Halaman

Senin, 01 Februari 2021

Membangun Pertanian Lahan Kering yang Berkelanjutan

 

Jika kita timbang secara teliti tentang kondisi alam pertanian kita, maka akan muncul pendapat bahwa lahan kering kita di Flores mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan lahan basah atau tanah sawah. Pendapat ini didasari oleh fakta pemanfaatan lahan kering itu sendiri selama ini, bahwa di samping sebagai penghasil pangan, lahan kering juga menjadi penghasil produk pertanian lainnya, seperti perkebunan, peternakan, kehutanan, dan bahkan perikanan darat. Hanya saja potensi tersebut tetap terabaikan. Kabupaten Ende, misalnya sekitar 76% penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian dengan sekitar 60% populasi penduduk menekuni tanah lahan kering.

Menarik, apa yang disitir oleh Prof. Dr. Aron Meko Mbete, tentang motivasi pendirian Faperta Uniflor. Pertama, keprihatinan pada nasib para petani-peladang di Kabupaten Ende dan Flores pada umumnya, karena secara ekonomis, petani-peladang ini masih dalam keadaan terpuruk. Kedua, sumber daya alam dan lahan, termasuk sumber daya pangan lokal berbasiskan perladangan Lio-Ende dan Flores pada umumnya sesungguhnya juga potensial. Potensi ini tampak dalam keanekaragaman tanaman pangan asli, tanaman-tanaman obat, tanaman-tanaman hias, yang sesungguhnya secara turun-temurun telah dibudidayakan oleh manusia Lio-Ende, dan Flores pada umumnya.

Ketiga, secara ilmiah dan teknikal sumber daya tanaman lokal di Flores dan sekitarnya memiliki manfaat dan hubungan fungsional yang sangat rekat dengan kehidupan dan keberlangsungan masyarakat, pranata sosial, pengobatan tradisional dan kebudayaan etnik yang mewujud dalam berbagai ritual dalam sistem dan siklus perladangan yang masih dipelihara sampai sekarang. Keempat, demi pembinaan petani-peladang modern yang memanfaatkan jasa iptek untukk tercipta lapangan kerja baru. Petani-peladang yang dimaksudkan adalah petani yang modern dan inovatif.

Realitas demikian menggambarkan bahwa sistem perladangan Lio-Ende dan Flores umumnya telah dibangun secara integrated system dan telah teruji sepanjang zaman. Kendatipun dari aspek nutrisi dan gizi, perlu dicermati kembali, diteliti untuk dibudidayakan dan direvitalisasi. Akibat kebijakan pangan nasional, telah menghancurkan tradisi makan dan makanan lokal. Seyogianya kita mengembangkan pola dan kebiasaan makan (food habit) dan teknologi pangan yang berdasarkan pada keanekaragaman tanaman pangan (multi-culture), yang ada di lingkungan kita, ketimbang memaksa alam untuk hanya memproduksi tanaman tunggal (mono-culture) yang secara turun-temurun menjadi kesukaan kita. Di sinilah butuh kerja sama yang sinergis antara semua pihak–institusi swasta maupun negeri untuk melakukan rekayasa sosial bersama demi mengembalikan kultur makan makanan produk lokal. Koordinasi antara semua aspek atau sektor pembangunan di negeri ini tampaknya masih menjadi barang mewah. Dibutuhkan koordinasi yang sepadan–seimbang, dan bergayut untuk akselerasi pembangunan demi tercapainya cita-cita luhur bangsa. Dengan demikian, kendatipun sumber daya alam sebuah bangsa sangat melimpah ruah, tetapi kualitas pembangunannya lebih ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia bangsa tersebut.

Mencermati pola makan generasi muda era ini, kita menyebutnya sebagai sebuah generasi yang didera kemanjaan nasi. Penyebutan ini sangat jelas tampak lewat program paket: raskin (beras untuk rakyat miskin), yang secara empiris telah memanjakan generasi kita. Generasi kita sudah terperangkap dalam paradigma, kalau belum makan nasi, artinya belum makan. Di titik kritis ini, perlu diupayakan usaha keras untuk mengubah dan memeperbaiki streotipe tersebut, dan lebih baik kalau dimulai dari generasi muda. Kalau saja tanpa sebuah pendekatan solusif yang antisipatif, maka akibatnya, akan muncul atau melahirkan generasi yang kemanjaan berusaha, mental instant, doyan PNS, sementara sumber daya lahan kita memungkinkan untuk mengembangkan tanaman tahunan sebagai komoditas baru dan alternatif lain, seperti cengkeh, vanili, kakao,jambu mete,dll.

Pada tataran budaya, padi lokal juga tanaman obat, tanaman hias, bahkan jenis pepohonan tertentu, tidaklah cuma bermanfaat praktis, namun secara biologis-ekologis, serta fungsional sangat berpautan dengan mitos, idiologi, dan sistem kepercayaan yang tidak dapat disepelekan dan direduksi begitu saja. Misalnya, padi (pare) dalam idiologi Lio-Ende , tidaklah sebatas makna dan fungsi pengisi perut dan gizi saja, melainkan mengandung nilai simbolis tentang jiwa pengorbanan kepada sesama, memiliki daya cegah hama dan penyakit. Untuk itu, pembudidayaan padi dan tanaman lokal lainnya merupakan pemulihan kembali (rekonsiliasi dan konsolidasi) bangunan sosial setelah mengalami transformasi dan kekacauan.


             Dengan demikian, sarjana pertanian lahan kering Faperta Uniflor diharapkan untuk: pertama, memiliki usaha budidaya aneka tanaman lokal yang potensial; kedua, mampu meningkatkan kemampuan teknis perladangan dan pertanian lahan kering komunitas peladang lokal; ketiga, dapat menunjang pertumbuhan ekonomi petani-peladang;  dan keempat, menjadi wirausahawan yang membudidayakan tanaman-tanaman asli dan tanaman-tanaman inovatif untuk merangsang generasi muda peladang lokal dalam mengembangkan usaha yang sama, termasuk penataan ladang asli (nggua uma) model agrowisata yang tentunya memiliki nilai jual yang tinggi menuju modernitas yang berakar lokal.
Kebun umum masyarakat, kebun sekolah, dan istilah lain yang sejenis akan membuat generasi kita menyadari tentang keberadaan kita yang sebenarnya.

Kepercayaan pemerintah tersebut sesungguhnya merupakan peluang dan tantangan. Peluang karena, kondisi nusa Flores, dalam jamaan Faperta Uniflor diharapkan dapat mendidik dan menghasilkan generasi-generasi Flores untuk betah dan menyatu bersama alam sekalian para petani-peladang di Nusa Flores. Tantangan karena calon sarjana akan berhadapan dengan alam dan kondisi Flores yang kering, dengan topografi bukit dan lembah. Pada kondisi demikian, sarjana Faperta Uniflor diharapkan menjadi sarjana yang organis, yakni sarjana yang betah, peka, peduli dan menyatu dengan masalah-masalah  perladangan dan mampu menemukan jalan keluar penyelesaiannya. (*)

Membaca untuk Menulis

 


Tuntutan keterampilan membaca pada abad 21 berkitar pada memiliki keterampilan membaca untuk memahami informasi secara analitis, kritis, dan refektif. Tuntutan ini dapat dicapai hanya melalui kecakapan dan kemampuan membaca yang baik secara integral dalam kecakapan berliterasi. Dengan alasan itulah literasi telah menjadi gerakan nasional. Intensitas kemampuan membaca secara baik dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kemampuan menalar peserta didik Indonesia masih sangat rendah. Hal ini diketahui dari studi terkini tahun 2016 oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang melaksanakan penilaian tiga tahunan atas budaya literasi di 72 negara melalui Program For International Students Assesment—melansir indeks budaya literasi siswa antarbangsa. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya lima persen peserta didik Indonesia yang mampu memecahkan persoalan yang membutuhkan pemikiran, sedangkan sisanya 95 persen hanya sampai pada level menengah, yaitu memecahkan persoalan yang bersifat hafalan (Kompas, 29 April 2017). Tulisan ini menukik pada hal-hal praktis, sekadar mengingatkan seluruh elemen masyarakat untuk turut serta menyukseskan kemampuan dan kecakapan membaca dan menulis.

Membaca (buku) juga hendak menandaskan tentang eksistensi kita sebagai makhluk yang terus mencari. Makhluk yang tidak pernah selesai. Makhluk yang memiliki hasrat dan rasa penasaran untuk terus ingin tahu tentang sesuatu. Rene Descartes–melalui cogito ergo zum ingin menggugah rasa penasaran manusia itu untuk mencari dan terus mencari. Karena hanya itulah manusia akan mengalami kepuasan dan kebanggaan rohaniah untuk terus eksis dalam kehidupan sosialnya. Bahkan, dalam literasi sastra, berdasarkan hasil Kongres Bahasa Indonesia XI 2018 di Jakarta merekomendasikan  bahwa siswa SD dalam setahun bisa membaca 10 judul karya sastra, SMP 15 judul, dan siswa SMA/ SMKmembaca 2 judul, ungkap Ketua Tim Perumus KBI XI Prof. Dr. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang. (Kompas, 1 November 2018).

Fakta tersebut menggambarkan tentang pentingnya kemampuan literasi dasar baca-tulis di kalangan siswa. Kegiatan membaca dan menulis di sekolah diharapkan berevolusi dari waktu ke waktu, terutama melalui pembiasaan kondisi pembelajaran yang terus-menerus melibatkan semua perangkat pendidikan di sekolah. Agar seluruh perangkat pendidikan sekolah juga masyarakat di sekitar mampu menciptakan suatu ekosistem belajar yang kondusif.

Siswa tidak berhenti pada aktivitas membaca, tetapi ditindaklanjuti secara intensif melalui pendampingan menulis topik-topik keseharian di sekitar lingkungan hidup para siswa, terutama tentang kegiatan-kegiatan siswa atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Targetnya, misalnya tersedianya wadah “pohon ilmu pengetahuan” sebagai media memupuk literasi baca dan tulis. Pohon ilmu pengetahuan ini, secara teratur akan ditempel atau digantung tulisan-tulisan siswa agar dapat dibaca oleh semua warga sekolah. Aktivitas ini akan dilaksanakan seminggu sekali. Tulisan yang telah dibaca, dikumpulkan secara rapi untuk dijilid dan disimpan di perpustakaan sekolah.

Antoro (2019), mengemukakan tiga tujuan pembelajaran menulis di sekolah, yakni pertama, sebagai sarana bagi siswa untuk memahami teks atau konsep keilmuan tertentu. Artinya, tema-tema kegiatan menulis harus selalu terkait dengan bidang keilmuan atau mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kedua, untuk mengkritisi informasi atau konsep tertentu yang sedang dipelajari siswa. Tujuan menulis diarahkan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis siswa, berorientasi pada memecahkan masalah, dan meningkatkan kreativitas siswa. Ketiga, menghasilkan berbagai jenis tulisan yang sesuai dengan konteks keilmuan atau mata pelajaran yang sedang dipelajari.

Untuk mencapai harapan agar siswa memiliki keterampilan yang mumpuni dalam membaca, maka terdapat tiga faktor pendukung yang diperhatikan, yakni ketersediaan bahan bacaan, ketersediaan alokasi waktu, dan ketersediaan sarana penunjang.

Tugas kita, orang tua, sekolah dan masyarakat adalah mengupayakan keseimbangan ketiga faktor tersebut. Ketersediaan bahan bacaan berkenaan dengan bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat umur dan tingkat kemampuan siswa. Ruang perpustakan atau taman-taman bacaan perlu diisi atau dilengkapi dengan aneka bahan bacaan. Semakin variatifnya bahan bacaan, tentu semakin menambah minat dan gairah untuk menimba sesuatu di dalamnya. Alokasi waktu dimaksudkan tersedianya alokasi waktu khusus bagi para siswa untuk membaca dan menulis. Sedapatnya, alokasi waktu terakomodir dalam rencana pembelajaran guru. Hal ini untuk mengingatkan guru agar tidak lupa memberikan waktu membaca dalam upaya membangun sikap dan perilaku membaca pada diri siswa.

Sarana yang dimaksudkan menyasar pada kelayakan dan ketersediaan tempat baca yang baik. Perpustakaan sekolah akan ditata apik, menyenangkan demi merangsang minat baca siswa. Juga akan ditempel gambar-gambar tokoh-tokoh hebat sebagai motivasi belajar pada dinding ruang kelas dan perpustakaan untuk menambah rasa ingin tahu siswa untuk membaca guna menemukan ilmu pengetahuan dalam buku. Di samping itu, akan ditulis kalimat-kalimat ajakan ataupun nasihat bijak tentang pentingnya membaca dan menulis dalam bahasa daerah setempat maupun dalam bahasa Indonesia, dan digantung pada tempat-tempat strategis di lingkungan sekolah untuk “mengingatkan” para siswa tentang pentingnya membaca dan menulis. Gambar para tokoh hebat dan kalimat-kalimat atau nasihat bijak berpetuah dimaksud berfungsi untuk menggerakkan hati para siswa untuk setia membaca setiap hari. Tampaknya agak idealis, namun untuk berhasil sesorang perlu belajar dari orang-orang besar, orang-orang hebat (imitatio).

Selain tiga faktor tersebut, hal lain yang dapat diupayakan adalah membangun kerja sama dengan perangkat desa untuk menciptakan rasa aman bagi belajar para siswa dalam lingkungan desa. Orang tua murid untuk ikut memberikan kontribusi nyata seperti, menyediakan bahan bacaan yang sesuai, mengatur waktu belajar di rumah, serta memberikan waktu atau mengijinkan anak untuk mengikuti secara baik pelaksanaan program literasi di sekolah. Kantor desa tidak saja menjadi pusat administrasi pemerintahan desa, namun “disulap” menjadi pusat informasi berbagai ilmu pengetahuan. Semua warga masyarakat akan dengan mudah mencari dan mendapatkan berbagai informasi tersebut melalui aktivitas membaca di kantor desa. Artinya, untuk keberhasilan gerakan literasi, semua unsur harus terlibat.(*)

Menebak Intensi Bahasa Calon Kepala Daerah 2020

 

Konstelasi politik di negeri ini, hari-hari ini, dan ke depan, oleh berbagai pihak diprediksi semakin panas. Di tengah pergulatan kita semua warga bangsa berjibaku memutus mata rantai penyebaran corona virus-19. Pemilihan kepala daerah serentak yang digelar pada 9 Desember 2020 di 270 wilayah, yakni 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota menjadi salah satu tanda tentang ini karena menyedot perhatian warga bangsa, mulai dari ibukota negara sampai pelosok-pelosok desa. Oleh banyak kalangan pula, durasi tersisa tahun 2020 ini disebut musim politik karena kita berada dalam tahun-tahun politik. Hampir setiap saat, di manapun ruang politik itu selalu terisi, makin terasa kental kentara. Amati saja, misalnya, tukang-tukang bangunan, ketika istirahat makan siang, suplemen “omong politik” akan menambah lezat makan siangnya. Di pasar ikan apalagi, penjual ikan rela tidak lekas pulang rumah usai menjual ikan. Kumpul-kumpul dulu di lapak-lapak ikan sekadar sharing prediksi perjalanan kebangsaan menjelang kontestasi Pilkada di wilayahnya masing-masing dan aneka point efek yang akan diperoleh usai gelaran kebangsaan ini. Lain lagi, misalnya, para pengojek di pangkalan-pangkalan ojek sibuk omong soal jagoan politiknya. Bahkan, sampai harus bertaruh di antara mereka, kalau figur-figur yang dijagokan itu menang atau kalah dalam kontestasi demokrasi.

Ya, sepertinya politik di negeri ini telah menjadi primadona warga bangsa menjelang Pilkada nanti. Ia mampu menjadi daya tarik, bahkan pelecut semangat manusia dalam aneka profesi. Ia mampu membangkitkan semangat orang-orang yang sedang tidak dalam gairah kerja. Ketika mendengar saja kata politik, sontak seperti mendapat stimulus atau rangsangan baru. Ada ruang kosong kesadaran yang belum terisi dalam aktivitas-aktivitas hariannya. Politik seperti makanan empuk yang siap disantap oleh siapa saja. Jadilah, politik menjadi satu tema paling seksi, disukai, diminati, digandrungi oleh masyarakat. Entahlah, apa gerangan, namun yang pasti bagi kita, pesta politik Pilkada yang akan dilaksanakan adalah manifestasi demokrasi kerakyatan yang sangat menentukan nasib perjalanan semua warga bangsa. Maka, politik kemudian menjadi semacam obat perangsang, membuat orang tidak kehabisan daya dan pikirannya untuk terus berkiprah dalam dunia legislatif maupun eksekutif.

Fakta politik yang demikianlah membuat banyak orang kepincut dan masuk dalam bursa pertarungan menuju kursi eksekutif maupun legislatif. Tak pelak, fenomena calon pensiunan dan uzurpun masih saja mengisi daftar calon tetap legislatif DPR dan DPRD. Tak ketinggalan, figur-figur yang sudah bertahun-tahun, dari periode ke periode sebagai anggota legislatifpun masih saja bergairah untuk duduk kembali. Orang-orang besar partai politik yang pernah berkuasapun ingin kembali berkuasa dalam jalur legislatif maupun eksekutif. Apa yang dicari? Wallahualam. Padahal, kerja-kerja kelegislatifan dan keeksekutifan membutuhkan figur-figur yang berani, energik, kuat pikiran, dan tindakannya.

Jika ini adalah sebuah prosesi atau pagelaran akhbar demokrasi dengan judul Pilkada dan akan menemui klimaksnya pada 9 Desembr 2020 nanti, maka kita sedang menyaksikan para calon yang adalah warga negara dalam sebuah antrean panjang sedang menampilkan perannya masing-masing melalui aneka gaya. Setidaknya itu yang terbaca dalam masa kampanye ini. Juga pada aneka tampilan dari baliho. Aneka gaya pada semarak baliho-baliho di sudut-sudut kota.

Jika ini adalah sebentuk karya kreatif fiksi, maka tentu tokoh sentralnya adalah aku atau saya. Para calon gubernur, bupati atau walikota memunculkan keakuannya atau kesayaannya. Mereka menjadi tokoh sentral penceritaan bahkan sebagai tokoh utama cerita yang diutamakan penceritaannya karena sangat menentukan perkembangan alur atau plot cerita. Teknik pelukisan tokoh aku atau saya para calon yang eksplisit kita baca pada baliho-baliho yang dipajang ramai di pinggir jalan, di bahu pohon, di tembok, di tiang listrik, dan obyek-obyek pajanan lain menggunakan teknik pelukisan ekspositori. Teknik ekspositoris diri secara langsung dan tidak berbelit-belit. Baliho disertai foto calon dan penggalan kata, frase, dan kalimat singkat menyiratkan tentang watak, sikap, tindakan, komitmen, arah perjuangannya juga tentang fisiknya.

Ambil contoh, pemakaian kata muda, cerdas, berani, peduli, kerja nyata, energik, aspiratif, berkomitmen, membawa perubahan, melayani, dan masih banyak lagi. Di sinilah, para calon memaksimalkan keakuannya atau kesayaannya dalam mengkonkritisasi dan mengefektifkan kediriannya kepada para pembaca (pemilih), secara khusus kepada khalayak atau publik. Intensitas ekspositoris ini terpaksa digunakan agar pesan tentang kediriannya lekas sampai, sehingga khalayak pun lebih cepat dan mampu berimajinasi tentang calon itu.

Jika ini adalah sebuah konstruksi wacana, maka baliho para calon merupakan sebentuk iklan. Selaku pemroduksi pesan, para calon sedang mengiklankan diri dan memperlihatkan apa yang disebut oleh Rani (2006:67) sebagai proposisi. Proposisi merupakan pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya bahkan ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya. Struktur wacana iklan dibangun dari aspek proposisinya. Menurutnya, struktur wacana iklan terdiri dari tiga unsur, yakni butir utama (headline), badan (body), dan penutup (close). Maka, publik pemilih, rakyat atau konstituen sedang dihadapkan pada sebuah teks utuh tentang para calon.

Teks tidak sekadar mempresentasikan produsen pesan dan kelompok sosial yang ada di belakangnya. Namun, di balik teks ada intensi penutur. Ada intensi bahasa para calon. Dalam konteks yang demikianlah, bahasa menjadi instrumen tak terbantahkan bagi pemroduksi pesan (para calon) untuk dapat bersosialisasi dengan pemilih atau pendukungnya. Karena itulah bahasa tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam suatu kohesi sosial yang mempersatukan dan merupakan milik kolektivitas masyarakat.

Singkat kata, wacana padat, singkat, dan komunikatif yang menyertai foto calon bertujuan menarik perhatian sekaligus membangun kesadaran publik, terutama para pemilih untuk mampu mengubah perilaku atau tingkah laku pilihan pemilih. Ia adalah proposisi aku atau saya para calon. Bagi pemilih rasional, wacana para calon adalah instrumen mengukur derajat keterpilihan mereka dalam kontestasi Pilkada yang akan datang. Sebab, apapun yang akan diperjuangkan sekaligus diartikulasikan nanti terpancar dari bahasa yang digunakan.

Dalam kerangka pikir inilah, para calon musti menghindari black propaganda verbal saat kampanye. Bangun image positif melalui konfigurasi konsep dan gagasan melalui distribusi visi, misi secara maksimal untuk menunjukkan sisi baik. Performance calon haruslah berakar dari keyakinan mengkontestasi gagasan dan program juga kapabilitas, termasuk sajian-sajian terukur dengan indikator dan tingkat ketercapaian program yang detail, rinci, dan akurat. Minimal dari kontestasi gagasan inilah konstituen dapat membaca “gambaran besar” tentang dirinya, serta masyarakat kota, kabupaten, atau provinsi pada lima tahun mendatang. Menjauhkan diri dari black propaganda tentu juga merupakan tugas kita semua: partai politik, para calon, politisi, tim sukses, masyarakat akar rumput. Ini sikap terbuka kita semua menjaga berlangsungnya pesta demokrasi Pilkada secara kompetitif, namun tetap pula menjunjung kebersamaan yang telah terjanin secara baik pula dari tahun ke tahun. (*).