Halaman

Kamis, 23 Mei 2019

Gerakan Literasi, Sebuah Catatan


Kemampuan dan kecakapan berliterasi diyakini dapat membebaskan kebodohan masyarakat, meningkatkan ekonomi masyarakat, dan mendorong kemajuan masyarakat. Keyakinan ini menunjukkan bahwa masyarakat berliterasi dapat menghasilkan masyarakat yang mandiri dan berkembang. Kondisi itulah mendorong Unesco menetapkan tahun 2008–2013 sampai Dasawarsa Literasi Dunia untuk mendorong masyarakat dan negara memperkuat kemampuan dan kecakapan berliterasi. Untuk itu, perlu digagas, dibangun dan diperkuat masyarakat berliterasi Indonesia sampai ke pelosok desa. Lembaga pendidikan sekolah dasar dan menengah, serta masyarakat di mana lembaga pendidikan itu berada menjadi sasaran kecakapan berliterasi.
Pada kerangka yang sama di abad ke-21 ini, Unesco, lagi-lagi merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan atau pendidikan seumur hidup yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar pembelajaran, yakni (1) learning to know (belajar untuk menguasai pengetahuan), (2) learning to do (belajar untuk menguasai keterampilan), (3) learning to be (belajar untuk mengembangkan diri), dan (4) learning to live together (belajar untuk hidup bermasyarakat).
Belajar sesungguhnya adalah belajar tentang hakikat hidup itu sendiri. Belajar tentang aktualisasi diri agar mampu memahami jati diri dan kebutuhan sesama warga di sekitarnya. Siswa belajar tentang bagaimana berperilaku sesuai norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat. Siswa mampu menjadi pribadi yang terbuka, toleran, solider, setia kawan, memiliki rasa ingin tahu, berkorban tanpa prasangka apapun dalam kehidupan bermasayarakat. Dengan demikian, siswa akan menjadi seorang pribadi yang utuh dan memiliki keseimbangan aspek kemampuan intelektual, sikap, kepribadian, dan moral, serta keterampilan yang memadai sebagai bekal hidup di masayarakat.
Visi membangun pendidikan yang bermartabat terus bergelora seiring tumbuh dan berkembangnya globalisasi. Tuntutan perbaikan taraf kehidupan bangsa melalui aspek pendidikan menjadi agenda yang sangat mendesak. Pencanangan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun bagi rakyat Indonesia menjadi agenda strategis. Tujuannya agar memutus mata rantai drop out di tingkat dasar dan menengah sehingga masyarakat Indonesia wajib mendapatkan pendidikan yang layak dan tumbuh menjadi insan yang cerdas. Termasuk di dalamnya adalah agar semua masyarakat dapat memiliki kemampuan baca, tulis, dan berhitung. Atau, yang akhir-akhir ini dikobarkan dalam semangat gerakan literasi.
World Economic Forum tahun 2015 menyepakati enam literasi dasar yang menjadi tanggung jawab penuh semua elemen masyarakat, baik itu orang tua, masyarakat umum, maupun lembaga-lembaga pendidikan di negara ini. Enam literasi dasar yang disepakati tersebut, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Penggiatan literasi telah mendapat tempat yang proporsional sebagai sebuah gerakan bersama yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Roh Permendiknas ini menjadi instrumen pengayuh tanpa henti yang dapat dilakukan oleh semua elemen dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di sekolah dan masyarakat umum. Gerakan yang dimaksudkan dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa, yaitu membaca dan menulis dengan baik. Namun, dalam perkembangannya literasi tidak sebatas membaca dan menulis, melainkan juga menyangkut keterampilan mendengar dan berbicara agar seseorang dapat berkomunikasi dengan baik. Ada perjumpaan antara keterampilan berbahasa reseptif (mendengar dan membaca), dan keterampilan berbahasa produktif (berbicara dan menulis). Semuanya mutualistis sekaligus merupakan “jalan masuk” bagi pengembangan dan eksplorasi (bahkan mungkin sampai eksploitasi) diri seorang individu atau anak sebagai makhluk yang komplit dan berkelimpahan. Ini menjadi jalan atau pintu untuk mengenal dunia luar. Jalan inilah menjadi pilihan tepat dan relevan untuk mulai merancang budaya literasi agar kehidupan siswa ke depan menjadi lebih bermakna bagi dirinya juga bagi orang lain. Gerakan ini akan bermuara pada peningkatan kapasitas kemampuan siswa untuk meresepsi dan memproduksi pesan, selain menghadirkan peluang dalam ranah memperluas cakrawala dan intelektualitas siswa dalam berpikir kritis dengan nalar dan logika yang runtut, sistematis dalam aneka dialektika pandangan, pendapat, dan gagasan dengan argumentasi yang apik dan teratur.
Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi, bercerita mengenai apa yang dibayangkannya, dipikirkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu kepada apa pun. Manusia menghidupi kesehariannya dengan bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Namun, dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi beradab dan bermartabat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Gusdorf (dalam Djawanai, 2015). Bahkan banyak kalangan memandang bahwa menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan membaca dan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dengan demikian, warga sekolah akan tumbuh secara matang dan mampu menjadi masyarakat madani (civil society) atau masyarakat warga yang berperadaban sehingga senantiasa memiliki kemampuan bersikap dan bertingkah laku beradab yang terus-menerus berada dan membangun pola perilaku kemandirian, keberdayaan, ketenggangrasaan (toleransi), kemajemukan (pluralisme), kesetaraan dan kesederajatan (egalitarianisme), keterbukaan (inklusivisme), kemanusiaan, kejujuran, dan kedisiplinan. (Saryono, 2006:179).
Integrasi Pembelajaran Literasi dalam Setiap Mata Pelajaran
Dalam kata-kata Umberto Eco, “Membaca muncul sebagai kesepakatan kooperatif antara pembaca dan teks”. Karena tidak ada yang lebih mudah dibandingkan dengan berpikir, jadi tidak ada yang lebih sulit dibandingkan dengan berpikir baik (Thomas Traherne). Berpikir baik selalu dipengaruhi oleh membaca baik. Buku adalah gudang ilmu pengetahuan. Oleh itu, membaca adalah kunci satu-satunya untuk membuka gudang yang menyimpan sejuta harta karun yang disebut ilmu pengetahuan itu. Buku juga menjadi jendela untuk memahami diri dan memahami orang lain.
Membaca membantu mengenali masyarakat serta kelindan kehidupan suatu masyarakat. Guru dan siswa bersama-sama menginisiasi program literasi di sekolahnya. Warga sekolah perlu memulai dan mengembangkan kemampuan literasi melalui tiga pilar literasi dasar, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena ditopang oleh kebiasaan membaca yang baik pula. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang siswa. Di samping itu, kemampuan berhitung juga menjadi aspek yang perlu dikembangkan secara seimbang dengan dua aspek literasi di atas. Antara ketiga aspek literasi yang dimaksudkan tidak ada yang lebih prioritas, namun ketiganya dapat dilaksanakan secara bersama-sama.
Dalam konteks memandang literasi sebagai sebuah gerakan bagi warga sekolah, serentak menjadikan warga sekolah dan lingkungan sekitar untuk melek huruf dan angka. Upaya ini berfaedah menciptakan warga sekolah dan anggota masyarakat sekitar untuk sanggup memperbincangkan tentang keberadaannya, mendiskusikan pekerjaannya, serta menulis tentang mata pencahariannya. Bahkan, kelak akan dapat mempublikasikan pikiran, gagasan tentang tata cara bertani, menanam aneka sayuran hingga tanaman-tanaman umur panjang. Jika demikian, maka warga sekolah juga masyarakat di sekitarnya telah berubah fungsi dan perannya menjadi produsen ide dan gagasan kreatif inovatif pembangunan yang gemilang. Warga sekolah sekaligus masyarakat sekitar akan menjadi masyarakat yang kritis terhadap aneka program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di masyarakat.
Jika GLS benar-benar dijalankan dengan baik dan teratur di sekolah, maka akan ada beberapa faedah lain yang diperoleh, yakni: pertama, siswa pada akhirnya akan memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming) dengan dunia luar melalui pembelajaran yang interaktif dalam bangunan komunikasi yang inklusif dan inovatif (Tilaar, 2002:124). Kedua secara kolektif kemasyarakatan, masyarakat desa perlu membangun unit-unit pendidikan berkelanjutan, tanpa meninggalkan identitas-identitas kultural yang telah ada dalam masyarakat. Misalnya, arisan-arisan pendidikan, koperasi, kumpul keluarga pendidikan, dan ketiga, pelaksanaan gerakan literasi yang berkesinambungan di sekolah dan masyarakat membuat siswa sebagai individu sekaligus anggota masyarakat dapat menjauhkan sikap malas, putus asa, rendah diri, sebaliknya mengembangkan dan memupuk sikap kerja keras, saling membantu, menabung, kerja sama, demi terciptanya masa depan generasi yang cerdas, terampil, visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif.
Belum tertata dan terintegrasinya secara baik pembelajaran literasi antara semua mata pelajaran dalam struktur kurikulum sekolah menjadi salah satu faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya kemampuan dan kecakapan berliterasi para siswa dan guru di kedua sekolah tersebut. Tanggung jawab kegiatan berliterasi sepenuhnya dibebankan kepada guru mata pelajaran bahasa Indonesia atau menjadi tanggung jawab guru kelas. Penataan integrasi pembelajaran bagi para guru tentang urgensi literasi dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan menjadi fokus. Dengan asumsi bahwa jika semua guru memiliki pemahaman yang sama serta ikhtiar tunggal mengembangkan kemampuan dan kecakapan berliterasi pada diri para siswa, maka para guru dapat merencanakan dan melaksanakan pembelajaran terintegrasi literasi di dalam rencana persiapan pembelajaran.
Dengan demikian, pelaksanaan literasi tidak saja bermanfaat untuk menjadikan para siswa dan guru mahir membaca, namun hasil bacaan dapat digunakan sebagai contoh menulis berbagai tema kehidupan mereka. Pada titik inilah, para siswa dilatih dan dibiasakan untuk terampil dalam berbahasa, terutama berpikir secara teratur, baik lisan maupun tulisan, serta bertindak secara mandiri dalam membahas soal-soal yang berkenaan dengan mata pelajaran di sekolah dan kehidupannya di rumah dan masyarakat.
Peran Orang Tua dan Masyarakat
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan literasi juga berkenaan dengan  faktor kesinambungan. Orang tua belum memberikan perhatian yang serius terhadap penumbuhan kemampuan dan kecakapan berliterasi pada anak. Masyarakat di lingkungan sekolah yang tidak terbiasa dengan membaca, sekurangya membaca tentang hal atau informasi yang berkenaan dengan pekerjaannya. Atau informasi sehubungan dengan pola asuh dan pola tindak berkaitan dengan fase atau perkembangan anak, termasuk upaya penanganan kesulitan proses belajar anak.
Kondisi demikian sangat membuat orang tua keterbatasan akses pengetahuan untuk mengetahui kesulitan belajar anaknya, bahkan mungkin akan sangat sulit dalam ikut serta memecahkan kendala-kendala pembelajaran anaknya di sekolah. Masyarakat atau orang tua seakan lepas tanggung jawab tentang pendidikan anaknya. Mereka lebih sibuk untuk mencari nafkah, termasuk uang untuk menafkahi hidup keluarga dan membiayai pendidikan anak. Tanggung jawab pendidikan serentak dibebankan kepada pihak sekolah seusai anak didaftarkan ke sekolah. Perkembangan belajar anak atau siswa sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru.
Membuat jadwal secara teratur bagi anak di rumah adalah salah satu upaya melatih anak untuk menghargai waktu. Artinya, anak tidak saja “bermain”, namun ada waktu untuk memulai literasi, walaupun dalam kemampuan yang terbatas. Jika, kearifan seperti ini ditanamkan di rumah secara baik dan teratur, niscaya kemampuan anak akan tumbuh selaras dengan harapan orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu, orang tua perlu menyiapkan bahan-bahan bacaan, sesuai kebutuhan anak agar anak tidak merasa jenuh.
Belum tampak kearifan dalam masyarakat untuk duduk bersama memperbincangkan masa depan pendidikan anak. Kalaupun ada, kearifan duduk bersama terbatas pada urusan-urusan yang sifatnya konsumtif. Secara tidak langsung, sikap masyarakat memprioritaskan hal-hal yang bersifat komplementer dan mengabaikan hal hakiki yang merupakan kebutuhan dasar manusia merupakan sebuah langkah mundur. Perlu rekayasa energi dan kearifan baru di tengah masyarakat dalam mengupayakan pendidikan secara umum, dan kecakapan literasi secara khusus demi masa depan pendidikan anak-anak bangsa. Tak lepas dari itu, intervensi lembaga politik dan pemerintah daerah dalam menghadirkan regulasi yang produktif pendidikan sekaligus mengimplementasikannya di lapangan secara konsisten menjadi harapan masyarakat. #SahabatKeluarga dan #LiterasiKeluarga. (*)


Selasa, 07 Mei 2019

KNESENG: Sumber Api dari Bambu Aur (Pengetahuan Lokal Masyarakat Petani di Lereng Labalekan Kabupaten Lembata)



Setiap guyub kultur memiliki karakter, kecerdasan, dan pengetahuan lokal tersendiri dalam mengawali dan mengakhiri sesuatu pekerjaan. Semuanya kemudian menjadi ritus yang menganggap seremoni adalah hal krusial dan urgen dalam siklus pekerjaan. Sebagai entitas masyarakat agraris, ekologi alam semesta dan jagat kosmos menjadi pratanda sekaligus tanda atau petunjuk mulai dan berakhirnya pekerjaan masyarakat dalam guyub kultur tersebut. Ini artinya, alam raya dan langit angkasa menjadi pusat bagi kehidupan segala makhluk hidup di bumi dan udara. Pernyataan di atas melukiskan masyarakat agraris di Desa Imulolong Kabupaten Lembata. Sebuah masyarakat komunal yang menggantungkan nafkah pada pekerjaan sebagai petani tradisonal.

Tahapan Mengerjakan Kebun

Sebagai kelompok agraris, seorang petani mengenali secara rinci dan runtut tahapan-tahapan yang akan dikerjakannya. Mulai dari memberi tanda (sbulunga eka) dengan cara membersihkan rumput belukar dan tumbuh-tumbuhan kecil pada batas-batas tanah atau kebun yang akan dikerjakannya. Sekadar memberi tanda pada areal atau lahan tanah dimaksud bahwa pemilik (eka alapen) yang sah akan mengerjakannya. Ini terjadi pada lahan yang pemiliknya satu atau tunggal (oloken).
Jika tanah atau lahan tersebut adalah milik bersama antara dua orang (moiten) berdasarkan kepemilikan ahliwaris yang ditinggalkan, maka keduanya akan bersepakat untuk mengerjakannya bersama-sama. Jika satu di antara pemilik sah menyatakan ia, namun tidak dapat ikut mengerjakannya karena satu dan lain hal, seperti kesibukan, kesehatan, atau memiliki cukup lahan untuk dikerjakan, maka atas kesepakatan bersama, “dirinya” atau hak kepemilikan yang melekat padanya dapat dipercayakan kepada orang lain untuk menggantikannya.
Proses yang sama juga terjadi untuk tanah atau lahan atau kebun baru yang merupakan milik bersama tiga orang (kneu telonen). Kesepakatan lain dari soal ini adalah proses pengerjaannya dapat dilakukan oleh empat orang (grakepen). Dengan cara, satu orang lain di luar kepemilikian bukan ahliwaris dapat “menempel dalam badan satu orang pemilik” atau menggabungkan dirinya pada satu pemilik yang sah untuk sama-sama mengerjakannya.
Bersamaan dengan memberi tanda pada lahan atau kebun baru di atas (sbulunga eka), seorang petani memotong dan menyiapkan “kneseng” yang nanti digunakaan sebagai sumber atau “penghasil” api saat membakar kebun tersebut. Kneseng adalah belahan bambu aur yang digesek untuk menghasilkan api saat membakar kebun baru atau menghasilkan api di tungku pembakaran di kebun, dan lumbung.

Proses Membuat Api

Kneseng merupakan belahan bambu aur dari satu ruas yang sama. Dibelah, yang sebelahnya dikikis sedikit lebih kecil yang disebut kneseng lakin (kneseng laki), dan yang sebelahnya sedikit lebih besar atau gemuk yang disebut kneseng ronen (kneseng inan). Kneseng lakin diraut agak tajam karena berfungsi sebagai “penggesek” untuk menghasilkan bunga api. Di atas punggung kneseng ronen, dibuat garis horizontal lurus, kecil, dan secara vertikal juga demikian, namun jumlah irisan bisa dibuat 3-5 baris.
Pada bagian bawa irisan vertikal tadi, dijepit (diletakkan) seutas kapas (lelor) atau sabut kelapa halus tipis, agak rapat ke atas persis di bawah kneseng ronen, yang berfungsi menahan dan menghidupi bunga api hasil gesekan dari kneseng lakin. Agar bunga api lebih cepat merambat, maka selain kapas dan sabut kelapa tipis, diletakkan (jika ada) seutas benda tipis yang diambil dari pelepah pohon sejenis enau yang dalam bahasa setempat disebut rapo(r). Setelah bahan-bahan tadi disiapkan, maka kneseng lakin ditaruh persis di atas urat irisan vertikal, kemudian digerakkan oleh kedua tangan secara terus-menerus, mulai dengan perlahan dan semakin lama semakin kencang. Kekuatan gerakan atau gesekan tadi akan menghasilkan asap sehingga bunga api akan jatuh persis di atas kapas, rapo(r), atau sabut kelapa yang telah dilekatkan pada kneseng ronen tadi.
Jika ada muncul asap kecil, maka gesekan jangan dihentikan, tetapi diteruskan lebih kuat sampai menghasilkan asap yang lebih besar. Sesudah dipastikan telah menghasilkan api, bunga api bisa diambil dengan sangat hati-hati, ditiup dengan napas “halus” dalam-dalam, perlahan agar bunga api tidak terbang atau jatuh. Setelah menjadi api, api siap untuk dihidupkan pada tungku atau tempat pembakaran. Jika irisan vertikal pertama tidak sampai menghasilkan api, maka dapat digeser atau dipindahkan ke irisan yang lain, kemudian melakukan gesekan sebagaimana yang dilakukan pada gesekan pertama. Begitu dan seterusnya sampai menghasilkan api.
Sayangnya, kecerdasan lokal (local genius) atau pengetahuan lokal masyarakat petani di lereng Gunung Labalekan, Kabupaten Lembata tersebut sudah tergerus pelan-pelan dan telah tergantikan dengan korek api dan pemantik (machise) pada hari ini. (*) bersambung