Jika hujan berlebihan
pada musim pratanam, apakah menjadi tanda fenomena gagal tanam sekaligus gagal
panen tahun ini? Sebagai anak petani, sekian tanya demikian spontan kita
rasakan dalam denyut nadi dan guratan kecemasan yang tergaris di wajah mereka,
bahkan tersimpan kuat dalam memori para petani tentang hujan deras di
bulan-bulan seperti ini.
Masing-masing kita juga para petani punya
alasan tentang ini. Ada ceritera komunal tentang kepercayaan budaya etnik tertentu
di pulau ini akan pelanggaran sumpah atau pantang oleh sebagian masyarakat petani
tentang menanam tanaman-tanaman tertentu yang dilarang di wilayah itu.
Tanaman-tanaman tertentu tersebut hanya bisa ditanam di wilayah yang lain.
Pelanggaran demikian akan memunculkan sanksi kultural, misalnya turunnya hujan
deras di bulan-bulan seperti ini. Namun, yang pasti hujan apapun intensitasnya
merupakan bagian kehadiran dari siklus kehidupan kita umat manusia. Sebab,
hujan mendatangkan mata air kehidupan. Tidak saja bagi petani, tetapi bagi umat
manusia sebagai komunitas untuk tetap hidup.
Hujan besar dan berakibat
banjir, menimbulkan korban, baik material dan korban jiwa merupakan sesuatu
yang tidak menyenangkan. Terutama yang sedang dialami oleh para warga kota yang
rumahnya dimasuki banjir, lorong-lorong ditumpuki lumpur, tembok penyokong
rumah, maupun fasilitas umum jalan raya rusak, dan kerugian lain akibat banjir.
Banjir yang melanda kota Ende, misalnya, terutama pada bagian selatan Jalan
Nenas, Perumnas, sepanjang Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Ahmad Yani merupakan
wilayah terendah sasaran banjir.
Mobilitas warga dan kecepatan
pemanfaatan lahan untuk perumahan warga yang semakin padat di bagian utara,
berkonsekuensi pada semakin banyak aliran air banjir menuju titik-titik jalan
tadi, apalagi pengadaan pemukiman tidak diikuti dengan penyediaan daerah-daerah
resapan. Maka, peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah untuk mengatur dan menyediakan sanitasi dan saluran air
(banjir) yang memadai sebagai antisipasi banjir di musim hujan. Got-got air
yang diperkirakan tidak bisa menampung banjir yang besar perlu diperbaiki, atau
dibersihkan. Kita secara khusus warga korban banjir amat menyesali kebijakan
pemimpinnya, bila penanganan banjir tidak dilakukan dengan optimal demi
menghindari atau paling kurang meminimalisir dampak ikutan dari banjir itu
sendiri. Warga masyarakat pun terus menggalang kerja sama untuk membersihkan
lingkungan di sekitar rumah masing-masing.
Perilaku Masyarakat
Pada soal yang lain, secara
akal sehat, jika kita mengamati dan menelusuri penyebab banjir (hampir terdapat
di semua wilayah), maka kita mendapati satu simpul masalah akut lain, yakni
soal perilaku masyarakat membuang sampah. Tentang perilaku hidup sehat, inklud
perilaku membuang sampah masih menjadi momok dalam kehidupan sosial. Bayangkan, jika banjir meluap sampai ke badan
jalan dan meluberi rumah-rumah warga karena perilaku tak terpuji warga lain
yang seenak perut memanfaatkan parit atau got sebagai tempat membuang sampah. Bahkan,
sampah-sampah yang tidak layak dan jorok, semisal pampers bayi, popok, tikar, kasur
bekas, kain-kain bekas, dan lain-lain. Bahkan, terdapat perilaku menjadikan
parit atau got sebagai tempat menahan atau menjaring pasir.
Sampai di titik ini, rupanya perilaku tentang
membuang sampah pada tempatnya masih menjadi pengajaran serius dan prioritas di
tengah kehidupan kita. Lantas, apakah pemerintah harus menggelontorkan dana
untuk sosialisasi tentang perilaku ini? Tentu tidak. Sebagai warga yang baik
kita musti memiliki perilaku dan sikap yang sama bahwa ketika membuang sampah
di titik tertentu berakibat fatal bagi sesama saudara di titik yang lain. Oleh
sebab itu, kalau semua warga menyadari betul dampak yang akan ditimbulkan dari
perilaku seperti ini, maka peran dan tanggun jawab sosial turut diamalkan dalam
kehidupan bermasyarakat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar