Halaman

Selasa, 04 Agustus 2020

Penelitian Tindakan Kelas: Melacak, Mendeteksi, dan Memecahkan Masalah Pembelajaran di Kelas [1]

 

Saya belajar, sama artinya saya mengajari diri sendiri

(Hamilton, 1987: 36).

 

 

A.  Pendahuluan

Pernyataan “saya belajar, sama artinya saya mengajari diri sendiri”, menandaskan bahwa selama proses pembelajaran, Saya diperkaya dengan refleksi, pengalaman atau data empiris untuk lebih mengkonkretkan, memperkuat, dan mengembangkan gagasan serta argumen yang telah diperoleh lewat proses membaca dan menulis.

Manusia dilahirkan sebagai mahkluk yang paling sempurna karena memiliki kemampuan, kecakapan, kecerdasan. Kemampuan, kecakapan, kecerdasan tersebut, termasuk kemampuan dalam melakukan penelitian. Ia selalu hidup dan diselimuti dengan hasrat “ingin tahu”. Dan, karena itu, manusia senantiasa berjalan dalam proses mencari. Upaya untuk terus mencari sesuatu, entah apa saja demi memenuhi hasrat ingin tahu tersebut. Agar manusia dapat mengenal dan mengembangkan kemampuan dirinya, termasuk mengenal, mengelola, dan mengembangkan dunia sekitar untuk kemajuan dan kemaslahatan hidup orang banyak. Dalam hal ini, hasil sebuah penelitian dapat digunakan untuk pelaksanaan program pembangunan di tengah kehidupan masyarakat.

Jika konsep ini kita tarik masuk ke dalam lembaga pendidikan formal, secara khusus dalam ruang-ruang kelas, maka “guru”-lah yang memiliki otoritas dan kemampuan, serta kecakapan akademik untuk melakukan riset tentang keseluruhan proses belajar mengajar di sekolahnya (kelasnya). Bahkan, secara khusus guru-guru mata pelajaran “dituntut” untuk melakukan penelitian dalam rangka melacak, mendeteksi, dan memecahkan masalah-masalah pembelajaran dalam kelas.

 B.  Tahap Pencarian Pengetahuan Oleh Manusia

Tahap pencarian pengetahuan oleh manusia dapat dilakukan dengan menggunakn cara atau metode berpikir yang bersifat mistis (menyandarkan diri pada kekuatan yang berada di luar dirinya), metode akal sehat dan coba-coba, metode berpikir deduktif (bersandar pada rasio yang melahirkan rasionalitas) metode berpikir induktif (bersandar pada fakta yang melahirkan faham empirisme), dan metode berpikir ilmiah (bersandar pada eksperimen: menautkan antara rasionalisme dan empirisme).

Van Peursen melukiskan perkembangan berpikir manusia melewati tiga tahap perkembangan, yakni: (1) tahap mitis, manusia dikungkung atau terkepung oleh alam dan kekuatan gaib sehingga menjadi begitu terikat kepada alam; (2) tahap ontologis, manusia mulai mengambil jarak terhadap alam dan mulai melakukan penelahaan untuk menjelaskan dasar hakikat obyek-obyek alam, dan (3) tahap fungsional, manusia membuat relasi baru dengan alam semesta dengan memanfaatkan pengetahuannya melalui penelahaan obyek alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya.

Selain metode berpikir di atas perlu diketahui tentang aliran relativisme  dan faham skeptivisme sehubungan dengan kegiatan berpikir. Istilah relativisme (relative) berasal dari bahasa Latin (refere: membawa, mengacu, menhubungkan). Dari kata ini, timbullah kata “relatio” yang artinya relasi, hubungan, ikatan. Relativisme merupakan aliran atau faham yang mengajarkan bahwa kebenaran itu ada, akan tetapi tidak memiliki sifat mutlak. Atau, faham relativisme menegaskan bahwa tidak ada kebenaran yang sifatnya absolut.

Relativisme bermula dari timbulnya yang monodimensional dan parsial deterministik (mengungkapkan kenyataan secara parsial, tetapi membuatnya total atau final). Akibatnya muncullah aliran phenomenisme yang menyatakan bahwa kebenaran itu pada dasarnya adalah fenomena dari obyek yang terdapat/ada/ terjadi dalam pikiran kita. Bahkan lebih ekstrim lagi menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung dan ditentukan oleh pikiran kita: apa yang kita pikirkan itu itulah yang benar tanpa harus menghubungan obyek di luar diri kita. Aliran ini disebut subjektivistik-intelektualistik. Selanjutnya, muncul reaksi berupa aliran yang anti-intelektualistik yang menyatakan bahwa kebenaran itu ada yang ditentukan oleh kehendak kemauan kelompok, kekuatan, kebebasan, atau oleh kegunaan (Rofiudin, 2009:5).

Sketivisme merupakan aliran radikal fundamental yang tidak percaya akan adanya kepastian dan kebenaran atau sekurang-kurangnya “menyangsikan” kemampuan pikiran manusia untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran. Skeptisisme berasal dari kata “skeptoma” yang berarti memperhatikan dengan saksama. Para skeptisi adalah orang yang mengamati segala sesuatu dengan saksama dan menelitinya, karena tidak adanya kesepakatan di antara mereka, maka timbullah masalah abru mengenai patokan kesepakatan yang akhirnya sampai pada kesimpulan meragukan adanya kepastian dan ukuran kebenaran. Dari sinilah, lahirlah aliran atau system pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagi sikap dasar yang fundamental dan universal.

Skeptisisme dapat dibedakan menjadi skeptisisme doktrin dan skeptisisme metode. Sebagai doktrin, skeptisisme menyangsikan segala sesuatu yang selalu mengandung kontradiksi. Ada pula yang berupa sikap untuk tidak melibatkan diri dalam aktivitas intelektual, artinya tidak perlu berpendapat mengenai sesuatu. Sebagai metode, skeptisisme menjadi jalan untuk menemukan kepastian kebenaran, melalui menyangsikan semua cara pemerolehan kebenaran. Sikap meragukan, menyangsikan sebuah kebenaran inilah menjadi latar belakang, mengapa seorang guru perlu melakukan penelitian untuk menguji seluruh kinerjanya di kelas.

 C.  Mengapa PTK?

Seiring berjalannya waktu, paradigma penelitianpun mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan. Dalam konteks meneliti dan mengungkap problem-problem pembelajaran di sekolah, lahirlah model atau paradigma penelitian yang relevan dengan kebutuhan pembelajaran yang disebut Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas lahir sebagai reaksi atas penelitian-penelitian konvensional yang menurut para guru “bergerak berjarak” (Mulyasa, 101:36) dengan pengalaman belajar sehari-hari. Selain itu, temuan penelitian konvensional (formal) sering gagal memecahkan permasalahan-permasalahan pembelajaran, bersifat dehumanisasi, atau memperlakukan peserta didik sebagai obyek pengamatan, dan dianggap terlalu banyak membutuhkan kemampuan yang tidak setiap guru mampu melaksanakannya atau mempraktikannya.

Penelitian Tindakan Kelas dianggap dapat memecahkan masalah-masalah pembelajaran karena berangkat dari keseriusan guru memperbaiki pembelajarannya, fleksibel dan adaptif yang memungkinkan perubahan selama tenggat percobaan, kolaboratif dan partisipatif, serta fokus pada pembelajaran. Penelitian Tindakan Kelas merupakan sebuah paradigma baru dalam penelitian yang proses pendekatannya lebih halus dan feminin karena keaslian validitasnya pun bergantung pada keahlian para penelitinya yang memiliki hubungan interpersonal yang sangat baik.

Dengan demikian, Penelitian Tindakan Kelas merupakan salah satu kegiatan penelitian yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus “mengangkat harkat dan martabat” guru. Peningkatan kualitas pendidikan beriringan dengan peningkatan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Sedangkan, Penelitian Tindakan Kelas disebut mampu mengangkat harkat dan martabat para guru sebab mempermudah dan memperlancar kenaikan pangkat dan jabatan. Jika demikian, maka berimbas pada kesejahteraan para guru itu sendiri.

Terdapat banyak rujukan yang mengetengahkan esensi Penelitian Tindakan Kelas, namun untuk keperluan perjumpaan ini, saya mengutip satu pengertian dari sekian banyak pengertian itu, yang saya anggap representatif untuk keperluan kita. Stephen Kemmis yang dikutip Mulyasa (2011:5) mendefinisikan Penelitian Tindakan Kelas sebagai “sebuah bentuk penelitian refleksi diri yang melibatkan sejumlah partisipan (guru, peserta didik, kepala sekolah, dan partisipan lain) di dalam suatu situasi sosial (pembelajaran yang bertujuan untuk kerasionalan dan keadilan terhadap: a) praktik sosial dan pembelajaran yang mereka lakukan; b) pemahaman mereka terhadap praktik-praktik pembelajaran; serta c) situasi dan institusi yang terlibat di dalamnya”.

Dengan kata lain, Penelitian Tindakan Kelas didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mencermati kegiatan belajar sekelompok peserta didik dengan memberikan sebuah tindakan (treatment), dan tindakan tersebut dapat dilakukan oleh guru bersama-sama peserta didik, atau peserta didik di bawah bimbingan guru untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran.

 D.  Komponen-komponen Penelitian Tindakan Kelas

Secara umum, Penelitian Tindakan Kelas memuat (1) judul, (2) bidang kajian, (3) latar belakang masalah, (4) identifikasi dan perumusan masalah, (5) cara memecahkan masalah, (6) hipotesis tindakan, (7) tujuan dan kegunaan penelitian, (8) kajian pustaka, (9) rencana dan prosedur penelitian, (10) jadwal penelitian, (11) pembiayan, (12) personalia, (13) daftar pustaka, dan (14) lampiran-lampiran.

Untuk mengetahui isi atau “apa yang hendak ditulis” dalam masing-masing komponen tersebut, berikut ini disajikan sekilas tentang komponen-komponen dimaksud.

Judul. Judul yang baik adalah judul yang dirumuskan secara singkat, pada, spesisik, dan tidak menimbulkan kemungkinan beragam. Jumlah kata maksimum dua puluh dua kata. Judul yang baik adalah judul yang cocok dengan tema tulisan. Dengan kata lain, judul mesti memiliki pertalian yang relevan dengan tema atau beberapa bagian tema yang akan dibeberkan. Pertimbangan ini menjadi alasan mendasar karena judul yang dipilih haruslah mampu merangsang perhatian pembaca untuk mencaritahu lebih dalam apa yang ada di balik judul tersebut melalui uraian tentang judul dimaksud. Judul yang baik menurut Keraf (2004: 128) menyaran pada aspek keaslian (originalitas). Bahwa judul tidak saja tentang adanya unsur “kebaruan”, judul yang sama sekali belum pernah ditulis, melainkan juga pada judul-judul yang sering ditulis, namun karena pendekatan yang dipergunakan penulis, sikap hidup, contoh, cara penyajian, dan sebagainya berbeda, maka akan menghasilkan sesuatu tulisan dengan kadar originalitas yang baik. Judul yang baik juga hanya memuat ciri-ciri yang utama. Ketika para pembaca membacanya, maka sudah dapat dibayangkan tentang apa yang akan diuraikan dalam tulisan tersebut. Oleh karena itu, judul harus singkat. Tidak boleh dalam bentuk frasa atau kalimat yang panjang.

Misalnya, “Penerapan pendekatan partisipatif dalam peningkatan prestasi belajar bahasa Indonesia di Kelas VIII SMP Kelimutu Ende”. Atau, Peningkatan Kemampuan Menulis Deskripsi Siswa Kelas V dengan Metode Field Trip di SMP Mondar Mandir Kecamatan Tanjung Kabupaten Soronoto”.

Bidang kajian. Sebutkan bidang kajian yang akan diteliti, misalnya bidang pendidikan, sosial, politik, agama, dan seterusnya. Secara khusus dapat disebutkan bidang studi atau mata pelajaran dan bagiannya seperti metode pembelajaran, evaluasi, media pembelajaran, dan lain-lain.

Latar belakang masalah. Berisikan tentang urutan keingintahuan, kepenasaran, ketidakpuasan, yang mendorong atau melatarbelakangi penelitian tersebut dijalankan. Terdapat beberapa persoalan pokok yang dapat diuraikan dalam latar belakang; yakni (1) mengapa masalah tersebut di teliti, (2) pentingnya masalah untuk dipecahkan sesuai waktu, biaya yang tersedia, (3) ada kesenjangan antara fakta pembelajaran (das sein) dan harapan (das sollen), (4) kekuatiran jika masalah tersebut tidak lekas dipecahkan, (5) teori atau konsep yang menopang pemecahan masalah.

Identifikasi dan perumusan masalah. Identifikasi masalah merupakan kegitan untuk mendeteksi, melacak, dan menjelaskan berbagai aspek yang berkaitan dengan topik dan masalah penelitian. Dari judul “Penerapan pendekatan partisipatif dalam peningkatan prestasi belajar bahasa Indonesia di Kelas VIII SMP Kelimutu Ende”, seorang peneliti dapat membuat beberapa identifikasi masalah, yaitu (a) rendahnya prestasi belajar bahasa Indonesia, (b) pembelajaran bahasa Indonesia belum komunikatif, (c) siswa belum berpartisipasi secara baik dalam pembelajaran, (d) pendekatan pembelajaran masih konvensional, (e) belum ditemukannya strategi dan pendekatan belajar yang relevan, (f) rendahnya daya dan semangat para siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan atau belajar, (g) dan lain-lain.

Dari sekian identifikasi masalah yang dirumukan di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan menjadi, (1) Apakah penerapan pendekatan partisipatif dapat meningkatkan prestasi belajar bahasa Inggris siswa kelas VIII SMP Kelimutu Ende, (2) Apakah penerapan metode belajar field trip dapat meningkatkan kemampuan menulis deskripsi siswa kelas V dengan di SMP Mondar Mandir Kecamatan Tanjung Kabupaten Soronoto.

Cara memecahkan masalah adalah cara, prosedur, atau tindakan yang akan digunakan dalam pemecahan masalah. Cara yang digunakan dalam memecahkan masalah di atas adalah pendekatan partisipatif.

Hipotesis tindakan merupakan jawaban sementara terhadap masalah sebagai alternative tindakan yang dianggap paling tepat memecahkan masalah. “Pendekatan partisipatif dapat meningkatkan prestasi belajar bahasa Inggris siswa kelas VIII SMP Kelimutu Ende”.

Tujuan dan kegunaan penelitian dirumuskan berdasarkan topik atau masalah penelitian. Tujuan merupakan keinginan peneliti memecahkan masalah melalui indikator-indikator yang hendak ditemukan. Misalnya, meningkatkan kemampuan bertanya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas IX SMP Banjir Bandang, meningkatkan kemampuan membaca siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas IX SMP Banjir Bandang, dll.

Kajian pustaka adalah memunculkan atau menampilkan teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan masalah penelitian. Oleh karena itu, kajian teori memegang peranan penting dalam membangun kerangka piker atau konsep yang digunakan dalam penelitian. Yang penting adalah kesesuaian pilihan sumber dengan topik, kekinian sumber, dan sumber menjadi pemandu atau petunjuk dalam membahasa hasil-hasil penelitian.

Rencana dan prosedur penelitian, meliputi setting penelitian, persiapan (RPP, penyussunan lembar observasi, lembar evaluasi, LKS), penentuan subjek penelitian, penentuan pendekatan penelitian, penentuan instrument penelitian, dan penentuan analisis data. Penyusunan prosedur PTK biasanya meliputi beberapa siklus. Misalnya: Siklus 1

1.   Tahap Perencanaan

Pada tahap ini peneliti dan guru menyusun:

a.       Perangkat pembelajaran, berupa penentuan kompetensi dasar yang akan dicapai.

b.       Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai berikut.

1)      Guru membuka pelajaran.

2)      Guru memberikan apersepi mengenai pengetahuan siswa terhadap macam-macam paragraf untuk mengetahui skemata mereka.

3)      Guru memberikan materi tentang tulisan deskripsi

4)      Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi yang sedang diajarkan.

5)      Guru bersama dengan siswa melakukan field trip ke suatu tempat yang telah ditentukan.

6)      Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk menulis deskripsi berdasarkan hasil observasi.

Tahap ini dilakukan dengan mengamati dan menginterpretasi aktifitas pemanfaatan metode field trip pada proses pembelajaran (aktivitas siswa) maupun pada hasil pembelajaran menulis deskripsi yang telah dilaksanakan untuk mendapatkan data tentang kelebihan dankekurangan pelaksanaan tindakan. Pengamatan difokuskan pada situasi pelaksanaan pembelajaran, kegiatan yang dilakukan guru, dan aktivitas siswa dalam pembelajaran.

2.   Tahap Analisis dan Refleksi

Pada tahap ini, dilakukan analisis hasil observasi dan interpretasi sehingga diperoleh kesimpulan hal-hal yang perlu diperbaiki atau disempurnakan dan yang telah memenuhi target. Analisis dilakukan dengan meninjau kembali hasil observasi dan interpretasi terhadap tindakan yangtelah dilakukan. Selanjutnya, dilakukan refleksi untuk mengetahui beberapa kekurangan yang muncul dalam pelaksanaan tindakan tersebut. Setelah itu,guru dan peneliti berdiskusi untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi kekurangan yang muncul sekaligus sebagai langkah perbaikan pada pembelajaran berikutnya.

Rancangan Siklus II

Siklus II dilakukan dengan tahapan-tahapan seperti pada siklus I, yaitu tahap pelaksanaan, observasi, serta analisis dan refleksi. Akan tetapi, didahului dengan perencanaan ulang berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada siklus I (refleksi) sehingga kekurangan yang terjadi pada siklus I tidak terjadi pada siklus II.

Jadwal penelitian berkaitan dengan urutan waktu penelitian mulai dari awal hingga penyususnan laporan penelitian. Pembiayan merupakan besaran biaya yang dibutuhkan dalam melaksanakan penelitian. Personalia penelitian, tim peneliti atau orang perorang yang terlibat dalam penelitian, daftar pustaka merupakan bahan-bahan pustaka yang dijadikan rujukan, baik pustaka off line maupun pustaka on line, dan lampiran-lampiran.

 E.  Penutup

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan jembatan bagi guru untuk menyelesaikan permasalahan belajar yang ditemukan dalam semua mata pelajaran. Oleh karena itu, keberhasilan pencapaian materi pembelajaran sangat tergantung pada bagaimana seorang guru mampu melacak, mendeteksi, dan meemecahkan masalah-masalah pembelejaran tersebut di kelas, agar siswa boleh mencapai ketuntasan dalam belajarnya.(*)

 

DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Rosdakarya.

Rofi’uddin, Ahmad. 2009. Penelitian. Makalah Prapasca Universitas Negeri Malang, Agustus 2009.

Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

 



[1]  Makalah Disampaikan dalam Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bagi para guru SMP Kelimutu Ende, Selasa, 18 Juni 2019, bertempat di Aula SMP Kelimutu, Jalan Durian Ende.

[2]  Dosen Sosiolinguistik pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Kepala UPT Publikasi dan Humas Universitas Flores.

Pendidikan Sebagai Pintu yang Membebaskan

 

            Persentase ketidaklulusan UN SMA/SMK/MA di NTT masih menempati peringkat terakhir dari 33 propinsi di Indonesia, dengan jumlah siswa yang tidak lulus UN sebanyak 1.994 siswa (5,5%) dari total peserta UN 36.228 siswa. Peringkat pertama diraih oleh Propinsi Jawa Timur dengan siswa yang tidak lulus UN sebanyak 156 orang (0,07%) dari total peserta 210.586 siswa. (Pos Kupang, 25 Mei 2012). Menurut Mendiknas, Muhamad Nuh, pemerintah pusat telah melakukan intervensi pendidikan demi perbaikan kualitas pendidikan dengan sudah mengucurkan dana sekitar 200–300 miliar untuk perbaikan sarana dan prasarana. Namun, menurut Mendiknas, kegagalan dalam persentase ketidaklulusan yang cukup tinggi karena disebabkan oleh empat faktor, yakni: (1) terkait dengan motivasi belajar dengan budaya belajarnya; (2) terkait dengan kualitas guru; (3) terkait dengan infrastruktur kelengkapan laboratorium dan sebagainya; dan (4) terkait dukungan keluarga, budaya yang ada di sekitarnya (Ibid, Halaman 6).

Berkenaan dengan empat faktor penyebab ketidaklulusan di atas, saya lebih menyoroti dua faktor, pertama, terkait dengan motivasi belajar dengan budaya belajarnya, dan kedua, terkait dukungan keluarga, budaya yang ada di sekitarnya. Dua faktor ini menempatkan keluarga, masyarakat, dan lingkungan budaya anak sebagai kontributor terbesar keberhasilan anak/siswa. Sedangkan dua faktor yang lain lebih merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Terkait Dengan Motivasi Belajar Dengan Budaya Belajarnya

Motivasi intrinsik, dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik: kemauan anak, kesadaran, kehendak, niat, ikhtiar untuk mencapai sesuatu keberhasilan. Oleh karena itu, anak akan tahu dan mau memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya untuk mencapai keberhasilan itu.

Motivasi ekstrinsik, misalnya, kalo di NTT,  Pemerintah telah mencanangkan Gong Belajar dalam rangka mempersiapkan siswa-siswa menghadapi UN. Tetapi, dari sisi pendidikan (teori behaviorisme) mesti memiliki reward dan punishment.

Terkait Dukungan Keluarga, Budaya Yang Ada Di Sekitarnya

Dalam konteks pendidikan, kita mengenal beberapa komponen penting yang terlibat langsung proses tersebut. Ada keluarga (orang tua), sekolah (guru) dari masyarakat. Orang tua mendidik karena secara kodrati mereka harus mendidik. Baik buruknya anak di sekolah sebagian besar mer pakan tanggunjawab orang tua dan secara tidak langsung keluarga telah terlibat aktif dalam pembentukan nilai, sikap,kebiasaan dari keterampilan untuk menunjang keberhasilan sekolah. Dengan demikian asumsi bahwa tugas orang tua selesai ketika anaknya telah diantar ke sèkolah adalah suatu kekeliruan dari sudah saatnya ditinggalkan. Sementara, sekolah merupakan penyedia sarana dari fasilitas formal pengembangan pengetahuan anak. Guru bukan menjadi satu-satunya. Guru hanya salah satu sosok yang mengemban tugas mendidik. Konsekuensmnya, guru hanya bertemu dengan anak (siswa) kurang lebih 6-7 jam dalam sehari. Selebihnya anak akan berada bersama orang tua dari masyarakat.

Karakter orang-orang yang sukses dalam pendidikan: (1) membaca sebelum orang lain membaca; (2) sekolah sebelum orang lain sekolah; (3) tidak berhenti belajar sebelum  orang lain tidur dalam belajar; (4) bangun untuk belajar sebelum orang lain bangun untuk belajar (Rahman, 2012).

Pendidikan: Pintu Yang Membebaskan[2]

Pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia yang istimewa. Manusia Indonesia tentu tidak ingin tercerabut dari akar kebutuhan pokoknya untuk mengembangkan hidupnya lebih bermutu dan berdaya guna, karena pendidikan dipandang sebagai pilar pengejawantahan demokrasi. Nilai pendidikan juga menjelaskan pemerolehan pendidikan sebagai proses, di mana seorang dibebaskan dari ketidakmatangan dan kebodohan menjadi seorang yang human, berintelek dan berbudaya, menuju kemerdekaan yang otonom. Menjadi seorang manusia yang merdeka, manusia diharapkan untuk matang secara etis. Manusia yang demokratis dan etis inilah sangat diyakinkan akan tampil sebagai persona yang berintegritas unggul untuk berbakti pada bangsa, negara, dan masyarakat. Sebagai makhluk budaya, manusia juga harus mengalami transformasi kultural untuk mengatasi segala kesulitan dan keterbatasan kodratnya. Tanpa pendidikan, manusia akan tetap terkungkung oleh kekuasaan alam, senantiasa terpenjara persona magis-misteri yang mengakibatkan kesadarannya akan tetap sebatas idle curiosity (instink) binatang yang mungkin tak berubah sebagai creative curiocity, sebagai ciri atau identitas orang atau masyarakat terdidik. Oleh sebab itu, pendidikan dapat disebut sebagai pintu masuk  membentengi diri menuju sebuah pembebasan.

Terdapat asumsi yang keliru yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik sepenuhnya adalah tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika mereka (orang tua) telah menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal. Gejala ini termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir dilakukan oleh generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut, bukan berarti keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya menjadi feed back yang tepat untuk melihat keberhasilan pendidikan yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana pendidikan tersebut telah memberikan sesuatu bagi kehidupan dan perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan bagi generasi muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau ajaran yang dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu memberikan rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat diharapkan agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.

 Beberapa Problematika

Kalau kita amati, tersendat-sendatnya pengelolaan proses pendidikan di negeri ini akibat tidak sinkronisnya pengelolaan oleh pihak-pihak yang berkompeten, di samping faktor-faktor eksternal yang kurang kondusif. Terlepas bahwa ada faktor-faktor lain, makalah ini lebih menyoroti peran keluarga dan masyarakat (serta lingkungan) dalam mendukung keberlangsungan proses pembibitan sumber daya manusia Indonesia yang unggul, kompeten, dan kompetitif (Bdk, Gawen: 2011).

Melalui berbagai pengamatan, ditemukan beberapa problematika penyelenggaraan pendidikan, termasuk di wilayah Flores, dan masyarakat Lio pada khususnya. Ada kesengajaan untuk membuat diri dan masyarakat kita tetap berada dalam belitan kemiskinan; yang tanpa disadari pula telah terstruktur dan terkultural secara sistemik dan sistematis.

Kemiskinan Buatan atau Sistemik

Secara sistemik, melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang amat pekat dengan berbagai ketimpangan. Masalahnya bukan hanya dosa bangsa berupa korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi juga perebutan kekuasaan dan jabatan, memperdakan kepentingan-kepentingan yang tidak populis hingga pejabat yang tidak peduli dengan kepentingan publik. Masalah lain adalah gelondongan dana[3] yang sangat besar mengalir ke NTT, termasuk ke wilayah kita melalui dana-dana PNPM, asmara, dll, ibarat menggerojok air ke padang pasir, tidak berbekas. Angka kemiskinan juga salah satu yang tertinggi dengan pendapatan per kapita termasuk yang terendah. Demikian pula kualitas infrastruktur. Gambaran-gambaran di atas menunjukkan bahwa bantuan atau apa pun program pemerintah dan lembaga bantuan selama ini tidak banyak menyentuh persoalan hak dasar rakyat miskin dan tak mampu mengentaskan kemiskinan, ketertinggalan, dan kelaparan.

Kemiskinan Kultural

Secara Kultural berkecambah kebiasaan-kebiasaan usang dan tidak mencerahkan. Permintaan belis dengan berbatang-batang gading, tampaknya tidak realistis dengan keadaan zaman. Kebanyakan orang NTT yang dilahirkan dan dibesarkan di NTT tidak bersedia meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai petani. Namun, ketika ia keluar dari NTT atau berpindah ke kabupaten lain di NTT, ia sukses bekerja sebagai petani atau pekerja kasar lain. Orang NTT lebih suka pesta. Kehidupan sumir, hura-hura selama berhari-hari sampai larut malam. Harta benda disumbangkan kepada tuan penyelenggara pesta dengan pertimbangan akan mendapat balasan serupa saat ia menyelenggarakan pesta. Sikap gotong royong saat berpesta menyebabkan segala sesuatu dipestakan, seperti masuk rumah baru, pesta sambut baru (komuni pertama), sunatan, cukur rambut anak, pernikahan, ibu melahirkan, wisuda, dan lulus ujian akhir nasional.

Kecenderungan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di masyarakat NTT sangat tinggi ketimbang menjadi wiraswasta. Jika tidak diterima sebagai PNS, mereka memilih tinggal di rumah, bergantung hidup kepada kedua orangtua. Tidak ada kemauan menjadi wiraswasta. Sukuisme sangat tinggi. Terkotak-kotak dalam budaya, adat, agama, dan pulau-pulau. Sikap mereka dalam beragama sangat kuat, tetapi tidak mengamalkan dalam kehidupan praktis sehari-hari, terutama untuk membangun kehidupan sosial yang lebih efektif dan berdayaguna.

 Beberapa Jalan Keluar

Visi Pendidikan Nasional[4] yang masih belum berpihak pada rakyat jelata. Pengelolaan pendidikan terlalu berlebihan menekankan aspek kognitif dan mengabaikan dimensi-dimensi lainnya, sehingga melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang terpecah-pecah. Dengan kata lain, pendidikan kita mengabaikan seruan Howard Gardner (1999) tentang ‘kecerdasan berganda’. Tidak hanya aspek itu saja, melainkan berbagai kecerdasan berganda dalam diri peserta didik yang dapat dikembangkan. Ataukah pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta sebagai satu-satunya tumpuan, tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.

Munculnya reformasi dengan tendensi otonomi daerah melahirkan keterkejutan budaya. Ibarat orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Euforia psikologis demikian membuat masyarakat tidak bisa berpikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi. Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik. Lagi-lagi birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif, merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya, pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Pemimpin daerah tetap mengharap kucuran dana dari pusat, bahkan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Dinas-dinas terkait berjalan tanpa koordinasi yang signifikan justru memelihara keangkuhan egosektoral. Kasus, seperti pungutan liar di akhir tahun ajaran dan saat pendaftaran siswa baru, dalam ucapan bibir sebagai biaya pembuatan pagar, uang bayar tanda tangan, uang kursi, dan macam-macam tetek bengek menjadi contoh nyata betapa tidak sinkronnya penerapan berbagai regulasi pendidikan yang ada.

Dari beberapa perian tentang  problematika pendidikan di atas, maka berikut ini dikemukakan beberapa jalan keluar. Pertama, manusia (kita) hendaknya memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming) dengan dunia luar. Interaksi dan komunikasi perlu dibangun secara inklusif, inovatif (Tilaar, 2002: 124), seirama kemajuan ilmu dan teknologi, dan itu hanya dilalui lewat pintu pendidikan. Kedua, pendidikan membina kemanusiaan, terutama mempersiapkan manusia sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik, selain sebagai proses pengembangan sumber daya manusia untuk memasuki dunia kerja. Ketiga, secara kolektif kemasyarakatan membangun unit-unit pendidikan untuk meneruskan proses pendidikan berkelanjutan, tanpa meninggalkan identitas-identitas lain yang telah memasyarakat. Unit-unit tersebut dapat dilakukan melalui arisan-arisan pendidikan, koperasi, kumpul keluarga pendidikan, dll.

Keempat, manfaatkan lahan tidur dengan terus menanam dan menanam, sebagai investasi pendidikan anak. Tanaman-tanaman perdagangan, berupa coklat, cengkeh, vanili, kemiri, dll, yang tentunya disesuaikan dengan keadaan tanah. Sikap ini mestinya diikuti dengan merawatnya secara baik. Kelima, jauhkan sikap malas, putus asa, rendah diri, dan sikap-sikap lain yang tertutup, sebaliknya mengembangkan dan memupuk sikap kerja keras, saling membantu, menabung, kerja sama, demi terciptanya masa depan generasi yang cerdas, terampil, visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif.

 

DAFTAR RUJUKAN

Gawen, Bala Alexander. 2011. Mengungkai Kiat Mendaras Asa: Telaah Kritis Masalah Sosial Kemasyarakatan. Malang: Pustaka Kayutangan.

 

Gawen, Bala Alexander. Korupsi Di Nusa Flobamora. (HU Pos Kupang, 19 Desember 2011).

 Gawen, Bala Alexander. Ironi Pendidikan Kita. (HU Pos Kupang, 27 Februari 2012).

Saputra, Abe A. 2007. Rumahku Sekolahku. Yogyakarta: Graha Pustaka.

 Tilaar. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.

 Tilaar. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.

 

 



[1] Makalah ini Disampaikan Di Hadapan Masyarakat Desa Kotakeo Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Rabu, 13 Juni 2012

[2] Pintu secara konotatif dimaknai sebagai tempat memasuki sebuah tampat (rumah, gereja, mesjid). Dalam konteks tulisan ini, pintu dimaknai sebagai tempat, bahkan kunci untuk membuka ketertutupan, menyingkap selubung kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, untuk menggapai sebuah cahaya terang benderang menuju sebuah pintu yang membebaskan, pintu yang menyelamatkan.

[3]  Ibarat gelondongan-gelondongan kayu, uang negara terus digulirkan ke NTT melalui berbagai macam desain program pemerintah. Namun, secara faktual, keprihatinan terus terjadi, lantaran gelondongan-gelondongan uang tersebut banyak yang raib di tengah jalan melalui cara korupsi. Lengkapnya dibaca dalam HU Pos Kupang, 19 Desember 2011, tentang Korupsi di Nusa Flobamora.

 [4] Lengkapnya dibaca dalam HU Pos Kupang, 27 Februari 2012, tentang Ironi Pendidikan Kita.