Buku itu ibarat jendela, begitulah kisah orang bijak. Ia menjadi jendela dalam membantu menuntun kita membaca dan memahami diri kita sendiri. Dari buku jualah dapat membuat kita mampu membaca dan memahami diri orang lain. Selain itu pula, buku menuntun kita mampu membaca dan memahami sebuah kehidupan sosial yang luas dan kompleks. Membantu mengenali masyarakat serta kelindan kehidupan masyarakat itu. Sebab tu, seseorang akan mengetahui isi sesuatu daerah serta budaya kehidupan masyarakat hanya melalui membaca. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti menjadi instrumen pengayuh tanpa henti dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi dalam masyarakat sekolah kita, termasuk masyarakat secara umum.
Roh Permendiknas tersebut
berada pada aras aksi, yakni bagaimana guru sebagai kreator pembelajaran di
kelas menyiapkan skenario pembelajaran yang menyenangkan. Skenario tersebut,
misalnya para guru dan siswa “menyantap” (membaca) sampai pada membedah dan
mengupas isi buku pada setiap awal pertemuan untuk semua mata pelajaran. Secara
eksplisit disebutkan dalam Permendiknas bahwa siswa diwajibkan untuk membaca
buku dengan estimasi 15 menit pada setiap awal pertemuan setiap bidang studi.
Buku yang sama itulah yang diharapkan akan dibaca pada 15 menit pertama jam
pelajaran berikutnya, atau keesokan harinya. Dengan demikian, maka guru dan
siswa bisa menghitung secara pasti berapa buku yang dibaca pada akhir semester.
Bahkan, dalam literasi sastra, berdasarkan hasil Kongres Bahasa Indonesia XI 2018 di Jakarta merekomendasikan bahwa siswa SD dalam setahun bisa membaca 10 judul karya sastra, SMP 15 judul, dan siswa SMA/SMKmembaca 2 judul, ungkap Ketua Tim Perumus KBI XI Prof. Dr. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang. (Kompas, 1 November 2018). Dalam konteks itulah, pemerintah, terutama lembaga-lembaga pendidikan kita wajib menyiapkan buku-buku sastra atau bahan-bahan bacaan pada umumnya agar misi mulia membangun peradaban bangsa melalui membaca buku dapat terwujud pada masa yang akan datang.Dengan demikian, perpustakaan sebagai gudang menyimpan dan membaca buku menjadi kebutuhan yang prioritas di sekolah-sekolah. Selain itu, pemerluasan taman bacaan di lingkungan masyarakat juga menjadi kondisi yang patut diperhatikan oleh anggota masyarakat yang peduli tentang pengembangan budaya literasi.
Bahkan, dalam literasi sastra, berdasarkan hasil Kongres Bahasa Indonesia XI 2018 di Jakarta merekomendasikan bahwa siswa SD dalam setahun bisa membaca 10 judul karya sastra, SMP 15 judul, dan siswa SMA/SMKmembaca 2 judul, ungkap Ketua Tim Perumus KBI XI Prof. Dr. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang. (Kompas, 1 November 2018). Dalam konteks itulah, pemerintah, terutama lembaga-lembaga pendidikan kita wajib menyiapkan buku-buku sastra atau bahan-bahan bacaan pada umumnya agar misi mulia membangun peradaban bangsa melalui membaca buku dapat terwujud pada masa yang akan datang.Dengan demikian, perpustakaan sebagai gudang menyimpan dan membaca buku menjadi kebutuhan yang prioritas di sekolah-sekolah. Selain itu, pemerluasan taman bacaan di lingkungan masyarakat juga menjadi kondisi yang patut diperhatikan oleh anggota masyarakat yang peduli tentang pengembangan budaya literasi.
Buku-buku yang telah
dibaca oleh siswa, diwajibkan untuk membuatkan komentar atau catatan buku untuk
mudah mengingatnya. Bahkan, jika memungkinkan masing-masing siswa diberi waktu
2–5 menit untuk mengomentari buku yang dibaca di depan kelas. Strategi inilah
yang menurut saya akan memperluas cakrawala dan intelektualitas siswa dalam berpikir
kritis dengan nalar dan logika yang runtut, sistematis dengan aneka dialektika
pandangan, pendapat, dan gagasan dengan argumentasi yang apik dan teratur.
Karena strategi ini menyaran pada pendalaman atau interpretasi mendalam atas isi
buku. Jalan inilah merupakan satu-satunya upaya membangun peradaban secara
berkelanjutan. Sebab, jika tidak, maka peradaban bangsa ini akan kehilangan
jejak dan bisa saja mengalami pembelokan sejarah yang justru tidak diharapkan
oleh generasi masa depan.
Juri Lina, penulis Swedia
menyebutkan bahwa terdapat tiga cara untuk melemahkan suatu negara, yakni (1)
kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarah agar tidak bisa
dibuktikan kebenarannya, dan (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhur dan
katakan bahwa mereka telah tiada. Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa para pendahulu itu
telah berpulang sekaligus kepergian mereka tidak meninggalkan apapun. Selain,
peninggalan ilmu pengetahuan tertulis yang bermanfaat untuk generasi sekarang
ini. Sejalan dengan pernyataan Juri Lina, Milan Kundera mengatakan bahwa “Jika
ingin menghancurkan sebuah bangsa, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa
itu akan musnah”.
Pramodya Ananta Toer,
menyebut bahwa orang lebih pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah”. Membaca buku juga
hendak menandaskan tentang eksistensi kita sebagai makhluk yang terus mencari.
Makhluk yang tidak pernah selesai. Makhluk yang memiliki hasrat dan penasaran
untuk ingin tahu tentang sesuatu. Karena itulah, Rene Descartes----melalui cogito ergo zum ingin menggugah rasa
penasaran manusia itu untuk mencari dan terus mencari. Karena hanya itulah
manusia akan mengalami kepuasan dan kebanggaan rohaniah untuk terus eksis dalam
kehidupan sosialnya.
Dalam konteks pembelajaran
di kelas, guru, misalnya melalui aneka hasil bacaan, memodifikasi pembelajaran sehingga
berlangsung cair. Karena guru tampil dengan aneka perspektif ilustrasi dan
pengandaian yang tentunya semakin memperkaya materi atau bahan ajar yang sedang
digumuli. Kekayaan pemahaman guru pasti menambah kekayaan pemahaman dan horizon
berpikir siswanya, jika materi ajar ditampilkan dalam jejak bahan indografis,
animasi yang menggetarkan dan menarik daya pikat para siswa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar