Halaman

Kamis, 27 Oktober 2022

Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail

 


Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas

dari tangan

dan meluncur lewat sela-sela jari kita

 Ada sesuatu yang mulanya

tak begitu jelas

tapi kini kita mulai merasakannya

 Kita saksikan udara

abu-abu warnanya

Kita saksikan air danau

yang semakin surut jadinya

Burung-burung kecil

tak lagi berkicau pagi hari

 

Hutan                         kehilangan ranting

Ranting           kehilangan daun

Daun               kehilangan dahan

Dahan                         kehilangan hutan

 

Kita saksikan zat asam

didesak asam arang

dan karbon dioksid itu

menggilas paru-paru

 Kita saksikan

Gunung          membawa abu

Abu                 membawa batu

Batu                membawa lindu

Lindu              membawa longsor

Longsor           membawa air

Air                   membawa banjir

Banjir

air

mata

 Kita telah saksikan seribu tanda-tanda

Bisakah kita membaca tanda-tanda?

 

Allah

Kami telah membaca gempa

Kami telah disapu banjir

Kami telah dihalau api dan hama

Kami telah dihujani abu dan batu

 

Allah

Ampuni dosa-dosa kami

 

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

 Karena ada sesuatu yang rasanya

mulai lepas dari tangan

akan meluncur lewat sela-sela jari


Karena ada sesuatu yang mulanya

tak begitu jelas

tapi kini kami

mulai

merindukannya

 

 Beberapa catatan apresiasi:

Ø  Puisi ini sebetulnya menggambarkan sebuah keprihatinan alam dan para pelakunya. Dengan demikian, ada kobaran harapan, kecintaan, serta upaya untuk melestarikan alam yang adalah sumber segala hidup di bumi dan dunia.

Ø  Kita bisa begitu gampang menyaksikan polusi dan sampah berserakan di mana-mana. Inilah keserakahan manusia terhadap alam.

Ø  Mungkinkah masih tumbuh sikap dan perilaku untuk memelihara alam yang indah, agar tetap awet dan lestari.

Ø  Puisi  ini juga menggambarkan adanya perubahan pola perilaku, pikiran, dan sikap terhadap alam. Perubahan-perubahan dimaksud memprlihatkan kerusakan alam di mana-mana.  Aktivitas pertambangan, penebangan, anomali cuaca, adalah contoh nyata betapa kita mulai resah dengan perubahan pola perilaku dan gaya hidup modern.

Ø  Puisi ini juga menggambarkan latar belakang kehidupan seorang Taufik Ismail yang adalah seorang sarjan kehewanan, namun memiliki keberpihakan yang amat sangat tinggi, dalam, dan sempurna akan proses pelestarian hutan.

   Tugas:

Carilah informasi latar belakang kehidupan Taufik Ismail sehingga dia menciptakan puisi ini. Bandingkan dengan puisi ”Kupu-kupu Dalam Buku”, karya Taufik Ismail.

Memperkuat Imunitas Bahasa Daerah

         

Semenjak pandemi covid-19 melanda dunia, tak diduga bahwa kehidupan manusia global menjadi rapuh. Covid-19 merangsek masuk menyerang hampir semua sendi kehidupan manusia. Tidak ketinggalan, pandemi tak bertuan itu menyerang Indonesia. Saat itu pula, para virolog dan pemerintah mengimbau masyarakat untuk taat protokol kesehatan dan senantiasa menjaga imunitas tubuh dengan berolahraga, mengonsumsi vitamin dan makanan bergizi, berpikiran positif, serta berbagai upaya lainnya. Bahkan, program vaksinasi massal yang giat dilaksanakan sekarang bertujuan membentengi diri dan memperkuat imunitas komunitas sosial menjadi solusi efektif menangkal lajunya penularan covid-19 dengan aneka varian yang mungkin bakal terjadi.

Analogi ganasnya pandemi covid-19 tersebut, jika kita tarik ke dalam lingkup menelisik keberadaan bahasa ibu, maka minimal terdapat dua pertanyaan yang diajukan untuk menguji keberadaan bahasa-bahasa daerah kita. Pertama, seberapa kuat daya “imunitas” (meminjam istilah kesehatan) bahasa daerah terhadap terjangan dan gempuran bahasa-bahasa lain, termasuk kelincahan berbahasa multimedia generasi muda kita sekarang?, dan kedua, adakah upaya-upaya strategis untuk mempertahankan atau memperkuat imunitas bahasa daerah bagi generasi muda agar tetap bertahan hidup di tengah geliat perkembangan teknologi dan komunikasi yang serba cepat.

Bahasa Daerah sebagai Rumah Asal

Bahasa daerah adalah rumah asal atau rumah bersama memulai kehidupan. Dari rumah inilah simbol-simbol kultural dan kelindan nilai-nilai humanitas paling hakiki mulai ditanam sekaligus diinternalisasi sebagai bekal bagi seorang anak mengarungi hidupnya. Dalam konteks demikian, bahasa daerah selalu menampilkan wajah jati diri bagi seseorang. Itulah sebabnya, bahasa daerah telah menjadi tradisi leluhur yang paling monumental untuk layak dihidupi dari waktu ke waktu. Jika bahasa daerah dianggap sebagai rumah asal, bahkan tanah air pertama, maka para penutur, terutama generasi muda pantas mengikatkan sumpah untuk setia dan loyal mengkampanyekan tidak saja bahasa Indonesia, namun juga bahasa daerah sebagai wahana filosofis yang padat dengan pandangan dan modal sosial hidup bermasyarakat. Meneguhkan semangat dan menebalkan imunitas bahasa daerah sebagai bahasa ibu semakin memberi infus vitalitas hidup bahasa daerah tersebut.

Dalam banyak hal kita patut berkeyakinan bahwa bahasa daerahlah mengandung gagasan dalam mengungkap sesuatu. Dalam banyak hal pula, bahasa daerah banyak memberi inspirasi dan jalan keluar mengambil keputusan dalam memecahkan masalah atau konflik sosial dalam masyarakat. Keyakinan dan keakurasian jalan keluar tersebut tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Karena itulah, bahasa daerah dianggap lebih “bertenaga” dan memiliki daya kontekstual sehingga lebih cepat dipahami oleh kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Keyakinan dan pengetahuan lokal inilah menjadi daya dorong elaborasi bahasa daerah, baik sistemnya maupun secara fungsional. Dengan demikian, imunitas bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang selalu menyimpan pengetahuan lokal kemanusiaan, bahkan mampu menggambarkan realitas semesta manusia, kebudayaan, dan alam sekitar sebagai rumah berpijak.

Jika ingin bertahan hidup di tengah tumbuh suburnya bahasa multimedia sekarang ini, maka imunitas bahasa daerah terus diupayakan, terutama ketahanan berbahasa daerah di kalangan generasi muda. Pemerolehan bahasa ibu jika dibiarkan terus berlangsung secara alamiah, maka lama-kelamaan bahasa daerah akan mengalami kematian . Apalagi hegemoni bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya yang sangat besar di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi faktor lambatnya perkembangan bahasa daerah. Oleh karena itu, ada semacam pengaturan penggunaan bahasa daerah dalam masing-masing komunitas untuk menjamin keberlanjutan bahasa daerah dimaksud. Lingkungan keluarga diharapkan menjadi tonggak pewarisan bahasa daerah. Mengatur secara bijak keseimbangan penggunaan bahasa daerah di rumah, bila keluarga heterogen. Atau, menghadirkan pihak lain, seperti sanak saudara dan anggota keluarga ibu untuk membelajarkan bahasa daerah pada anak-anak.

Secara makro, kampanye-kampaye pembangunan dan kesehatan, misalnya disampaikan dalam bahasa daerah untuk menjamin tersampainya pesan dengan baik. Sebab, secara sosiologis kita patut menduga bahwa kegagalan sebagian pembangunan disebabkan karena ketidakpahaman bahasa aturan atau regulasi pemerintah. Melibatkan generasi muda untuk sosialisasi kebijakan pembangunan dalam beragam bahasa daerah dengan animasi dan ragam percakapan yang familiar dengan keseharian masyarakat vernakular. Ini adalah keniscayaan menumbuhkan rasa percaya diri dan loyalitas generasi muda atas bahasanya sendiri. Hemat saya, langkah ini sebagai upaya strategis yang perlu dilaksanakan sebagaimana kritik pembangunan yang pernah disampaikan oleh filsuf Tiongkok Kong Hu Cu ketika ditanya muridnya tentang apakah yang ingin dia lakukan setelah menjadi pemimpin. Menurutnya, bahasalah yang pertama-tama ingin dia perbaiki (Rampung, 2005:viii). Bahwa bahasa mencerminkan sekaligus menjamin keberesan relasi antarmanusia dan antaretnis dalam masyarakat. Relasi keakraban masyarakat tersebut tertanam dalam bahasa daerah kita masing-masing. (*)



[1] Dimuat pada HU Pos Kupang, 26 Oktober 2022

Jumat, 21 Oktober 2022

Prodi PBSI Universitas Flores Ende Selenggarakan Lokakarya Pembuatan Modul Pengajaran

Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores Ende menyelenggarakan Lokakarya Pembuatan Modul Pengajaran Berbasis Muatan Lokal, pada Selasa, 18 Oktober 2022, bertempat di Gedung PBSI Universitas Flores, Jalan Sam Ratulangi Ende. Lokakarya menghadirkan narasumber Dr. Yoseph Yapi Taum, M,Hum., Ketua Program Magister Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Saat membuka lokakarya Dr. Drs.Yosef Demon Bataona, M.Hum., Ketua Prodi PBSI Universitas Flores mengungkapkan bahwa kegiatan ini ibarat singgah di setiap hentian untuk menambah energi akademik. Menurutnya, lokakarya ini menjadi hentian dimaksud. “Saya berharap agar para dosen menyisahkan sedikit waktu untuk mengemas modul pengajaran dalam semester ini.”, demikian harap Yos, agar lokakarya yang dilaksanakan ini memiliki tindak lanjut yang bermanfaat bagi pembelajaran di kelas.

Di awal pemaparannya Dr. Yoseph Yapi Taum, M,Hum., mengajukan sebuah pertanyaan yang menantang tentang apakah orang Flores maupun NTT memiliki satu semangat atau spiritualitas yang sama sebagai pemersatu anak-anak di kawasan ini? Semangat dan spiritualitas itu menjadi semacam grand naratif bagi generasi di kawasan ini untuk belajar dan mengetahui khazanah pengetahuan dan kekayaan dalam masyarakat kita. Menurut Yos Yapi Taum, putra Lembata yang adalah dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, selain ikatan politik dan administratif pemerintahan, kita berharap agar ikatan pengetahuan perlu dikembangkan agar generasi yang akan datang menjadi generasi yang saling mencintai. Terdapat banyak ikatan sosial yang tercecer yang dapat diramu dan dikembangkan, dan menurutnya aspek bahasa dan sastra menjadi hal yang paling mungkin untuk dikembangkan. Tentu ini butuh keputusan politik. Yos Yapi Taum mencontohkan, jika dalam satu kabupaten terdapat beberapa bahasa, maka salah satu bahasa musti disepakati menjadi official language, dan dapat digunakan pada semua sektor kehidupan di wilayah tersebut. Lagi-lagi, beliau menegaskan tentang pentingnya keputusan politik, yang tentunya melalui riset yang mendalam.

Dalam konteks inilah, Yos Yapi Taum menyarankan agar dalam pengambilan keputusan perlu melibatkan triple helix (sinergitas pemerintah, universitas, dan pengusaha/industri). Dalam aspek sastra, misalnya jika aneka karya sastra dalam berbagai bentuk yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita ditulis dengan baik dan dijadikan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah, tentu merupakan sebuah kemajuan. Berbagai bentuk karya tersebut wajib diketahui oleh para siswa tanpa mempertimbangkan dari mana dia berasal. Dengan begitu, konstruksi kefloresan, bahkan kenttan, dan relasi kohesivitas sosial akan menjadi semakin kuat. Pada akhir pemaparannya, Yos Yapi Taum berharap agar para akademisi memulai visi ini melalui penulisan modul-modul pengajaran dengan basis obyek lokal berkenaan dengan apa yang ada dalam masyarakat kita.

Pada sesi berikutnya, Yos Yapi Taum berkesempatan pula membagi ilmunya tentang proses kreatif kepada para mahasiswa sebagai upaya membumikan kegiatan literasi. (*)

Muat di Berita Jatim 21 Oktober 2022