Kemampuan dan kecakapan berliterasi
diyakini dapat membebaskan kebodohan masyarakat, meningkatkan ekonomi
masyarakat, dan mendorong kemajuan masyarakat. Keyakinan ini menunjukkan bahwa
masyarakat berliterasi dapat menghasilkan masyarakat yang mandiri dan
berkembang. Kondisi itulah mendorong Unesco menetapkan tahun 2008–2013 sampai
Dasawarsa Literasi Dunia untuk mendorong masyarakat dan negara memperkuat
kemampuan dan kecakapan berliterasi. Untuk itu, perlu digagas, dibangun dan diperkuat
masyarakat berliterasi Indonesia sampai ke pelosok desa. Lembaga pendidikan
sekolah dasar dan menengah, serta masyarakat di mana lembaga pendidikan itu
berada menjadi sasaran kecakapan berliterasi.
Pada kerangka yang sama di abad ke-21
ini, Unesco, lagi-lagi merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan atau
pendidikan seumur hidup yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar pembelajaran,
yakni (1) learning to know (belajar untuk menguasai pengetahuan), (2) learning to do
(belajar untuk menguasai keterampilan), (3) learning to be (belajar
untuk mengembangkan diri), dan (4) learning to live together (belajar
untuk hidup bermasyarakat).
Belajar sesungguhnya adalah belajar tentang hakikat
hidup itu sendiri. Belajar tentang aktualisasi diri agar mampu memahami jati
diri dan kebutuhan sesama warga di sekitarnya. Siswa belajar tentang bagaimana
berperilaku sesuai norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat. Siswa mampu
menjadi pribadi yang terbuka, toleran, solider, setia kawan, memiliki rasa
ingin tahu, berkorban tanpa prasangka apapun dalam kehidupan bermasayarakat.
Dengan demikian, siswa akan menjadi seorang pribadi yang utuh dan memiliki
keseimbangan aspek kemampuan intelektual, sikap,
kepribadian, dan moral, serta keterampilan yang memadai sebagai bekal hidup di
masayarakat.
Visi membangun pendidikan yang bermartabat terus
bergelora seiring tumbuh dan berkembangnya globalisasi. Tuntutan perbaikan taraf kehidupan
bangsa melalui aspek pendidikan
menjadi agenda yang sangat mendesak. Pencanangan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun bagi rakyat
Indonesia menjadi agenda
strategis. Tujuannya agar
memutus mata rantai drop out di tingkat dasar dan menengah sehingga
masyarakat Indonesia wajib mendapatkan
pendidikan yang layak dan tumbuh menjadi insan yang cerdas. Termasuk di
dalamnya adalah agar semua masyarakat dapat memiliki kemampuan baca, tulis, dan
berhitung. Atau, yang akhir-akhir ini dikobarkan dalam semangat gerakan literasi.
World Economic Forum tahun 2015 menyepakati enam literasi dasar yang menjadi
tanggung jawab penuh semua elemen masyarakat, baik itu orang tua, masyarakat
umum, maupun lembaga-lembaga pendidikan di negara ini. Enam literasi dasar yang
disepakati tersebut, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi
sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan
kewargaan. Penggiatan literasi telah mendapat tempat yang proporsional
sebagai sebuah gerakan bersama yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor
23 tahun 2015 tentang Penumbuhan
Budi Pekerti. Roh Permendiknas ini menjadi instrumen pengayuh tanpa henti yang dapat dilakukan oleh semua elemen
dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di
sekolah dan masyarakat umum. Gerakan yang dimaksudkan dilakukan secara
menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi
pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari
bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah
memperoleh kemampuan dasar berbahasa,
yaitu membaca dan menulis dengan baik.
Namun, dalam perkembangannya literasi tidak sebatas membaca dan menulis,
melainkan juga menyangkut keterampilan mendengar dan berbicara agar seseorang
dapat berkomunikasi dengan baik. Ada perjumpaan antara keterampilan berbahasa
reseptif (mendengar dan membaca), dan keterampilan berbahasa produktif
(berbicara dan menulis). Semuanya mutualistis sekaligus merupakan “jalan masuk”
bagi pengembangan dan eksplorasi (bahkan mungkin sampai eksploitasi) diri
seorang individu atau anak sebagai makhluk yang komplit dan berkelimpahan. Ini
menjadi jalan atau pintu untuk mengenal dunia luar. Jalan inilah menjadi
pilihan tepat dan relevan untuk mulai merancang budaya literasi agar kehidupan
siswa ke depan menjadi lebih bermakna bagi dirinya juga bagi orang lain. Gerakan ini akan bermuara pada peningkatan kapasitas kemampuan siswa
untuk meresepsi dan memproduksi pesan, selain menghadirkan peluang dalam ranah memperluas cakrawala dan intelektualitas siswa dalam berpikir kritis dengan nalar dan logika yang runtut, sistematis dalam aneka dialektika pandangan, pendapat, dan gagasan dengan argumentasi
yang apik dan teratur.
Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang
kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari,
misalnya. Manusia juga bernarasi, bercerita mengenai apa yang dibayangkannya,
dipikirkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan
lambang yang abstrak yang dapat mengacu kepada apa pun. Manusia menghidupi
kesehariannya dengan bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang
menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata.
Namun, dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut
membuatnya menjadi beradab dan bermartabat, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Gusdorf (dalam Djawanai, 2015). Bahkan banyak kalangan memandang bahwa
menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru,
yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan membaca dan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dengan demikian, warga sekolah akan tumbuh secara matang dan mampu menjadi masyarakat
madani (civil society) atau masyarakat warga yang berperadaban sehingga
senantiasa memiliki kemampuan bersikap dan bertingkah laku beradab yang terus-menerus
berada dan membangun pola perilaku kemandirian, keberdayaan, ketenggangrasaan (toleransi), kemajemukan (pluralisme), kesetaraan dan
kesederajatan (egalitarianisme),
keterbukaan (inklusivisme),
kemanusiaan, kejujuran, dan kedisiplinan. (Saryono, 2006:179).
Integrasi
Pembelajaran Literasi dalam Setiap Mata Pelajaran
Dalam kata-kata Umberto Eco,
“Membaca muncul sebagai kesepakatan kooperatif antara pembaca dan teks”. Karena tidak ada yang
lebih mudah dibandingkan dengan berpikir, jadi tidak ada yang lebih sulit dibandingkan dengan berpikir baik (Thomas Traherne). Berpikir baik selalu dipengaruhi
oleh membaca baik. Buku adalah gudang ilmu pengetahuan.
Oleh itu, membaca adalah kunci satu-satunya untuk membuka gudang yang menyimpan
sejuta harta karun yang disebut ilmu pengetahuan itu. Buku juga menjadi jendela untuk memahami diri dan
memahami orang lain.
Membaca membantu mengenali masyarakat serta kelindan kehidupan suatu masyarakat. Guru dan siswa bersama-sama menginisiasi program literasi di sekolahnya. Warga sekolah perlu memulai dan mengembangkan kemampuan literasi
melalui tiga pilar literasi dasar, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Alasannya
membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada
seseorang menjadi baik karena ditopang oleh kebiasaan membaca yang baik pula. Jadi, membaca dan
menulis adalah dua keterampilan yang inheren
dan tidak terpisahkan dalam diri seorang siswa. Di samping itu, kemampuan berhitung juga menjadi aspek
yang perlu dikembangkan secara seimbang dengan dua aspek literasi di atas.
Antara ketiga aspek literasi yang dimaksudkan tidak ada yang lebih prioritas,
namun ketiganya dapat dilaksanakan secara bersama-sama.
Dalam konteks memandang literasi sebagai sebuah gerakan
bagi warga sekolah, serentak
menjadikan warga
sekolah dan lingkungan sekitar untuk melek huruf
dan angka. Upaya
ini berfaedah menciptakan warga
sekolah dan anggota masyarakat
sekitar untuk sanggup
memperbincangkan tentang keberadaannya, mendiskusikan pekerjaannya, serta
menulis tentang mata pencahariannya. Bahkan, kelak akan dapat mempublikasikan
pikiran, gagasan tentang tata cara bertani, menanam aneka sayuran hingga
tanaman-tanaman umur panjang. Jika demikian, maka warga
sekolah juga masyarakat di sekitarnya telah berubah fungsi dan perannya menjadi produsen ide dan gagasan kreatif
inovatif pembangunan yang
gemilang. Warga sekolah sekaligus masyarakat sekitar akan menjadi masyarakat yang kritis terhadap aneka
program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di masyarakat.
Jika GLS benar-benar dijalankan dengan
baik dan teratur di sekolah, maka akan ada beberapa faedah lain yang diperoleh,
yakni: pertama, siswa pada akhirnya akan memiliki kecenderungan untuk
berpikir bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming) dengan
dunia luar melalui pembelajaran yang interaktif dalam bangunan komunikasi yang
inklusif dan inovatif (Tilaar, 2002:124). Kedua secara kolektif
kemasyarakatan, masyarakat desa perlu membangun unit-unit pendidikan
berkelanjutan, tanpa meninggalkan identitas-identitas kultural yang telah ada
dalam masyarakat. Misalnya, arisan-arisan pendidikan, koperasi, kumpul keluarga
pendidikan, dan ketiga, pelaksanaan gerakan literasi yang
berkesinambungan di sekolah dan masyarakat membuat siswa sebagai individu
sekaligus anggota masyarakat dapat menjauhkan sikap malas, putus asa, rendah
diri, sebaliknya mengembangkan dan memupuk sikap kerja keras, saling membantu,
menabung, kerja sama, demi terciptanya masa depan generasi yang cerdas,
terampil, visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif.
Belum tertata dan terintegrasinya
secara baik pembelajaran literasi antara semua mata pelajaran dalam struktur
kurikulum sekolah menjadi salah satu faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya
kemampuan dan kecakapan berliterasi para siswa dan guru di kedua sekolah
tersebut. Tanggung jawab kegiatan berliterasi sepenuhnya dibebankan kepada guru
mata pelajaran bahasa Indonesia atau menjadi tanggung jawab guru kelas.
Penataan integrasi pembelajaran bagi para guru tentang urgensi literasi dalam
setiap mata pelajaran yang diajarkan menjadi fokus. Dengan asumsi bahwa jika
semua guru memiliki pemahaman yang sama serta ikhtiar tunggal mengembangkan
kemampuan dan kecakapan berliterasi pada diri para siswa, maka para guru dapat
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran terintegrasi literasi di dalam rencana
persiapan pembelajaran.
Dengan demikian, pelaksanaan literasi
tidak saja bermanfaat untuk menjadikan para siswa dan guru mahir membaca, namun
hasil bacaan dapat digunakan sebagai contoh menulis berbagai tema kehidupan
mereka. Pada titik inilah, para siswa dilatih dan dibiasakan untuk terampil
dalam berbahasa, terutama berpikir secara teratur, baik lisan maupun tulisan,
serta bertindak secara mandiri dalam membahas soal-soal yang berkenaan dengan
mata pelajaran di sekolah dan kehidupannya di rumah dan masyarakat.
Peran Orang Tua dan Masyarakat
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan
literasi juga berkenaan dengan faktor kesinambungan.
Orang tua belum memberikan perhatian yang serius terhadap penumbuhan kemampuan
dan kecakapan berliterasi pada
anak. Masyarakat di lingkungan sekolah yang tidak terbiasa dengan membaca,
sekurangya membaca tentang hal atau informasi yang berkenaan dengan
pekerjaannya. Atau informasi sehubungan dengan pola asuh dan pola tindak
berkaitan dengan fase atau perkembangan anak, termasuk upaya penanganan
kesulitan proses belajar anak.
Kondisi demikian sangat membuat orang
tua keterbatasan akses pengetahuan untuk mengetahui kesulitan belajar anaknya,
bahkan mungkin akan sangat sulit dalam ikut serta memecahkan kendala-kendala
pembelajaran anaknya di sekolah. Masyarakat atau orang tua seakan lepas
tanggung jawab tentang pendidikan anaknya. Mereka lebih sibuk untuk mencari
nafkah, termasuk uang untuk menafkahi hidup keluarga dan membiayai pendidikan
anak. Tanggung jawab pendidikan serentak dibebankan kepada pihak sekolah seusai
anak didaftarkan ke sekolah. Perkembangan belajar anak atau siswa sepenuhnya
menjadi tanggung jawab guru.
Membuat jadwal secara teratur bagi anak
di rumah adalah salah satu upaya melatih anak untuk menghargai waktu. Artinya,
anak tidak saja “bermain”, namun ada waktu untuk memulai literasi, walaupun
dalam kemampuan yang terbatas. Jika, kearifan seperti ini ditanamkan di rumah secara
baik dan teratur, niscaya kemampuan anak akan tumbuh selaras dengan harapan
orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu, orang tua perlu menyiapkan bahan-bahan
bacaan, sesuai kebutuhan anak agar anak tidak merasa jenuh.
Belum tampak kearifan dalam masyarakat untuk
duduk bersama memperbincangkan masa depan pendidikan anak. Kalaupun ada,
kearifan duduk bersama terbatas pada urusan-urusan yang sifatnya konsumtif.
Secara tidak langsung, sikap masyarakat memprioritaskan hal-hal yang bersifat
komplementer dan mengabaikan hal hakiki yang merupakan kebutuhan dasar manusia
merupakan sebuah langkah mundur. Perlu rekayasa energi dan kearifan baru di
tengah masyarakat dalam mengupayakan pendidikan secara umum, dan kecakapan
literasi secara khusus demi masa depan pendidikan anak-anak bangsa. Tak lepas
dari itu, intervensi lembaga politik dan pemerintah daerah dalam menghadirkan
regulasi yang produktif pendidikan sekaligus mengimplementasikannya di lapangan
secara konsisten menjadi harapan masyarakat. #SahabatKeluarga dan #LiterasiKeluarga. (*)