Wisuda merupakan
momentum akademik. Ia sekaligus menjadi tanda selesainya proses akademik di
kampus atau lembaga perguruan tinggi. Setelah seorang mahasiswa jatuh bangun,
mengalami suka dan duka mengikuti seluruh proses perkuliahan. Dengan menyelesaikan
147 sistem kredit semester, selama itu pula mahasiswa secara individu maupun
kelompok dalam tim sekuat daya berusaha menimba dan menambah ilmu pengetahuan
untuk masa depannya. Jika, kurun waktun tersebut tidak dimanfaatkan dengan
baik, maka dipastikan yang bersangkutan akan terpental dalam persaingan merebut
masa depan. Itulah sebabnya, ketika menyandang gelar sarjana, serentak tanggung
jawab kemasyarakatan dipikul dipundak. Dan, pertanggungjawaban keilmuan pun
segera dimulai ketika momentum itu berlalu. Tidak ada lagi
kata-kata “saya belum siap” dan lain sebagainya.
Ujian keilmuan di
tengah masyarakat atas isi kepala dan penguasaan skill atau keterampilan menjadi tanggung jawab yang paling besar
untuk diaplikasikan. Seberapa banyak ilmu yang diendap dapat berguna bagi
kemaslahatan masyarakat. Pokoknya masyarakat sebagai pengguna jasa turut
terbantu dengan kehadiran para sarjana baru. Untuk itu pula para sarjana harus
memiliki kecerdasan. Kecerdasan inilah yang akan dimanfaatkan dalam memadu
kemampuan ilmu dan pengalaman faktual. Kecerdasan untuk beradaptasi sekaligus
menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana
para sarjana itu berada. Dengan demikian, tolok ukur kecerdasan tidak
hanya dinilai dari kecakapan berlogika, tetapi juga kecakapan interpersonal dan
kecakapan eksistensi.
Kecerdasan interpersonal merupakan kecakapan sosial. Kecerdasan
atau kecakapan untuk belajar tentang
kelindan kehidupan bermasyarakat. Jika selama belajar di lingkungan kampus,
interaksi sosial mahasiswa terbatas, maka telah tiba waktunya bagi para sarjana
untuk masuk pada hakikat ilmu dan pengabdian yang sesungguhnya. Belajar kembali
untuk memahami dan berinteraksi dengan orang banyak dalam skala tanpa batas. Jika
demikian, Anda pun pasti mampu bekerja loyal dengan siapa saja, dan bersosialisasi
secara lebih terbuka. Bahkan, dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh para
sarjana menjadi mediator ide dan gagasan pembangunan yang terukur di tengah
komunitas dan masyarakat sosial.
Kecerdasan eksistensial mengarah pada optimalisasi
kecerdasan untuk selalu dan terus-menerus mempertanyakan eksistensi diri dan masyarakat.
Terutama, apa peran “saya” (sarjana) dalam merangsang dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Jika demikian, maka para sarjana terus menggelorakan
dalam dirinya semangat untuk keluar dari kemapanan yang dimilikinya. Terus
bervisi kebaikan di antara bau pesing dan pengabnya udara negeri ini akibat
tumpukan persoalan yang selalu saja hadir tanpa henti. Bagi saya, justru di
sinilah kadar intelektualitas para sarjana diuji akan kekonsistenannya
menerapkan ilmu. Di sanalah laboratorium sesungguhnya sebagai medan
eksperimentasi kecerdasan yang dipunyai. Dalam konteks inilah, dengan tujuan
merespon penumbuhan budi pekerti warga sekolah dan warga masyarakat, saya
menganjurkan agar para sarjana Universitas Flores yang dilantik hari ini hadir menjadi
“mediator literasi” di tengah kerisauan dan keprihatinan akan rendahnya daya literasi
dalam masyarakat kita. Literasi merupakan gerakan membaca dan menulis. Gerakan
baca dan tulis adalah salah satu dari enam literasi paling dasar yaitu, literasi numerasi, literasi sains, literasi
digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Kiat menjadi
mediator literasi selaras dengan visi Universitas Flores, yakni menjadi
mediator budaya.
Tuntutan keterampilan literasi
pada abad 21 ini adalah kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis,
dan reflektif. Tuntutan ini dapat dicapai hanya melalui kecakapan dan kemampuan
berliterasi. Dengan alasan tersebut literasi telah menjadi gerakan nasional. Karena
itulah, para sarjana perlu menjadi inisiator dan transmisator gerakan literasi
di sekolah maupun di desa. Kegiatan
membaca dan menulis di sekolah dan masyarakat diharapkan berevolusi dari waktu
ke waktu, terutama melalui pembiasaan kondisi pembelajaran yang terus-menerus
melibatkan semua unsur masyarakat. Seluruh unsur mampu menciptakan suatu ekosistem
belajar yang kondusif untuk menunjang keberhasilan gerakan literasi.
Upaya
ini berfaedah menciptakan warga
sekolah dan anggota masyarakat untuk
sanggup memperbincangkan tentang keberadaannya,
mendiskusikan pekerjaannya, serta menulis tentang mata pencahariannya. Bahkan,
kelak misalnya
akan dapat memublikasikan pikiran, gagasan tentang tata
cara bertani, menanam aneka sayuran hingga tanaman-tanaman umur panjang. Jika
demikian, maka warga sekolah juga masyarakat telah berperan menjadi produsen ide dan gagasan kreatif
inovatif pembangunan yang
gemilang,
sekaligus menjadi masyarakat
yang kritis terhadap aneka program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di
masyarakat.
Bahkan, secara
intensif, para sarjana menjadi mediator dalam melakukan sosialisasi dengan
semua perangkat desa dan orang tua tentang manfaat literasi bagi kehidupan masa
depan anak. Agar para perangkat desa dapat membangun kebiasaan positif dengan
memulai dan mengakhiri jam kantor dengan aktivitas membaca. Para perangkat desa
termotivasi dari waktu ke waktu menyediakan bahan bacaan yang bersentuhan
dengan tugas dan tanggung jawabnya. Jika, gagasan ini tertata dan terlaksana
secara rutin dan teratur, maka warga masyarakat menjadi melek literasi. Kantor
desa tidak saja menjadi pusat administrasi pemerintahan desa, namun menjadi
pusat informasi berbagai ilmu pengetahuan. Semua warga masyarakat dengan mudah
mencari dan mendapatkan berbagai informasi melalui aktivitas membaca di kantor
desa. Di sekolah pun demikian, aktivitas berliterasi harus menjadi kebiasaan
yang positif.
Untuk
maksud inilah, para sarjana merencanakan konsep kearifan duduk bersama
memperbincangkan masa depan pendidikan anak dan masa depan masyarakat. Mulailah
dengan hal-hal yang sederhana. Mulailah dengan memberi contoh. Jika selama ini
kearifan duduk bersama hanya pada hal-hal konsumtif, maka sebagai mediator literasi
para sarjana mulai meretas kearifan hakiki eksistensial masyarakat yang
bernuansa literasi. Perlu rekayasa program dengan memanfaatkan kekuatan dan
kemampuan ilmu yang diperoleh dalam mentransmisi pesan dan gagasan baru
literasi. Kita pun masih berharap tentang respons dan intervensi lembaga
politik dan pemerintah daerah dalam mengapresiasi kerja-kerja anggota
masyarakat yang berkecimpung dalam gerakan-gerakan peradaban seperti ini.
Akhirnya, saya
mengucapkan selamat dan sukses dalam mengemban tugas baru. Saya mengulang pesan
si jenius, Albert Einstein, peraih nobel
untuk sumbangannya dalam bidang ilmu fisika, buat para
sarjana yang akan
terpencar ke segala penjuru, pelosok desa, dan sudut kota demi aplikasi
pekerjaan kemanusiaan. “Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami
ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada
manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan ikhtiar teknis, agar
buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan
terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram
dan persamaan”. (Suriasumantri, 1999). (*)