Halaman

Sabtu, 19 Maret 2022

Selamat Jalan Pak De



Hari Rabu Treva, 8 April 2020, saya menerima desain cover buku "Lebih Dekat dengan Taman Nasional Kelimutu" dari sebuah penerbit di Yogyakarta untuk dikoreksi. Selanjutnya, saya meneruskan desain cover itu ke WA Pak De. Tidak lama berselang saya mendapat balasan darinya berbunyi "Lanjut". Jawaban yang sama yang saya terima setiap kali bertanya tentang proses editing penerbitan buku ini. Saya pun menjawab oke. Tidak biasanya, beberapa saat kemudian pesan baru lagi masuk berbunyi "Terima kasih oooo". Dengan dialek saya, sayapun menjawab "Sama-sama e".

Lebih Dekat dengan Taman Nasional Kelimutu

Hari ini, saya menerima dummy buku di atas dari tim layout penerbit dengan maksud dibaca dan dikoreksi jika ada kesalahan. Kalau tidak, maka buku akan siap dicetak. Sesuai permintaanmu, buku tiba di Ende pada 30 April 2020. Setelah itu sudah siap penerbitan buku berikut berjudul "Ekowisata Berbasis Masyarakat". Buku-buku ini bukti kuat pemikiranmu Pak De dalam ikut serta membangun destinasi pariwisata di Kabupaten Ende. 

Belum tercapai cita-cita itu, Tuhan, Dua Nggae, Ama Lera Wulan Tana Ekan telah memanggilmu pulang karena Dia lebih mencintaimu. Selamat jalan Bos, begitu saya biasa menyapanya dalam tegur sapa dan senda gurau. Jalan menghadap Sang Khalik pemilik kehidupan ini. Doktor Josef Alfonsius Gadi Djou, S.E., M.Si., upahmu besar di surga (*)

Temu Sastra Uniflor


Di bilangan Jalan Soekarno Ende. Tepatnya 21 tahun lalu, di kampus lama Universitas Flores, persis di depan Lapangan Perse Ende (sekarang Lapangan Pancasila), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores menyelenggarakan Temu Sastra untuk menelaah sosok Chairil Anwar, penyair sekaligus pelopor Angkatan '45. Temu Sastra yang oleh panitya kecil, cuma tujuh orang, dikemas dalam seminar sastra dengan menghadirkan empat pembicara.

Menelaah Chairil Anwar

Mereka itu adalah (1) Dra. Maria Marrieta B. Larasati, membahas topik "Chairil Anwar: dari Pendobrak ke Mitos; (2) Pastor (almh) John Dami Mukese, membahas topik "Sekilas Dunia Sastra di Indonesia Dewasa Ini"; (3) Drs. Pius Pampe, M.Hum, membahas topik "Menyingkap Tabir Kepribadian Chairil Anwar; dan (4) Drs. Jekson Kebol, M.Hum., membahas topik "Puisi-Puisi Chairil Anwar: Sikap, Visi, Tema, dan Struktur".

Dalam laporan sekilas sebagai ketua panitya saya menyitir pendapat John Paul Sartre yang bilang bahwa manusia bukan sebuah koleksi, tetapi sebuah totalitas. Pendapat ini hendak menegaskan bahwa manusia musti menyatakan seluruh potensi atau kemampuan dirinya, termasuk kemampuan bersastra. Bersastra, hemat saya adalah mengangkat sesuatu yang realitas objektif menjadi realitas baru, yakni realitas imajinatif, tentu melalui proses kreativitas yang tinggi. Temu sastra dengan tema "Sastra Pengungkap Realitas Kehidupan", tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kematian Cairil Anwar, yang meninggal 28 April 1949.

Pada sosok Chairil Anwar, masyarakat sastra belajar tentang proses kreatif yang ulet. Chairil Anwar punya individualitas dan vitalisme tinggi, tenaga hidup, api hidup yang membawa angin segar perubahan dalan perkembangan sejarah sastra Indonesia. Padanya, "Aku" adalah paling penting. Kenyataan demikian, tergambar dalam cita-cita hidupnya untuk mereguk hidup ini sepuas-puasnya: "Aku ingin hidup seribu tahun lagi".

Kegiatan kala itu diliput oleh wartawan dengan inisial "isk", jika tidak salah ini adalah Pak Frans Obon. Dan dipublikasikan dalam DIAN, 30 APRIL 1999. (*)

Senin, 07 Maret 2022

"Penggali Sumur" Kental dengan Lokalitas



Selo Lamatapo, penulis kumpulan puisi "Penggali Sumur". Sepanjang tahun 2016, kerap kami bertemu dalam beberapa kegiatan di Universitas Flores. Baik untuk peliputan maupun diskusi-diskusi ringan sekitar dunia akademik dan kehidupan sosial secara umum. 

Kumpulan cerpen "Penggali Sumur" karya Selo Lamatapo, dalam bacaan saya kental dan berakar dari lokalitas. Ide-ide yang digagas dan dikemas secara tematik dalam 15 cerpen merupakan teks-teks kreatif keseharian yang berorientasi populis, dan bukan elitis. Keberpihakan terhadap nasib rakyat kecil, tertindas, kejelataan, dan kejujuran. Kesahajaan relasi yang dibangun di antara tokoh dengan latar tempat dan sosial yang egaliter menjadi tema sentral kumpulan cerpen "Penggali Sumur." 

Sumur itu simbol sumber rahmat tanpa henti yang terus menyembur dan menggenangi dasarnya untuk memenuhi rasa haus manusia. 

Ya, seperti yang diucapkan oleh Om Banus, tokoh utama cerpen Penggali Sumur, ketika ditanya Aku, Olak, dan Kedaman dalam sebuah percakapan di atas bale-bale:

"Om ingin orang-orang di kampung ini bisa hidup. Karena, air adalah sumber hidup kita, anak-anakku."

......................................................................

"Di sumur", lanjut Om Banus, "Kita akan menimba kehidupan, anak-anakku. Kita akan bercerita, belajar sabar, dan dikuatkan oleh persatuan, Nak. Di sumur kita menemukan diri kita bukan lagi satu, tetapi menjelma persekutuan yang kuat, sebagaimana satu tetes air yang jatuh dari bibir sumurdan menjadi banyak di dasar sana, anak anakku. Itu sebabnya, Om ingin jadi penggali sumur." (PS, halaman 5-6).

Sebagaimana Om Banus, seorang penggali sumur, kita (pembaca)pun musti menjadi penggali sumur dalam tugas dan karya yang kita jalani masing-masing. 

"Penggali Sumur" layak dibaca oleh semua orang, dan cocok untuk bahan kajian sastra di sekolah. Jangan bilang Anda penggemar sastra: ibu rumah tangga, mahasiswa, guru, dosen, ASN, petani, wartawan, siswa, tukang ojek, perawat, dokter; kalau belum membaca kumpulan cerpen ini. 

Jangan lupa untuk ke tempat ini, Universitas Flores , secara khusus adik-adik tamatan SMA/SMK/MAN di Flobamora dan di seantero nusantara yang ingin mendalami dunia sastra. Ayo, bergabung dengan kami di Universitas Flores. (*)