Membaca (buku) juga
hendak menandaskan tentang eksistensi kita sebagai makhluk yang terus mencari.
Makhluk yang tidak pernah selesai. Makhluk yang memiliki hasrat dan rasa penasaran
untuk terus ingin tahu tentang sesuatu. Rene Descartes–melalui cogito ergo zum ingin menggugah rasa
penasaran manusia itu untuk mencari dan terus mencari. Karena hanya itulah
manusia akan mengalami kepuasan dan kebanggaan rohaniah untuk terus eksis dalam
kehidupan sosialnya. Bahkan, dalam literasi sastra, berdasarkan hasil Kongres
Bahasa Indonesia XI 2018 di Jakarta merekomendasikan bahwa siswa SD dalam setahun bisa membaca 10
judul karya sastra, SMP 15 judul, dan siswa SMA/ SMKmembaca 2 judul, ungkap
Ketua Tim Perumus KBI XI Prof. Dr. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri
Malang. (Kompas, 1 November 2018).
Pohon Ilmu Pengetahuan
Fakta
tersebut menggambarkan tentang pentingnya kemampuan literasi dasar baca-tulis di
kalangan siswa. Kegiatan membaca dan menulis di sekolah diharapkan berevolusi
dari waktu ke waktu, terutama melalui pembiasaan kondisi pembelajaran yang
terus-menerus melibatkan semua perangkat pendidikan di sekolah. Agar seluruh
perangkat pendidikan sekolah juga masyarakat di sekitar mampu menciptakan suatu
ekosistem belajar yang kondusif.
Siswa
tidak berhenti pada aktivitas membaca, tetapi ditindaklanjuti secara intensif
melalui pendampingan menulis topik-topik keseharian di sekitar lingkungan
hidup para siswa, terutama tentang kegiatan-kegiatan
siswa atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Targetnya, misalnya
tersedianya wadah “pohon ilmu
pengetahuan” sebagai media memupuk literasi baca dan tulis. Pohon ilmu
pengetahuan ini, secara teratur akan ditempel atau digantung tulisan-tulisan
siswa agar dapat dibaca oleh semua warga sekolah. Aktivitas ini akan
dilaksanakan seminggu sekali. Tulisan yang telah dibaca, dikumpulkan secara
rapi untuk dijilid dan disimpan di perpustakaan sekolah.
Antoro (2019), mengemukakan tiga tujuan pembelajaran
menulis di sekolah, yakni pertama,
sebagai sarana bagi siswa untuk memahami teks atau konsep keilmuan tertentu.
Artinya, tema-tema kegiatan menulis harus selalu terkait dengan bidang keilmuan
atau mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kedua, untuk mengkritisi informasi atau konsep tertentu yang sedang
dipelajari siswa. Tujuan menulis diarahkan untuk mengasah kemampuan berpikir
kritis siswa, berorientasi pada memecahkan masalah, dan meningkatkan
kreativitas siswa. Ketiga, menghasilkan
berbagai jenis tulisan yang sesuai dengan konteks keilmuan atau mata pelajaran
yang sedang dipelajari.
Untuk mencapai harapan agar siswa
memiliki keterampilan yang mumpuni dalam membaca, maka terdapat tiga faktor
pendukung yang diperhatikan, yakni ketersediaan bahan bacaan, ketersediaan alokasi
waktu, dan ketersediaan sarana penunjang.
Tugas
kita, orang tua, sekolah dan masyarakat adalah mengupayakan keseimbangan ketiga
faktor tersebut. Ketersediaan bahan bacaan berkenaan dengan bahan-bahan bacaan
yang sesuai dengan tingkat umur dan tingkat kemampuan siswa. Ruang perpustakan
atau taman-taman bacaan perlu diisi atau dilengkapi dengan aneka bahan bacaan.
Semakin variatifnya bahan bacaan, tentu semakin menambah minat dan gairah untuk
menimba sesuatu di dalamnya. Alokasi waktu dimaksudkan tersedianya alokasi
waktu khusus bagi para siswa untuk membaca dan menulis. Sedapatnya, alokasi
waktu terakomodir dalam rencana pembelajaran guru. Hal ini untuk mengingatkan
guru agar tidak lupa memberikan waktu membaca dalam upaya membangun sikap dan
perilaku membaca pada diri siswa.
Sarana Perpustakaan
Sarana
yang dimaksudkan menyasar pada kelayakan dan ketersediaan tempat baca yang
baik. Perpustakaan sekolah akan ditata apik, menyenangkan demi merangsang minat
baca siswa. Juga akan ditempel gambar-gambar tokoh-tokoh hebat sebagai motivasi
belajar pada dinding ruang kelas dan perpustakaan untuk menambah rasa ingin
tahu siswa untuk membaca guna menemukan ilmu pengetahuan dalam buku. Di samping
itu, akan ditulis kalimat-kalimat ajakan ataupun nasihat bijak tentang
pentingnya membaca dan menulis dalam bahasa daerah setempat maupun dalam bahasa
Indonesia, dan digantung pada tempat-tempat strategis di lingkungan sekolah
untuk “mengingatkan” para siswa tentang pentingnya membaca dan menulis. Gambar
para tokoh hebat dan kalimat-kalimat atau nasihat bijak berpetuah dimaksud
berfungsi untuk menggerakkan hati para siswa untuk setia membaca setiap hari. Tampaknya
agak idealis, namun untuk berhasil sesorang perlu belajar dari orang-orang
besar, orang-orang hebat (imitatio).
Selain
tiga faktor tersebut, hal lain yang dapat diupayakan adalah membangun kerja
sama dengan perangkat desa untuk menciptakan rasa aman bagi belajar para siswa
dalam lingkungan desa. Orang tua murid untuk ikut memberikan kontribusi nyata
seperti, menyediakan bahan bacaan yang sesuai, mengatur waktu belajar di rumah,
serta memberikan waktu atau mengijinkan anak untuk mengikuti secara baik
pelaksanaan program literasi di sekolah. Kantor desa tidak saja
menjadi pusat administrasi pemerintahan desa, namun “disulap” menjadi pusat
informasi berbagai ilmu pengetahuan. Semua warga masyarakat akan dengan mudah
mencari dan mendapatkan berbagai informasi tersebut melalui aktivitas membaca
di kantor desa. Artinya, untuk keberhasilan gerakan literasi, semua unsur harus
terlibat.(*)