Halaman

Sabtu, 23 Januari 2021

Sastra Memperhalus Budi dan Nalar Anak



Pesatnya arus kehidupan yang kian kompetitif membuat kehidupan manusia sejagat semakin maju, bahkan juga saling berkompetisi merespon kemajuan dunia tersebut. Fenomena ini nyata, ketika perubahan-perubahan kehidupan yang hadir sebagai bukti perkembangan dan kemajuan zaman dimaksud menyata dalam realitas keseharian kita. Misalnya, dengan kemajuan alat-alat transportasi semakin memudahkan mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Akselerasi arus informasi yang semakin memadai, menjadikan dunia ini semakin kecil, sempit dan mudah dijangkaui. Kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun dapat kita amati, bahkan kita saksikan secara langsung (live) pada belahan dunia yang lain. Inilah bukti bahwa manusia selalu berusaha mencari dan menemukan jalan keluar permasalahan dalam kehidupannya, sekaligus memberikan warna atau batas tertentu sebagai penanda-penanda khas setiap pergantian dan perubahan zaman.

Terlepas dari perspektif positip atas kemajuan yang telah dicapai manusia, kemajuan-kemajuan yang disebutkan di atas mendatangkan mala petaka baru, apabila diteropong dari perspektif negatif. Beberapa kasus yang belakangan ini ramai diberitakan lewat berbagai media massa cetak, maupun elektronik, antara lain, pemerkosaan anak di bawah umur, perkelahian antargeng, perang tanding antardesa, tawuran antarpelajar, pembunuhan secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu?

Namun, yang pasti bahwa  perilaku-perilaku negatif yang timbul demikian semakin “menantang” peran kita (orang tua, sekolah, dan masyarakat) untuk merapatkan barisan demi memberikan peran dan tanggung jawab secara lebih terarah dan berkesinambungan. Belum cukup di sana lingkungan yang kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah generasi muda. Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan kejam lagi panas lewat televisi dan laser disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi didengar. Terhadap realitas yang kian mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah turut memberikan kontribusi negatif, bahkan menurunkan degradasi moral anak bangsa.

Terdapat asumsi yang keliru yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik sepenuhnya adalah tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika orang tua telah menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal. Gejala ini termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir dilakukan oleh generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut, bukan berarti keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya menjadi feed back yang tepat untuk melihat keberhasilan pendidikan nilai yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana pendidikan nilai itu telah memberikan sesuatu bagi kehidupan dan perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan nilai bagi generasi muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau ajaran yang dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu memberikan rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat diharapkan agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.

Sastra Bermula dari Kehidupan Anak

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di sekolah dapatlah dikatakan bahwa sastra sampai pada saat ini masih berada pada posisi yang belum banyak peminat karya sastra. Pertama, karena banyak masyarakat kita (Indonesia) tidak suka dengan sastra. Entah itu, membaca maupun menulis sastra. Kedua, pembelajaran sastra formal di sekolah pun masih belum diajarkan secara baik dan menyeluruh. Baik, maksudnya banyak guru sastra yang memang bukan guru sastra. Kalau pun mereka adalah guru sastra, minat dan perhatiannya terhadap sastra belum memadai. Menyeluruh yang dimaksudkan di sini adalah kompetensi-kompetensi pembelajaran sastra masih tumpang tindih dengan bahasa, karena sastra masih menjadi bagian dari bahasa. Kondisi pembelajaran sastra yang disebutkan di atas terjadi pada semua genre atau jenis sastra, baik puisi, prosa, maupun drama.

Keterampilan membaca sastra perlu dikembangkan di sekolah melalui kegiatan membaca sastra. Keterampilan membaca sastra yang dimaksudkan adalah keterampilan membaca sastra anak. Keterampilan membaca sastra anak ini penting karena akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk memahami berbagai wacana sastra yang ditemukan. Wacana-wacana sastra sangat bervariasi, dan pada umumnya sering ditemukan dalam pembelajaran materi-materi sastra di sekolah.

Sastra menjadi sangat penting untuk perkembangan anak karena disebabkan oleh dua hal (Kurniawan, 2009: 2–3), yakni (1) kecintaan anak terhadap karya sastra dapat meningkatkan hobby dan kesukaan anak pada membaca, yang akhirnya dapat meningkatkan kebiasaan membaca anak. Kebiasaan membaca ini merupakan kunci untuk menguasai ilmu pengetahuan apapun; dan (2) dari pembacaan karya sastra yang intens, maka karya sastra bisa meningkatkan aspek kecerdasan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak, karena dalam karya sastra ada kehidupan yang menawarkan nilai-nilai moral yang baik untuk perkembangan pikiran dan perasaan anak.

Sastra  anak tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, maupun tentang berbagai peristiwa yang melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan makhluk dari dunia lain (Nurgiyantoro, 2002: 8). Oleh karena itu, sastra anak bisa dalam bentuk lisan dan tulis. Lisan adalah karya sastra yang diceritakan dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Misalnya, cerita rakyat (folklore, nyanyian rakyat, permainan rakyat, dan lain-lain, yang tersebar di hampir setiap etnik yang ada di Indonesia. Sastra tulis, misalnya puisi, prosa, dan drama. Wacana sastra yang dimaksudkan dalam penlitian ini adalah wacana sastra tulis puisi. Dengan demikian, dalam tulisan ini peneliti menggunakan istilah wacana sastra, namun yang dimaksudkan adalah puisi.

 

Daftar Pustaka

Kurniawan,Heru. 2009. Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nurgiyantoro. 2002. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press.