Halaman

Sabtu, 21 Oktober 2023

Merungge


Merungge, akrab di telinga sebagai "kelor" atau dalam bahasa Lamaholot di Imulolong disebut "motong". Kata ini tiba-tiba menyeruak ke bumi NTT, ketika Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat memperkenalkannya saat debat capres gubernur beberapa saat lalu. Merungge (motong) lagi-laģi mendapat tempat spesial ketika orang nomor satu NTT ini menegaskannya di hadapan ratusan lulusan Uniflor, beserta orang tuanya pada Sabtu, 20 Oktober 2018 sebagai tanaman yang wajib di konsumsi oleh warga kepulauan ini.

Bagi anak-anak Flores bagian timur, Lembata, dan Alor, motong menjadi sayur paling "enak" untuk menemani jagung titi. Lezat memang. Karena itu, bagi mereka imbauan ini bukan hal baru, sesuatu yang biasa. 

Mari kita tanam rame-rame merungge, terutama alumni Uniflor yang baru di wisuda untuk menangkap himbauan ini sebagai peluang usaha. (*)

Jumat, 20 Oktober 2023

Wisuda Memantapkan Diri Sarjana


Sabtu, 20 Oktober 2018, Uniflor Ende melantik 838 lulusan di Auditorium HJ Ga di Djou Ende. Pemindahan kucir dari kiri kepala mahasiswa ke bagian kanan merupakan simbol menggapai keseimbangan diri. Jika ketika kuliah, mahasiswa lebih mengaktifkan otak kiri atau wilayah Broca sebagai pusat berpikir kritis dengan mengandalkan logika dan matematika, maka dengan memindahkan kucir ke kanan menandai bahwa mahasiswa mulai mengaktifkan otak kanan dalam berperasaan dengan memunculkan ide-ide kreatif dan inovatif di tengah masyarakat. Hendaknya terjadi keselarasan antara berpikir dan bertindak, berkata atau bertutur dengan berbuat. Oleh karena itu, masing-masing sarjana "berbeda" antara satu dengan yang lain. 

Dengan kata lain, menyitir Gubernur NTT saat orasi ilmiah, lulusan mesti memanfaatkan  ekspektasi imajinasinya untuk optimis berubah. Jadi, kita semua tentu harus bergerak bersama dalam energi yang sama. Niscaya NTT akan keluar dari kubang kemiskinan menuju kesejahteraan. Jadilah sarjana yang profesional dalam aneka pekerjaan yang Anda alami. (*)

Selasa, 17 Oktober 2023

Selalu Ada Sisa



"Karena kata tak cukup buat berkata" (Toto Sudarto Bachtiar).

Selalu ada sisa. Selalu ada tapak atau jejak yang tertinggal. Selalu ada yang tak dapat terucapkan, yang tak bisa terwakilkan dalam kata. Selalu ada deviasi antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan. Terdapat jurang antara ekspresi kata-kata dengan kenyataan yang sebenarnya. (*)

Senin, 16 Oktober 2023

Kita Kaum Kelana

Tak seorang pun yang telah mencapai kedewasaan penuh. Tak seorang pun juga pernah mencapai kepenuhan hidup. Kita adalah angka ganjil yang sedang menuju ke arah penggenapan (John Powel).

Secara fisikal dan adil, diri manusia selalu dipandang dari dua sisi yang berbeda. Atas vs bawah, kiri vs kanan, kaki vs tangan, dan beberapa anatomi tubuh lain yang selalu opositif. Keberbedaan cara melihat tubuh tersebut secara aktualitas sesungguhnya menampilkan salah satu bobot penilaian yang lain yakni kenyataan akan "keseimbangan" anatomi tubuh untuk menerima yang lain. Bahwa diri kita secara individual juga sebagai sosial untuk menerima yang lain. Manusia adalah angka ganjil menuju angka genap. Karena dengan demikian, kita akan kuat secara individu karena ditopang oleh individu yang lain. Untuk menuju keseimbangan tersebut kita butuh waktu. Butuh proses panjang untuk mencapai keseimbangan tersebut.

Jalan panjang mengibaratkan bahwa manusia sedang menuju ke batas kehidupan. Menuju demarkasi cakrawala. Dan, jatuh bangun, susah payah adalah batu-batu kecil yang selalu menerjang perjalanan itu. Sebagai manusia yang punya akal dan budi kita pun memiliki daya tahan, tahan banting untuk terus maju mencapai kesuksesan tersebut. 

Kita mampu meraihnya. (*)

Kamis, 12 Oktober 2023

Makna Melayani

Banyak di antara kita, tengah dan sedang berpikir tentang apa sesungguhnya hidup dan kehidupan itu. Banyak pula di antara kita yang tidak mau peduli, bahkan ambil pusing dengan hidup dan kehidupannya sendiri. Mereka sibuk dengan bekerja dan melayani banyak orang. Melayani sesama. Waktu, tenaga, bahkan mungkin modal atau uang dihibahkan untuk sesama saudara yang sedang membutuhkan. Yang susah karena sakit, karena ditinggalkan orang tuanya, ditinggalkan suami/istri, orang tua yang ditinggalkan anak-anaknya. 

Bagi mereka, hidup itu bermakna, indah, dan menyenangkan jika dipenuhi atau diisi dengan berbagai karya dan pelayanan. Pelayanan kemanusiaan untuk mengangkat harkat dan martabat sesama. Intensitas pelayanan semakin banyak dalam melayani sesama, semakin indah dan bermakna pula hidup itu sendiri.

Melayani

Melayani menjadi kata kunci dalam kehidupan. Melayani, tidak saja bagi orang atau sesama yang kita cintai. Kepada orang yang paling kita benci pun, melayani adalah bagian paling fundamental. Karena justru di situlah letak dan makna melayani yang sesungguhnya. Kadang kita mengabaikan orang yang mungkin paling kita benci atau sukai. Namun, kita, sekali lagi kita menganut budaya "timur" yang mengusung kasih setia dan pelayanan kepada sesama. Mari kita saling melayani, agar hidup dan kehidupan kita setiap hari semakin bermakna. (*)