Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti yang
dibayangkan oleh banyak orang. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
benar-benar menjalankan organisasinya secara demokratis. Demokratis yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah pemimpin yang mampu mewadahi, menjembatani
setiap kepentingan anggota organisasi untuk secara bersama-sama mencapai tujuan
yang telah ditetapkan bersama. Jika pemimpin tidak berjalan bersama-sama
anggota organisasinya, maka dapat dipastikan bahwa masing-masing orang yang ada
di dalamnya akan berjalan tanpa tujuan dan arah yang jelas. Sebaliknya, jika
pemimpin bertindak otoriter, maka dapat dipastikan pula bahwa organisasi yang
dinahkodainya beserta anggotanya berjalan penuh kecemasan dan ketakutan. Dengan
demikian, cita-cita dan harapan untuk membawa organisasi ke arah yang lebih
baik lama-kelamaan akan hilang dari kepercayaan dan berkecenderungan ditinggalkan
oleh anggota.
Oleh karena itu, kita pasti menyetujui pendapat yang
menyatakan bahwa langgengnya sebuah organisasi, entah itu organisasi sosial
kemasyarakatan, maupun lembaga atau institusi pendidikan sangat ditentukan pula
oleh “tangan dingin” pemimpin dalam menjalankan roda organisasi atau lembaga
yang dipimpinnya. Menyadari pentingnya kehadiran juga keberadaan seorang
pemimpin yang demikian, maka makalah sederhana ini akan mengetengahkan gagasan
singkat tentang hakikat dan model-model pemimpin. Gagasan-gagasan singkat ini
disajikan berdasarkan pengalaman penulis merasakan gaya kepemimpinan yang
dialami dalam perjumpaan dengan para kepala sekolah yang menjadi pemimpin
penulis saat menjalankan tugas sebagai guru di beberapa sekolah. Gagasan ini
akan diawali dengan sajian singkat tentang gaya kepemimpinan pemimpin, dan
diakhiri dengan sajian tentang model kepemimpinan yang ditinggalkan oleh tokoh
pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro dalam gagasan
pendidikan filsafat Bunga Teratai.
Gaya
Pemimpin
Menjadi pemimpin yang ideal tentu diharapkan semua orang.
Peluang sangat terbuka untuk mencapai sebuah kesempurnaan dalam memimpin. Entah
itu sebuah organisasi, lembaga pemerintahan, lembaga swasta atau apapun
namanya. Bawahan tentu akan menaruh respon dan sikap positif jika pemimpinnya
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik.
Tampubolon
(2005) mengedepankan lima syarat menjadi pemimpin pendidikan yang
berkualitas. Syarat-syarat ini menjadi bagian dari permenungan kita untuk
menjadikan aspek pendidikan sebagai idola, karena kita terpilih menjadi
pemimpin pendidikan, pemimpin masa depan bangsa, yang tentunya punya ikhtiar
yang sama membangun pendidikan Indonesia yang bermutu.
Pertama,
visioner, pemimpin pendidikan perlu merumuskan visi, misi, dan nilai dasar
(prinsip) yang menjadi pedoman dalam mencapai tujuan. Yang paling penting adalah
visi, misi dan prinsip dasar itu perlu disosialisasikan kepada seluruh sumber
daya manusia pada lembaga pendidikan
tersebut agar semua memahami dan menjadikannya sebagai pedoman pelaksanaan
semua tugas.
Kedua,
integritas, pemimpin pendidikan hendaknya mempunyai integritas, baik dalam
kepribadian, keluarga, masyarakat juga dalam profesi keilmuan, moralitas dan
hukum. Oleh karena itu, pemimpin pendidikan
yang bermutu akan selalu tampil berwibawa dan penuh keteladanan.
Ketiga,
pemersatu, pemimpin pendidikan mestinya menjadi pemersatu berbagai keberagaman
perilaku dan kepribadian segenap sumber daya manusia yang dipimpinnya. Semestinya mengakomodir
berbagai persoalan yang terjadi tanpa melihat siapa dia yang menghadapi masalah
tersebut.
Keempat,
pemberdaya, pemimpin pendidikan yang senantiasa memberikan kesempatan serta
mendorong sumber daya manusia yang dipimpinnya untuk meningkatkan kemampuan dan
karier mereka, di samping memfasilitasi dan memberi motivasi.
Kelima,
pengendali, RE (Ratio Emosi). Pemimpin harus mampu mengendalikan ratio–emosi.
Pemimpin yang emotif cenderung menimbulkan konflik, sebaliknya pemimpin yang
terlalu mengandalkan ratio
juga sering sulit mengakomodasi perasaan orang lain sehingga dapat menimbulkan
sifat apatis yang menyebabkan keterpaduan sinregis tak tercapai.
Tentang
pemimpin, John C. Maxwell berpetuah, Kata yang paling tidak penting adalah Aku.
Kata yang paling penting adalah Kita. Dua kata yang paling penting adalah terima
kasih. Tiga kata yang paling penting adalah semua sudah dimaafkan. Empat kata
yang paling penting adalah apa sebenarnya pendapat Anda, lima kata yang paling
penting adalah Anda sudah menyelesaikan pekerjaan hebat, dan enam kata yang
paling penting adalah Aku ingin memahami Anda lebih baik. Dan, kita berani berkata, Anda adalah orang yang
penting bagi saya.
Selain
itu, terdapat empat kemampuan dasar gaya pemimpin menjalankan sebuah roda
organisasi. Kemampuan dasar dalam memimpin ini juga dapat diterapkan oleh
seorang kepala sekolah di lembaga pendidikan formal. Kemampuan-kemampuan dasar
tersebut, terdiri atas:
1. Direkting,
yakni seorang pemimpin memberikan arahan-arahan atau petunjuk dan mengawasi
penyelesaian seluruh aktivitas secara dekat.
2. Coaching,
yakni seorang pemimpin di samping memberikan arahan dan mengawasi penyelesaian
aktivitas, juga memberikan penjelasan cara mengambil sikap, memberikan usulan
yang tepat dan mensuport setiap kemajuan yang dicapai.
3. Supporting,
yakni seorang pemimpin memfasilitasi dan mensupport
upaya anggotanya dalam menyelesaikan tugas, serta melibatkan mereka dalam
mengambil keputusan.
4. Delegating,
yakni seorang pemimpin melakukan rotasi atau pendelegasian tanggung jawab dalam
pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah.
Selain
kemampuan dasar yang harus ada dan dimiliki seorang pemimpin, seorang kepala
sekolah atau seorang pemimpin sedapatnya menanggapi kepemimpinannnya sebagai
sebuah keahlian. Keahlian dimaksudkan sebagai pelaksanaan orgnisasi berdasarkan
pola manajemen yang inspiratif dan memberdayakan. Dalam konteks ini, terdapat
empat keahlian seorang pemimpin yang baik.
1. Interpreting,
mensyaratkan
bahwa seorang pemimpin mampu menginterpretasikan atau mampu memvisualisasikan
suatu kondisi internal maupun eksternal yang akan berdampak pada tim.
2. Shaping,
yakni
seorang pemimpin mampu memberikan gambaran tentang visi, misi, dan strategi
untuk memberikan arti bagi kerja tim.
3. Mobilising,
yakni seorang pemimpin mampu memobilisasi paraindividu dalam tim dengan ide,
kemampuan, dan nilai masing-masing anggota yang berbeda untuk membangun sebuah
tim.
4.
Inspiring,
yakni seorang pemimpin mampu memberikan inspirasi kepada tim dalam mencapai
hasil.
Dari paparan yang disajikan di atas,
tampak jelas bahwa semua orang yang berada dalam sebuah organisasi atau lembaga
pendidikan formal memiliki niat dan cita-cita yang sama agar orang yang
memimpin lembaga tersebut juga memiliki itikad yang baik dan sama dalam
menahkodi roda organisasi demi berjalan lancarnya organisasi atau lembaga
pendidikan secara baik pula. Dalam kerangka itulah, kepemimpinan seorang
pemimpin yang ideal tetap menjadi harapan sekian banyak orang.
Berikut disajikan beberapa pola atau
model kepemimpinan yang ideal, sebagai berikut.
1. Keterbukaan, seorang pemimpin diharapkan
berterus terang dan bertindak apa adanya.
2. Empati, seorang pemimpin dapat
menempatkan dirinya seolah-olah sedang berada sebagai lawan bicara, sehingga
turut serta menikmati apayang tengah dialami anggota.
3.
Tegas, seorang pemimpin selalu berdiri
di atas kebenaran, tanpa pandang bulu.
4. Suka menolong, seorang pemimpin
diharapkan selalu bereaksi positif terhadap inisiatif anggota.
5. Pengambil keputusan, seorang pemimpin
diharapkan mengambil sikap atau keputusan yang menentukan keberlangsungan
organisasi.
Pemimpin
Pendidikan:
Meneladani
Filsafat Bunga Teratai
Tokoh
pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, dalam filsafat Bunga Teratai,
meletakkan tiga sikap atau prinsip dasar seorang pemimpin pendidikan. Pemimpin
pendidikan yang dimaksudkan oleh Ki Hajar adalah pemimpin yang melekat pada
semua mereka (guru) yang mengabdi pad ataman siswa atau taman pendidikan. Guru
merupakan pemimpin karena gurulah menjadi tokoh atau model dan panutan bagi
siswa-siswanya. Jika, konsep ini dielaborasi dalam peran kepala sekolah, maka
seorang kepala sekolah yang baik sekaligus menjadi tokoh atau model, dan panutan
bagi para guru yang ia pimpin. Oleh sebab itu, gerak dan keberlangsungan
sekolah, apakah bergerak menjadi sebuah lembaga pendidikan yang unggul dan
bermutu sangat ditentukan oleh kerja sama antara seorang kepala sekolah dan
para gurunya.
Tiga
prinsip atau falsafah dasar pendidikan dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun
karsa, Tut wuri handayani. Jika dicermati, sikap-sikap pendidikan ini
secara implisit signifikan dengan apa yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, juga dalam UU Nomor 30
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam
UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 43 menyebutkan
bahwa “Promosi dan pengharagaan bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan
prestasi kerja dalam bidang pendidikan”. Bunyi pasal ini memberikan implikasi
nyata tentang model pemimpin pendidikan atau kepala sekolah dalam memimpin
sebuah lembaga pendidikan formal. Secara eksplisit, disebutkan bahwa calon
pemimpin pendidikan memiliki latar belakang pendidikan, memiliki pengalaman
pendidikan, memiliki kemampuan, dan memiliki prestasi kerja dalam bidang
pendidikan.
Sebagai
seorang pendidik calon pemimpin, guru mengemban tugas sebagai seorang pengajar sekaligus
pendidik yang ideal. Dia adalah pemimpin pendidikan yang terpercaya, walaupun
dalam sebuah lembaga pendidikan. Sebagai pengajar guru berperan melakukan
transfer pengetahuan kepada para peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan
yang memadai yang bisa digunakan dalam memecahkan aneka masalah atau persoalan
yang dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai pendidik, guru yang calon
pemimpin diharapkan memberikan seperangkat nilai-nilai kehidupan, serta sikap,
dan keterampilan kepada siswa untuk dijadikan sebagai norma dan acuan hidup
para siswa.
Seperangkat
pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang disebutkan di atas, secara tegas
telah terpatri dalam tiga prinsip Ki
Hadjar Dewantara, yakni ing ngarso sung
tulodo: di depan pemimpin harus memberikan contoh atau teladan yang baik, ing madya mangun karso: di tengah
pemimpin selalu membangkitkan semangat, dan tut
wuri handayani: dari belakang pemimpin selalu memberikan dorongan.
Dalam
konteks meletakkan dan memposisikan kepala sekolah sebagai pemimpin, maka tiga
falsafah Bunga Teratai Ki Hadjar Dewantara di atas menggambarkan dengan sangat
jelas posisi atau keberadaan kepala sekolah itu sendiri. Dengan kata lain, Ki
Hadjar ingin menekankan tiga keseimbangan “berada” seorang kepala sekolah yang
adalah seorang pemimpin bagi para guru dan para siswa dalam menahkodai sebuah
sekolah lembaga pendidikan formal. Posisi “berada” dimaksud adalah “di depan”,
“di tengah”, dan “di belakang”. Seorang kepala sekolah atau pemimpin yang baik
harus senantiasa berada di depan menjadi figur contoh, tokoh panutan bagi
segenap warga sekolah. Seorang kepala sekolah yang baik harus senantiasa berada
di tengah untuk terus memberikan semangat dan spirit, membakar gairah para guru
dan para siswa untuk terus berusaha, terus belajar tanpa henti demi mencapai
cita-cita bersama.
Seorang
kepala sekolah yang baik harus senantiasa berada di belakang untuk memberikan
dorongan kepada para guru dan para siswa untuk bersama-sama maju, saling
bantu-membantu, dan bahu-membahu menggapai tujuan. Jangan sampai ada yang
ketinggalan. Jika demikian, maka kepala sekolah menuntun untuk kembali ke
koridor yang sebenarnya. Kepala sekolah yang demikianlah perlahan-lahan akan
menjadi seorang kepala sekolah yang profesional. Kepala sekolah yang profesional
adalah kepala sekolah yang mampu menghayati makna profesionalisme, menjadi manusia
berilmu karena terus dan senantiasa belajar dari warga sekolahnya, menjadi manusia
bersyukur, manusia unggul, dan akhirnya menjadi manusia yang sukses. (*)
Daftar Pustaka
Tampubolon, P. Daulat. Kenyataan, Tantangan, dan Harapan
Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam Rangka 25 Tahun Universitas Flores bertempat
di
Auditorium HJ. Gadi Djou Universitas Flores, tanggal 18 Juli 2005.
Kotten, Natsir. 2011. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Model Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru dalam Era Otonomi Daerah.
Ende: Nusa Indah.