Jika kita timbang secara teliti tentang kondisi alam pertanian kita, maka akan muncul pendapat bahwa lahan kering kita di Flores mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan lahan basah atau tanah sawah. Pendapat ini didasari oleh fakta pemanfaatan lahan kering itu sendiri selama ini, bahwa di samping sebagai penghasil pangan, lahan kering juga menjadi penghasil produk pertanian lainnya, seperti perkebunan, peternakan, kehutanan, dan bahkan perikanan darat. Hanya saja potensi tersebut tetap terabaikan. Kabupaten Ende, misalnya sekitar 76% penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian dengan sekitar 60% populasi penduduk menekuni tanah lahan kering.
Menarik, apa yang disitir oleh Prof. Dr. Aron Meko Mbete, tentang motivasi pendirian Faperta Uniflor. Pertama, keprihatinan pada nasib para petani-peladang di Kabupaten Ende dan Flores pada umumnya, karena secara ekonomis, petani-peladang ini masih dalam keadaan terpuruk. Kedua, sumber daya alam dan lahan, termasuk sumber daya pangan lokal berbasiskan perladangan Lio-Ende dan Flores pada umumnya sesungguhnya juga potensial. Potensi ini tampak dalam keanekaragaman tanaman pangan asli, tanaman-tanaman obat, tanaman-tanaman hias, yang sesungguhnya secara turun-temurun telah dibudidayakan oleh manusia Lio-Ende, dan Flores pada umumnya.
Ketiga, secara ilmiah dan teknikal sumber daya tanaman lokal di Flores dan sekitarnya memiliki manfaat dan hubungan fungsional yang sangat rekat dengan kehidupan dan keberlangsungan masyarakat, pranata sosial, pengobatan tradisional dan kebudayaan etnik yang mewujud dalam berbagai ritual dalam sistem dan siklus perladangan yang masih dipelihara sampai sekarang. Keempat, demi pembinaan petani-peladang modern yang memanfaatkan jasa iptek untukk tercipta lapangan kerja baru. Petani-peladang yang dimaksudkan adalah petani yang modern dan inovatif.
Realitas demikian menggambarkan bahwa sistem perladangan Lio-Ende dan Flores umumnya telah dibangun secara integrated system dan telah teruji sepanjang zaman. Kendatipun dari aspek nutrisi dan gizi, perlu dicermati kembali, diteliti untuk dibudidayakan dan direvitalisasi. Akibat kebijakan pangan nasional, telah menghancurkan tradisi makan dan makanan lokal. Seyogianya kita mengembangkan pola dan kebiasaan makan (food habit) dan teknologi pangan yang berdasarkan pada keanekaragaman tanaman pangan (multi-culture), yang ada di lingkungan kita, ketimbang memaksa alam untuk hanya memproduksi tanaman tunggal (mono-culture) yang secara turun-temurun menjadi kesukaan kita. Di sinilah butuh kerja sama yang sinergis antara semua pihak–institusi swasta maupun negeri untuk melakukan rekayasa sosial bersama demi mengembalikan kultur makan makanan produk lokal. Koordinasi antara semua aspek atau sektor pembangunan di negeri ini tampaknya masih menjadi barang mewah. Dibutuhkan koordinasi yang sepadan–seimbang, dan bergayut untuk akselerasi pembangunan demi tercapainya cita-cita luhur bangsa. Dengan demikian, kendatipun sumber daya alam sebuah bangsa sangat melimpah ruah, tetapi kualitas pembangunannya lebih ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia bangsa tersebut.
Mencermati pola makan generasi muda era ini, kita menyebutnya sebagai sebuah generasi yang didera kemanjaan nasi. Penyebutan ini sangat jelas tampak lewat program paket: raskin (beras untuk rakyat miskin), yang secara empiris telah memanjakan generasi kita. Generasi kita sudah terperangkap dalam paradigma, kalau belum makan nasi, artinya belum makan. Di titik kritis ini, perlu diupayakan usaha keras untuk mengubah dan memeperbaiki streotipe tersebut, dan lebih baik kalau dimulai dari generasi muda. Kalau saja tanpa sebuah pendekatan solusif yang antisipatif, maka akibatnya, akan muncul atau melahirkan generasi yang kemanjaan berusaha, mental instant, doyan PNS, sementara sumber daya lahan kita memungkinkan untuk mengembangkan tanaman tahunan sebagai komoditas baru dan alternatif lain, seperti cengkeh, vanili, kakao,jambu mete,dll.
Pada tataran budaya, padi lokal juga tanaman obat, tanaman hias, bahkan jenis pepohonan tertentu, tidaklah cuma bermanfaat praktis, namun secara biologis-ekologis, serta fungsional sangat berpautan dengan mitos, idiologi, dan sistem kepercayaan yang tidak dapat disepelekan dan direduksi begitu saja. Misalnya, padi (pare) dalam idiologi Lio-Ende , tidaklah sebatas makna dan fungsi pengisi perut dan gizi saja, melainkan mengandung nilai simbolis tentang jiwa pengorbanan kepada sesama, memiliki daya cegah hama dan penyakit. Untuk itu, pembudidayaan padi dan tanaman lokal lainnya merupakan pemulihan kembali (rekonsiliasi dan konsolidasi) bangunan sosial setelah mengalami transformasi dan kekacauan.
Dengan demikian, sarjana pertanian lahan kering Faperta Uniflor diharapkan untuk: pertama, memiliki usaha budidaya aneka tanaman lokal yang potensial; kedua, mampu meningkatkan kemampuan teknis perladangan dan pertanian lahan kering komunitas peladang lokal; ketiga, dapat menunjang pertumbuhan ekonomi petani-peladang; dan keempat, menjadi wirausahawan yang membudidayakan tanaman-tanaman asli dan tanaman-tanaman inovatif untuk merangsang generasi muda peladang lokal dalam mengembangkan usaha yang sama, termasuk penataan ladang asli (nggua uma) model agrowisata yang tentunya memiliki nilai jual yang tinggi menuju modernitas yang berakar lokal. Kebun umum masyarakat, kebun sekolah, dan istilah lain yang sejenis akan membuat generasi kita menyadari tentang keberadaan kita yang sebenarnya.
Kepercayaan pemerintah tersebut sesungguhnya merupakan peluang dan tantangan. Peluang karena, kondisi nusa Flores, dalam jamaan Faperta Uniflor diharapkan dapat mendidik dan menghasilkan generasi-generasi Flores untuk betah dan menyatu bersama alam sekalian para petani-peladang di Nusa Flores. Tantangan karena calon sarjana akan berhadapan dengan alam dan kondisi Flores yang kering, dengan topografi bukit dan lembah. Pada kondisi demikian, sarjana Faperta Uniflor diharapkan menjadi sarjana yang organis, yakni sarjana yang betah, peka, peduli dan menyatu dengan masalah-masalah perladangan dan mampu menemukan jalan keluar penyelesaiannya. (*)