Halaman

Selasa, 05 November 2019

Menjadi Sarjana “Mediator Literasi”


Wisuda merupakan momentum akademik. Ia sekaligus menjadi tanda selesainya proses akademik di kampus atau lembaga perguruan tinggi. Setelah seorang mahasiswa jatuh bangun, mengalami suka dan duka mengikuti seluruh proses perkuliahan. Dengan menyelesaikan 147 sistem kredit semester, selama itu pula mahasiswa secara individu maupun kelompok dalam tim sekuat daya berusaha menimba dan menambah ilmu pengetahuan untuk masa depannya. Jika, kurun waktun tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, maka dipastikan yang bersangkutan akan terpental dalam persaingan merebut masa depan. Itulah sebabnya, ketika menyandang gelar sarjana, serentak tanggung jawab kemasyarakatan dipikul dipundak. Dan, pertanggungjawaban keilmuan pun segera dimulai ketika momentum itu berlalu. Tidak ada lagi kata-kata “saya belum siap” dan lain sebagainya.
Ujian keilmuan di tengah masyarakat atas isi kepala dan penguasaan skill atau keterampilan menjadi tanggung jawab yang paling besar untuk diaplikasikan. Seberapa banyak ilmu yang diendap dapat berguna bagi kemaslahatan masyarakat. Pokoknya masyarakat sebagai pengguna jasa turut terbantu dengan kehadiran para sarjana baru. Untuk itu pula para sarjana harus memiliki kecerdasan. Kecerdasan inilah yang akan dimanfaatkan dalam memadu kemampuan ilmu dan pengalaman faktual. Kecerdasan untuk beradaptasi sekaligus menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana  para sarjana itu berada. Dengan demikian, tolok ukur kecerdasan tidak hanya dinilai dari kecakapan berlogika, tetapi juga kecakapan interpersonal dan kecakapan eksistensi.
Kecerdasan interpersonal merupakan kecakapan sosial. Kecerdasan atau kecakapan  untuk belajar tentang kelindan kehidupan bermasyarakat. Jika selama belajar di lingkungan kampus, interaksi sosial mahasiswa terbatas, maka telah tiba waktunya bagi para sarjana untuk masuk pada hakikat ilmu dan pengabdian yang sesungguhnya. Belajar kembali untuk memahami dan berinteraksi dengan orang banyak dalam skala tanpa batas. Jika demikian, Anda pun pasti mampu bekerja loyal dengan siapa saja, dan bersosialisasi secara lebih terbuka. Bahkan, dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh para sarjana menjadi mediator ide dan gagasan pembangunan yang terukur di tengah komunitas dan masyarakat sosial.
Kecerdasan eksistensial mengarah pada optimalisasi kecerdasan untuk selalu dan terus-menerus mempertanyakan eksistensi diri dan masyarakat. Terutama, apa peran “saya” (sarjana) dalam merangsang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika demikian, maka para sarjana terus menggelorakan dalam dirinya semangat untuk keluar dari kemapanan yang dimilikinya. Terus bervisi kebaikan di antara bau pesing dan pengabnya udara negeri ini akibat tumpukan persoalan yang selalu saja hadir tanpa henti. Bagi saya, justru di sinilah kadar intelektualitas para sarjana diuji akan kekonsistenannya menerapkan ilmu. Di sanalah laboratorium sesungguhnya sebagai medan eksperimentasi kecerdasan yang dipunyai. Dalam konteks inilah, dengan tujuan merespon penumbuhan budi pekerti warga sekolah dan warga masyarakat, saya menganjurkan agar para sarjana Universitas Flores yang dilantik hari ini hadir menjadi “mediator literasi” di tengah kerisauan dan keprihatinan akan rendahnya daya literasi dalam masyarakat kita. Literasi merupakan gerakan membaca dan menulis. Gerakan baca dan tulis adalah salah satu dari enam literasi paling dasar yaitu, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Kiat menjadi mediator literasi selaras dengan visi Universitas Flores, yakni menjadi mediator budaya.
Tuntutan keterampilan literasi pada abad 21 ini adalah kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Tuntutan ini dapat dicapai hanya melalui kecakapan dan kemampuan berliterasi. Dengan alasan tersebut literasi telah menjadi gerakan nasional. Karena itulah, para sarjana perlu menjadi inisiator dan transmisator gerakan literasi di sekolah maupun di desa. Kegiatan membaca dan menulis di sekolah dan masyarakat diharapkan berevolusi dari waktu ke waktu, terutama melalui pembiasaan kondisi pembelajaran yang terus-menerus melibatkan semua unsur masyarakat. Seluruh unsur mampu menciptakan suatu ekosistem belajar yang kondusif untuk menunjang keberhasilan gerakan literasi.
Upaya ini berfaedah menciptakan warga sekolah dan anggota masyarakat untuk sanggup memperbincangkan tentang keberadaannya, mendiskusikan pekerjaannya, serta menulis tentang mata pencahariannya. Bahkan, kelak misalnya akan dapat memublikasikan pikiran, gagasan tentang tata cara bertani, menanam aneka sayuran hingga tanaman-tanaman umur panjang. Jika demikian, maka warga sekolah juga masyarakat telah berperan menjadi produsen ide dan gagasan kreatif inovatif pembangunan yang gemilang, sekaligus menjadi masyarakat yang kritis terhadap aneka program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di masyarakat.
Bahkan, secara intensif, para sarjana menjadi mediator dalam melakukan sosialisasi dengan semua perangkat desa dan orang tua tentang manfaat literasi bagi kehidupan masa depan anak. Agar para perangkat desa dapat membangun kebiasaan positif dengan memulai dan mengakhiri jam kantor dengan aktivitas membaca. Para perangkat desa termotivasi dari waktu ke waktu menyediakan bahan bacaan yang bersentuhan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Jika, gagasan ini tertata dan terlaksana secara rutin dan teratur, maka warga masyarakat menjadi melek literasi. Kantor desa tidak saja menjadi pusat administrasi pemerintahan desa, namun menjadi pusat informasi berbagai ilmu pengetahuan. Semua warga masyarakat dengan mudah mencari dan mendapatkan berbagai informasi melalui aktivitas membaca di kantor desa. Di sekolah pun demikian, aktivitas berliterasi harus menjadi kebiasaan yang positif.
Untuk maksud inilah, para sarjana merencanakan konsep kearifan duduk bersama memperbincangkan masa depan pendidikan anak dan masa depan masyarakat. Mulailah dengan hal-hal yang sederhana. Mulailah dengan memberi contoh. Jika selama ini kearifan duduk bersama hanya pada hal-hal konsumtif, maka sebagai mediator literasi para sarjana mulai meretas kearifan hakiki eksistensial masyarakat yang bernuansa literasi. Perlu rekayasa program dengan memanfaatkan kekuatan dan kemampuan ilmu yang diperoleh dalam mentransmisi pesan dan gagasan baru literasi. Kita pun masih berharap tentang respons dan intervensi lembaga politik dan pemerintah daerah dalam mengapresiasi kerja-kerja anggota masyarakat yang berkecimpung dalam gerakan-gerakan peradaban seperti ini.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat dan sukses dalam mengemban tugas baru. Saya mengulang pesan si jenius, Albert Einstein, peraih nobel  untuk sumbangannya dalam bidang ilmu fisika, buat para sarjana yang akan terpencar ke segala penjuru, pelosok desa, dan sudut kota demi aplikasi pekerjaan kemanusiaan. “Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan ikhtiar teknis, agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan”. (Suriasumantri, 1999). (*)






[1] Artikel opini ini pernah dimuat dalam Harian Umum Flores Pos, 12 Oktober 2019

Kamis, 23 Mei 2019

Gerakan Literasi, Sebuah Catatan


Kemampuan dan kecakapan berliterasi diyakini dapat membebaskan kebodohan masyarakat, meningkatkan ekonomi masyarakat, dan mendorong kemajuan masyarakat. Keyakinan ini menunjukkan bahwa masyarakat berliterasi dapat menghasilkan masyarakat yang mandiri dan berkembang. Kondisi itulah mendorong Unesco menetapkan tahun 2008–2013 sampai Dasawarsa Literasi Dunia untuk mendorong masyarakat dan negara memperkuat kemampuan dan kecakapan berliterasi. Untuk itu, perlu digagas, dibangun dan diperkuat masyarakat berliterasi Indonesia sampai ke pelosok desa. Lembaga pendidikan sekolah dasar dan menengah, serta masyarakat di mana lembaga pendidikan itu berada menjadi sasaran kecakapan berliterasi.
Pada kerangka yang sama di abad ke-21 ini, Unesco, lagi-lagi merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan atau pendidikan seumur hidup yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar pembelajaran, yakni (1) learning to know (belajar untuk menguasai pengetahuan), (2) learning to do (belajar untuk menguasai keterampilan), (3) learning to be (belajar untuk mengembangkan diri), dan (4) learning to live together (belajar untuk hidup bermasyarakat).
Belajar sesungguhnya adalah belajar tentang hakikat hidup itu sendiri. Belajar tentang aktualisasi diri agar mampu memahami jati diri dan kebutuhan sesama warga di sekitarnya. Siswa belajar tentang bagaimana berperilaku sesuai norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat. Siswa mampu menjadi pribadi yang terbuka, toleran, solider, setia kawan, memiliki rasa ingin tahu, berkorban tanpa prasangka apapun dalam kehidupan bermasayarakat. Dengan demikian, siswa akan menjadi seorang pribadi yang utuh dan memiliki keseimbangan aspek kemampuan intelektual, sikap, kepribadian, dan moral, serta keterampilan yang memadai sebagai bekal hidup di masayarakat.
Visi membangun pendidikan yang bermartabat terus bergelora seiring tumbuh dan berkembangnya globalisasi. Tuntutan perbaikan taraf kehidupan bangsa melalui aspek pendidikan menjadi agenda yang sangat mendesak. Pencanangan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun bagi rakyat Indonesia menjadi agenda strategis. Tujuannya agar memutus mata rantai drop out di tingkat dasar dan menengah sehingga masyarakat Indonesia wajib mendapatkan pendidikan yang layak dan tumbuh menjadi insan yang cerdas. Termasuk di dalamnya adalah agar semua masyarakat dapat memiliki kemampuan baca, tulis, dan berhitung. Atau, yang akhir-akhir ini dikobarkan dalam semangat gerakan literasi.
World Economic Forum tahun 2015 menyepakati enam literasi dasar yang menjadi tanggung jawab penuh semua elemen masyarakat, baik itu orang tua, masyarakat umum, maupun lembaga-lembaga pendidikan di negara ini. Enam literasi dasar yang disepakati tersebut, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Penggiatan literasi telah mendapat tempat yang proporsional sebagai sebuah gerakan bersama yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Roh Permendiknas ini menjadi instrumen pengayuh tanpa henti yang dapat dilakukan oleh semua elemen dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di sekolah dan masyarakat umum. Gerakan yang dimaksudkan dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa, yaitu membaca dan menulis dengan baik. Namun, dalam perkembangannya literasi tidak sebatas membaca dan menulis, melainkan juga menyangkut keterampilan mendengar dan berbicara agar seseorang dapat berkomunikasi dengan baik. Ada perjumpaan antara keterampilan berbahasa reseptif (mendengar dan membaca), dan keterampilan berbahasa produktif (berbicara dan menulis). Semuanya mutualistis sekaligus merupakan “jalan masuk” bagi pengembangan dan eksplorasi (bahkan mungkin sampai eksploitasi) diri seorang individu atau anak sebagai makhluk yang komplit dan berkelimpahan. Ini menjadi jalan atau pintu untuk mengenal dunia luar. Jalan inilah menjadi pilihan tepat dan relevan untuk mulai merancang budaya literasi agar kehidupan siswa ke depan menjadi lebih bermakna bagi dirinya juga bagi orang lain. Gerakan ini akan bermuara pada peningkatan kapasitas kemampuan siswa untuk meresepsi dan memproduksi pesan, selain menghadirkan peluang dalam ranah memperluas cakrawala dan intelektualitas siswa dalam berpikir kritis dengan nalar dan logika yang runtut, sistematis dalam aneka dialektika pandangan, pendapat, dan gagasan dengan argumentasi yang apik dan teratur.
Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi, bercerita mengenai apa yang dibayangkannya, dipikirkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu kepada apa pun. Manusia menghidupi kesehariannya dengan bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Namun, dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi beradab dan bermartabat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Gusdorf (dalam Djawanai, 2015). Bahkan banyak kalangan memandang bahwa menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan membaca dan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dengan demikian, warga sekolah akan tumbuh secara matang dan mampu menjadi masyarakat madani (civil society) atau masyarakat warga yang berperadaban sehingga senantiasa memiliki kemampuan bersikap dan bertingkah laku beradab yang terus-menerus berada dan membangun pola perilaku kemandirian, keberdayaan, ketenggangrasaan (toleransi), kemajemukan (pluralisme), kesetaraan dan kesederajatan (egalitarianisme), keterbukaan (inklusivisme), kemanusiaan, kejujuran, dan kedisiplinan. (Saryono, 2006:179).
Integrasi Pembelajaran Literasi dalam Setiap Mata Pelajaran
Dalam kata-kata Umberto Eco, “Membaca muncul sebagai kesepakatan kooperatif antara pembaca dan teks”. Karena tidak ada yang lebih mudah dibandingkan dengan berpikir, jadi tidak ada yang lebih sulit dibandingkan dengan berpikir baik (Thomas Traherne). Berpikir baik selalu dipengaruhi oleh membaca baik. Buku adalah gudang ilmu pengetahuan. Oleh itu, membaca adalah kunci satu-satunya untuk membuka gudang yang menyimpan sejuta harta karun yang disebut ilmu pengetahuan itu. Buku juga menjadi jendela untuk memahami diri dan memahami orang lain.
Membaca membantu mengenali masyarakat serta kelindan kehidupan suatu masyarakat. Guru dan siswa bersama-sama menginisiasi program literasi di sekolahnya. Warga sekolah perlu memulai dan mengembangkan kemampuan literasi melalui tiga pilar literasi dasar, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena ditopang oleh kebiasaan membaca yang baik pula. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang siswa. Di samping itu, kemampuan berhitung juga menjadi aspek yang perlu dikembangkan secara seimbang dengan dua aspek literasi di atas. Antara ketiga aspek literasi yang dimaksudkan tidak ada yang lebih prioritas, namun ketiganya dapat dilaksanakan secara bersama-sama.
Dalam konteks memandang literasi sebagai sebuah gerakan bagi warga sekolah, serentak menjadikan warga sekolah dan lingkungan sekitar untuk melek huruf dan angka. Upaya ini berfaedah menciptakan warga sekolah dan anggota masyarakat sekitar untuk sanggup memperbincangkan tentang keberadaannya, mendiskusikan pekerjaannya, serta menulis tentang mata pencahariannya. Bahkan, kelak akan dapat mempublikasikan pikiran, gagasan tentang tata cara bertani, menanam aneka sayuran hingga tanaman-tanaman umur panjang. Jika demikian, maka warga sekolah juga masyarakat di sekitarnya telah berubah fungsi dan perannya menjadi produsen ide dan gagasan kreatif inovatif pembangunan yang gemilang. Warga sekolah sekaligus masyarakat sekitar akan menjadi masyarakat yang kritis terhadap aneka program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di masyarakat.
Jika GLS benar-benar dijalankan dengan baik dan teratur di sekolah, maka akan ada beberapa faedah lain yang diperoleh, yakni: pertama, siswa pada akhirnya akan memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming) dengan dunia luar melalui pembelajaran yang interaktif dalam bangunan komunikasi yang inklusif dan inovatif (Tilaar, 2002:124). Kedua secara kolektif kemasyarakatan, masyarakat desa perlu membangun unit-unit pendidikan berkelanjutan, tanpa meninggalkan identitas-identitas kultural yang telah ada dalam masyarakat. Misalnya, arisan-arisan pendidikan, koperasi, kumpul keluarga pendidikan, dan ketiga, pelaksanaan gerakan literasi yang berkesinambungan di sekolah dan masyarakat membuat siswa sebagai individu sekaligus anggota masyarakat dapat menjauhkan sikap malas, putus asa, rendah diri, sebaliknya mengembangkan dan memupuk sikap kerja keras, saling membantu, menabung, kerja sama, demi terciptanya masa depan generasi yang cerdas, terampil, visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif.
Belum tertata dan terintegrasinya secara baik pembelajaran literasi antara semua mata pelajaran dalam struktur kurikulum sekolah menjadi salah satu faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya kemampuan dan kecakapan berliterasi para siswa dan guru di kedua sekolah tersebut. Tanggung jawab kegiatan berliterasi sepenuhnya dibebankan kepada guru mata pelajaran bahasa Indonesia atau menjadi tanggung jawab guru kelas. Penataan integrasi pembelajaran bagi para guru tentang urgensi literasi dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan menjadi fokus. Dengan asumsi bahwa jika semua guru memiliki pemahaman yang sama serta ikhtiar tunggal mengembangkan kemampuan dan kecakapan berliterasi pada diri para siswa, maka para guru dapat merencanakan dan melaksanakan pembelajaran terintegrasi literasi di dalam rencana persiapan pembelajaran.
Dengan demikian, pelaksanaan literasi tidak saja bermanfaat untuk menjadikan para siswa dan guru mahir membaca, namun hasil bacaan dapat digunakan sebagai contoh menulis berbagai tema kehidupan mereka. Pada titik inilah, para siswa dilatih dan dibiasakan untuk terampil dalam berbahasa, terutama berpikir secara teratur, baik lisan maupun tulisan, serta bertindak secara mandiri dalam membahas soal-soal yang berkenaan dengan mata pelajaran di sekolah dan kehidupannya di rumah dan masyarakat.
Peran Orang Tua dan Masyarakat
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan literasi juga berkenaan dengan  faktor kesinambungan. Orang tua belum memberikan perhatian yang serius terhadap penumbuhan kemampuan dan kecakapan berliterasi pada anak. Masyarakat di lingkungan sekolah yang tidak terbiasa dengan membaca, sekurangya membaca tentang hal atau informasi yang berkenaan dengan pekerjaannya. Atau informasi sehubungan dengan pola asuh dan pola tindak berkaitan dengan fase atau perkembangan anak, termasuk upaya penanganan kesulitan proses belajar anak.
Kondisi demikian sangat membuat orang tua keterbatasan akses pengetahuan untuk mengetahui kesulitan belajar anaknya, bahkan mungkin akan sangat sulit dalam ikut serta memecahkan kendala-kendala pembelajaran anaknya di sekolah. Masyarakat atau orang tua seakan lepas tanggung jawab tentang pendidikan anaknya. Mereka lebih sibuk untuk mencari nafkah, termasuk uang untuk menafkahi hidup keluarga dan membiayai pendidikan anak. Tanggung jawab pendidikan serentak dibebankan kepada pihak sekolah seusai anak didaftarkan ke sekolah. Perkembangan belajar anak atau siswa sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru.
Membuat jadwal secara teratur bagi anak di rumah adalah salah satu upaya melatih anak untuk menghargai waktu. Artinya, anak tidak saja “bermain”, namun ada waktu untuk memulai literasi, walaupun dalam kemampuan yang terbatas. Jika, kearifan seperti ini ditanamkan di rumah secara baik dan teratur, niscaya kemampuan anak akan tumbuh selaras dengan harapan orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu, orang tua perlu menyiapkan bahan-bahan bacaan, sesuai kebutuhan anak agar anak tidak merasa jenuh.
Belum tampak kearifan dalam masyarakat untuk duduk bersama memperbincangkan masa depan pendidikan anak. Kalaupun ada, kearifan duduk bersama terbatas pada urusan-urusan yang sifatnya konsumtif. Secara tidak langsung, sikap masyarakat memprioritaskan hal-hal yang bersifat komplementer dan mengabaikan hal hakiki yang merupakan kebutuhan dasar manusia merupakan sebuah langkah mundur. Perlu rekayasa energi dan kearifan baru di tengah masyarakat dalam mengupayakan pendidikan secara umum, dan kecakapan literasi secara khusus demi masa depan pendidikan anak-anak bangsa. Tak lepas dari itu, intervensi lembaga politik dan pemerintah daerah dalam menghadirkan regulasi yang produktif pendidikan sekaligus mengimplementasikannya di lapangan secara konsisten menjadi harapan masyarakat. #SahabatKeluarga dan #LiterasiKeluarga. (*)


Selasa, 07 Mei 2019

KNESENG: Sumber Api dari Bambu Aur (Pengetahuan Lokal Masyarakat Petani di Lereng Labalekan Kabupaten Lembata)



Setiap guyub kultur memiliki karakter, kecerdasan, dan pengetahuan lokal tersendiri dalam mengawali dan mengakhiri sesuatu pekerjaan. Semuanya kemudian menjadi ritus yang menganggap seremoni adalah hal krusial dan urgen dalam siklus pekerjaan. Sebagai entitas masyarakat agraris, ekologi alam semesta dan jagat kosmos menjadi pratanda sekaligus tanda atau petunjuk mulai dan berakhirnya pekerjaan masyarakat dalam guyub kultur tersebut. Ini artinya, alam raya dan langit angkasa menjadi pusat bagi kehidupan segala makhluk hidup di bumi dan udara. Pernyataan di atas melukiskan masyarakat agraris di Desa Imulolong Kabupaten Lembata. Sebuah masyarakat komunal yang menggantungkan nafkah pada pekerjaan sebagai petani tradisonal.

Tahapan Mengerjakan Kebun

Sebagai kelompok agraris, seorang petani mengenali secara rinci dan runtut tahapan-tahapan yang akan dikerjakannya. Mulai dari memberi tanda (sbulunga eka) dengan cara membersihkan rumput belukar dan tumbuh-tumbuhan kecil pada batas-batas tanah atau kebun yang akan dikerjakannya. Sekadar memberi tanda pada areal atau lahan tanah dimaksud bahwa pemilik (eka alapen) yang sah akan mengerjakannya. Ini terjadi pada lahan yang pemiliknya satu atau tunggal (oloken).
Jika tanah atau lahan tersebut adalah milik bersama antara dua orang (moiten) berdasarkan kepemilikan ahliwaris yang ditinggalkan, maka keduanya akan bersepakat untuk mengerjakannya bersama-sama. Jika satu di antara pemilik sah menyatakan ia, namun tidak dapat ikut mengerjakannya karena satu dan lain hal, seperti kesibukan, kesehatan, atau memiliki cukup lahan untuk dikerjakan, maka atas kesepakatan bersama, “dirinya” atau hak kepemilikan yang melekat padanya dapat dipercayakan kepada orang lain untuk menggantikannya.
Proses yang sama juga terjadi untuk tanah atau lahan atau kebun baru yang merupakan milik bersama tiga orang (kneu telonen). Kesepakatan lain dari soal ini adalah proses pengerjaannya dapat dilakukan oleh empat orang (grakepen). Dengan cara, satu orang lain di luar kepemilikian bukan ahliwaris dapat “menempel dalam badan satu orang pemilik” atau menggabungkan dirinya pada satu pemilik yang sah untuk sama-sama mengerjakannya.
Bersamaan dengan memberi tanda pada lahan atau kebun baru di atas (sbulunga eka), seorang petani memotong dan menyiapkan “kneseng” yang nanti digunakaan sebagai sumber atau “penghasil” api saat membakar kebun tersebut. Kneseng adalah belahan bambu aur yang digesek untuk menghasilkan api saat membakar kebun baru atau menghasilkan api di tungku pembakaran di kebun, dan lumbung.

Proses Membuat Api

Kneseng merupakan belahan bambu aur dari satu ruas yang sama. Dibelah, yang sebelahnya dikikis sedikit lebih kecil yang disebut kneseng lakin (kneseng laki), dan yang sebelahnya sedikit lebih besar atau gemuk yang disebut kneseng ronen (kneseng inan). Kneseng lakin diraut agak tajam karena berfungsi sebagai “penggesek” untuk menghasilkan bunga api. Di atas punggung kneseng ronen, dibuat garis horizontal lurus, kecil, dan secara vertikal juga demikian, namun jumlah irisan bisa dibuat 3-5 baris.
Pada bagian bawa irisan vertikal tadi, dijepit (diletakkan) seutas kapas (lelor) atau sabut kelapa halus tipis, agak rapat ke atas persis di bawah kneseng ronen, yang berfungsi menahan dan menghidupi bunga api hasil gesekan dari kneseng lakin. Agar bunga api lebih cepat merambat, maka selain kapas dan sabut kelapa tipis, diletakkan (jika ada) seutas benda tipis yang diambil dari pelepah pohon sejenis enau yang dalam bahasa setempat disebut rapo(r). Setelah bahan-bahan tadi disiapkan, maka kneseng lakin ditaruh persis di atas urat irisan vertikal, kemudian digerakkan oleh kedua tangan secara terus-menerus, mulai dengan perlahan dan semakin lama semakin kencang. Kekuatan gerakan atau gesekan tadi akan menghasilkan asap sehingga bunga api akan jatuh persis di atas kapas, rapo(r), atau sabut kelapa yang telah dilekatkan pada kneseng ronen tadi.
Jika ada muncul asap kecil, maka gesekan jangan dihentikan, tetapi diteruskan lebih kuat sampai menghasilkan asap yang lebih besar. Sesudah dipastikan telah menghasilkan api, bunga api bisa diambil dengan sangat hati-hati, ditiup dengan napas “halus” dalam-dalam, perlahan agar bunga api tidak terbang atau jatuh. Setelah menjadi api, api siap untuk dihidupkan pada tungku atau tempat pembakaran. Jika irisan vertikal pertama tidak sampai menghasilkan api, maka dapat digeser atau dipindahkan ke irisan yang lain, kemudian melakukan gesekan sebagaimana yang dilakukan pada gesekan pertama. Begitu dan seterusnya sampai menghasilkan api.
Sayangnya, kecerdasan lokal (local genius) atau pengetahuan lokal masyarakat petani di lereng Gunung Labalekan, Kabupaten Lembata tersebut sudah tergerus pelan-pelan dan telah tergantikan dengan korek api dan pemantik (machise) pada hari ini. (*) bersambung

Rabu, 03 April 2019

Membaca Indonesia dalam “Ambon Manise”

Judul Buku                      : Ambon Manise
Nama Pengarang             : Denny Tulaseket  Rizky Umahuk                                                Rudy Rahabea      Stefy Thenu                                                      Weldemina Yudit Tiwery
Penerbit                           : Cerah Budaya Indonesia
Tahun Terbit                    : Agustus 2018
Nomor ISBN                   : 978-602-5896-16-3
Tebal Buku                      : 109 halaman

.....
Buku Puisi Esai Ambon Manise diawali dengan sebuah negasi tentang masa lalu Ambon yang oleh kaum kolonial (terutama Belanda) menjadikannya sebagai incaran untuk ekspansi ke negeri ini. Dendam sejarah akan keterkoyakan masyarakat Negeri Angin Mamiri itu telah menjadi pelajaran pahit dan berharga bagi masyarakat Ambon buat menenun dan merajut cita-cita dan harapan hidup baru yang bahagia penuh persaudaraan. Sambil mencoba meraih asa, tiba-tiba rautan kebersamaan itu pecah dalam sebuah konflik horizontal antarkomunitas Maluku. Saling sangka dan saling serang, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan korban material. Dengan kebijaksanaan dan pisau bedah kearifan lokal, Pela Gandong, disertai titian formal Perjanjian Malino II, konflik tiga tahunan itupun teratasi, dan lenyap dari bumi Ambon.
Di tengah rayaan kegembiraan dalam dasawarsa terakhir ini, harapan dan asa menjadikan Ambon Manise tetap harum semerbak bak semerbak rempah Maluku, Deny Tulaseket, dalam puisi esainya “Jangan Lagi Ambon Manise Terkoyak” mendaras harapan dalam bait-bait berikut ini.
//Ya, jangan ada lagi konflik ledakan horisontal/Jangan pula kita rentan terhadap potensi rusuh/Negeri ini plural,ayo antisipatif dalam membaca/dan menalar suasana secara komprehensif/ jangan lagi ada disharmoni di antara elemen yang ada/entah dalam skala individu maupun kelompok/kita syukuri anugerah negeri multikultural ini/tinggalkan masa kelam dalam sejarah Ambon//.
Seorang Deny Tulaseket memakai optik masa kini dalam menalar dimensi historisitas perjuangan bangsa Indonesia demi mereguk oase kemerdekaan. Apabila tapak dan rekam jejak historisitas perjuangan kemerdekaan bangsa dibaca dalam kerangka pandang kebangsaan bersama, maka segenap anak bangsa, siapapun, dan di manapun dia berada, segenap daya dan perhatiannya akan dicurahkan untuk kebaikan bersama atau demi kebaikan bangsa. Dengan demikian, perlu dibangun ruang kesadaran bersama dalam aneka diskursus intelektual untuk memaknai keperbedaan dalam semangat kekitaan bersama, sehingga,semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika dan spirit toleransi beragama senantiasa diinternalisasi, diwariskan, dan terus dihidupkan guna mengantisipasi tragedi berdarah yang terjadi di berbagai tempat di Nusantara tercinta ini.
…..
Pengarang kedua, Rizky Umahuk, mengajak kita ke masa lalu. Semacam kilas balik keberadaan manusia Maluku (baca: Indonesia) dalam bahasa Umahuk, katongyang berarti kita semua(hlm. 29) sebagai bangsa. Melalui Maluku dalam Bayangan Nenek Luhu, Umahuk, melakar masa lalu melalui jalan budaya. Nenek Luhu adalah sosok atau tokoh telah menjadi inspirator merajut kebangsaan. Ia berasal dari negeri Pulau Seram dengan rajanya yang terkenal Raja Gimalaha.
Jika ditelisik lebih dalam, tokoh iniadalah tokoh migratoris dalam aneka cerita yang tersebar di seantero negeri ini. Proses penguatan ini perlu direkat kuat-kuat saat ini dan pada masa yang akan datang ketika kecenderungan diperhadapkan pada krisis-krisis dan tantangan-tantangan terhadap bangsa, sesama, dan  alam raya. Proses peradaban ini perlu diusahakan terus-menerus sehingga secara kolektivitas anggota-anggota masyarakat perajut kebudayaan semakin manusiawi dalam masyarakat untuk saling menghormati harkat dan martabat sebagai manusia sehingga berguna bagi dirinya dan orang lain. Karena itu, masyarakat berada dalam suatu rentang dan ruang waktu peradaban yang humanis untuk teguh berdiri dan berjalan di atas nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk.
Sebagai anggota masyarakat budaya kita bertanggung jawab membangun pribadi keinsanan individu, dan memupuk kehalusan adab dan budi agar menjadi masyarakat yang berperadaban dan berperilaku luhur sebagai anggota komunitas. Agar nilai-nilai kristalisasi bangsa ini dapat berfaedah demi menempah hati yang keras menjadi halus, tidak sopan menjadi sopan, tidak menghargai menjadi menghargai, buruk menjadi baik, lembut dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memiliki perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaan yang tinggi, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil dan picik. Ajakan untuk mempertebal rasa kebangsaan, dan menghindari erosi kebangsaan melalui jalan budaya, seperti disuarakan Umahuk berikut ini.
//Hidup dalam kebersamaan yang teratur/dengan kehidupan persaudaraan begitu indah/tanpa memandang latar belakang/ suku, agama, ras, dan golongan/ semoga segera tercipta lagi/ Maya merindukan kedamaian Maluku/ belajar kearifan lokal dongeng dan legenda/menangkap bayang-bayang kisah Nenek Luhu/ belajar kebersamaan dan kesetiakawanan/ membangun masa depan nan gemilang//.
Interpretasi semantis menyodok perhatian seorang Umahuk pada khazanah kebijaksanaan lokal. Disadari atau tidak, bangsa dengan aneka kekayaannya, termasuk soal budaya harus dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural pembangunan bangsa. Budaya, tidak sekadar ergon, sebuah hasil perbuatan, melainkan juga sebagai energia, kekuatan untuk mencipta, tenaga yang aktif, dan dinamis.Dalam konteks ini, kebudayaan dipandang sebagai energia histories, motivasi yang telah menghantar manusia bangsa ini mengalami proses peradaban yang lebih modern.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, kita atau setiap anggota masyarakatnya mesti hadir sebagai “rawi” sekaligus “ragi”. Sebagai “rawi” penggembur ladang Indonesia yang luas dan lapang. Merawi peradaban budaya dengan lurus dan ikhlas. Sebagai “ragi” merekat relasi-relasi kemanusiaan secara adil, berimbang, serasi, dan merata antaretnik dan guyub kultur.
…..
Di tengah peradaban sambil merayakan kemajemukan bangsa dengan estetika dan keunikan yang plural, masih saja ada “kesangsian” dalam setiap kita tentang benarkah kemajemukan tersebut menjadikan kita bersatu. Dalam nada interogasi yang sangat eksplisit, seorang Rudy Rahabeat mempertanyakan hal tersebut dalam puisinya berjudul Benarkah Katong Semua Basudara?
Rahabeat mungkin saja berkaca pada situasi kebangsaan kita saat ini. Tidak dapat disangkal bahwa kerap meledak peristiwa-peristiwa yang bernuansa destruktif akhir-akhir ini. Pengarang inipun menjadikan pengamatan juga pengalaman sosiologisnya tentang rasa kebangsaannya tersebut menjadi tesis dasar menarasi puisi ini. Lagi-lagi /”Benarkah katong semua basudara”?/ lahir dari sebuah kejujuran nan ikhlas dan kebeningan nurani tentang realitas kita. Konflik-konflik horizontal yang kian merangsek masuk pada sum-sum ikatan kebangsaan adalah musuh kita bersama. Ada dikotomi genealogis kedaerahan dalam ucapan-ucapan verbal yang teridentifikasi oleh Rahabeat sebagai pemicu bergejolaknya suhu persaudaraan. Dalam bait /Jangan lagi tanya,“Anda dari mana”?/  telah membuka ruang perbedaan antara satu anggota kelompok atau anggota komunitas dengan komunitas lainnya. Ruang perbedaan inilah dimanfaatkan oleh oknum bahkan kelompok untuk menegasikan yang satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, respons /”Benarlah kita bersaudara”/menjadi respons dan ikhtiar meraut kembali visi kebangsaan. Menenun kerenggangan kemudian merawat dan mempertebal rasa solidaritas kebersamaan di antara kita dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Puisi ini hemat saya sedang mengajak kita untuk berhenti dan mengatakan “titik” pada hal-hal yang mengarah pada perceraian relasi di antara kita. Dalam konteks itulah, kitapun diajak masuk menuju lorong terang nur cahaya di negeri yang ramah kemanusiaan ini. Karena rasa kebersamaan tidak saja dialami dalam keindahan kata-kata (hlm. 54), melainkan melalui tindakan yang penuh suka cita.
…..
Stefy Thenu, pengarang keempat dalam puisi esai yang berjudul Satu Darah, Maluku memasukkan metafora tumbuhan pohon beringin atau dalam bahasa setempat ahuneng di awal puisinya. Metafora Beringin dalam puisi ini hemat saya dibaca dalam konteks Indonesia, hendak menyimbolkan sebuah rumah besar atau rumah bersama Indonesia (hlm. 58), tempat kita berteduh dan bernaung dengan aman dalam nuansa persaudaraan. Sebagaimana Maluku yang disebut Thenu sebagai sebuah keindahan, maka Indonesia sebagai rumah bersama juga adalah sebuah keindahan, estetika eksotis yang sangat menakjubkan, sehingga menjadi buruan kaum kolonial.
Rakyat Maluku, bahu-membahu melawan keegoan dan keserakahan penjajah. Dalam semangat kesetiakawanan dan solidaritas yang tinggi untuk mengusir penjajah dari bumi yang kaya raya ini. Ibarat beringin, rakyat Maluku tampil penuh sigap, kekar, maju pantang menyerah membela tanah tumpah darah, yang berdampak pada sebagian dari mereka, kira-kira 12.500 orang harus dibuang ke Belanda pada tahun 1951 (hlm. 61). Semangat yang berkobar-kobar sampai pada pertumpahan darah di Maluku, juga adalah representasi perjuangan rakyat bangsa ini merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Menyadari kondisi perjuangan kala itu yang mengorbankan jiwa dan harta, maka Thenu lagi-lagi memberi semacam awasanatau peringatan bagi bangsa ini secara umum dalam baris-baris puisi berikut ini.
//Darah/ bagi kami orang Maluku/bukan lagi sekadar warna/ yang merah/ darah menjadi simbol persatuan// (hlm.65).

               Peringatan untuk tidak jatuh pada percekcokan sampai pada pertumpahan darah. Percekcokan tidak saja dengan pihak luar atau bangsa luar, namun bisa muncul dalam bentuk yang berbeda, karena musuh yang terbesar adalah dengan sesama bangsa sendiri. Untuk itu, jangan ada curiga di antara sesama sebagai anak bangsa. Kita adalah satu-kesatuan. Fakta telah menunjukkan bahwa bangsa kita adalah sebuah bangsa yang plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya yang menjunjung tinggi toleransi.
…..
Pengarang kelima, Weldemina Yudit Tiwery dalam puisinya yang berjudul Natal 1999, Curahan Hati Gadis Kayeli. Tiwery menarasikan dengan sangat lancar dan detail tentang peristiwa menjelang Natal 1999 di Kayeli. Dalam suasana mempersiapkan diri dan batin menyongsong pesta rahmat kelahiran Yesus Mesias Sang Raja Damai, beredar isu tentang nanti terjadi konflik. Sontak jemaat menjadi kacau balau. Hiruk pikuk mencari persembunyian. Konflik horizontal itupun pecah. Warga tercerai berai. Apakah kita sekarang ini menghendaki konflik-konflik serupa terjadi lagi? Tentu dengan nada lantang kita mengatakan tidak. Atau “titik” untuk konflik yang demikian.
Kisah getir pahit dan merisaukan ini bagai mimpi, namun benar adanya. Ia telah berlalu. Dalam nada dan birama yang sama, sekali lagi Tiwery mengajak kita sebagai bangsa untuk “menenggelamkan” kisah getir ketika itu, serentak membangun “mimpi baru” (hlm.89), membangun “kekitaan” kolektif sebagai sebagai saudara dan bangsa. Karena kita yakini bahwa perbedaan di antara kita dalam bangsa ini sesungguhnya merupakan detail kekayaan yang perlu digembur demi menambah semarak kebangsaan.
Akhirnya, jalan panjang esai ini menghantar kita tiba pada kesimpulan bahwa secara literer Indonesia merupakan sebuah teks yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri.(*)

[1] Resensi ini diikutsertakan dalam “Lomba Meresensi E-Book Puisi Esai Indonesia” pada Oktober 2018. Kirim ke Panitya Lomba, Selasa, 23 Oktober 2018. Saya meresensi E-Book Esai dengan Judul Ambon Manise yang ditulis oleh Deny Tulaseket, dkk.