Halaman

Selasa, 05 November 2019

Menjadi Sarjana “Mediator Literasi”


Wisuda merupakan momentum akademik. Ia sekaligus menjadi tanda selesainya proses akademik di kampus atau lembaga perguruan tinggi. Setelah seorang mahasiswa jatuh bangun, mengalami suka dan duka mengikuti seluruh proses perkuliahan. Dengan menyelesaikan 147 sistem kredit semester, selama itu pula mahasiswa secara individu maupun kelompok dalam tim sekuat daya berusaha menimba dan menambah ilmu pengetahuan untuk masa depannya. Jika, kurun waktun tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, maka dipastikan yang bersangkutan akan terpental dalam persaingan merebut masa depan. Itulah sebabnya, ketika menyandang gelar sarjana, serentak tanggung jawab kemasyarakatan dipikul dipundak. Dan, pertanggungjawaban keilmuan pun segera dimulai ketika momentum itu berlalu. Tidak ada lagi kata-kata “saya belum siap” dan lain sebagainya.
Ujian keilmuan di tengah masyarakat atas isi kepala dan penguasaan skill atau keterampilan menjadi tanggung jawab yang paling besar untuk diaplikasikan. Seberapa banyak ilmu yang diendap dapat berguna bagi kemaslahatan masyarakat. Pokoknya masyarakat sebagai pengguna jasa turut terbantu dengan kehadiran para sarjana baru. Untuk itu pula para sarjana harus memiliki kecerdasan. Kecerdasan inilah yang akan dimanfaatkan dalam memadu kemampuan ilmu dan pengalaman faktual. Kecerdasan untuk beradaptasi sekaligus menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana  para sarjana itu berada. Dengan demikian, tolok ukur kecerdasan tidak hanya dinilai dari kecakapan berlogika, tetapi juga kecakapan interpersonal dan kecakapan eksistensi.
Kecerdasan interpersonal merupakan kecakapan sosial. Kecerdasan atau kecakapan  untuk belajar tentang kelindan kehidupan bermasyarakat. Jika selama belajar di lingkungan kampus, interaksi sosial mahasiswa terbatas, maka telah tiba waktunya bagi para sarjana untuk masuk pada hakikat ilmu dan pengabdian yang sesungguhnya. Belajar kembali untuk memahami dan berinteraksi dengan orang banyak dalam skala tanpa batas. Jika demikian, Anda pun pasti mampu bekerja loyal dengan siapa saja, dan bersosialisasi secara lebih terbuka. Bahkan, dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh para sarjana menjadi mediator ide dan gagasan pembangunan yang terukur di tengah komunitas dan masyarakat sosial.
Kecerdasan eksistensial mengarah pada optimalisasi kecerdasan untuk selalu dan terus-menerus mempertanyakan eksistensi diri dan masyarakat. Terutama, apa peran “saya” (sarjana) dalam merangsang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika demikian, maka para sarjana terus menggelorakan dalam dirinya semangat untuk keluar dari kemapanan yang dimilikinya. Terus bervisi kebaikan di antara bau pesing dan pengabnya udara negeri ini akibat tumpukan persoalan yang selalu saja hadir tanpa henti. Bagi saya, justru di sinilah kadar intelektualitas para sarjana diuji akan kekonsistenannya menerapkan ilmu. Di sanalah laboratorium sesungguhnya sebagai medan eksperimentasi kecerdasan yang dipunyai. Dalam konteks inilah, dengan tujuan merespon penumbuhan budi pekerti warga sekolah dan warga masyarakat, saya menganjurkan agar para sarjana Universitas Flores yang dilantik hari ini hadir menjadi “mediator literasi” di tengah kerisauan dan keprihatinan akan rendahnya daya literasi dalam masyarakat kita. Literasi merupakan gerakan membaca dan menulis. Gerakan baca dan tulis adalah salah satu dari enam literasi paling dasar yaitu, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Kiat menjadi mediator literasi selaras dengan visi Universitas Flores, yakni menjadi mediator budaya.
Tuntutan keterampilan literasi pada abad 21 ini adalah kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Tuntutan ini dapat dicapai hanya melalui kecakapan dan kemampuan berliterasi. Dengan alasan tersebut literasi telah menjadi gerakan nasional. Karena itulah, para sarjana perlu menjadi inisiator dan transmisator gerakan literasi di sekolah maupun di desa. Kegiatan membaca dan menulis di sekolah dan masyarakat diharapkan berevolusi dari waktu ke waktu, terutama melalui pembiasaan kondisi pembelajaran yang terus-menerus melibatkan semua unsur masyarakat. Seluruh unsur mampu menciptakan suatu ekosistem belajar yang kondusif untuk menunjang keberhasilan gerakan literasi.
Upaya ini berfaedah menciptakan warga sekolah dan anggota masyarakat untuk sanggup memperbincangkan tentang keberadaannya, mendiskusikan pekerjaannya, serta menulis tentang mata pencahariannya. Bahkan, kelak misalnya akan dapat memublikasikan pikiran, gagasan tentang tata cara bertani, menanam aneka sayuran hingga tanaman-tanaman umur panjang. Jika demikian, maka warga sekolah juga masyarakat telah berperan menjadi produsen ide dan gagasan kreatif inovatif pembangunan yang gemilang, sekaligus menjadi masyarakat yang kritis terhadap aneka program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di masyarakat.
Bahkan, secara intensif, para sarjana menjadi mediator dalam melakukan sosialisasi dengan semua perangkat desa dan orang tua tentang manfaat literasi bagi kehidupan masa depan anak. Agar para perangkat desa dapat membangun kebiasaan positif dengan memulai dan mengakhiri jam kantor dengan aktivitas membaca. Para perangkat desa termotivasi dari waktu ke waktu menyediakan bahan bacaan yang bersentuhan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Jika, gagasan ini tertata dan terlaksana secara rutin dan teratur, maka warga masyarakat menjadi melek literasi. Kantor desa tidak saja menjadi pusat administrasi pemerintahan desa, namun menjadi pusat informasi berbagai ilmu pengetahuan. Semua warga masyarakat dengan mudah mencari dan mendapatkan berbagai informasi melalui aktivitas membaca di kantor desa. Di sekolah pun demikian, aktivitas berliterasi harus menjadi kebiasaan yang positif.
Untuk maksud inilah, para sarjana merencanakan konsep kearifan duduk bersama memperbincangkan masa depan pendidikan anak dan masa depan masyarakat. Mulailah dengan hal-hal yang sederhana. Mulailah dengan memberi contoh. Jika selama ini kearifan duduk bersama hanya pada hal-hal konsumtif, maka sebagai mediator literasi para sarjana mulai meretas kearifan hakiki eksistensial masyarakat yang bernuansa literasi. Perlu rekayasa program dengan memanfaatkan kekuatan dan kemampuan ilmu yang diperoleh dalam mentransmisi pesan dan gagasan baru literasi. Kita pun masih berharap tentang respons dan intervensi lembaga politik dan pemerintah daerah dalam mengapresiasi kerja-kerja anggota masyarakat yang berkecimpung dalam gerakan-gerakan peradaban seperti ini.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat dan sukses dalam mengemban tugas baru. Saya mengulang pesan si jenius, Albert Einstein, peraih nobel  untuk sumbangannya dalam bidang ilmu fisika, buat para sarjana yang akan terpencar ke segala penjuru, pelosok desa, dan sudut kota demi aplikasi pekerjaan kemanusiaan. “Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan ikhtiar teknis, agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan”. (Suriasumantri, 1999). (*)






[1] Artikel opini ini pernah dimuat dalam Harian Umum Flores Pos, 12 Oktober 2019