Di bilangan Jalan Soekarno Ende. Tepatnya 21 tahun lalu, di kampus lama Universitas Flores, persis di depan Lapangan Perse Ende (sekarang Lapangan Pancasila), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores menyelenggarakan Temu Sastra untuk menelaah sosok Chairil Anwar, penyair sekaligus pelopor Angkatan '45. Temu Sastra yang oleh panitya kecil, cuma tujuh orang, dikemas dalam seminar sastra dengan menghadirkan empat pembicara.
Menelaah Chairil Anwar
Mereka itu adalah (1) Dra. Maria Marrieta B. Larasati, membahas topik "Chairil Anwar: dari Pendobrak ke Mitos; (2) Pastor (almh) John Dami Mukese, membahas topik "Sekilas Dunia Sastra di Indonesia Dewasa Ini"; (3) Drs. Pius Pampe, M.Hum, membahas topik "Menyingkap Tabir Kepribadian Chairil Anwar; dan (4) Drs. Jekson Kebol, M.Hum., membahas topik "Puisi-Puisi Chairil Anwar: Sikap, Visi, Tema, dan Struktur".
Dalam laporan sekilas sebagai ketua panitya saya menyitir pendapat John Paul Sartre yang bilang bahwa manusia bukan sebuah koleksi, tetapi sebuah totalitas. Pendapat ini hendak menegaskan bahwa manusia musti menyatakan seluruh potensi atau kemampuan dirinya, termasuk kemampuan bersastra. Bersastra, hemat saya adalah mengangkat sesuatu yang realitas objektif menjadi realitas baru, yakni realitas imajinatif, tentu melalui proses kreativitas yang tinggi. Temu sastra dengan tema "Sastra Pengungkap Realitas Kehidupan", tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kematian Cairil Anwar, yang meninggal 28 April 1949.
Pada sosok Chairil Anwar, masyarakat sastra belajar tentang proses kreatif yang ulet. Chairil Anwar punya individualitas dan vitalisme tinggi, tenaga hidup, api hidup yang membawa angin segar perubahan dalan perkembangan sejarah sastra Indonesia. Padanya, "Aku" adalah paling penting. Kenyataan demikian, tergambar dalam cita-cita hidupnya untuk mereguk hidup ini sepuas-puasnya: "Aku ingin hidup seribu tahun lagi".
Kegiatan kala itu diliput oleh wartawan dengan inisial "isk", jika tidak salah ini adalah Pak Frans Obon. Dan dipublikasikan dalam DIAN, 30 APRIL 1999. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar