Halaman

Rabu, 07 November 2018

Ende dari Masa ke Masa





Ende, tidak hanya sebuah nama, juga tidak sekadar sebuah tempat. Ende adalah sebuah tanda kultural tentang perjalanan panjang peradaban manusia yang mendiaminya. Evolusi fisik dan kultural berjalan sepadan dan selaras sikap hidup masyarakatnya karena dimungkinkan adanya inti sebuah “keterbukaan” dua etnik besar Ende dan Lio dalam memandang dirinya dan orang lain di luar, termasuk kepada pencipta-Nya, dan bumi semesta alam tempat mereka tinggal dan menafkahi hidupnya. 
Satu keterbukaan adalah ketika Ende menjadi destinasi atau tempat pembuangan Soekarno, 1934–1938, Sang Proklamator bangsa ini. Dari perspektif historis, Ende dikenal luas sehingga menjadi daya tarik sendiri dalam pembangunan bangsa. Secara kebetulan pula, topografi Ende yang terdapat di tengah pulau atau di antara kota-kota besar di Pulau Flores. Ke”di-antara”an inilah menjadi pemicu dalam melihat dirinya sebagai yang bersahabat. Di tengah-tengah Pulau Flores, Ende menjadi miniatur toleransi yang terajut jauh sebelum alam kemerdekaan Indonesia diraih. Ia menjadi pusar turbin ekonomi, politik, juga pusat religi. 
Dalam aspek ekonomi, Ende dikenal karena adanya sebuah jembatan besi (sekarang pelabuhan laut Ende) yang sangat memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi antarwarga dengan warga dari luar pulau. Ende menjadi destinasi transaksi ekonomi antara pedagang Bugis, Jawa, Sabu, Arab, Bima, dan pedagang-pedagang lainnya di daerah Flores, Solor, dan Lomblen. Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Apalagi ketika itu, di Pulau Ende (Eru Mbinge) diketahui menjadi kota beredarnya kain Sutra India yang sangat memikat hati para pedagang. Aspek politik, misalnya Bung Karno pernah mengalami politik pembuangan (internering) di Ende tahun 1934–1938. Ende, akhirnya menjadi ruang belajar toleransi. 
Visi “keterbukaan” Ende tampak dalam berbagai pilihan fitur dan nilai-nilai tertentu, seperti nilai relasional, ekspierensial, dan nilai ekspresif. Nilai relasional menggambarkan hubungan sosial manusia dalam suatu komunitas sosial. Nilai ekspierensial manusia berisikan tentang pandangan, pengetahuan, dan keyakinan tentang sesuatu, sedangkan nilai ekspresif menggambarkan penilaian atas identitas sosial dalam kehidupan berkomunitas (Fairclough, 1989: 129–141).
Aspek sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat atau juga ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan perubahannya. Aspek sosial yang digambarkan pada lirik lagu di atas menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat di Ende sangatlah akrab antara satu dengan yang lain. Masyarakat di Ende juga hidupnya berlandaskan pada persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan inilah yang membuat orang lain yang datang ke Ende merasa hidupnya nyaman, aman, tenteram, dan damai. Hal lain yang membuat orang berbondong-bondong mendatangi Ende adalah keajaiban alam danau Kelimutu dan sarung Kelimara yang kemilau, hal ini lah yang membuat nama Ende terkenal.
Dari aspek religi, Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga, “nusa nipa nusa naga” dengan tautan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan senjata dari tangan kekuasaan kolonial Belanda dengan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam (Dhakidhae, 2013). Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan yang ramah dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit
Secara sosiologis, Ende sangat kaya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal dimaknai sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang mampu memberikan komunitas tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas berada. Oleh karena itu, kearifan lokal dipandang sebagai jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal, terlebih masyarakatnya mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok demi keutuhan komunitas yang utuh dan terintegrasi. Demikianlah esensi kearifan rohaniah psikologis, kultural, dan emosional masyarakat yang  mestinya terus kukuh dipertahankan. (*)

Uniflor, Menjadi Magnet di Indonesia Timur (Catatan Tertinggal Mengenang Kepergian Rektor Universitas Flores Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.)




Ketika Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dilantik menjadi Rektor Universitas Flores (Uniflor), 6 Februari 2012 untuk periode pertama, beliau menukik dan memberikan aksentuasi pada gagasan dan upaya menjadikan Universitas Flores (Uniflor) sebagai magnet di Indonesia Timur. Memeriksa kembali beberapa dokumen ceramah, ternyata benih gagasan ini, jauh sebelum itu, diartikulasikannya saat tampil membawakan orasi ilmiah bertajuk “Universitas Flores Mengubah Pola Pikir Anak Indonesia” pada Dies Natalis Uniflor, 15 Desember 2009.
Titik berangkat orasi ini yang pada akhirnya mewarnai seluruh pemikiran dan tindakannya selama berada di Uniflor adalah pada bagaimana membangun pendidikan seturut ekologi manah (mind) manusiawi. Menurut Profesor kelahiran kota dingin Bajawa Flores ini, ekologi manusia menonjolkan nilai dan perspektif manusiawai. Para peserta didik (mahasiswa) harus dilatih untuk berani mengambil inisiatif, mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda dalam keperbedaan. Hasil terpenting dari pendidikan bukanlah apa yang tampak secara nyata atau fisik, melainkan terlebih adalah hasil yang tidak tampak karena ia tak teraba (intangible) pengetahuan yang ditanamkan di dalam manah (jiwa dan hati). Ekologi manah dipahami sebagai usaha untuk mencapai spektrum keseimbangan antara tubuh, manah, dan roh. Keseimbangan dimaksud ada di dalam pikiran (ecology of mind) dan dalam intelegensi atau kecerdasan manusia (ecology of intelligence).
Manusia memanfaatkan naluri (indera, sifat bawaan hewani), nalar (logika), ilmu), nurani (kalbu, spiritualitas, suara hati), dan nala (memori) untuk berpikir dan bertindak. Terkait dengan konsentrasinya pada ekologi manah, beliau menyitir pada Gregori Bateson dalam bukunya yang berjudul Steps To An Ecology Of Mind (1972) yang mengajarkan soal ekologi manah (pikir) yang menekankan pada tiga jenis proses belajar, yaitu rote learning yang identik dengan momorize (menghafal), proto learning atau learn to know something (mempelajari sesuatu agar tahu), dan deutero learning atau learn how to learn (belajar untuk belajar).
Berdasarkan konsep dan totalitas pemikiran yang demikian, maka menurut Profesor Linguistik tersebut, misi dan peta jalan (road map) Uniflor harus berpijak pada pokok-pokok yang telah digariskan pada masa lalu yang terus dikembangkan sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman. Uniflor harus mengembangkan pengendalian “mutu internal” melalui evaluasi diri yang benar, lengkap, dan jujur, serta pengendalian “mutu eksternal” melalui proses akreditasi dan penghargaan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Kesemua hal tersebut di atas menuntut sumber daya manusia, materi dan infrastruktur yang bermutu. Mempersyaratkan proses belajar mengajar yang menonjolkan kompetensi, kombinasi pengetahuan dan kewirausahaan. Menuntut mutu produk berupa lulusan yang berkompeten, serta hasil penelitian yang bermanfaat bagi kemakmuran masyarakat dan kemajuan ilmu.
Harus dicamkan bahwa sebuah universitas adalah organisasi pembelajaran yang berdeterminasi pada membangun kuatnya ekologi pikir dan ekologi sosial. Oleh karena itu, sebagai lembaga pembelajaran semua civitas akademika perlu bersama-sama membangun manusia Indonesia yang berpola pikir maju melalui kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pelayanan. Manusia maju ditandai oleh kemampuan untuk menjadi pelaku perubahan dan mediator budaya yang memahami ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan memahami pula pengetahuan alamiah yang terendapkan dalam kearifan lokal untuk membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat, damai, dan sejahtera.
Bagi Uniflor dan bangsa Indonesia adalah menghasilkan sumber daya manusia yang unggul. Karena itu, pendidikan harus diarahkan kepada ekologi manusia yang menonjolkan kecerdasan atau intelegensi, integritas pribadi, hubungan sosial yang berbela rasa dan bersetiakawan, dan spiritualitas yang baik sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Uniflor harus membangun sistem menjamin mutu setiap unit kerja, unit pendidikan, demi meningkatkan mutu program dan mutu hasilnya. Institusi pendidikan kita harus dibangun sebagai badan usaha (korporasi) yang utuh, kait-mengait dan saling mendukung. Hal itu sejalan dengan sistem berpikir yang mampu memperhitungkan semua tindakan dan peristiwa sebagai bagian-bagian yang bertaut membentuk suatu keutuhan.
Prof. Steph mengajak semua civitas akademika untuk selalu menyadari bahwa keberlanjutan kehidupan kita semua bergantung pada keberlanjutan (sustainability) institusi. Jadi, strategi yang harus ditekankan adalah pengembangan keberlanjutan demi menghadapi persaingan sebagai badan usaha yang menawarkan jasa pendidikan. Oleh karena itu, kampus Uniflor harus menawarkan suasana akademik yang sehat, menyenangkan, kreatif, imajinatif dalam bentuk kuliah, diskusi, ceramah, penelitian, pelatihan, praktik lapangan, pengabdian pada masyarakat, seminar, kegiatan menulis, seni sastra, seni suara, tari, olah raga, olah rasa, olah pikir, dan kegiatan kerohanian, sehingga semua pemangku kepentingan: mahasiswa, orang tua atau wali mahasiswa, pengguna lulusan, masyarakat luas merasa gembira, puas dan bangga dengan lulusan Uniflor.
Uniflor harus menjadi institusi yang memperkuat daya saing bangsa dan menghasilkan lulusan yang berwatak humanis, yang tidak mudah larut dalam pragmatisme tuna budaya, tuna nurani, apalagi tuna harga diri. Uniflor harus menjadi kekuatan moral yang dipercaya dan menciptakan generasi muda yang sadar akan keberagaman.
Berangkat pada pendasaran ilmiah akademik di atas, maka ketika dilantik menjadi Rektor Uniflor, beliau menawarkan visi Uniflor “menjadi magnet di Indonesia Timur!”. Menurutnya, magnet ini terutama di wilayah kepulauan pada perbatasan tanah air berdasarkan ciri pendidikan yang humanis dan multikultural. Pendidikan humanis mengutamakan aspek manusia, sedangkan pendidikan multikultural mengutamakan intelektualitas, dan kecintaan akan kemanusiaan, keinsanian, dan keberagaman yang merefleksikan sifat masyarakat majemuk.
Sebagai makhluk yang tak berdaya Prof. Steph selalu menyandarkan seluruh pikiran dan perjaungannya pada haribaan Tuhan Yang Mahakuasa. Rasa spiritualitas dan doanya selalu ia daraskan dalam satu ikatan bernas biblis, yaitu semoga Tuhan Yesus memberkati Yapertif dan Uniflor agar menjadi institusi yang membawa kesejukan, kedamaian, dan kesejahteraan. Sekaligus menjadi magnet di Indonesia Timur. Kita satukan langkah dan bulatkan tekad dengan hati Yesus sendiri yang menyembuhkan semua yang menjamah-Nya (Mrk. 6:56). (*) (Disari dari beberapa ceramah Almahrum Prof. Stephanus Djawanai,P.hD.)

Telah dimuat di Flores Pos, 26 dan 27 Oktober 2018