Semua pengetahuan harus
memenuhi tiga hakikat substansial, yakni (1) empirically grounded; (2) universally
bounded; (3) value-free. Tiga hal ini menandaskan adanya perbedaan
yang signifikan antara penelitian terhadap obyek ilmu sosial dan ilmu kealaman.
Perbedaan kedua obyek penelitian demikian tercermin dari dua mazhab atau aliran
yang berbeda. Aliran pertama, yang dialiri oleh sarjana Anglo-Saxon, sekitar
tahun 1940–1950-an, dipelopori oleh Hempel dan Nagel mengkonsentrasikan dirinya
untuk menganalisis metode-metode disiplin humanistik seperti kaum positivis
dengan cara penyatuan ilmu (a unified science). Aliran kedua dimotori
oleh Wittgenstein, Austin, dan para filsuf bahasa ordinary lainnya.
Mereka berpendapat bahwa ilmu-ilmu mempunyai keunikan fenomena tingkah laku
manusia dan memiliki tujuan tertentu. Wittgenstein akhirnyua menempatkan ilmu
social sebagai sebagai “perluasan konseptual dari filsafat” (as a conceptual
extension of philosophy).
Menjembatani dua aliran di atas, maka tradisi pemikiran kontinental
diusung karena dianggap sangat memperhatikan karakter dasar pemikiran sosial.
Tradisi ini telah menentang penggunaan metode naturalistic yang tidak kualified
diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dengan argumentasi bahwa penelitian social
menuntut penggunaan metode-metode yang obyektif. Satu dari tradisi ini adalah “hermeneutika
fenomenologi” melalui peleburan interpretasi (hermeneutika) dengan
prosedur-prosedur fenomenologi yang dirancang oleh Husserl. Sumbangsih dasariah
ini selanjutnya dikembangkan oleh Paul Ricoeur yang menggunakan pendekatan
hermeneutika fenomenologi yang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Freud dan
Saussura. Secara khusus, tradisi kontinental yang mengarahkan dirinya terhadap
problem-problem ilmu sosial adalah teori kritik sosial yang diilhami oleh Kant,
Hegel, dan Marx yang pada dasarnya berusaha untuk mengkonstruksi teori
masyarakat dengan menitikkan pada momen kritik.
Perkembangan terakhir yang
mencoba memberikan sumbangan terhadap pengembangan cakrawala ilmu sosial adalah
dimasukkannya filsafat bahasa. Argumentasi yang dikedepankan bahwa bahasa tidak saja sebagai “struktur dalam”
yang berada di luar kita yang berfungsi sebagai pemeri berbagai kejadian,
melainkan dipandang sebagai “medium praktis” yang memungkinkan individu
berpartisipasi dalam kehidupan di dunia. (hlmn. 4). Bahasa hidup dan hadir
secara nyata dan secara empirik dalam kehidupan bermasyarakat. Nyata karena
dilatari konteks; ada penutur dan mitra tutur, tempat, situasi, dan tujuan
tutur, yakni nilai-nilai (Hymes, 1977, dalam Mbete, 2004. 29). Lebih dari itu,
bahasa telah mampu memasuki dan menjadi sarana berpikir dan pengungkap pikiran
dalam pelbagai aspek kehidupan.
Dalam
perspektif yang berbeda, “medium” dikonsepsikan Ricoeur sebagai aspek being.
Bahasa menjadi titik awal dan bukan titik akhir dari penelitian, karena
fenomenologi bergerak menuju ontologi melalui interpretasi simbol dan teks.
(hlmn.5). Ricoeur sangat konsen terhadap fenomena bahasa yang berbeda dari
tradisi Anglo-Saxon. Dia lebih menekankan bahwa bahasa tidak sebagai objek
akhir dan sekedar instrumen kehidupan sosial.
Perjumpaan
dengan medium bahasa ini, menghasilkan sebuah sintesis baru yang kemudian
bermuara pada tiga aliran filsafat, yakni filsafat bahasa ordinari, hermeneutika
fenomenologi, dan hermeneutika kritik atau teori kritik. Ketiga aliran filsafat
ini menjadi kekuatan dalam membangun pemahaman yang eklektik tentang bahasa
dalam korelasinya dengan pencandraan kehidupan sosial. Pada dataran
metodeologi, ketiga filsafat di atas berbeda. Filsafat bahasa ordinari
dikomandani oleh Wittgenstein, menekankan masalah pemahaman. Bagaimana bahasa
dipahami sebagai potret realitas. Pemahaman demikian tidak dipisahkan dari
pemahaman explanation fenomenologis yang dikembangkan oleh Ricoeur, dan critique
yang ditegaskan oleh Habermas. Habermas memunculkan interpretasi mendalam (depth
interpretation), untuk sebuah kritik yang lebih mendalam dan komperhensif
terhadap kehidupan sosial sebagai subjek dan objek kehidupan itu sendiri.
Dalam
kawasan penelitian komparatif demikian, diajukan rancangan konstruktif yang
disebut dengan “critical hermeneutics”, upaya elaboratif teori kritik
dan dan teori rasional untuk memahami tindakan manusia.