Halaman

Sabtu, 25 April 2020

Pemimpin yang Inspiratif



Pendahuluan
Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang benar-benar menjalankan organisasinya secara demokratis. Demokratis yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemimpin yang mampu mewadahi, menjembatani setiap kepentingan anggota organisasi untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Jika pemimpin tidak berjalan bersama-sama anggota organisasinya, maka dapat dipastikan bahwa masing-masing orang yang ada di dalamnya akan berjalan tanpa tujuan dan arah yang jelas. Sebaliknya, jika pemimpin bertindak otoriter, maka dapat dipastikan pula bahwa organisasi yang dinahkodainya beserta anggotanya berjalan penuh kecemasan dan ketakutan. Dengan demikian, cita-cita dan harapan untuk membawa organisasi ke arah yang lebih baik lama-kelamaan akan hilang dari kepercayaan dan berkecenderungan ditinggalkan oleh anggota.
Oleh karena itu, kita pasti menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa langgengnya sebuah organisasi, entah itu organisasi sosial kemasyarakatan, maupun lembaga atau institusi pendidikan sangat ditentukan pula oleh “tangan dingin” pemimpin dalam menjalankan roda organisasi atau lembaga yang dipimpinnya. Menyadari pentingnya kehadiran juga keberadaan seorang pemimpin yang demikian, maka makalah sederhana ini akan mengetengahkan gagasan singkat tentang hakikat dan model-model pemimpin. Gagasan-gagasan singkat ini disajikan berdasarkan pengalaman penulis merasakan gaya kepemimpinan yang dialami dalam perjumpaan dengan para kepala sekolah yang menjadi pemimpin penulis saat menjalankan tugas sebagai guru di beberapa sekolah. Gagasan ini akan diawali dengan sajian singkat tentang gaya kepemimpinan pemimpin, dan diakhiri dengan sajian tentang model kepemimpinan yang ditinggalkan oleh tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro dalam gagasan pendidikan filsafat Bunga Teratai.

Gaya Pemimpin
Menjadi pemimpin yang ideal tentu diharapkan semua orang. Peluang sangat terbuka untuk mencapai sebuah kesempurnaan dalam memimpin. Entah itu sebuah organisasi, lembaga pemerintahan, lembaga swasta atau apapun namanya. Bawahan tentu akan menaruh respon dan sikap positif jika pemimpinnya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik.
Tampubolon (2005) mengedepankan lima syarat menjadi pemimpin pendidikan yang berkualitas. Syarat-syarat ini menjadi bagian dari permenungan kita untuk menjadikan aspek pendidikan sebagai idola, karena kita terpilih menjadi pemimpin pendidikan, pemimpin masa depan bangsa, yang tentunya punya ikhtiar yang sama membangun pendidikan Indonesia yang bermutu.
Pertama, visioner, pemimpin pendidikan perlu merumuskan visi, misi, dan nilai dasar (prinsip) yang menjadi pedoman dalam mencapai tujuan. Yang paling penting adalah visi, misi dan prinsip dasar itu perlu disosialisasikan kepada seluruh sumber daya manusia  pada lembaga pendidikan tersebut agar semua memahami dan menjadikannya sebagai pedoman pelaksanaan semua tugas.
Kedua, integritas, pemimpin pendidikan hendaknya mempunyai integritas, baik dalam kepribadian, keluarga, masyarakat juga dalam profesi keilmuan, moralitas dan hukum. Oleh karena itu, pemimpin pendidikan  yang bermutu akan selalu tampil berwibawa dan penuh keteladanan.
Ketiga, pemersatu, pemimpin pendidikan mestinya menjadi pemersatu berbagai keberagaman perilaku dan kepribadian segenap sumber daya manusia  yang dipimpinnya. Semestinya mengakomodir berbagai persoalan yang terjadi tanpa melihat siapa dia yang menghadapi masalah tersebut.
Keempat, pemberdaya, pemimpin pendidikan yang senantiasa memberikan kesempatan serta mendorong sumber daya manusia yang dipimpinnya untuk meningkatkan kemampuan dan karier mereka, di samping memfasilitasi dan memberi motivasi.
Kelima, pengendali, RE (Ratio Emosi). Pemimpin harus mampu mengendalikan ratio–emosi. Pemimpin yang emotif cenderung menimbulkan konflik, sebaliknya pemimpin yang terlalu mengandalkan ratio juga sering sulit mengakomodasi perasaan orang lain sehingga dapat menimbulkan sifat apatis yang menyebabkan keterpaduan sinregis tak tercapai.
Tentang pemimpin, John C. Maxwell berpetuah, Kata yang paling tidak penting adalah Aku. Kata yang paling penting adalah Kita. Dua kata yang paling penting adalah terima kasih. Tiga kata yang paling penting adalah semua sudah dimaafkan. Empat kata yang paling penting adalah apa sebenarnya pendapat Anda, lima kata yang paling penting adalah Anda sudah menyelesaikan pekerjaan hebat, dan enam kata yang paling penting adalah Aku ingin memahami Anda lebih baik. Dan, kita  berani berkata, Anda adalah orang yang penting bagi saya.
Selain itu, terdapat empat kemampuan dasar gaya pemimpin menjalankan sebuah roda organisasi. Kemampuan dasar dalam memimpin ini juga dapat diterapkan oleh seorang kepala sekolah di lembaga pendidikan formal. Kemampuan-kemampuan dasar tersebut, terdiri atas:
1.   Direkting, yakni seorang pemimpin memberikan arahan-arahan atau petunjuk dan mengawasi penyelesaian seluruh aktivitas secara dekat.
2.   Coaching, yakni seorang pemimpin di samping memberikan arahan dan mengawasi penyelesaian aktivitas, juga memberikan penjelasan cara mengambil sikap, memberikan usulan yang tepat dan mensuport setiap kemajuan yang dicapai.
3.  Supporting, yakni seorang pemimpin memfasilitasi dan mensupport upaya anggotanya dalam menyelesaikan tugas, serta melibatkan mereka dalam mengambil keputusan.
4.  Delegating, yakni seorang pemimpin melakukan rotasi atau pendelegasian tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah.
Selain kemampuan dasar yang harus ada dan dimiliki seorang pemimpin, seorang kepala sekolah atau seorang pemimpin sedapatnya menanggapi kepemimpinannnya sebagai sebuah keahlian. Keahlian dimaksudkan sebagai pelaksanaan orgnisasi berdasarkan pola manajemen yang inspiratif dan memberdayakan. Dalam konteks ini, terdapat empat keahlian seorang pemimpin yang baik.
1.   Interpreting, mensyaratkan bahwa seorang pemimpin mampu menginterpretasikan atau mampu memvisualisasikan suatu kondisi internal maupun eksternal yang akan berdampak pada tim.
2.    Shaping, yakni seorang pemimpin mampu memberikan gambaran tentang visi, misi, dan strategi untuk memberikan arti bagi kerja tim.
3.   Mobilising, yakni seorang pemimpin mampu memobilisasi paraindividu dalam tim dengan ide, kemampuan, dan nilai masing-masing anggota yang berbeda untuk membangun sebuah tim.
4.   Inspiring, yakni seorang pemimpin mampu memberikan inspirasi kepada tim dalam mencapai hasil.

Dari paparan yang disajikan di atas, tampak jelas bahwa semua orang yang berada dalam sebuah organisasi atau lembaga pendidikan formal memiliki niat dan cita-cita yang sama agar orang yang memimpin lembaga tersebut juga memiliki itikad yang baik dan sama dalam menahkodi roda organisasi demi berjalan lancarnya organisasi atau lembaga pendidikan secara baik pula. Dalam kerangka itulah, kepemimpinan seorang pemimpin yang ideal tetap menjadi harapan sekian banyak orang.
Berikut disajikan beberapa pola atau model kepemimpinan yang ideal, sebagai berikut.
1.  Keterbukaan, seorang pemimpin diharapkan berterus terang dan bertindak apa adanya.
2. Empati, seorang pemimpin dapat menempatkan dirinya seolah-olah sedang berada sebagai lawan bicara, sehingga turut serta menikmati apayang tengah dialami anggota.
3.      Tegas, seorang pemimpin selalu berdiri di atas kebenaran, tanpa pandang bulu.
4.  Suka menolong, seorang pemimpin diharapkan selalu bereaksi positif terhadap inisiatif anggota.
5.   Pengambil keputusan, seorang pemimpin diharapkan mengambil sikap atau keputusan yang menentukan keberlangsungan organisasi.

Pemimpin Pendidikan:
Meneladani Filsafat Bunga Teratai
Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, dalam filsafat Bunga Teratai, meletakkan tiga sikap atau prinsip dasar seorang pemimpin pendidikan. Pemimpin pendidikan yang dimaksudkan oleh Ki Hajar adalah pemimpin yang melekat pada semua mereka (guru) yang mengabdi pad ataman siswa atau taman pendidikan. Guru merupakan pemimpin karena gurulah menjadi tokoh atau model dan panutan bagi siswa-siswanya. Jika, konsep ini dielaborasi dalam peran kepala sekolah, maka seorang kepala sekolah yang baik sekaligus menjadi tokoh atau model, dan panutan bagi para guru yang ia pimpin. Oleh sebab itu, gerak dan keberlangsungan sekolah, apakah bergerak menjadi sebuah lembaga pendidikan yang unggul dan bermutu sangat ditentukan oleh kerja sama antara seorang kepala sekolah dan para gurunya.
Tiga prinsip atau falsafah dasar pendidikan dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Jika dicermati, sikap-sikap pendidikan ini secara implisit signifikan dengan apa yang termuat dalam  Pembukaan UUD 1945, juga dalam UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 43 menyebutkan bahwa “Promosi dan pengharagaan bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan”. Bunyi pasal ini memberikan implikasi nyata tentang model pemimpin pendidikan atau kepala sekolah dalam memimpin sebuah lembaga pendidikan formal. Secara eksplisit, disebutkan bahwa calon pemimpin pendidikan memiliki latar belakang pendidikan, memiliki pengalaman pendidikan, memiliki kemampuan, dan memiliki prestasi kerja dalam bidang pendidikan.
Sebagai seorang pendidik calon pemimpin, guru mengemban tugas sebagai seorang pengajar sekaligus pendidik yang ideal. Dia adalah pemimpin pendidikan yang terpercaya, walaupun dalam sebuah lembaga pendidikan. Sebagai pengajar guru berperan melakukan transfer pengetahuan kepada para peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan yang memadai yang bisa digunakan dalam memecahkan aneka masalah atau persoalan yang dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai pendidik, guru yang calon pemimpin diharapkan memberikan seperangkat nilai-nilai kehidupan, serta sikap, dan keterampilan kepada siswa untuk dijadikan sebagai norma dan acuan hidup para siswa.
Seperangkat pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang disebutkan di atas, secara tegas telah terpatri dalam tiga prinsip Ki Hadjar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo: di depan pemimpin harus memberikan contoh atau teladan yang baik, ing madya mangun karso: di tengah pemimpin selalu membangkitkan semangat, dan tut wuri handayani: dari belakang pemimpin selalu memberikan dorongan.
Dalam konteks meletakkan dan memposisikan kepala sekolah sebagai pemimpin, maka tiga falsafah Bunga Teratai Ki Hadjar Dewantara di atas menggambarkan dengan sangat jelas posisi atau keberadaan kepala sekolah itu sendiri. Dengan kata lain, Ki Hadjar ingin menekankan tiga keseimbangan “berada” seorang kepala sekolah yang adalah seorang pemimpin bagi para guru dan para siswa dalam menahkodai sebuah sekolah lembaga pendidikan formal. Posisi “berada” dimaksud adalah “di depan”, “di tengah”, dan “di belakang”. Seorang kepala sekolah atau pemimpin yang baik harus senantiasa berada di depan menjadi figur contoh, tokoh panutan bagi segenap warga sekolah. Seorang kepala sekolah yang baik harus senantiasa berada di tengah untuk terus memberikan semangat dan spirit, membakar gairah para guru dan para siswa untuk terus berusaha, terus belajar tanpa henti demi mencapai cita-cita bersama.
Seorang kepala sekolah yang baik harus senantiasa berada di belakang untuk memberikan dorongan kepada para guru dan para siswa untuk bersama-sama maju, saling bantu-membantu, dan bahu-membahu menggapai tujuan. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Jika demikian, maka kepala sekolah menuntun untuk kembali ke koridor yang sebenarnya. Kepala sekolah yang demikianlah perlahan-lahan akan menjadi seorang kepala sekolah yang profesional. Kepala sekolah yang profesional adalah kepala sekolah yang mampu menghayati makna profesionalisme, menjadi manusia berilmu karena terus dan senantiasa belajar dari warga sekolahnya, menjadi manusia bersyukur, manusia unggul, dan akhirnya menjadi manusia yang sukses. (*)

Daftar Pustaka

Tampubolon, P. Daulat. Kenyataan, Tantangan, dan Harapan Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam Rangka 25 Tahun Universitas Flores bertempat di Auditorium HJ. Gadi Djou Universitas Flores, tanggal 18 Juli 2005.
Kotten, Natsir. 2011. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Model Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru dalam Era Otonomi Daerah. Ende: Nusa Indah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar