Halaman

Kamis, 11 April 2024

Keunikan Merayakan Hari Raya Keagamaan di Ende Flores

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia patut berbangga karena kemajemukannya tersebut menjadi titik puncak ketertarikan bangsa lain di dunia untuk melihat bangsa Indonesia. Kemajemukan tersebut semacam menjadi daya tarik dalam meneliti Indonesia secara lebih intens. Kemajemukan dibangun dari pelbagai unsur. Salah satu yang paling kasat mata dilaksanakan adalah "merayakan hari raya berbagai agama yang ada di Indonesia." 

Keunikan Merayakan Hari Raya Keagamaan

Toleransi yang diusung sebagai pilar keberagaman masyarakat adalah keunikan tersendiri dalam relasi kemasyarakatan dan keagamaan. Yang paling tampak dalam hari raya keagamaan adalah keindahan saling merayakan hari-hari raya keagamaan tersebut. Saling mengunjungi antaranggota keluarga itu merupakan sesuatu yang lazim. Biasa dalam upaya untuk terus memperkuat rasa kekeluargaan dan soliditas sebagai anggota keluarga. Yang tidak lazim adalah saling mengunjungi, memberi ucap dan selamat kepada sahabat, kenalan yang berbeda agama. Mengecup pipi kiri dan kanan dan jabat tangan antara tetangga dekat.
 
Silaturahim seperti ini tidak sekadar sebagai bagian dari perayaan hari besar keagamaan, melainkan menjadi bagian maaf-memaafkan. Memperkuat solidaritas sosial dan kemasyarakatan. Momentum ini merupakan "keunikan" penganut agama dalam merayakan kebahagiaan. Mensyukuri rahmat dan keberkahan Tuhan atas seluruh pencapaian yang telah diraih. Boleh jadi, momentum ini pula menjadi bagian dari evaluasi berkelanjutan atas derajat komunikasi, relasi, dan kekerabatan yang dibangun selama setahun. Terutama di antara warga atau umat yang berbeda agama dan keyakinan. Evaluasi seperti ini akan menjadi input positif untuk mempertebal kasih dan kesetiaan juga meneguhkan toleransi agar dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun berganti tahun, solidaritas kemanusiaan terus dan tetap terjaga. 

Itulah keunikan merayakan hari raya keagamaan di Indonesia, dan di Ende dan Flores khususnya. Perlu terus dijaga, dirawat. Dan, yang paling penting adalah terus dipraktikkan dalam kehidupan beragama.(*)

Selasa, 09 April 2024

Sekali Lagi tentang Literasi

Literasi semacam menjadi kata kunci dalam proses pembelajaran di kelas. Literasi hadir semula bertujuan untuk mengentaskan rendahnya membaca dan menulis di kalangan siswa. Tujuan itu pun telah tercapai dengan aneka program ikutan, baik yang disiapkan oleh lembaga formal (sekolah), maupun lembaga-lembaga atau komunitas-komunitas belajar yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab agar para siswa bisa mampu membaca dan menulis dengan baik.

Setakat Sudah

Hampir setakat atau dekade ini berakhir program literasi dengan tujuan mulia telah tercapai dengan sangat meyakinkan. Namun, masih ada keluhan parsial tentang sejauh mana keberhasilan program Literasi yang telah dicanangkan dan dilaksanakan tersebut. Sampai di sini keluhan tersebut benar adanya. Kita mengakui bahwa secara parsial pula, keberhasilan program literasi patut dipertanyakan. Entah itu karena faktor penghambat apa, tetapi kita pun patut mengamini bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan pelaksanaan program literasi tersebut. Misalnya, faktor demografi dan topografi yang sangat sulit memungkinkan pihak sekolah atau guru dan siswa mengakses informasi dan infrastruktur bahan bacaan. Faktor guru pun musti terus disoroti, baik soal sumber daya manusianya, faktor kesediaan atau kerelaan bekerja di luar jam sekolah, faktor ketersediaan sarana dan prasarana, faktor sumber dana uang untuk membelanjakan buku, dan faktor eksternal lainnya yang sangat mengganggu pelaksanaan program literasi.

Hemat saya, salah satu faktor yang patut direnungkan adalah ketercapaiaan literasi tidak sekadar siswa bisa membaca dan menulis, melainkan lebih dalam dari itu. Misalnya, siswa musti tau apa yang sedang dia baca dan dia tulis. Oleh karena itu, secara normatif pembelajaran di kelas yang didahului dengan membaca lima belas menit, patut pula diikuti dengan kegiatan menceriterakan kembali apa yang siswa baca, menulis kembali dalam versi berbeda tentang apa yang dia baca, dan mempraktikkan apa yang dia baca. 

Jika kita berangkat dari evaluasi dengan menggunakan perspektif ini, maka kita akan mendapat posisi pelaksanaan program literasi sekaligus menemukan posisi literasi siswa kita. Ini semacam pula menjadi otokritik bagi guru untuk mendaur ulang program literasi di sekolah. (*)