Sekilas tampak kasat mata, antara bahasa
dan kekuasaan tidak terdapat hubungan sama sekali. Bahasa tertengarai bermain
pada area linguistik, sedangkan kekuasaan bermain pada area politik dan
cenderung diperani oleh politikus dan para elite politik. Dalam konteks wacana,
pertarungan antara bahasa dan kekuasaan dimulai setelah pandangan
empiris-positivis dianggap tak secara total membongkar keseluruhan makna dan
pesan dalam sebuah wacana. Sebaliknya, munculnya pandangan kognitivisme dan
pandangan kritis dianggap mampu menjembatani kajian bahasa untuk tidak lagi
sekadar mengaji bahasa, tetapi juga wacana (Eriyanto, 2009). Dua pandangan
terakhir ini dianggap penyeimbang kadar
sebuah bahasa, yakni sedapatnya bahasa ditakar dalam konteks yang beraneka
ragam untuk memahami maknanya.
Kaum kognitivis
menekankan bahasa pada aspek kebenaran sintaksis dan semantik, dan kaum kritis
menekankan bahasa pada upaya membongkar “sesuatu” di balik bahasa itu sendiri. Bahasa
yang terkonstruk secara verbal dan nonverbal terkadang dirasakan semakin “jauh”
dari harapan. Itulah bahasa, yang tidak saja memerani tugas mulia sebagai
sarana dan jembatan komunikasi, namun menyembunyikan “sesuatu” yang terselubung, sekaligus
menghadirkan fenomena kegandaan dalam komunikasi. Kuasa menjadi semacam ajang
panggung seni dan arena tempat bertemu dan berkumpulnya orang atau kelompok
orang yang memiliki kepentingan.
Dinamika pasang surut perpolitikan bangsa
ini sulit ditebak. Selalu berubah dan makin membingungkan. Katanya, kalau tidak
begitu, bukan politik. Ada banyak contoh yang koheren untuk mengungkap gejala
ini. Mulai urusan kenegaraan sampai perihal hiburan pun terus dipelintir dan
dipolitisasi. Yang paling aktual adalah kisah getir “vaksin palsu” oleh dokter di rumah sakit, bahkan para politisi Senayan ketika rapat dengar
pendapat dengan komisi IX DPR ‘mengancam’ untuk buka-bukaan asal ‘dilindungi’,
dan ketidakselesaian isu reshuffle kabinet oleh Presiden Jokowi pemilik hak prerogatif.
Para tikus (tim sukses) calon pasangan cabup-cawabup keluar masuk
kampung menawarkan program unggulan jagoannya. Para jurkam (juru
kampanye) berapi-api menggelontorkan kata-kata dan menghipnotis massa ketika
kampanye. Lain lagi misalnya, para
bawahan membuat laporan asal bapak senag (ABS) kepada
atasannya. Dan, atasan pun manggut-manggut percaya. Kepala
dinas pendidikan menargetkan persentasi kelulusan di wilayahnya dengan
persentasi yang tinggi. Para kepala sekolah sangat yakin dan percaya diri
mematok target kelulusan dengan angka yang maksimal di awal tahun.
Selanjutnya, para guru di sekolah juga
tidak kehilangan muka, memasang target persentasi sebelum ujian digelar. Atau,
bolak-balik berkas pemeriksaan perkara antara penyidik dan kejaksaan, dan
macam-macam lagi. Bukankah demikian segala urusan tetek bengek dipolitisasi
untuk kepentingan penguasa? Inilah kredo kebingungan rakyat bangsa ini.
Kebingungan kolektif itu kita rasakan ketika banyak pengujar statemen
menggunakan posisi dalam kapasitasnya sebagai penguasa. Dalam kapasitas inilah
statemen akan berbeda. Sangatlah gamblang bahwa penguasa tidak menciptakannya
melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi melalui berbagai pernyataan,
kata-kata, regulasi, aturan-aturan, dan normalisasi. Bahasa dalam koridor
kekuasaan inilah dikeluarkan para penguasa untuk diperdengarkan, dipercayai,
dipatuhi, dijawab, dilaksanakan dan tidak boleh dipertanyakan karena bahasa
tersebut layaknya bahasa Tuhan yang mutlak kebenarannya. Penguasa yang
demikian, dengan remeh-temeh mentopdown bahasa untuk kepentingan status
quo. Kondisi inilah memunculkan kegelisahan di kalangan masyarakat, dan
bakal menjadi sumber petaka.
Kegelisahan dirasakan semakin pincang
ketika melihat ketimpangan sosial yang menganga luar biasa antara kaum berpunya
dan tak berpunya. Kondisi inilah yang menciptakan kegusaran dan
ketidakpercayaan masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis, akan peran
pemerintah. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, menjadi semakin membias yang
sepertinya sengaja dipelihara, yang dengan sendirinya menambah prahara
keterpurukan bangsa. Ya, seperti sebuah panggung hiburan. Panggung hiburan:
menghibur dan menguasai dalam kuasa ‘kata’ yang tidak pernah luput dan lepas
dari kepentingan pihak penguasa terhadap yang dikuasai. Yang terkuasai (rakyat)
secara sengaja dibohongi, dikekang, dan dikungkung oleh penguasa hanya dengan
permainan-permainan bahasa. Dalam pandangan Bourdieu (1990), bahasa yang tampil
melalui kekuasaan ‘kata’ dijadikan alat oleh penguasa untuk memobilisasi demi
melegitimasikan otoritasnya sebagai penguasa. Kata dalam perspektif Bourdieu
tentunya mempunyai kuasa yang besar, dimana kekusaan kata seseorang dapat
melegalkan yang ilegal dan membuat baik menjadi tidak baik, sesuatu yang salah menjadi benar, yang
tidak biasa menjadi biasa.
Yang hendak dikatakan di sini bahwa bahasa sesungguhnya merupakan
simbol kekuasaan yang perlu diwaspadai. Kekuasaan
melalui bahasa
digunakan penguasa dan para elite untuk
mengamankan kekuasaannya. Oleh karena itu, elite politik melakukan konsolidasi
di segala bidang, termasuk rekayasa bahasa. Pembengkokan dan pengerdilan makna
kata demi alasan pembangunan dan alasan-alasan tertentu menjadi akar kebohongan, penyelewengan, hingga melahirkan keterpurukan di berbagai bidang
kehidupan. *