyak” mendaras harapan dalam bait-bait berikut ini.
//Ya, jangan ada lagi konflik ledakan horisontal/Jangan pula kita rentan terhadap potensi rusuh/Negeri ini plural,ayo antisipatif dalam membaca/dan menalar suasana secara komprehensif/ jangan lagi ada disharmoni di antara elemen yang ada/entah dalam skala individu maupun kelompok/kita syukuri anugerah negeri multikultural ini/tinggalkan masa kelam dalam sejarah Ambon//.
Seorang Deny Tulaseket memakai optik masa kini dalam menalar dimensi historisitas perjuangan bangsa Indonesia demi mereguk oase kemerdekaan. Apabila tapak dan rekam jejak historisitas perjuangan kemerdekaan bangsa dibaca dalam kerangka pandang kebangsaan bersama, maka segenap anak bangsa, siapapun, dan di manapun dia berada, segenap daya dan perhatiannya akan dicurahkan untuk kebaikan bersama atau demi kebaikan bangsa. Dengan demikian, perlu dibangun ruang kesadaran bersama dalam aneka diskursus intelektual untuk memaknai keperbedaan dalam semangat kekitaan bersama, sehingga,semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika dan spirit toleransi beragama senantiasa diinternalisasi, diwariskan, dan terus dihidupkan guna mengantisipasi tragedi berdarah yang terjadi di berbagai tempat di Nusantara tercinta ini.
…..
Pengarang kedua, Rizky Umahuk, mengajak kita ke masa lalu. Semacam kilas balik keberadaan manusia Maluku (baca: Indonesia) dalam bahasa Umahuk, katongyang berarti kita semua(hlm. 29) sebagai bangsa. Melalui Maluku dalam Bayangan Nenek Luhu, Umahuk, melakar masa lalu melalui jalan budaya. Nenek Luhu adalah sosok atau tokoh telah menjadi inspirator merajut kebangsaan. Ia berasal dari negeri Pulau Seram dengan rajanya yang terkenal Raja Gimalaha.
Jika ditelisik lebih dalam, tokoh iniadalah tokoh migratoris dalam aneka cerita yang tersebar di seantero negeri ini. Proses penguatan ini perlu direkat kuat-kuat saat ini dan pada masa yang akan datang ketika kecenderungan diperhadapkan pada krisis-krisis dan tantangan-tantangan terhadap bangsa, sesama, dan  alam raya. Proses peradaban ini perlu diusahakan terus-menerus sehingga secara kolektivitas anggota-anggota masyarakat perajut kebudayaan semakin manusiawi dalam masyarakat untuk saling menghormati harkat dan martabat sebagai manusia sehingga berguna bagi dirinya dan orang lain. Karena itu, masyarakat berada dalam suatu rentang dan ruang waktu peradaban yang humanis untuk teguh berdiri dan berjalan di atas nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk.
Sebagai anggota masyarakat budaya kita bertanggung jawab membangun pribadi keinsanan individu, dan memupuk kehalusan adab dan budi agar menjadi masyarakat yang berperadaban dan berperilaku luhur sebagai anggota komunitas. Agar nilai-nilai kristalisasi bangsa ini dapat berfaedah demi menempah hati yang keras menjadi halus, tidak sopan menjadi sopan, tidak menghargai menjadi menghargai, buruk menjadi baik, lembut dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memiliki perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaan yang tinggi, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil dan picik. Ajakan untuk mempertebal rasa kebangsaan, dan menghindari erosi kebangsaan melalui jalan budaya, seperti disuarakan Umahuk berikut ini.
//Hidup dalam kebersamaan yang teratur/dengan kehidupan persaudaraan begitu indah/tanpa memandang latar belakang/ suku, agama, ras, dan golongan/ semoga segera tercipta lagi/ Maya merindukan kedamaian Maluku/ belajar kearifan lokal dongeng dan legenda/menangkap bayang-bayang kisah Nenek Luhu/ belajar kebersamaan dan kesetiakawanan/ membangun masa depan nan gemilang//.
Interpretasi semantis menyodok perhatian seorang Umahuk pada khazanah kebijaksanaan lokal. Disadari atau tidak, bangsa dengan aneka kekayaannya, termasuk soal budaya harus dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural pembangunan bangsa. Budaya, tidak sekadar ergon, sebuah hasil perbuatan, melainkan juga sebagai energia, kekuatan untuk mencipta, tenaga yang aktif, dan dinamis.Dalam konteks ini, kebudayaan dipandang sebagai energia histories, motivasi yang telah menghantar manusia bangsa ini mengalami proses peradaban yang lebih modern.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, kita atau setiap anggota masyarakatnya mesti hadir sebagai “rawi” sekaligus “ragi”. Sebagai “rawi” penggembur ladang Indonesia yang luas dan lapang. Merawi peradaban budaya dengan lurus dan ikhlas. Sebagai “ragi” merekat relasi-relasi kemanusiaan secara adil, berimbang, serasi, dan merata antaretnik dan guyub kultur.
…..
Di tengah peradaban sambil merayakan kemajemukan bangsa dengan estetika dan keunikan yang plural, masih saja ada “kesangsian” dalam setiap kita tentang benarkah kemajemukan tersebut menjadikan kita bersatu. Dalam nada interogasi yang sangat eksplisit, seorang Rudy Rahabeat mempertanyakan hal tersebut dalam puisinya berjudul Benarkah Katong Semua Basudara?
Rahabeat mungkin saja berkaca pada situasi kebangsaan kita saat ini. Tidak dapat disangkal bahwa kerap meledak peristiwa-peristiwa yang bernuansa destruktif akhir-akhir ini. Pengarang inipun menjadikan pengamatan juga pengalaman sosiologisnya tentang rasa kebangsaannya tersebut menjadi tesis dasar menarasi puisi ini. Lagi-lagi /”Benarkah katong semua basudara”?/ lahir dari sebuah kejujuran nan ikhlas dan kebeningan nurani tentang realitas kita. Konflik-konflik horizontal yang kian merangsek masuk pada sum-sum ikatan kebangsaan adalah musuh kita bersama. Ada dikotomi genealogis kedaerahan dalam ucapan-ucapan verbal yang teridentifikasi oleh Rahabeat sebagai pemicu bergejolaknya suhu persaudaraan. Dalam bait /Jangan lagi tanya,“Anda dari mana”?/  telah membuka ruang perbedaan antara satu anggota kelompok atau anggota komunitas dengan komunitas lainnya. Ruang perbedaan inilah dimanfaatkan oleh oknum bahkan kelompok untuk menegasikan yang satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, respons /”Benarlah kita bersaudara”/menjadi respons dan ikhtiar meraut kembali visi kebangsaan. Menenun kerenggangan kemudian merawat dan mempertebal rasa solidaritas kebersamaan di antara kita dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Puisi ini hemat saya sedang mengajak kita untuk berhenti dan mengatakan “titik” pada hal-hal yang mengarah pada perceraian relasi di antara kita. Dalam konteks itulah, kitapun diajak masuk menuju lorong terang nur cahaya di negeri yang ramah kemanusiaan ini. Karena rasa kebersamaan tidak saja dialami dalam keindahan kata-kata (hlm. 54), melainkan melalui tindakan yang penuh suka cita.
…..
Stefy Thenu, pengarang keempat dalam puisi esai yang berjudul Satu Darah, Maluku memasukkan metafora tumbuhan pohon beringin atau dalam bahasa setempat ahuneng di awal puisinya. Metafora Beringin dalam puisi ini hemat saya dibaca dalam konteks Indonesia, hendak menyimbolkan sebuah rumah besar atau rumah bersama Indonesia (hlm. 58), tempat kita berteduh dan bernaung dengan aman dalam nuansa persaudaraan. Sebagaimana Maluku yang disebut Thenu sebagai sebuah keindahan, maka Indonesia sebagai rumah bersama juga adalah sebuah keindahan, estetika eksotis yang sangat menakjubkan, sehingga menjadi buruan kaum kolonial.
Rakyat Maluku, bahu-membahu melawan keegoan dan keserakahan penjajah. Dalam semangat kesetiakawanan dan solidaritas yang tinggi untuk mengusir penjajah dari bumi yang kaya raya ini. Ibarat beringin, rakyat Maluku tampil penuh sigap, kekar, maju pantang menyerah membela tanah tumpah darah, yang berdampak pada sebagian dari mereka, kira-kira 12.500 orang harus dibuang ke Belanda pada tahun 1951 (hlm. 61). Semangat yang berkobar-kobar sampai pada pertumpahan darah di Maluku, juga adalah representasi perjuangan rakyat bangsa ini merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Menyadari kondisi perjuangan kala itu yang mengorbankan jiwa dan harta, maka Thenu lagi-lagi memberi semacam awasanatau peringatan bagi bangsa ini secara umum dalam baris-baris puisi berikut ini.
//Darah/ bagi kami orang Maluku/bukan lagi sekadar warna/ yang merah/ darah menjadi simbol persatuan// (hlm.65).

               Peringatan untuk tidak jatuh pada percekcokan sampai pada pertumpahan darah. Percekcokan tidak saja dengan pihak luar atau bangsa luar, namun bisa muncul dalam bentuk yang berbeda, karena musuh yang terbesar adalah dengan sesama bangsa sendiri. Untuk itu, jangan ada curiga di antara sesama sebagai anak bangsa. Kita adalah satu-kesatuan. Fakta telah menunjukkan bahwa bangsa kita adalah sebuah bangsa yang plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya yang menjunjung tinggi toleransi.
…..
Pengarang kelima, Weldemina Yudit Tiwery dalam puisinya yang berjudul Natal 1999, Curahan Hati Gadis Kayeli. Tiwery menarasikan dengan sangat lancar dan detail tentang peristiwa menjelang Natal 1999 di Kayeli. Dalam suasana mempersiapkan diri dan batin menyongsong pesta rahmat kelahiran Yesus Mesias Sang Raja Damai, beredar isu tentang nanti terjadi konflik. Sontak jemaat menjadi kacau balau. Hiruk pikuk mencari persembunyian. Konflik horizontal itupun pecah. Warga tercerai berai. Apakah kita sekarang ini menghendaki konflik-konflik serupa terjadi lagi? Tentu dengan nada lantang kita mengatakan tidak. Atau “titik” untuk konflik yang demikian.
Kisah getir pahit dan merisaukan ini bagai mimpi, namun benar adanya. Ia telah berlalu. Dalam nada dan birama yang sama, sekali lagi Tiwery mengajak kita sebagai bangsa untuk “menenggelamkan” kisah getir ketika itu, serentak membangun “mimpi baru” (hlm.89), membangun “kekitaan” kolektif sebagai sebagai saudara dan bangsa. Karena kita yakini bahwa perbedaan di antara kita dalam bangsa ini sesungguhnya merupakan detail kekayaan yang perlu digembur demi menambah semarak kebangsaan.
Akhirnya, jalan panjang esai ini menghantar kita tiba pada kesimpulan bahwa secara literer Indonesia merupakan sebuah teks yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri.(*)

[1] Resensi ini diikutsertakan dalam “Lomba Meresensi E-Book Puisi Esai Indonesia” pada Oktober 2018. Kirim ke Panitya Lomba, Selasa, 23 Oktober 2018. Saya meresensi E-Book Esai dengan Judul Ambon Manise yang ditulis oleh Deny Tulaseket, dkk.