Salam, ucapan atau sapaan selamat Pagi, siang, atau malam kepada sesorang yang kita jumpai. Entah itu orang tua kita, guru, atasan, bawahan, sahabat, atau orang asing yang baru saja kita kenal. Dalam acara resmi sekalipun, salam (pembuka) menjadi penting disampaikan oleh Pewara (pembawa acara) kepada hadirin atau tamu undangan sebagai tanda terima kasih karena telah berkenan hadir memenuhi undangan tuan pesta.
Untuk seorang rekan kerja yang sekian lama bersama dalam suatu pekerjaan, kemudian akan berpindah ke tempat kerja yang lain, salam pun akan disampaikan sebagai bentuk "pamit" kepada yang bersangkutan. Bahkan, kitapun dapat menitip salam kepada anggota keluarga atau sahabat melalui orang lain yang akan menghampiri mereka.
Dalam pandangan sosiologis Lamaholot, misalnya, salam digunakan sangat intens dengan frekwensi pemakaian yang tinggi, terutama di kalangan orang muda. Kelompok sosial yang sedang mengenali diri lebih dekat antara satu dengan yang lain. Salam lebih bermakna, ketika diucapkan oleh seorang pemuda kepada seorang pemudi.
"Go gnatunga(eg) salam" (Saya mengirimnya salam, Saya mengirimi dia salam, atau Saya mengirimmu salam). Pesan "salam" yang ditujukan kepada seseorang "dambaan" melalui seseorang perantara/mediator atau lazim disebut jembatan, antara dua insan yang sedang saling menaruh hasrat cinta. Jika, pemudi yang mendapat salam pun merespek pesan salam tadi, maka iapun mengembalikan salam melalui penghubung cinta dengan mengatakan "Go balasa salam nae" (Salamnya saya balas).
Salam perdana semacam perkenalan awal, yang merupakan pernyataan hormat kepada seorang pemudi tadi, seperti "Riksma" (Rindu kamu setengah mati). Arti salam inipun mesti disampaikan kepada penghubung agar jika penerima salam tidak mampu menebaknya dengan benar, maka penghubung dapat menjelaskan arti salam tadi. Dengan tujuan agar salam balasan yang akan dikirimkan masih dalam kerangka salam pertama. Di sini ada ruang "penantian" bagi seorang pemuda dalam mendapatkan kabar berita tentang salam yang dikiriminya. Jika, sang pemudi merespon salam di atas, maka iapun dapat membalasnya dengan salam "Agarimu" (Aku juga rindu kamu). Dalam konteks inilah, hasrat batin cinta antara kedua insan ini mulai bisa ditebak. Maka si pemuda akan mengirimkan pesan salam lain, misalnya salam "Kamboja" (Kalau mau boleh jadi). Begitu dan seterusnya.
Salam Kamboja dalam ruang perjodohan di atas semakin menemui derajat keseriusan ketika mereka terlibat adu pandai berbalas pantun dalam tarian tradisional dolo-dolo. Di medan tari inilah ekspresi "kerinduan" akan mendapat si dia mencapai titik terang melalui baris-baris pantun yang saling dilantunkan.
Akhirnya, salam juga tersampaikan melalui obyek atau benda artefak. Ekspresi fatis yang menjelma menjadi daya sosial merata jalan perjumpaan dua individu. Salam melalui artefak, misalnya pengiriman stanga (sapu tangan) atau bola (sokal kecil). Obyek-obyek ini dikirim melalui penghubung cinta. Dan, sama seperti pesan salam verbal di atas, salam artefak ini efektif jika mendapat respon positif dari penerima salam (pemudi). Ikatan rasa cinta terus ditebar di antara dua insan, bahkan merasuk ke dalam keluarga besar. Tumbuh subur dan diragi menghasilkan buah berlimpah. (*)