Halaman

Jumat, 15 Oktober 2021

Beda Penelitian Alam dan Sosial

Semua pengetahuan harus memenuhi tiga hakikat substansial, yakni (1) empirically grounded; (2) universally bounded; (3) value-free. Tiga hal ini menandaskan adanya perbedaan yang signifikan antara penelitian terhadap obyek ilmu sosial dan ilmu kealaman. Perbedaan kedua obyek penelitian demikian tercermin dari dua mazhab atau aliran yang berbeda. Aliran pertama, yang dialiri oleh sarjana Anglo-Saxon, sekitar tahun 1940–1950-an, dipelopori oleh Hempel dan Nagel mengkonsentrasikan dirinya untuk menganalisis metode-metode disiplin humanistik seperti kaum positivis dengan cara penyatuan ilmu (a unified science). Aliran kedua dimotori oleh Wittgenstein, Austin, dan para filsuf bahasa ordinary lainnya. Mereka berpendapat bahwa ilmu-ilmu mempunyai keunikan fenomena tingkah laku manusia dan memiliki tujuan tertentu. Wittgenstein akhirnyua menempatkan ilmu social sebagai sebagai “perluasan konseptual dari filsafat” (as a conceptual extension of philosophy).

Menjembatani dua  aliran di atas, maka tradisi pemikiran kontinental diusung karena dianggap sangat memperhatikan karakter dasar pemikiran sosial. Tradisi ini telah menentang penggunaan metode naturalistic yang tidak kualified diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dengan argumentasi bahwa penelitian social menuntut penggunaan metode-metode yang obyektif. Satu dari tradisi ini adalah “hermeneutika fenomenologi” melalui peleburan interpretasi (hermeneutika) dengan prosedur-prosedur fenomenologi yang dirancang oleh Husserl. Sumbangsih dasariah ini selanjutnya dikembangkan oleh Paul Ricoeur yang menggunakan pendekatan hermeneutika fenomenologi yang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Freud dan Saussura. Secara khusus, tradisi kontinental yang mengarahkan dirinya terhadap problem-problem ilmu sosial adalah teori kritik sosial yang diilhami oleh Kant, Hegel, dan Marx yang pada dasarnya berusaha untuk mengkonstruksi teori masyarakat dengan menitikkan pada momen kritik.

Perkembangan terakhir yang mencoba memberikan sumbangan terhadap pengembangan cakrawala ilmu sosial adalah dimasukkannya filsafat bahasa. Argumentasi yang dikedepankan bahwa  bahasa tidak saja sebagai “struktur dalam” yang berada di luar kita yang berfungsi sebagai pemeri berbagai kejadian, melainkan dipandang sebagai “medium praktis” yang memungkinkan individu berpartisipasi dalam kehidupan di dunia. (hlmn. 4). Bahasa hidup dan hadir secara nyata dan secara empirik dalam kehidupan bermasyarakat. Nyata karena dilatari konteks; ada penutur dan mitra tutur, tempat, situasi, dan tujuan tutur, yakni nilai-nilai (Hymes, 1977, dalam Mbete, 2004. 29). Lebih dari itu, bahasa telah mampu memasuki dan menjadi sarana berpikir dan pengungkap pikiran dalam pelbagai aspek kehidupan.

            Dalam perspektif yang berbeda, “medium” dikonsepsikan Ricoeur sebagai aspek being. Bahasa menjadi titik awal dan bukan titik akhir dari penelitian, karena fenomenologi bergerak menuju ontologi melalui interpretasi simbol dan teks. (hlmn.5). Ricoeur sangat konsen terhadap fenomena bahasa yang berbeda dari tradisi Anglo-Saxon. Dia lebih menekankan bahwa bahasa tidak sebagai objek akhir dan sekedar instrumen kehidupan sosial.

            Perjumpaan dengan medium bahasa ini, menghasilkan sebuah sintesis baru yang kemudian bermuara pada tiga aliran filsafat, yakni filsafat bahasa ordinari, hermeneutika fenomenologi, dan hermeneutika kritik atau teori kritik. Ketiga aliran filsafat ini menjadi kekuatan dalam membangun pemahaman yang eklektik tentang bahasa dalam korelasinya dengan pencandraan kehidupan sosial. Pada dataran metodeologi, ketiga filsafat di atas berbeda. Filsafat bahasa ordinari dikomandani oleh Wittgenstein, menekankan masalah pemahaman. Bagaimana bahasa dipahami sebagai potret realitas. Pemahaman demikian tidak dipisahkan dari pemahaman explanation fenomenologis yang dikembangkan oleh Ricoeur, dan critique yang ditegaskan oleh Habermas. Habermas memunculkan interpretasi mendalam (depth interpretation), untuk sebuah kritik yang lebih mendalam dan komperhensif terhadap kehidupan sosial sebagai subjek dan objek kehidupan itu sendiri.

            Dalam kawasan penelitian komparatif demikian, diajukan rancangan konstruktif yang disebut dengan “critical hermeneutics”, upaya elaboratif teori kritik dan dan teori rasional untuk memahami tindakan manusia.


Sumber: Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. John B. Thompson. Penerjemah Abdullah Khozin Afandi. 2005. Surabaya. Pn.Visi Humanika.

 

 

 


Kamis, 14 Oktober 2021

Hujan, Banjir, dan Sampah

     Beberapa hari terakhir ini, NTT, termasuk wilayah Kabupaten Ende diguyur hujan lebat. Siapapun pasti bersyukur atas rahmat terindah Sang Empunya kehidupan yang telah merahmati bumi dan tanah dengan air hujan. Tentu ini merupakan hujan berkat dalam sisi pandang keyakinan. Di tengah aktivitas dan kesibukan para petani ladang melakukan persiapan membuka lahan baru untuk musim tanam tahun ini, hujan berhari-hari dalam musim persiapan tersebut menghadirkan ketidaknyamanan pada diri petani. Bahwa apakah lahan baru yang sedang digarap bisa dituntaskan atau tidak. Hujan mendahului musim tanam  (dalam hitungan kalender petani) akan mengurangi intensitas curah hujan di musim tanam hingga musim tumbuh, tunas, dan buah tanaman-tanaman petani.

Jika hujan berlebihan pada musim pratanam, apakah menjadi tanda fenomena gagal tanam sekaligus gagal panen tahun ini? Sebagai anak petani, sekian tanya demikian spontan kita rasakan dalam denyut nadi dan guratan kecemasan yang tergaris di wajah mereka, bahkan tersimpan kuat dalam memori para petani tentang hujan deras di bulan-bulan seperti ini.

 Masing-masing kita juga para petani punya alasan tentang ini. Ada ceritera komunal tentang kepercayaan budaya etnik tertentu di pulau ini akan pelanggaran sumpah atau pantang oleh sebagian masyarakat petani tentang menanam tanaman-tanaman tertentu yang dilarang di wilayah itu. Tanaman-tanaman tertentu tersebut hanya bisa ditanam di wilayah yang lain. Pelanggaran demikian akan memunculkan sanksi kultural, misalnya turunnya hujan deras di bulan-bulan seperti ini. Namun, yang pasti hujan apapun intensitasnya merupakan bagian kehadiran dari siklus kehidupan kita umat manusia. Sebab, hujan mendatangkan mata air kehidupan. Tidak saja bagi petani, tetapi bagi umat manusia sebagai komunitas untuk tetap hidup.

Hujan besar dan berakibat banjir, menimbulkan korban, baik material dan korban jiwa merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Terutama yang sedang dialami oleh para warga kota yang rumahnya dimasuki banjir, lorong-lorong ditumpuki lumpur, tembok penyokong rumah, maupun fasilitas umum jalan raya rusak, dan kerugian lain akibat banjir. Banjir yang melanda kota Ende, misalnya, terutama pada bagian selatan Jalan Nenas, Perumnas, sepanjang Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Ahmad Yani merupakan wilayah terendah sasaran banjir.

Mobilitas warga dan kecepatan pemanfaatan lahan untuk perumahan warga yang semakin padat di bagian utara, berkonsekuensi pada semakin banyak aliran air banjir menuju titik-titik jalan tadi, apalagi pengadaan pemukiman tidak diikuti dengan penyediaan daerah-daerah resapan. Maka, peran  dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur dan menyediakan sanitasi dan saluran air (banjir) yang memadai sebagai antisipasi banjir di musim hujan. Got-got air yang diperkirakan tidak bisa menampung banjir yang besar perlu diperbaiki, atau dibersihkan. Kita secara khusus warga korban banjir amat menyesali kebijakan pemimpinnya, bila penanganan banjir tidak dilakukan dengan optimal demi menghindari atau paling kurang meminimalisir dampak ikutan dari banjir itu sendiri. Warga masyarakat pun terus menggalang kerja sama untuk membersihkan lingkungan di sekitar rumah masing-masing.

Perilaku Masyarakat

Pada soal yang lain, secara akal sehat, jika kita mengamati dan menelusuri penyebab banjir (hampir terdapat di semua wilayah), maka kita mendapati satu simpul masalah akut lain, yakni soal perilaku masyarakat membuang sampah. Tentang perilaku hidup sehat, inklud perilaku membuang sampah masih menjadi momok dalam kehidupan sosial.  Bayangkan, jika banjir meluap sampai ke badan jalan dan meluberi rumah-rumah warga karena perilaku tak terpuji warga lain yang seenak perut memanfaatkan parit atau got sebagai tempat membuang sampah. Bahkan, sampah-sampah yang tidak layak dan jorok, semisal pampers bayi, popok, tikar, kasur bekas, kain-kain bekas, dan lain-lain. Bahkan, terdapat perilaku menjadikan parit atau got sebagai tempat menahan atau menjaring pasir.

Sampai di titik ini, rupanya perilaku tentang membuang sampah pada tempatnya masih menjadi pengajaran serius dan prioritas di tengah kehidupan kita. Lantas, apakah pemerintah harus menggelontorkan dana untuk sosialisasi tentang perilaku ini? Tentu tidak. Sebagai warga yang baik kita musti memiliki perilaku dan sikap yang sama bahwa ketika membuang sampah di titik tertentu berakibat fatal bagi sesama saudara di titik yang lain. Oleh sebab itu, kalau semua warga menyadari betul dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seperti ini, maka peran dan tanggun jawab sosial turut diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. (*)

 



[1] Muat di Pos Kupang, 28 September 2021