Halaman

Rabu, 07 November 2018

Ende dari Masa ke Masa





Ende, tidak hanya sebuah nama, juga tidak sekadar sebuah tempat. Ende adalah sebuah tanda kultural tentang perjalanan panjang peradaban manusia yang mendiaminya. Evolusi fisik dan kultural berjalan sepadan dan selaras sikap hidup masyarakatnya karena dimungkinkan adanya inti sebuah “keterbukaan” dua etnik besar Ende dan Lio dalam memandang dirinya dan orang lain di luar, termasuk kepada pencipta-Nya, dan bumi semesta alam tempat mereka tinggal dan menafkahi hidupnya. 
Satu keterbukaan adalah ketika Ende menjadi destinasi atau tempat pembuangan Soekarno, 1934–1938, Sang Proklamator bangsa ini. Dari perspektif historis, Ende dikenal luas sehingga menjadi daya tarik sendiri dalam pembangunan bangsa. Secara kebetulan pula, topografi Ende yang terdapat di tengah pulau atau di antara kota-kota besar di Pulau Flores. Ke”di-antara”an inilah menjadi pemicu dalam melihat dirinya sebagai yang bersahabat. Di tengah-tengah Pulau Flores, Ende menjadi miniatur toleransi yang terajut jauh sebelum alam kemerdekaan Indonesia diraih. Ia menjadi pusar turbin ekonomi, politik, juga pusat religi. 
Dalam aspek ekonomi, Ende dikenal karena adanya sebuah jembatan besi (sekarang pelabuhan laut Ende) yang sangat memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi antarwarga dengan warga dari luar pulau. Ende menjadi destinasi transaksi ekonomi antara pedagang Bugis, Jawa, Sabu, Arab, Bima, dan pedagang-pedagang lainnya di daerah Flores, Solor, dan Lomblen. Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Apalagi ketika itu, di Pulau Ende (Eru Mbinge) diketahui menjadi kota beredarnya kain Sutra India yang sangat memikat hati para pedagang. Aspek politik, misalnya Bung Karno pernah mengalami politik pembuangan (internering) di Ende tahun 1934–1938. Ende, akhirnya menjadi ruang belajar toleransi. 
Visi “keterbukaan” Ende tampak dalam berbagai pilihan fitur dan nilai-nilai tertentu, seperti nilai relasional, ekspierensial, dan nilai ekspresif. Nilai relasional menggambarkan hubungan sosial manusia dalam suatu komunitas sosial. Nilai ekspierensial manusia berisikan tentang pandangan, pengetahuan, dan keyakinan tentang sesuatu, sedangkan nilai ekspresif menggambarkan penilaian atas identitas sosial dalam kehidupan berkomunitas (Fairclough, 1989: 129–141).
Aspek sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat atau juga ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan perubahannya. Aspek sosial yang digambarkan pada lirik lagu di atas menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat di Ende sangatlah akrab antara satu dengan yang lain. Masyarakat di Ende juga hidupnya berlandaskan pada persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan inilah yang membuat orang lain yang datang ke Ende merasa hidupnya nyaman, aman, tenteram, dan damai. Hal lain yang membuat orang berbondong-bondong mendatangi Ende adalah keajaiban alam danau Kelimutu dan sarung Kelimara yang kemilau, hal ini lah yang membuat nama Ende terkenal.
Dari aspek religi, Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga, “nusa nipa nusa naga” dengan tautan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan senjata dari tangan kekuasaan kolonial Belanda dengan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam (Dhakidhae, 2013). Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan yang ramah dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit
Secara sosiologis, Ende sangat kaya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal dimaknai sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang mampu memberikan komunitas tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas berada. Oleh karena itu, kearifan lokal dipandang sebagai jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal, terlebih masyarakatnya mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok demi keutuhan komunitas yang utuh dan terintegrasi. Demikianlah esensi kearifan rohaniah psikologis, kultural, dan emosional masyarakat yang  mestinya terus kukuh dipertahankan. (*)

Uniflor, Menjadi Magnet di Indonesia Timur (Catatan Tertinggal Mengenang Kepergian Rektor Universitas Flores Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.)




Ketika Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dilantik menjadi Rektor Universitas Flores (Uniflor), 6 Februari 2012 untuk periode pertama, beliau menukik dan memberikan aksentuasi pada gagasan dan upaya menjadikan Universitas Flores (Uniflor) sebagai magnet di Indonesia Timur. Memeriksa kembali beberapa dokumen ceramah, ternyata benih gagasan ini, jauh sebelum itu, diartikulasikannya saat tampil membawakan orasi ilmiah bertajuk “Universitas Flores Mengubah Pola Pikir Anak Indonesia” pada Dies Natalis Uniflor, 15 Desember 2009.
Titik berangkat orasi ini yang pada akhirnya mewarnai seluruh pemikiran dan tindakannya selama berada di Uniflor adalah pada bagaimana membangun pendidikan seturut ekologi manah (mind) manusiawi. Menurut Profesor kelahiran kota dingin Bajawa Flores ini, ekologi manusia menonjolkan nilai dan perspektif manusiawai. Para peserta didik (mahasiswa) harus dilatih untuk berani mengambil inisiatif, mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda dalam keperbedaan. Hasil terpenting dari pendidikan bukanlah apa yang tampak secara nyata atau fisik, melainkan terlebih adalah hasil yang tidak tampak karena ia tak teraba (intangible) pengetahuan yang ditanamkan di dalam manah (jiwa dan hati). Ekologi manah dipahami sebagai usaha untuk mencapai spektrum keseimbangan antara tubuh, manah, dan roh. Keseimbangan dimaksud ada di dalam pikiran (ecology of mind) dan dalam intelegensi atau kecerdasan manusia (ecology of intelligence).
Manusia memanfaatkan naluri (indera, sifat bawaan hewani), nalar (logika), ilmu), nurani (kalbu, spiritualitas, suara hati), dan nala (memori) untuk berpikir dan bertindak. Terkait dengan konsentrasinya pada ekologi manah, beliau menyitir pada Gregori Bateson dalam bukunya yang berjudul Steps To An Ecology Of Mind (1972) yang mengajarkan soal ekologi manah (pikir) yang menekankan pada tiga jenis proses belajar, yaitu rote learning yang identik dengan momorize (menghafal), proto learning atau learn to know something (mempelajari sesuatu agar tahu), dan deutero learning atau learn how to learn (belajar untuk belajar).
Berdasarkan konsep dan totalitas pemikiran yang demikian, maka menurut Profesor Linguistik tersebut, misi dan peta jalan (road map) Uniflor harus berpijak pada pokok-pokok yang telah digariskan pada masa lalu yang terus dikembangkan sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman. Uniflor harus mengembangkan pengendalian “mutu internal” melalui evaluasi diri yang benar, lengkap, dan jujur, serta pengendalian “mutu eksternal” melalui proses akreditasi dan penghargaan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Kesemua hal tersebut di atas menuntut sumber daya manusia, materi dan infrastruktur yang bermutu. Mempersyaratkan proses belajar mengajar yang menonjolkan kompetensi, kombinasi pengetahuan dan kewirausahaan. Menuntut mutu produk berupa lulusan yang berkompeten, serta hasil penelitian yang bermanfaat bagi kemakmuran masyarakat dan kemajuan ilmu.
Harus dicamkan bahwa sebuah universitas adalah organisasi pembelajaran yang berdeterminasi pada membangun kuatnya ekologi pikir dan ekologi sosial. Oleh karena itu, sebagai lembaga pembelajaran semua civitas akademika perlu bersama-sama membangun manusia Indonesia yang berpola pikir maju melalui kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pelayanan. Manusia maju ditandai oleh kemampuan untuk menjadi pelaku perubahan dan mediator budaya yang memahami ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan memahami pula pengetahuan alamiah yang terendapkan dalam kearifan lokal untuk membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat, damai, dan sejahtera.
Bagi Uniflor dan bangsa Indonesia adalah menghasilkan sumber daya manusia yang unggul. Karena itu, pendidikan harus diarahkan kepada ekologi manusia yang menonjolkan kecerdasan atau intelegensi, integritas pribadi, hubungan sosial yang berbela rasa dan bersetiakawan, dan spiritualitas yang baik sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Uniflor harus membangun sistem menjamin mutu setiap unit kerja, unit pendidikan, demi meningkatkan mutu program dan mutu hasilnya. Institusi pendidikan kita harus dibangun sebagai badan usaha (korporasi) yang utuh, kait-mengait dan saling mendukung. Hal itu sejalan dengan sistem berpikir yang mampu memperhitungkan semua tindakan dan peristiwa sebagai bagian-bagian yang bertaut membentuk suatu keutuhan.
Prof. Steph mengajak semua civitas akademika untuk selalu menyadari bahwa keberlanjutan kehidupan kita semua bergantung pada keberlanjutan (sustainability) institusi. Jadi, strategi yang harus ditekankan adalah pengembangan keberlanjutan demi menghadapi persaingan sebagai badan usaha yang menawarkan jasa pendidikan. Oleh karena itu, kampus Uniflor harus menawarkan suasana akademik yang sehat, menyenangkan, kreatif, imajinatif dalam bentuk kuliah, diskusi, ceramah, penelitian, pelatihan, praktik lapangan, pengabdian pada masyarakat, seminar, kegiatan menulis, seni sastra, seni suara, tari, olah raga, olah rasa, olah pikir, dan kegiatan kerohanian, sehingga semua pemangku kepentingan: mahasiswa, orang tua atau wali mahasiswa, pengguna lulusan, masyarakat luas merasa gembira, puas dan bangga dengan lulusan Uniflor.
Uniflor harus menjadi institusi yang memperkuat daya saing bangsa dan menghasilkan lulusan yang berwatak humanis, yang tidak mudah larut dalam pragmatisme tuna budaya, tuna nurani, apalagi tuna harga diri. Uniflor harus menjadi kekuatan moral yang dipercaya dan menciptakan generasi muda yang sadar akan keberagaman.
Berangkat pada pendasaran ilmiah akademik di atas, maka ketika dilantik menjadi Rektor Uniflor, beliau menawarkan visi Uniflor “menjadi magnet di Indonesia Timur!”. Menurutnya, magnet ini terutama di wilayah kepulauan pada perbatasan tanah air berdasarkan ciri pendidikan yang humanis dan multikultural. Pendidikan humanis mengutamakan aspek manusia, sedangkan pendidikan multikultural mengutamakan intelektualitas, dan kecintaan akan kemanusiaan, keinsanian, dan keberagaman yang merefleksikan sifat masyarakat majemuk.
Sebagai makhluk yang tak berdaya Prof. Steph selalu menyandarkan seluruh pikiran dan perjaungannya pada haribaan Tuhan Yang Mahakuasa. Rasa spiritualitas dan doanya selalu ia daraskan dalam satu ikatan bernas biblis, yaitu semoga Tuhan Yesus memberkati Yapertif dan Uniflor agar menjadi institusi yang membawa kesejukan, kedamaian, dan kesejahteraan. Sekaligus menjadi magnet di Indonesia Timur. Kita satukan langkah dan bulatkan tekad dengan hati Yesus sendiri yang menyembuhkan semua yang menjamah-Nya (Mrk. 6:56). (*) (Disari dari beberapa ceramah Almahrum Prof. Stephanus Djawanai,P.hD.)

Telah dimuat di Flores Pos, 26 dan 27 Oktober 2018


Jumat, 19 Oktober 2018

Wisuda, Prosesi Menggapai Keseimbangan



Hari ini, Sabtu, 20 Oktober 2018, Universitas Flores (Uniflor) mewisuda 838 orang lulusan dari 14 program studi yang berasal dari enam fakultas. Ritus akademik khas tahunan setiap lembaga perguruan tinggi tersebut perlu diberi bobot yang proporsional. Hemat saya, dari aneka bobot yang termeterai dalam selubung busana kebesaran toga, peristiwa pelantikan dan pemindahan kucir oleh rektor dari kepala bagian kiri lulusan ke bagian kanan merupakan momentum penting sekaligus menjadi simbol mengatur "keseimbangan" para lulusan.

Jika sewaktu kuliah, mahasiswa dibekali dan mengisi kepalanya (otaknya) dengan sejumlah hal yang sifatnya teoretis konseptual yang menandakan bahwa mahasiswa cenderung aktif menggunakan otak kirinya (wilayah Broca) sebagai pusat berpikir kritis melalui bahasa, logika matematika. Atau otak kiri menjadi tempat berpikir dengan penjelasan rigid, detail, dan deskriptif, maka pemindahan kucir ke bagian kanan kepala lulusan menyimbolkan sebuah model atau pendekatan berpikir berperasaan seni serentak menjadi pusat lahirnya ide-ide yang kreatif inovatif. Maka, sikap yang perlu ada pada masing-masing lulusan adalah sikap "berbeda untuk menciptakan hal baru sebagai cermin dari kreativitas diri.

Jika pada diri lulusan mesti hadir keseimbangan atau keserasian antara berpikir logis dan bertindak praktis, berkata atau berucap dengan berbuat. Dalam bahasa paedagogie Bloom, ada tiga ranah yang musti hadir secara simultan pada diri seseorang lulusan, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Oleh karena itu, lulusan tidak sekadar merayakan "hasil atau capaian hari ini, namun kegembiraan juga dirayakan dalam nostalgia romantisme "proses jatuh bangun menggapai hasil. Ini adalah pilihan sikap yang konsistensi diri untuk tidak mengabaikan yang satu dan mementingkan yang lain. (*)

Jumat, 31 Agustus 2018

Membangun Reputasi

 


Ketika itu, kira-kira di pengujung 2009, pada Bulan esember, bertepatan dengan wisuda sarjana Universitas Flores. Prof. Steph tampil membawakan pidato ilmiah dengan tajuk “Universitas Flores Mengubah Pola Pikir Anak Indonesia". Tajuk inspiratif yang sekaligus menjadi visi Prof. Steph (almh) memimpin lembaga Universitas Flores dalam dua periode. Bertitik tolak pada visi inspiratif itulah, Prof Steph dalam hampir setiap kesempatan senantiasa “mendengungkan” terminologi “Reputasi”. Berikut cuplikan berita tentang motivasi inspiratif dari Sang Tokoh Inspiratif untuk civitas Akademica Universitas Flores.
Membangun reputasi merupakan cara terbaik dalam mengelola Universitas Flores (Uniflor) agar dapat menjadi magnet dari timur. Uniflor dapat setara dengan perguruan tinggi besar lain di pulau Jawa dan menjadi daya tarik bagi masyarakat. Penegasan ini disampaikan Rektor Uniflor Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., beberapa waktu lalu, di ruang rapat Rektor, yang dihadiri oleh para kepala lembaga, pimpinan fakultas, dan pimpinan program studi. Pertemuan bertujuan silaturahim akademik untuk sinkronisasi dan sinergisitas berbagai program. “Saya mengucapkan terima kasih atas semua peran dan tanggung jawab yang telah Anda berikan dalam membangun lembaga ini. Hendaklah keberhasilan yang telah diraih ini menjadi momentum kebangkitan guna mempertegas semangat dan jati diri kekaryaan untuk terus berkonsentrasi dan kokoh berjuang membangun reputasi lembaga ini. Dalam perjuangan itulah, semua peran yang ada kita padukan dan mengupayakan agar Uniflor menjadi magnet dari timur sekaligus benteng moral bagi mahasiswa yang tengah dan akan menimba ilmu di lembaga ini. Untuk itulah, civitas akademika terus membangun reputasi secara berkelanjutan”.
Salah satu strategi yang dijalankan, menurut Prof. Steph adalah membangun reputasi melalui peningkatan cara belajar-mengajar yang konstruktif dengan mengembangkan potensi mahasiswa melalui pembelajaran yang kreatif, inovatif berlandaskan pada model pembelajaran tematik integratif. “Mahasiswa dibimbing untuk menjawab pertanyaan minggu depan saya bisa buat apa dari perkuliahan ini”.  Dengan demikian, semua rencana perkuliahan sedapatnya diramu dalam bentuk proyek yang mewajibkan mahasiswa untuk mengkonstruksi proyek-proyek pembelajaran dalam uraian-uraian sistematis, berupa artikel, esei, dan lain-lain berdasarkan hasil pengamatan dan pengalamannya sendiri. Hemat Prof. Steph, ilustrasi ini adalah satu contoh dari sekian banyak model dan pendekatan pembelajaran yang bisa diterapkan. Tentu melalui hasil pencermatan Bapak/Ibu dosen atas karakteristik, keluasan, dan kedalaman mata kuliah yang diajarkan. Selain harapan dalam domain pembelajaran, bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakan juga menjadi perhatian rektor. “Kita tetap konsentrasi pada tiga darma, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan begini lembaga mampu memiliki reputasi yang baik”, tegasnya mengakhiri pertemuan.
Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif) selalu mendukung peningkatkan kapasitas dan kapabilitas keilmuan para dosen melalui penguatan tri dharma perguruan tinggi, meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. “Dukungan selalu akan Yapertif berikan dalam berbagai bentuk, baik dana, sarana dan prasarana dan berbagai kebutuhan pembelajaran lain untuk meningkatkan kapasitas dosen dan mempermudah proses belajar mengajar mahasiswa dan dosen. Dukungan ini kita berikan juga bertujuan untuk pencapaian visi Uniflor sebagai magnet di Indonesia Timur”, kata Ketua Yapertif Dr. Laurentius Dominicus Gadi Djou, Akt., beberapa waktu lalu di ruang kerjanya.
      Yapertif memberi apresiasi kepada seluruh civitas academika yang telah melaksanakan program akademik semester Ganjil 2017/2018 dengan baik. Pelaksanaan kegiatan akademik yang seperti ini kami harapkan untuk tetap dipertahankan pada semester yang akan datang. Dengan begitu, mahasiswa mendapat pelayanan akademik yang maksimal. “Saya sudah tegaskan kepada semua kepala tata usaha di masing-masing program studi untuk memberikan pelayanan akademik secara cepat dan tepat kepada mahasiswa. Kita ingin agar semua mahasiswa mendapat pelayanan yang maksimal. Jangan menunda pekerjaan, apalagi berakibat merugikan mahasiswa” demikian  harap Dr. Lory. (*).






[1] Telah dimuat dalam HU Flores Pos, 31 desember 2017

Tradisi Lisan: Wujud Tenunan Kehidupan Manusia





                                         
Bahasa adalah suatu rekayasa teknologi untuk mengemas pengetahuan yang tertangkap manah (mind) untuk menghimpun, menyebarkan, dan mewariskan pengetahuan. Bahasa juga menjadi wadah penyimpan informasi, dan ia berkembang secara simbiosis dengan budaya dan keberlangsungan kehidupan. Perlu dikemukakan di sini bahwa fungsi utama bahasa manusia bukanlah untuk komunikasi saja, melainkan untuk simbolisasi (Piaget, 1963). Simbol adalah representasi kulltural dan ekologis dari realitas; jadi selalu sesuai dengan konteks orang, waktu, dan tempat, dalam hubungannya dengan manah (mind), pikiran, cara berpikir dan bertindak.
Sebagai pewaris dan pengguna bahasa, manusia juga dikenal sebagai makhluk naratif, yang suka berkisah, berceritera, dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia. Karena bahasa pada dasarnya adalah lambang untuk merepresentasikan apa pun, maka manusia menggunakan bahasa untuk berpikir, berkisah, bercakap, berceritera, umumnya secara verbal, memakai kata-kata tentang apa pun yang dipikirkannya, dialaminya (optik, auditoris, taktil, olfaktoris, kecap), dan dirasakannya. Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi mengenai apa yang dibayangkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu apa pun. Manusia bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Tetapi dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi beradab (Gusdorf, 1965: 3–10).
Selain bahasa, juga terdapat sastra yang dapat berbentuk lisan dan tulisan. Orang berceritera secara lisan sehari-hari, dan ketika ditekankan pada nilai keindahan berceritera, lahirlah sastra. Bahasa tulisan mulai dikenal manusia kira-kira 35.000 tahun yang lalu dalam bentuk coretan dan lukisan di gua-gua (Corballis, 1991: 45). Coretan dan lukisan itu mungkin digunakan untuk membuat catatan atau meninggalkan pesan kepada orang lain; dan bagi peneliti masa kini coretan atau lukisan itu dapat digunakan untuk merekonstruksi kesadaran manusia akan dirinya, sejarahnya, dan lingkungannya (Ong, 1982: 15). Bahasa dan sastra adalah warisan sosial, kultural, dan spiritual yang khas dan tak tergantikan.
Tradisi Lisan adalah roh kehidupan manusia. Semua pengalaman hidup manusia dipatri dalam tradisi lisan mulai dari pangkuan ibu, ayah, nenek, kakek, maupun pengasuh yang lain. Seorang anak mengenal dunia melalui tradisi lisan. Sebagai pengamatdan peneliti bahasa saya selalu terbawa oleh dahsyatnya memori manusia sebagaimana dicatat di dalam bahasanya. Melalui memori kita mengingat masa lampau: semua yang kita alami dan pelajari tentang dunia; dan dengan memori kita membuat proyeksi ke masa depan. Dalam sejarah perkembangan makhluk manusia kita mengalami tiga tahap penting dalam kehidupan. Pertama, kita berevolusi karena adanya dan mengikuti DNA (deoxyribonuclieic acid), suatu ensiklopedia yang memuat informasi lengkap tentang wujud fisik genetis manusia; kedua, munculnya sistem saraf dalam otak manusia, terutama neo-korteks, yang menyimpan memori manusia sejak lahir sampai wafatnya; dan ketiga, munculnya bahasa, yang menjadi alat untuk mencatat seluruh pengetahuan manusia dan alat untuk mengkomunikasikannya dengan manusia lain dan mewariskan pengetahuan itu kepada keturunannya (Periksa Midner, Vesna. 2008. The Cognitive Neuroscience of Human Communication).
Ketiga hal di atas telah menjadi perhatian para ahli genetika, ahli neurologi, dan ahli bahasa. Dan, kita semua dibuat tertegun dengan pengetahuan itu karena di situ ditunjukkan betapa Maha Besarnya, betapa Maha Kasihnya Tuhan yang telah menciptakan manusia, yang sungguh-sungguh berbeda dengan makhluk lain, termasuk kerabat paling dekat kita secara evolusi, yaitu primata atau kera–yang menurut penelitian ahli genetika, 98 persen sama dengan kita secara fisik. Kita bersyukur bahwa ada perbedaan sekitar dua persen. Perbedaan antara “langit dan bumi”, dua persen itu adalah bahasa dan budaya.
Yang saya sebutkan di atas adalah pengantar bagi kuliah umum yang akan diberikan oleh Ibu Profesor Doktor Pudentia. Kami sangat berbangga dengan karya dan nama Anda di bidang pengkajian tentang tradisi lisan dan kami siap belajar dari pengalaman Anda, dan di masa yang akan datang bekerja sama untuk mengembangkan studi tentang tradisi lisan di Universitas Flores ini. Kami sadari betapa pentingnya tradisi lisan karena ia mengkaji dan berhubungan langsung dengan serat, fabric, yang merupakan dasar untuk membangun wujud “tenunan” text, kehidupan manusia. Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalmnya atas kesediaan Ibu mengunjungi Universitas Flores dan memberikan kuliah umum untuk menambah wawasan kami tentang tradisi lisan. (*)



[1]  Disari dari Naskah Pidato Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.,Rektor Universitas Flores, Ende yang Disampaikan pada Acara Pelantikan Pengurus Asosiasi Tradisi Lisan Flores Ende, pada Selasa, 22 Maret 2016, di Auditorium H.J.Gadi Djou, Jl. Sam Ratulangi Ende, Artikel ini telah dimuat pada HU Flores Pos, 2 April 2016.

Jumat, 06 April 2018

Tamu Tak Dikenal





          Batuknya kedengaran lesuh. Tenaganya telah habis terkuras dalam perjalannanya semalam suntuk. Untuk kesekian kalinya sesosok tubuh yang dimamah usia itu beristirahat lagi. Perjalanan tanpa tujuan itu ia lanjutkan. Dari penghujung kampung tamu tak dikenal itu berlangkah pelan menelusuri ruas jalan yang penuh bebatuan. Batuknya kian parah. Sementara suaranya makin kecil dan membangkitkan rasa ibah bagi penghuni kampung di subuh itu. Dibarengi dengan bunyi dahaknya yang menusuk telinga warga setempat. Seolah ada sebutir kerikil kecil yang menghalangi keluarnya dahak dari kerongkongan tuanya. Tamu tak dikenal itu tak bertenaga lagi. Tapi, apa mau dikata, perjalanan harus dilanjutkan, entah sampai kapan.