Halaman

Kamis, 14 Oktober 2021

Hujan, Banjir, dan Sampah

     Beberapa hari terakhir ini, NTT, termasuk wilayah Kabupaten Ende diguyur hujan lebat. Siapapun pasti bersyukur atas rahmat terindah Sang Empunya kehidupan yang telah merahmati bumi dan tanah dengan air hujan. Tentu ini merupakan hujan berkat dalam sisi pandang keyakinan. Di tengah aktivitas dan kesibukan para petani ladang melakukan persiapan membuka lahan baru untuk musim tanam tahun ini, hujan berhari-hari dalam musim persiapan tersebut menghadirkan ketidaknyamanan pada diri petani. Bahwa apakah lahan baru yang sedang digarap bisa dituntaskan atau tidak. Hujan mendahului musim tanam  (dalam hitungan kalender petani) akan mengurangi intensitas curah hujan di musim tanam hingga musim tumbuh, tunas, dan buah tanaman-tanaman petani.

Jika hujan berlebihan pada musim pratanam, apakah menjadi tanda fenomena gagal tanam sekaligus gagal panen tahun ini? Sebagai anak petani, sekian tanya demikian spontan kita rasakan dalam denyut nadi dan guratan kecemasan yang tergaris di wajah mereka, bahkan tersimpan kuat dalam memori para petani tentang hujan deras di bulan-bulan seperti ini.

 Masing-masing kita juga para petani punya alasan tentang ini. Ada ceritera komunal tentang kepercayaan budaya etnik tertentu di pulau ini akan pelanggaran sumpah atau pantang oleh sebagian masyarakat petani tentang menanam tanaman-tanaman tertentu yang dilarang di wilayah itu. Tanaman-tanaman tertentu tersebut hanya bisa ditanam di wilayah yang lain. Pelanggaran demikian akan memunculkan sanksi kultural, misalnya turunnya hujan deras di bulan-bulan seperti ini. Namun, yang pasti hujan apapun intensitasnya merupakan bagian kehadiran dari siklus kehidupan kita umat manusia. Sebab, hujan mendatangkan mata air kehidupan. Tidak saja bagi petani, tetapi bagi umat manusia sebagai komunitas untuk tetap hidup.

Hujan besar dan berakibat banjir, menimbulkan korban, baik material dan korban jiwa merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Terutama yang sedang dialami oleh para warga kota yang rumahnya dimasuki banjir, lorong-lorong ditumpuki lumpur, tembok penyokong rumah, maupun fasilitas umum jalan raya rusak, dan kerugian lain akibat banjir. Banjir yang melanda kota Ende, misalnya, terutama pada bagian selatan Jalan Nenas, Perumnas, sepanjang Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Ahmad Yani merupakan wilayah terendah sasaran banjir.

Mobilitas warga dan kecepatan pemanfaatan lahan untuk perumahan warga yang semakin padat di bagian utara, berkonsekuensi pada semakin banyak aliran air banjir menuju titik-titik jalan tadi, apalagi pengadaan pemukiman tidak diikuti dengan penyediaan daerah-daerah resapan. Maka, peran  dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur dan menyediakan sanitasi dan saluran air (banjir) yang memadai sebagai antisipasi banjir di musim hujan. Got-got air yang diperkirakan tidak bisa menampung banjir yang besar perlu diperbaiki, atau dibersihkan. Kita secara khusus warga korban banjir amat menyesali kebijakan pemimpinnya, bila penanganan banjir tidak dilakukan dengan optimal demi menghindari atau paling kurang meminimalisir dampak ikutan dari banjir itu sendiri. Warga masyarakat pun terus menggalang kerja sama untuk membersihkan lingkungan di sekitar rumah masing-masing.

Perilaku Masyarakat

Pada soal yang lain, secara akal sehat, jika kita mengamati dan menelusuri penyebab banjir (hampir terdapat di semua wilayah), maka kita mendapati satu simpul masalah akut lain, yakni soal perilaku masyarakat membuang sampah. Tentang perilaku hidup sehat, inklud perilaku membuang sampah masih menjadi momok dalam kehidupan sosial.  Bayangkan, jika banjir meluap sampai ke badan jalan dan meluberi rumah-rumah warga karena perilaku tak terpuji warga lain yang seenak perut memanfaatkan parit atau got sebagai tempat membuang sampah. Bahkan, sampah-sampah yang tidak layak dan jorok, semisal pampers bayi, popok, tikar, kasur bekas, kain-kain bekas, dan lain-lain. Bahkan, terdapat perilaku menjadikan parit atau got sebagai tempat menahan atau menjaring pasir.

Sampai di titik ini, rupanya perilaku tentang membuang sampah pada tempatnya masih menjadi pengajaran serius dan prioritas di tengah kehidupan kita. Lantas, apakah pemerintah harus menggelontorkan dana untuk sosialisasi tentang perilaku ini? Tentu tidak. Sebagai warga yang baik kita musti memiliki perilaku dan sikap yang sama bahwa ketika membuang sampah di titik tertentu berakibat fatal bagi sesama saudara di titik yang lain. Oleh sebab itu, kalau semua warga menyadari betul dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seperti ini, maka peran dan tanggun jawab sosial turut diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. (*)

 



[1] Muat di Pos Kupang, 28 September 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar