Halaman

Selasa, 07 Mei 2019

KNESENG: Sumber Api dari Bambu Aur (Pengetahuan Lokal Masyarakat Petani di Lereng Labalekan Kabupaten Lembata)



Setiap guyub kultur memiliki karakter, kecerdasan, dan pengetahuan lokal tersendiri dalam mengawali dan mengakhiri sesuatu pekerjaan. Semuanya kemudian menjadi ritus yang menganggap seremoni adalah hal krusial dan urgen dalam siklus pekerjaan. Sebagai entitas masyarakat agraris, ekologi alam semesta dan jagat kosmos menjadi pratanda sekaligus tanda atau petunjuk mulai dan berakhirnya pekerjaan masyarakat dalam guyub kultur tersebut. Ini artinya, alam raya dan langit angkasa menjadi pusat bagi kehidupan segala makhluk hidup di bumi dan udara. Pernyataan di atas melukiskan masyarakat agraris di Desa Imulolong Kabupaten Lembata. Sebuah masyarakat komunal yang menggantungkan nafkah pada pekerjaan sebagai petani tradisonal.

Tahapan Mengerjakan Kebun

Sebagai kelompok agraris, seorang petani mengenali secara rinci dan runtut tahapan-tahapan yang akan dikerjakannya. Mulai dari memberi tanda (sbulunga eka) dengan cara membersihkan rumput belukar dan tumbuh-tumbuhan kecil pada batas-batas tanah atau kebun yang akan dikerjakannya. Sekadar memberi tanda pada areal atau lahan tanah dimaksud bahwa pemilik (eka alapen) yang sah akan mengerjakannya. Ini terjadi pada lahan yang pemiliknya satu atau tunggal (oloken).
Jika tanah atau lahan tersebut adalah milik bersama antara dua orang (moiten) berdasarkan kepemilikan ahliwaris yang ditinggalkan, maka keduanya akan bersepakat untuk mengerjakannya bersama-sama. Jika satu di antara pemilik sah menyatakan ia, namun tidak dapat ikut mengerjakannya karena satu dan lain hal, seperti kesibukan, kesehatan, atau memiliki cukup lahan untuk dikerjakan, maka atas kesepakatan bersama, “dirinya” atau hak kepemilikan yang melekat padanya dapat dipercayakan kepada orang lain untuk menggantikannya.
Proses yang sama juga terjadi untuk tanah atau lahan atau kebun baru yang merupakan milik bersama tiga orang (kneu telonen). Kesepakatan lain dari soal ini adalah proses pengerjaannya dapat dilakukan oleh empat orang (grakepen). Dengan cara, satu orang lain di luar kepemilikian bukan ahliwaris dapat “menempel dalam badan satu orang pemilik” atau menggabungkan dirinya pada satu pemilik yang sah untuk sama-sama mengerjakannya.
Bersamaan dengan memberi tanda pada lahan atau kebun baru di atas (sbulunga eka), seorang petani memotong dan menyiapkan “kneseng” yang nanti digunakaan sebagai sumber atau “penghasil” api saat membakar kebun tersebut. Kneseng adalah belahan bambu aur yang digesek untuk menghasilkan api saat membakar kebun baru atau menghasilkan api di tungku pembakaran di kebun, dan lumbung.

Proses Membuat Api

Kneseng merupakan belahan bambu aur dari satu ruas yang sama. Dibelah, yang sebelahnya dikikis sedikit lebih kecil yang disebut kneseng lakin (kneseng laki), dan yang sebelahnya sedikit lebih besar atau gemuk yang disebut kneseng ronen (kneseng inan). Kneseng lakin diraut agak tajam karena berfungsi sebagai “penggesek” untuk menghasilkan bunga api. Di atas punggung kneseng ronen, dibuat garis horizontal lurus, kecil, dan secara vertikal juga demikian, namun jumlah irisan bisa dibuat 3-5 baris.
Pada bagian bawa irisan vertikal tadi, dijepit (diletakkan) seutas kapas (lelor) atau sabut kelapa halus tipis, agak rapat ke atas persis di bawah kneseng ronen, yang berfungsi menahan dan menghidupi bunga api hasil gesekan dari kneseng lakin. Agar bunga api lebih cepat merambat, maka selain kapas dan sabut kelapa tipis, diletakkan (jika ada) seutas benda tipis yang diambil dari pelepah pohon sejenis enau yang dalam bahasa setempat disebut rapo(r). Setelah bahan-bahan tadi disiapkan, maka kneseng lakin ditaruh persis di atas urat irisan vertikal, kemudian digerakkan oleh kedua tangan secara terus-menerus, mulai dengan perlahan dan semakin lama semakin kencang. Kekuatan gerakan atau gesekan tadi akan menghasilkan asap sehingga bunga api akan jatuh persis di atas kapas, rapo(r), atau sabut kelapa yang telah dilekatkan pada kneseng ronen tadi.
Jika ada muncul asap kecil, maka gesekan jangan dihentikan, tetapi diteruskan lebih kuat sampai menghasilkan asap yang lebih besar. Sesudah dipastikan telah menghasilkan api, bunga api bisa diambil dengan sangat hati-hati, ditiup dengan napas “halus” dalam-dalam, perlahan agar bunga api tidak terbang atau jatuh. Setelah menjadi api, api siap untuk dihidupkan pada tungku atau tempat pembakaran. Jika irisan vertikal pertama tidak sampai menghasilkan api, maka dapat digeser atau dipindahkan ke irisan yang lain, kemudian melakukan gesekan sebagaimana yang dilakukan pada gesekan pertama. Begitu dan seterusnya sampai menghasilkan api.
Sayangnya, kecerdasan lokal (local genius) atau pengetahuan lokal masyarakat petani di lereng Gunung Labalekan, Kabupaten Lembata tersebut sudah tergerus pelan-pelan dan telah tergantikan dengan korek api dan pemantik (machise) pada hari ini. (*) bersambung

2 komentar:

  1. Superrr Tata Gur, Di tunggu kelanjutannya, go senang ke baca fet pereta lef enak Tata,
    Salam Kasih buat Tata Gur sek🙏🙏😊

    BalasHapus
  2. Terima kasih, salam dan doa kam ia untuk mio pua. Alapes, ina ama ui teras, nora suk lamak jaga tite

    BalasHapus