Halaman

Sabtu, 25 April 2020

Profesionalisme dan Kredibilitas Asesor dalam Peningkatan Mutu Pendidikan





Bidang pembangunan pendidikan dianggap menjadi institusi yang paling bertanggung jawab terhadap kontinuitas penciptaan kualitas sumber daya manusia. Untuk menjamin dan menjaga ketersediaan sumber daya manusia bangsa tersebut, maka bidang pendidikan mendapat perhatian serius. Penataan dan pembenahan internal terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan bangsa ini. Mulai dari pembenahan peta jalan roh pendidikan mengikuti gerak dan laju zaman melalui sinkronisasi pada level kementerian-kementerian terkait, peningkatan anggaran melalui kesepahaman antara lembaga eksekutif dan legislatif pada semua tingkatan wilayah, konstruksi berbagai kebijakan yang optimal pada semua level guna mendukung keberlanjutan suasana pembelajaran dari pusat hingga daerah, maka pola sistem rekruitmen dan seleksi perangkat pendidikan sekolah dasar dan menengah hingga perguruan tinggi dilaksanakan dengan menjunjung tinggi transparansi dan etika publik.
Secara eksternal, perbaikan instrumen dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi (monev) yang terukur gencar dilakukan demi mengetahui secara pasti pelaksanaan dan pencapaian standar-standar mutu pendidikan yang telah dirumuskan bersama. Untuk memastikan bahwa mekanisme monev berjalan lancar dan sesuai, maka pola rekruitmen dan seleksi asesor dilaksanakan secara terbuka untuk menghindari kepentingan yang kolutif. Karena, jika asesor memiliki komitmen dan konsistensi dengan pencapaian mutu pada semua jenjang pendidikan, tanggung jawab asesmen dan visitasi di sekolah-sekolah dapat dijalankan secara terbuka dan obyektif. Hal ini menjadi penting dibaca dari perspektif kejernihan, kecermatan menemukan dan merekomendasikan “fakta” obyektif pencapaian standar-standar mutu pendidikan di sekolah.
Selain memeriksa dan mengevaluasi, seorang asesor juga mengemban tugas sebagai supervisor untuk melayani, membimbing, dan memberi jalan keluar kepada semua stakeholders satuan pendidikan, tidak saja tentang kegagalannya, namun tentang keberhasilan yang diraih. Sentuhan-sentuhan emosional dan psikologis pembelajaran secara menyenangkan perlu diberikan oleh asesor agar para guru, siswa, dan segenap stakeholders lainnya memacu adrenalin untuk terus memperbaharui materi, metode, dan evaluasi pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Asesor bukan melakukan inspeksi sehingga merasa serba tahu (superior) kepada orang (guru) yang dianggap belum tahu sama sekali (inferior). Tugas asesor yang penting adalah melakukan pembinaan. Berbasis data yang ditemukannya saat asesmen dapat menjadi bahan perbaikan mutu pendidikan. Bahwa kegiatan asesmen ke sekolah-sekolah dilaksanakan untuk membina dan memperbaiki serta meningkatkan kemampuan guru dalam rangka peningkatan proses belajar-mengajar.
Sentuhan dan stimulus positif juga secara khusus diberikan kepada kepala sekolah selaku top managemen di sekolahnya agar memiliki kemampuan manajerial yang memadai sehingga mampu menciptakan iklim kerja yang menggairahkan. Seorang kepala sekolah diharapkan mampu mengorganisir para guru untuk selalu termotivasi melihat masa depan sekolahnya secara optimis, maju dan berkembang, memiliki kemampuan mengelola kecerdasan intektual, emosional, sosial, dan kemampuan spiritualnya. Memotivasi para guru untuk mengeksplorasi kemampuan dan potensi para siswa sehingga tumbuh dan memiliki kecerdasan secara seimbang dalam ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Kondisi ini berangkat pada keprihatinan masyarakat pengguna jasa bahwa praktik pendidikan dan lulusannya sekarang telah mengalami pendangkalan makna dari "menjadi" (being) menuju "memiliki" sesuatu (having). Lulusan sekadar menguasai pengetahuan secara baik, namun sikap dan keterampilannya tidak searah dengan pengetahuannya. Kalau pendidikan itu berorientasi kepada kepemilikan (having), maka persoalan etika dan kepribadian menjadi kurang diperhatikan. Padahal, semestinya orientasi pendidikan adalah being, yaitu agar anak didik dapat menjadi dirinya sendiri sesuai dengan dasar-dasar kepribadiannya karena setiap manusia diciptakan dalam keunikan.(*)









Makalah ini dibuat dalam rangka mengikuti rekruitmen dan seleksi calon asesor 2019.

Pemimpin yang Inspiratif



Pendahuluan
Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang benar-benar menjalankan organisasinya secara demokratis. Demokratis yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemimpin yang mampu mewadahi, menjembatani setiap kepentingan anggota organisasi untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Jika pemimpin tidak berjalan bersama-sama anggota organisasinya, maka dapat dipastikan bahwa masing-masing orang yang ada di dalamnya akan berjalan tanpa tujuan dan arah yang jelas. Sebaliknya, jika pemimpin bertindak otoriter, maka dapat dipastikan pula bahwa organisasi yang dinahkodainya beserta anggotanya berjalan penuh kecemasan dan ketakutan. Dengan demikian, cita-cita dan harapan untuk membawa organisasi ke arah yang lebih baik lama-kelamaan akan hilang dari kepercayaan dan berkecenderungan ditinggalkan oleh anggota.
Oleh karena itu, kita pasti menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa langgengnya sebuah organisasi, entah itu organisasi sosial kemasyarakatan, maupun lembaga atau institusi pendidikan sangat ditentukan pula oleh “tangan dingin” pemimpin dalam menjalankan roda organisasi atau lembaga yang dipimpinnya. Menyadari pentingnya kehadiran juga keberadaan seorang pemimpin yang demikian, maka makalah sederhana ini akan mengetengahkan gagasan singkat tentang hakikat dan model-model pemimpin. Gagasan-gagasan singkat ini disajikan berdasarkan pengalaman penulis merasakan gaya kepemimpinan yang dialami dalam perjumpaan dengan para kepala sekolah yang menjadi pemimpin penulis saat menjalankan tugas sebagai guru di beberapa sekolah. Gagasan ini akan diawali dengan sajian singkat tentang gaya kepemimpinan pemimpin, dan diakhiri dengan sajian tentang model kepemimpinan yang ditinggalkan oleh tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro dalam gagasan pendidikan filsafat Bunga Teratai.

Gaya Pemimpin
Menjadi pemimpin yang ideal tentu diharapkan semua orang. Peluang sangat terbuka untuk mencapai sebuah kesempurnaan dalam memimpin. Entah itu sebuah organisasi, lembaga pemerintahan, lembaga swasta atau apapun namanya. Bawahan tentu akan menaruh respon dan sikap positif jika pemimpinnya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik.
Tampubolon (2005) mengedepankan lima syarat menjadi pemimpin pendidikan yang berkualitas. Syarat-syarat ini menjadi bagian dari permenungan kita untuk menjadikan aspek pendidikan sebagai idola, karena kita terpilih menjadi pemimpin pendidikan, pemimpin masa depan bangsa, yang tentunya punya ikhtiar yang sama membangun pendidikan Indonesia yang bermutu.
Pertama, visioner, pemimpin pendidikan perlu merumuskan visi, misi, dan nilai dasar (prinsip) yang menjadi pedoman dalam mencapai tujuan. Yang paling penting adalah visi, misi dan prinsip dasar itu perlu disosialisasikan kepada seluruh sumber daya manusia  pada lembaga pendidikan tersebut agar semua memahami dan menjadikannya sebagai pedoman pelaksanaan semua tugas.
Kedua, integritas, pemimpin pendidikan hendaknya mempunyai integritas, baik dalam kepribadian, keluarga, masyarakat juga dalam profesi keilmuan, moralitas dan hukum. Oleh karena itu, pemimpin pendidikan  yang bermutu akan selalu tampil berwibawa dan penuh keteladanan.
Ketiga, pemersatu, pemimpin pendidikan mestinya menjadi pemersatu berbagai keberagaman perilaku dan kepribadian segenap sumber daya manusia  yang dipimpinnya. Semestinya mengakomodir berbagai persoalan yang terjadi tanpa melihat siapa dia yang menghadapi masalah tersebut.
Keempat, pemberdaya, pemimpin pendidikan yang senantiasa memberikan kesempatan serta mendorong sumber daya manusia yang dipimpinnya untuk meningkatkan kemampuan dan karier mereka, di samping memfasilitasi dan memberi motivasi.
Kelima, pengendali, RE (Ratio Emosi). Pemimpin harus mampu mengendalikan ratio–emosi. Pemimpin yang emotif cenderung menimbulkan konflik, sebaliknya pemimpin yang terlalu mengandalkan ratio juga sering sulit mengakomodasi perasaan orang lain sehingga dapat menimbulkan sifat apatis yang menyebabkan keterpaduan sinregis tak tercapai.
Tentang pemimpin, John C. Maxwell berpetuah, Kata yang paling tidak penting adalah Aku. Kata yang paling penting adalah Kita. Dua kata yang paling penting adalah terima kasih. Tiga kata yang paling penting adalah semua sudah dimaafkan. Empat kata yang paling penting adalah apa sebenarnya pendapat Anda, lima kata yang paling penting adalah Anda sudah menyelesaikan pekerjaan hebat, dan enam kata yang paling penting adalah Aku ingin memahami Anda lebih baik. Dan, kita  berani berkata, Anda adalah orang yang penting bagi saya.
Selain itu, terdapat empat kemampuan dasar gaya pemimpin menjalankan sebuah roda organisasi. Kemampuan dasar dalam memimpin ini juga dapat diterapkan oleh seorang kepala sekolah di lembaga pendidikan formal. Kemampuan-kemampuan dasar tersebut, terdiri atas:
1.   Direkting, yakni seorang pemimpin memberikan arahan-arahan atau petunjuk dan mengawasi penyelesaian seluruh aktivitas secara dekat.
2.   Coaching, yakni seorang pemimpin di samping memberikan arahan dan mengawasi penyelesaian aktivitas, juga memberikan penjelasan cara mengambil sikap, memberikan usulan yang tepat dan mensuport setiap kemajuan yang dicapai.
3.  Supporting, yakni seorang pemimpin memfasilitasi dan mensupport upaya anggotanya dalam menyelesaikan tugas, serta melibatkan mereka dalam mengambil keputusan.
4.  Delegating, yakni seorang pemimpin melakukan rotasi atau pendelegasian tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah.
Selain kemampuan dasar yang harus ada dan dimiliki seorang pemimpin, seorang kepala sekolah atau seorang pemimpin sedapatnya menanggapi kepemimpinannnya sebagai sebuah keahlian. Keahlian dimaksudkan sebagai pelaksanaan orgnisasi berdasarkan pola manajemen yang inspiratif dan memberdayakan. Dalam konteks ini, terdapat empat keahlian seorang pemimpin yang baik.
1.   Interpreting, mensyaratkan bahwa seorang pemimpin mampu menginterpretasikan atau mampu memvisualisasikan suatu kondisi internal maupun eksternal yang akan berdampak pada tim.
2.    Shaping, yakni seorang pemimpin mampu memberikan gambaran tentang visi, misi, dan strategi untuk memberikan arti bagi kerja tim.
3.   Mobilising, yakni seorang pemimpin mampu memobilisasi paraindividu dalam tim dengan ide, kemampuan, dan nilai masing-masing anggota yang berbeda untuk membangun sebuah tim.
4.   Inspiring, yakni seorang pemimpin mampu memberikan inspirasi kepada tim dalam mencapai hasil.

Dari paparan yang disajikan di atas, tampak jelas bahwa semua orang yang berada dalam sebuah organisasi atau lembaga pendidikan formal memiliki niat dan cita-cita yang sama agar orang yang memimpin lembaga tersebut juga memiliki itikad yang baik dan sama dalam menahkodi roda organisasi demi berjalan lancarnya organisasi atau lembaga pendidikan secara baik pula. Dalam kerangka itulah, kepemimpinan seorang pemimpin yang ideal tetap menjadi harapan sekian banyak orang.
Berikut disajikan beberapa pola atau model kepemimpinan yang ideal, sebagai berikut.
1.  Keterbukaan, seorang pemimpin diharapkan berterus terang dan bertindak apa adanya.
2. Empati, seorang pemimpin dapat menempatkan dirinya seolah-olah sedang berada sebagai lawan bicara, sehingga turut serta menikmati apayang tengah dialami anggota.
3.      Tegas, seorang pemimpin selalu berdiri di atas kebenaran, tanpa pandang bulu.
4.  Suka menolong, seorang pemimpin diharapkan selalu bereaksi positif terhadap inisiatif anggota.
5.   Pengambil keputusan, seorang pemimpin diharapkan mengambil sikap atau keputusan yang menentukan keberlangsungan organisasi.

Pemimpin Pendidikan:
Meneladani Filsafat Bunga Teratai
Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, dalam filsafat Bunga Teratai, meletakkan tiga sikap atau prinsip dasar seorang pemimpin pendidikan. Pemimpin pendidikan yang dimaksudkan oleh Ki Hajar adalah pemimpin yang melekat pada semua mereka (guru) yang mengabdi pad ataman siswa atau taman pendidikan. Guru merupakan pemimpin karena gurulah menjadi tokoh atau model dan panutan bagi siswa-siswanya. Jika, konsep ini dielaborasi dalam peran kepala sekolah, maka seorang kepala sekolah yang baik sekaligus menjadi tokoh atau model, dan panutan bagi para guru yang ia pimpin. Oleh sebab itu, gerak dan keberlangsungan sekolah, apakah bergerak menjadi sebuah lembaga pendidikan yang unggul dan bermutu sangat ditentukan oleh kerja sama antara seorang kepala sekolah dan para gurunya.
Tiga prinsip atau falsafah dasar pendidikan dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Jika dicermati, sikap-sikap pendidikan ini secara implisit signifikan dengan apa yang termuat dalam  Pembukaan UUD 1945, juga dalam UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 43 menyebutkan bahwa “Promosi dan pengharagaan bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan”. Bunyi pasal ini memberikan implikasi nyata tentang model pemimpin pendidikan atau kepala sekolah dalam memimpin sebuah lembaga pendidikan formal. Secara eksplisit, disebutkan bahwa calon pemimpin pendidikan memiliki latar belakang pendidikan, memiliki pengalaman pendidikan, memiliki kemampuan, dan memiliki prestasi kerja dalam bidang pendidikan.
Sebagai seorang pendidik calon pemimpin, guru mengemban tugas sebagai seorang pengajar sekaligus pendidik yang ideal. Dia adalah pemimpin pendidikan yang terpercaya, walaupun dalam sebuah lembaga pendidikan. Sebagai pengajar guru berperan melakukan transfer pengetahuan kepada para peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan yang memadai yang bisa digunakan dalam memecahkan aneka masalah atau persoalan yang dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai pendidik, guru yang calon pemimpin diharapkan memberikan seperangkat nilai-nilai kehidupan, serta sikap, dan keterampilan kepada siswa untuk dijadikan sebagai norma dan acuan hidup para siswa.
Seperangkat pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang disebutkan di atas, secara tegas telah terpatri dalam tiga prinsip Ki Hadjar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo: di depan pemimpin harus memberikan contoh atau teladan yang baik, ing madya mangun karso: di tengah pemimpin selalu membangkitkan semangat, dan tut wuri handayani: dari belakang pemimpin selalu memberikan dorongan.
Dalam konteks meletakkan dan memposisikan kepala sekolah sebagai pemimpin, maka tiga falsafah Bunga Teratai Ki Hadjar Dewantara di atas menggambarkan dengan sangat jelas posisi atau keberadaan kepala sekolah itu sendiri. Dengan kata lain, Ki Hadjar ingin menekankan tiga keseimbangan “berada” seorang kepala sekolah yang adalah seorang pemimpin bagi para guru dan para siswa dalam menahkodai sebuah sekolah lembaga pendidikan formal. Posisi “berada” dimaksud adalah “di depan”, “di tengah”, dan “di belakang”. Seorang kepala sekolah atau pemimpin yang baik harus senantiasa berada di depan menjadi figur contoh, tokoh panutan bagi segenap warga sekolah. Seorang kepala sekolah yang baik harus senantiasa berada di tengah untuk terus memberikan semangat dan spirit, membakar gairah para guru dan para siswa untuk terus berusaha, terus belajar tanpa henti demi mencapai cita-cita bersama.
Seorang kepala sekolah yang baik harus senantiasa berada di belakang untuk memberikan dorongan kepada para guru dan para siswa untuk bersama-sama maju, saling bantu-membantu, dan bahu-membahu menggapai tujuan. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Jika demikian, maka kepala sekolah menuntun untuk kembali ke koridor yang sebenarnya. Kepala sekolah yang demikianlah perlahan-lahan akan menjadi seorang kepala sekolah yang profesional. Kepala sekolah yang profesional adalah kepala sekolah yang mampu menghayati makna profesionalisme, menjadi manusia berilmu karena terus dan senantiasa belajar dari warga sekolahnya, menjadi manusia bersyukur, manusia unggul, dan akhirnya menjadi manusia yang sukses. (*)

Daftar Pustaka

Tampubolon, P. Daulat. Kenyataan, Tantangan, dan Harapan Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam Rangka 25 Tahun Universitas Flores bertempat di Auditorium HJ. Gadi Djou Universitas Flores, tanggal 18 Juli 2005.
Kotten, Natsir. 2011. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Model Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru dalam Era Otonomi Daerah. Ende: Nusa Indah.



Buku: Jendela Melihat Diri dan Orang Lain





Buku itu ibarat jendela, begitulah kisah orang bijak. Ia menjadi jendela dalam membantu menuntun kita membaca dan memahami diri kita sendiri. Dari buku jualah dapat membuat kita mampu membaca dan memahami diri orang lain. Selain itu pula, buku menuntun kita mampu membaca dan memahami sebuah kehidupan sosial yang luas dan kompleks. Membantu mengenali masyarakat serta kelindan kehidupan masyarakat itu. Sebab tu, seseorang akan mengetahui isi sesuatu daerah serta budaya kehidupan masyarakat hanya melalui membaca. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti menjadi instrumen pengayuh tanpa henti dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi dalam masyarakat sekolah kita, termasuk masyarakat secara umum.
Roh Permendiknas tersebut berada pada aras aksi, yakni bagaimana guru sebagai kreator pembelajaran di kelas menyiapkan skenario pembelajaran yang menyenangkan. Skenario tersebut, misalnya para guru dan siswa “menyantap” (membaca) sampai pada membedah dan mengupas isi buku pada setiap awal pertemuan untuk semua mata pelajaran. Secara eksplisit disebutkan dalam Permendiknas bahwa siswa diwajibkan untuk membaca buku dengan estimasi 15 menit pada setiap awal pertemuan setiap bidang studi. Buku yang sama itulah yang diharapkan akan dibaca pada 15 menit pertama jam pelajaran berikutnya, atau keesokan harinya. Dengan demikian, maka guru dan siswa bisa menghitung secara pasti berapa buku yang dibaca pada akhir semester. 
Bahkan, dalam literasi sastra, berdasarkan hasil Kongres Bahasa Indonesia XI 2018 di Jakarta merekomendasikan  bahwa siswa SD dalam setahun bisa membaca 10 judul karya sastra, SMP 15 judul, dan siswa SMA/SMKmembaca 2 judul, ungkap Ketua Tim Perumus KBI XI Prof. Dr. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang. (Kompas, 1 November 2018). Dalam konteks itulah, pemerintah, terutama lembaga-lembaga pendidikan kita wajib menyiapkan buku-buku sastra atau bahan-bahan bacaan pada umumnya agar misi mulia membangun peradaban bangsa melalui membaca buku dapat terwujud pada masa yang akan datang.Dengan demikian, perpustakaan sebagai gudang menyimpan dan membaca buku menjadi kebutuhan yang prioritas di sekolah-sekolah. Selain itu, pemerluasan taman bacaan di lingkungan masyarakat juga menjadi kondisi yang patut diperhatikan oleh anggota masyarakat yang peduli tentang pengembangan budaya literasi.
Buku-buku yang telah dibaca oleh siswa, diwajibkan untuk membuatkan komentar atau catatan buku untuk mudah mengingatnya. Bahkan, jika memungkinkan masing-masing siswa diberi waktu 2–5 menit untuk mengomentari buku yang dibaca di depan kelas. Strategi inilah yang menurut saya akan memperluas cakrawala dan intelektualitas siswa dalam berpikir kritis dengan nalar dan logika yang runtut, sistematis dengan aneka dialektika pandangan, pendapat, dan gagasan dengan argumentasi yang apik dan teratur. Karena strategi ini menyaran pada pendalaman atau interpretasi mendalam atas isi buku. Jalan inilah merupakan satu-satunya upaya membangun peradaban secara berkelanjutan. Sebab, jika tidak, maka peradaban bangsa ini akan kehilangan jejak dan bisa saja mengalami pembelokan sejarah yang justru tidak diharapkan oleh generasi masa depan.
Juri Lina, penulis Swedia menyebutkan bahwa terdapat tiga cara untuk melemahkan suatu negara, yakni (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarah agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya, dan (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhur dan katakan bahwa mereka telah tiada. Pernyataan ini  hendak mengatakan bahwa para pendahulu itu telah berpulang sekaligus kepergian mereka tidak meninggalkan apapun. Selain, peninggalan ilmu pengetahuan tertulis yang bermanfaat untuk generasi sekarang ini. Sejalan dengan pernyataan Juri Lina, Milan Kundera mengatakan bahwa “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah”.
Pramodya Ananta Toer, menyebut bahwa orang lebih pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah”. Membaca buku juga hendak menandaskan tentang eksistensi kita sebagai makhluk yang terus mencari. Makhluk yang tidak pernah selesai. Makhluk yang memiliki hasrat dan penasaran untuk ingin tahu tentang sesuatu. Karena itulah, Rene Descartes----melalui cogito ergo zum ingin menggugah rasa penasaran manusia itu untuk mencari dan terus mencari. Karena hanya itulah manusia akan mengalami kepuasan dan kebanggaan rohaniah untuk terus eksis dalam kehidupan sosialnya.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru, misalnya melalui aneka hasil bacaan, memodifikasi pembelajaran sehingga berlangsung cair. Karena guru tampil dengan aneka perspektif ilustrasi dan pengandaian yang tentunya semakin memperkaya materi atau bahan ajar yang sedang digumuli. Kekayaan pemahaman guru pasti menambah kekayaan pemahaman dan horizon berpikir siswanya, jika materi ajar ditampilkan dalam jejak bahan indografis, animasi yang menggetarkan dan menarik daya pikat para siswa. (*)