Ende, tidak hanya sebuah nama, juga tidak sekadar sebuah tempat. Ende adalah
sebuah tanda kultural tentang perjalanan panjang peradaban manusia yang
mendiaminya. Evolusi fisik dan kultural berjalan sepadan dan selaras sikap
hidup masyarakatnya karena dimungkinkan adanya inti sebuah “keterbukaan” dua
etnik besar Ende dan Lio dalam memandang dirinya dan orang lain di luar,
termasuk kepada pencipta-Nya, dan bumi semesta alam tempat mereka tinggal dan
menafkahi hidupnya.
Satu keterbukaan adalah ketika Ende menjadi destinasi atau tempat
pembuangan Soekarno, 1934–1938, Sang Proklamator bangsa ini. Dari perspektif
historis, Ende dikenal luas sehingga menjadi daya tarik sendiri dalam
pembangunan bangsa. Secara kebetulan pula, topografi Ende yang terdapat di
tengah pulau atau di antara kota-kota besar di Pulau Flores. Ke”di-antara”an
inilah menjadi pemicu dalam melihat dirinya sebagai yang bersahabat. Di
tengah-tengah Pulau Flores, Ende menjadi miniatur toleransi yang terajut jauh
sebelum alam kemerdekaan Indonesia diraih. Ia menjadi pusar turbin ekonomi,
politik, juga pusat religi.
Dalam aspek ekonomi, Ende dikenal karena adanya sebuah jembatan besi
(sekarang pelabuhan laut Ende) yang sangat memungkinkan terjadinya transaksi
ekonomi antarwarga dengan warga dari luar pulau. Ende menjadi destinasi
transaksi ekonomi antara pedagang Bugis, Jawa, Sabu, Arab, Bima, dan
pedagang-pedagang lainnya di daerah Flores, Solor, dan Lomblen. Ende telah
menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami
dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor
Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Apalagi ketika itu, di
Pulau Ende (Eru Mbinge) diketahui menjadi kota beredarnya kain Sutra
India yang sangat memikat hati para pedagang. Aspek politik, misalnya Bung
Karno pernah mengalami politik pembuangan (internering) di Ende tahun
1934–1938. Ende, akhirnya menjadi ruang belajar toleransi.
Visi “keterbukaan” Ende tampak dalam berbagai pilihan fitur dan nilai-nilai
tertentu, seperti nilai relasional, ekspierensial, dan nilai ekspresif. Nilai
relasional menggambarkan hubungan sosial manusia dalam suatu komunitas sosial.
Nilai ekspierensial
manusia berisikan tentang pandangan, pengetahuan, dan keyakinan tentang
sesuatu, sedangkan nilai ekspresif menggambarkan penilaian atas identitas
sosial dalam kehidupan berkomunitas (Fairclough, 1989: 129–141).
Aspek sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang
sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat atau juga ilmu tentang struktur
sosial, proses sosial dan perubahannya. Aspek sosial yang digambarkan pada
lirik lagu di atas menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat di Ende sangatlah
akrab antara satu dengan yang lain. Masyarakat di Ende juga hidupnya berlandaskan pada persatuan dan
kesatuan. Persatuan
dan kesatuan inilah yang membuat orang lain yang datang ke Ende merasa hidupnya
nyaman, aman, tenteram,
dan damai. Hal lain yang membuat orang berbondong-bondong mendatangi Ende
adalah keajaiban alam danau Kelimutu dan sarung Kelimara yang kemilau, hal ini
lah yang membuat nama Ende terkenal.
Dari aspek religi, Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar
hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa
sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh
politiknya. Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah
politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga, “nusa nipa nusa
naga” dengan tautan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan senjata dari
tangan kekuasaan kolonial Belanda dengan kelembutan agama Katolik yang
mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau
hitam (Dhakidhae, 2013). Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota
nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan yang ramah dengan jaringan yang luas.
Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan,
ideolog, dan seniman yang komplit
Secara sosiologis, Ende sangat kaya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal
dimaknai sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang mampu memberikan komunitas
tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas berada. Oleh
karena itu, kearifan lokal dipandang sebagai jawaban kreatif terhadap situasi
geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal, terlebih masyarakatnya mampu mendorong terbangunnya
kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari
kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok demi
keutuhan komunitas yang utuh dan terintegrasi. Demikianlah esensi kearifan
rohaniah psikologis, kultural, dan emosional masyarakat yang mestinya
terus kukuh dipertahankan. (*)