Setengah tutur kataku tanpa makna,
Namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi
Mencapai dirimu
[Khalil
Gibran, Pasir dan Buih, Pustaka Jaya, 1988: 17]
Ansel Langowujo
(AL) adalah seorang frater calon imam. Menurut dugaan banyak
orang, tulisan-tulisannya akan berkutat pada hal-hal
yang bersifat religius sakral. Seruan-seruan profetis dalam
nada khotbah dan petunjuk praktis kepada kehidupan komunitas beragama (Katolik) akan pentingnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
spiritual keagamaan dalam kehidupan berumat.
Dalam konteks demikian, agaklah mengejutkan ketika disodorkan tulisan berupa kumpulan puisi untuk dicerna. Apakah ini seruan untuk
merenangi hidup lebih jauh, lebih dalam lagi menemui makna dan hakikat hidup itu
sendiri? Hemat saya, ada gumpalan asa terang yang sedang “disuarakan” AL dalam
berbagai nada dan ritme pada baris bingkai dan perspektif biblis
kontekstual. Lontaran bahkan “tuduhan“
empiris akan praksis kehidupan umat menjelma dalam seruan profetis atas praktik
liturgis atau kehidupan berumat yang ketika “senang” lupa Tuhan, dan “susah”
ingat Tuhan, sebagaimana tersurat dalam “Kudeta Tuhan” berikut ini:
Saat saya susah
saya berdoa
“Bapa
kami yang ada di surga (Bapa ada di surga).”
Saat bahagia dan senang
Saya berdoa
“Bapa
Kami
yang ada di surga (Lalu Bapa ada di mana?).”
Inilah sebentuk karya kontekstual yang lain. Awasan bahkan ingatan di
tengah pergumulan hidup umat yang kian ditantang untuk selalu berada pada jalan
Tuhan. Pada kecenderungan hedonisme instan dan pragmatisme duniawi. Dibutuhkan
nasihat. Mungkin juga sindiran ala “sastra” dalam deret kata karya profetis
spiritual untuk saling mengingatkan, saling meneguhkan dalam cara yang berbeda.
Luapan ekspresi kerinduan AL akan dirinya dengan Dia asal-mula hidup.Tampak sebuah
kerinduan itu. Ia pun menaut kerinduan dengan orang-orang tercintanya dan terlebih
kerinduan unio mistika yang bulat,
total, utuh untuk berjumpah dengan Dia yang didambakan dalam ziarah panggilannya.
Sedang terpekur kesendirian laksana kuku kaki yang tak hendak tercerabut dari
tunasnya, AL pun melakar Rindu yang
teramat kuat:
Seperti itu rinduku padamu
Setelah rinduku hampir kaku di kuku kaki waktu
Datang Kau serupa aku
Matamu adalah biji mataku
Hidungmu adalah napas jiwaku
Hatimu adalah jantung hidupku
Mu-Mu
adalahku-ku
Ku-ku adalah
Mu-Mu
Kerinduan tersebut sampai ke demarkasi ziarahnya agar kelak dibangun “tugu rindu” sebagai tanda ekspresi kerinduan yang amat sangat, bahwa
AL telah dan
akan melampaui ziarah panggilan sampai ke tapal batas.
Puisi adalah kelahiran
AL selalu menukil kisah ziarah kehidupan manusia dalam konteks yang baru. Baru dipahaminya sebagai
kelahiran. Maka, ia pun memulai antologi ini dalam konteks dan ruang kelahiran.
Kelahiran baginya merupakan titik mulai, juga titik berangkat
yang pada akhirnya menemui ajal pada titik batas pada nuansa lazuardi. Di sana pun ada kelahiran kembali.
Di tengah-tengah ada ruang dan waktu
yang tidak kosong, selalu saja diisi dengan suasana dan situasi baru. Baginya itulah rentetan
hidup yang diberi nama lintasan kelahiran. Rentang keberadaan itulah senantiasa
dihayati sebagai kelahiran. Berawal dari ketidaksempurnaan sebagai manusia,
manusia selalu ditantang menuju pada yang sempurna. Namun, proses itu tetap tidak menggapai yang sempurna.
Berada di antara satu titik persimpangan antara sempurna dan tidak sempurna.
Antara pasti dan tidak pasti. Matematis dan nonmatematis. Dalam cermin pikir
demikian, AL menulis dalam “Manusia ½
Puisi” di bawah ini.
Hari ini lahir
………………..
Baris puisi di atas membuat pengandaian bahwa kelahiran selalu ada setiap saat. Terjadi
dari waktu ke waktu. Demikian pun puisi adalah kelahiran kembali. Secara eksistensial,
manusia adalah makhluk yang ego individualistik yang dilahirkan seorang diri. Terlempar
ke dalam komunitas sosial dalam memperteguh sisi sosialitasnya sebagai makhluk sosial.
Dan, karena itu manusia pun kadang lupa akan dirinya di antara yang lain.
Sering lebih “melihat” orang lain dari dirinya. Cenderung bertanya “mengapa”
tentang dirinya dibandingkan “bagaimana” dengan dirinya. Ada dua sisi yang
berbeda dari satu manusia yang sama. Eksistensi manusia ½ yang butuh waktu
untuk utuh, penuh, dan sempurna. Dibutuhkan kelahiran kembali dari saat ke saat
demi membuat hidup pribadi dan sosial semakin lebih berimbang. Kelahiran selalu
membuat sesuatu menjadi baru. Semua orang menjadi merasa bahagia dan yakin
tentang hidup baru, kendati berujung duka ketika ajal menjemput.
Hidup pun cenderung dianggap sebagai “kami atau saya”, sebagai kelompok orang, bukan “kita atau sekalian” sebagai komunitas. Dikotomi cara pandang atas lintasan kehidupan yang plural
adalah fakta bahwa para penghuni bumi diajak untuk saling memahami. Merawat ziarah kehidupan
dengan menebar damai di antara orang. Merawat kehidupan demikian tentu tidak
sebatas mengucap atau mengeja kebaikan, melafal kedamaian dalam tutur ritual
kegamaan, namun harus melampaui verbalisme kata-kata. Kehidupan riil tentang kebaikan
dilalui dengan mendamaikan diri dan sesama, menjadi jawaban yang terus-menerus
diinvestasi sebagai bekal hidup akhirat. Dalam konteks itulah, AL mengguratnya
dalam “Demonstrasi di Depan Surga”.
Jangan bibirkan damai
Jangan bilang damai
Apalagi teriakkan damai
Tetapi masuklah dalam kamarmu
Tutuplah pintu
dan damaikanlah dunia seperti engkau
mendamaikan dirimu sendiri
Kampung Matahari: sebuah perjumpaan realitas
Kampung Matahari AL adalah sebuah perjumpaan kontekstual akan realitas
hidup yang sebenarnya. Sebuah tawaran di tengah lintasan gelimang berbagai
fenomena kehidupan umat mengenai kita: relasi kita dengan Tuhan, relasi kita
dengan diri, dan relasi kita dengan kita, serta relasi kita dengan lingkungan. Relasi
demikian menghadirkan berbagai kesan dalam semua titik perjumpaan. Dan,
semuanya itu meninggalkan “tanya”, sebagaimana eksistensi hidup itu sendiri
adalah tanya. Tanya kepada diri, sesama, bahkan kepada Tuhan Pencipta dan
Pemelihara hidup. Kredo pertanyaan yang tidak berujung.
Atas kontestasi hidup yang bertemu pada satu pusaran perjumpaan tersebut,
tanya (?) adalah respons solutif. AL pun tampil dalam beragam tanya atas
berbagai versi konteks. AL mewakili berbagai kelompok ziarah hidup untuk
bertanya. Berbagai pertanyaan pun mengusik tajam. Mengapa kehidupan kita terus dipenuhi
fundamentalisme, radikalisme, terorisme, sadisme, kekerasan, ketimpangan kemakmuran,
dan berbagai bentuk penindasan yang tampak menafikan peran ilmu pengetahuan dan
teknologi? Mengapa paranormal, peramal, ahli nujum, penghipnotis, dukun, “dunia
lelembut”, iming-iming sulapan, dan sejenisnya makin hari justru makin marak,
naik daun, popular menguasai hidup sekalian kita, sampai-sampai mengalahkan agamawan
juga ilmuwan? Mengapa kehidupan kita makin saling curiga, saling membenci, saling berpandangan negatif, saling tidak memercayai,
saling tuduh, saling menohok kawan seiring yang adalah mencerminkan hati dan jiwa
kita?
Mengapa egosentrisme, egoisme, narsisme, hedonisme, premanisme, erotisme,
tipu-muslihat, amoralitas kian hari kian mengendalikan hidup kita dan membuat kita
pusing? Mengapa stress, stroke, disorientasi, kehampaan hidup makin meroket,
sehingga makin laris pula para ahli terapi jiwa atau pemandu rohani, bahkan
penyembuh badan menawarkan jasa dan budi baik untuk mengatasinya? Mengapa
gosip, rumor, kasak-kusuk, omong kosong dan berita burung semakin naik daun mewarnai
hidup kita, di samping tayangan infotainment alias gosip gombal dan kabar
angin selalu menempati rating tertinggi media massa elektronik yang semuanya menggambarkan
tidak berfungsinya hati nurani atau jiwa kita?
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah menjadi diri sendiri, menjadi bangsa
sendiri. Jawaban kedua mengingatkan kita sebagai bangsa pada dasar
negara Pancasila. Secara aksiologis, seluruh nilai dan penjiwaannya akan luntur
dan kita pun akan kehilangan jati diri, kehilangan kemandirian sehingga mudah
diombang-ambingkan oleh paradigma asing yang kini mendasari tata kehidupan
global (Djawanai, 2014: 258 –261). Dan, oleh karena itu, masyarakat Indonesia
mendambakan “penularan” kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pancasila telah teruji dan telah menjadi “obat penawar” atas
berbagai persoalan bangsa. Nilai-nilai Pancasila
seperti saling menghormati, musyawarah, gotong royong, solidaritas, kerukunan
dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari semakin dipinggirkan. Jadi, Pancasila
dan seluruh nilainya dapat dikembalikan dan menjadi dasar pembenihan,
penanaman, dan pengembangan berbagai nilai pembelajaran formal untuk kehidupan
masa depan para peserta didik di kehidupan masyarakat.
Jawaban pertama
mengajak kita sendiri menjadi diri sendiri. Kita pun diajak untuk lebur dalam
arena lapang berbagai ziarah hidup, namun tetap teguh pada jati diri, prinsip
dan ajaran “kampung asal”. Ajaran-ajaran adiluhung dari budaya lokal yang
dipandang penting untuk menjaga dan mengatur perilaku, tindak tanduk selama berziarah.
Demikian maka, tidak ada di antara kita yang saling curiga, prasangka, karena
kita semua: sama-sama mengenal diri kita, dan sedang ke mana kita berziarah. Untuk
itulah, AL mengajak kita untuk selalu mengalami “natal” dalam setiap hari hidup
kita.