Halaman

Jumat, 09 Oktober 2020

Jalan Panjang Peradaban Menulis

 

“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata,

suatu cara untuk menyapa—

suatu cara un

tuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana.

Cara itulah yang bermacam-macam

dan disanalah harga kreativitas ditimbang-timbang”.

[Seno Gumira Ajidarma,

dalam Bambang Trim. Literasi Menulis, April 2019]

           

 

Jika merunut jalan panjang peradaban ini, kita boleh berkata bahwa menulis menjadi sebuah karya puncak peradaban. Banyak kalangan memandang menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan menulis pada umumnya dipandang positif. Dalam peradaban keberaksaraan itulah menulis berbagai ihwal ilmu pengetahuan, misalnya ihwal kebudayaan, kebahasaan, pertanian, arsitektur, kesehatan, ekonomi, pendidikan, hukum, dan pengembangan diri sudah tentu memberi manfaat positif bagi kemajuan masyarakat.

Dalam sudut pandang itulah, civitas academica Universitas Flores mempertegas dirinya dengan ikhtiar untuk terus berkarya tulis di tengah membanjirnya kehadiran perguruan tinggi dewasa ini. Di antaranya adalah menaut gagasan dengan masyarakat melalui menulis pemikiran dengan hati dan budi untuk sebuah etos, di samping aspek logos, dan phatos yang menjadi basis kehidupan akademik. Mengulang kembali gagasan Almahrum Prof. Stephanus Djawanai, M.A., bahwa kehadiran dan keberlanjutan Universitas Flores sebagai organisasi pembelajaran menekankan pada dua ekologi, yakni ekologi manah dan ekologi sosial.

Tesis “menjadi magnet di Indonesia Timur” dengan visi “menjadi mediator budaya” di tengah keragaman terus digelorakan sekaligus menjadi gerakan bersama, melalui aktivitas publikasi pemikiran secara luas. Tidak kalah penting adalah secara internal menciptakan lingkungan belajar dan suasana akademik warga kampus sebagai pembaca dan penulis. Oleh karena itu, menulis karya ilmiah, termasuk karya ilmiah populer di media massa merupakan sebentuk ejawantah pengabdian yang harus menjadi bagian dari komitmen civitas academica Universitas Flores dalam mengembangkan keilmuan di bidangnya masing-masing. Mutu atau kualitas tetap menjadi “acuan” dalam memberikan kontribusi akademik bagi pembangunan daerah dan bangsa ini ke depan. Meminjam kata-kata Antonio Gramsci bahwa kita, kaum intelektual mesti membangun blok solidaritas sebagai intelektual organik, yang turun dari “singgasana menara gading” dan bergabung dengan masyarakat untuk menjalankan tugas profetisnya sekaligus untuk membangkitkan kesadaran masyarakat yang dimanipulasi kekuatan hegemonik dengan memberi pendidikan–pendidikan kultural dan politik dalam bahasa keseharian.

Buku Antologi Opini Suara Uniflor yang sedang Anda baca ini merupakan praksis solidaritas profetis yang oleh para penulis tidak saja sedang membahasakan atau mengkomunikasikan realitas apa adanya, melainkan sedang mengkonstruksi realitas dan gagasan melalui sudut pandang keilmuan yang berbeda. Pada titik inilah ide dan gagasan tidak datang dengan sendirinya, namun dibangun melalui kerumitan-kerumitan berpikir yang diolah dalam pikiran dan dituangkan secara teratur dalam menulis. Hadirnya buku ini memberikan warna sendiri, bermakna sekaligus menambah bobot keilmuan bagi civitas academica Universitas Flores yang sedang merayakan Dies Natalis ke-39 tahun.

Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih berlimpah kepada Dr. Laurentius D. Gadi Djou, M.Si, Akt (Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif), dan Dr. Simon Sira Padji, M.A. (Rektor Universitas Flores) yang telah berkenan memberi sambutan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para penulis, yang di tengah tumpukan kesibukan dan kerumitan kerja, masih meluangkan waktu untuk menulis pendapat yang terangkum dalam Buku Antologi Opini Suara Uniflor ini.

Ende, Akhir Juni 2019

Editor



[1] Ditulis bersama Marianus Ola Kenoba, sebagai Editor dalam Kata Pengantar Antologi Opini Suara Uniflor 2016 – 2018, diterbitkan atas kerja sama Universitas Flores dengan Penerbit Ombak Yogyakarta, 2018.

Merawat Ziarah dengan Puisi


                              Setengah
tutur kataku tanpa makna,

Namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi

Mencapai dirimu

[Khalil Gibran, Pasir dan Buih, Pustaka Jaya, 1988: 17]

 

 Ansel Langowujo (AL) adalah seorang frater calon imam. Menurut dugaan banyak orang, tulisan-tulisannya akan berkutat pada hal-hal yang bersifat religius sakral. Seruan-seruan profetis dalam nada khotbah dan petunjuk praktis kepada kehidupan komunitas beragama (Katolik) akan pentingnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritual keagamaan dalam kehidupan berumat. Dalam konteks demikian, agaklah mengejutkan ketika disodorkan tulisan berupa kumpulan puisi untuk dicerna. Apakah ini seruan untuk merenangi hidup lebih jauh, lebih dalam lagi menemui makna dan hakikat hidup itu sendiri? Hemat saya, ada gumpalan asa terang yang sedang “disuarakan” AL dalam berbagai nada dan ritme pada baris bingkai dan perspektif biblis kontekstual.  Lontaran bahkan “tuduhan“ empiris akan praksis kehidupan umat menjelma dalam seruan profetis atas praktik liturgis atau kehidupan berumat yang ketika “senang” lupa Tuhan, dan “susah” ingat Tuhan, sebagaimana tersurat dalam “Kudeta Tuhan” berikut ini:

Saat saya susah

saya berdoa

“Bapa kami yang ada di surga (Bapa ada di surga).”

 

Saat bahagia dan senang

Saya berdoa

Bapa

Kami yang ada di surga (Lalu Bapa ada di mana?).”

Inilah sebentuk karya kontekstual yang lain. Awasan bahkan ingatan di tengah pergumulan hidup umat yang kian ditantang untuk selalu berada pada jalan Tuhan. Pada kecenderungan hedonisme instan dan pragmatisme duniawi. Dibutuhkan nasihat. Mungkin juga sindiran ala “sastra” dalam deret kata karya profetis spiritual untuk saling mengingatkan, saling meneguhkan dalam cara yang berbeda. Luapan ekspresi kerinduan AL akan dirinya dengan Dia asal-mula hidup.Tampak sebuah kerinduan itu. Ia pun menaut kerinduan dengan orang-orang tercintanya dan terlebih kerinduan unio mistika yang bulat, total, utuh untuk berjumpah dengan Dia yang didambakan dalam ziarah panggilannya. Sedang terpekur kesendirian laksana kuku kaki yang tak hendak tercerabut dari tunasnya, AL pun melakar Rindu yang teramat kuat:

Seperti itu rinduku padamu

Setelah rinduku hampir kaku di kuku kaki waktu

Datang Kau serupa aku

Matamu adalah biji mataku

Hidungmu adalah napas jiwaku

Hatimu adalah jantung hidupku

Mu-Mu adalahku-ku

Ku-ku adalah Mu-Mu

 Kerinduan tersebut sampai ke demarkasi ziarahnya agar kelak dibangun “tugu rindu” sebagai tanda ekspresi kerinduan yang amat sangat, bahwa AL telah dan akan melampaui ziarah panggilan sampai ke tapal batas.

 Puisi adalah kelahiran

AL selalu menukil kisah ziarah kehidupan manusia dalam konteks yang baru. Baru dipahaminya sebagai kelahiran. Maka, ia pun memulai antologi ini dalam konteks dan ruang kelahiran. Kelahiran baginya merupakan titik mulai, juga titik berangkat yang pada akhirnya menemui ajal pada titik batas pada nuansa lazuardi. Di sana pun ada kelahiran kembali. Di tengah-tengah ada ruang dan waktu yang tidak kosong, selalu saja diisi dengan suasana dan situasi baru. Baginya itulah rentetan hidup yang diberi nama lintasan kelahiran. Rentang keberadaan itulah senantiasa dihayati sebagai kelahiran. Berawal dari ketidaksempurnaan sebagai manusia, manusia selalu ditantang menuju pada yang sempurna.  Namun, proses itu tetap tidak menggapai yang sempurna. Berada di antara satu titik persimpangan antara sempurna dan tidak sempurna. Antara pasti dan tidak pasti. Matematis dan nonmatematis. Dalam cermin pikir demikian, AL menulis dalam “Manusia ½ Puisi” di bawah ini.

Hari ini lahir

………………..

 Baris puisi di atas membuat pengandaian bahwa kelahiran selalu ada setiap saat. Terjadi dari waktu ke waktu. Demikian pun puisi adalah kelahiran kembali. Secara eksistensial, manusia adalah makhluk yang ego individualistik yang dilahirkan seorang diri. Terlempar ke dalam komunitas sosial dalam memperteguh sisi sosialitasnya sebagai makhluk sosial. Dan, karena itu manusia pun kadang lupa akan dirinya di antara yang lain. Sering lebih “melihat” orang lain dari dirinya. Cenderung bertanya “mengapa” tentang dirinya dibandingkan “bagaimana” dengan dirinya. Ada dua sisi yang berbeda dari satu manusia yang sama. Eksistensi manusia ½ yang butuh waktu untuk utuh, penuh, dan sempurna. Dibutuhkan kelahiran kembali dari saat ke saat demi membuat hidup pribadi dan sosial semakin lebih berimbang. Kelahiran selalu membuat sesuatu menjadi baru. Semua orang menjadi merasa bahagia dan yakin tentang hidup baru, kendati berujung duka ketika ajal menjemput.

Hidup pun cenderung dianggap sebagai “kami atau saya”, sebagai kelompok orang, bukan kita atau sekalian sebagai komunitas. Dikotomi cara pandang atas lintasan kehidupan yang plural adalah fakta bahwa para penghuni bumi diajak untuk saling memahami. Merawat ziarah kehidupan dengan menebar damai di antara orang. Merawat kehidupan demikian tentu tidak sebatas mengucap atau mengeja kebaikan, melafal kedamaian dalam tutur ritual kegamaan, namun harus melampaui verbalisme kata-kata. Kehidupan riil tentang kebaikan dilalui dengan mendamaikan diri dan sesama, menjadi jawaban yang terus-menerus diinvestasi sebagai bekal hidup akhirat. Dalam konteks itulah, AL mengguratnya dalam “Demonstrasi di Depan Surga”.

Jangan bibirkan damai

Jangan bilang damai

Apalagi teriakkan damai

Tetapi masuklah dalam kamarmu

Tutuplah pintu

dan damaikanlah dunia seperti engkau mendamaikan dirimu sendiri

 Kampung Matahari: sebuah perjumpaan realitas

Kampung Matahari AL adalah sebuah perjumpaan kontekstual akan realitas hidup yang sebenarnya. Sebuah tawaran di tengah lintasan gelimang berbagai fenomena kehidupan umat mengenai kita: relasi kita dengan Tuhan, relasi kita dengan diri, dan relasi kita dengan kita, serta relasi kita dengan lingkungan. Relasi demikian menghadirkan berbagai kesan dalam semua titik perjumpaan. Dan, semuanya itu meninggalkan “tanya”, sebagaimana eksistensi hidup itu sendiri adalah tanya. Tanya kepada diri, sesama, bahkan kepada Tuhan Pencipta dan Pemelihara hidup. Kredo pertanyaan yang tidak berujung.

Atas kontestasi hidup yang bertemu pada satu pusaran perjumpaan tersebut, tanya (?) adalah respons solutif. AL pun tampil dalam beragam tanya atas berbagai versi konteks. AL mewakili berbagai kelompok ziarah hidup untuk bertanya. Berbagai pertanyaan pun mengusik tajam. Mengapa kehidupan kita terus dipenuhi fundamentalisme, radikalisme, terorisme, sadisme, kekerasan, ketimpangan kemakmuran, dan berbagai bentuk penindasan yang tampak menafikan peran ilmu pengetahuan dan teknologi? Mengapa paranormal, peramal, ahli nujum, penghipnotis, dukun, “dunia lelembut”, iming-iming sulapan, dan sejenisnya makin hari justru makin marak, naik daun, popular menguasai hidup sekalian kita, sampai-sampai mengalahkan agamawan juga ilmuwan? Mengapa kehidupan kita makin saling curiga, saling membenci,  saling berpandangan negatif, saling tidak memercayai, saling tuduh, saling menohok kawan seiring yang adalah mencerminkan hati dan jiwa kita?

Mengapa egosentrisme, egoisme, narsisme, hedonisme, premanisme, erotisme, tipu-muslihat, amoralitas kian hari kian mengendalikan hidup kita dan membuat kita pusing? Mengapa stress, stroke, disorientasi, kehampaan hidup makin meroket, sehingga makin laris pula para ahli terapi jiwa atau pemandu rohani, bahkan penyembuh badan menawarkan jasa dan budi baik untuk mengatasinya? Mengapa gosip, rumor, kasak-kusuk, omong kosong dan berita burung semakin naik daun mewarnai hidup kita, di samping tayangan infotainment alias gosip gombal dan kabar angin selalu menempati rating tertinggi media massa elektronik yang semuanya menggambarkan tidak berfungsinya hati nurani atau jiwa kita?

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah menjadi diri sendiri, menjadi bangsa sendiri. Jawaban kedua mengingatkan kita sebagai bangsa pada dasar negara Pancasila. Secara aksiologis, seluruh nilai dan penjiwaannya akan luntur dan kita pun akan kehilangan jati diri, kehilangan kemandirian sehingga mudah diombang-ambingkan oleh paradigma asing yang kini mendasari tata kehidupan global (Djawanai, 2014: 258 –261). Dan, oleh karena itu, masyarakat Indonesia mendambakan “penularan” kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila telah teruji dan telah menjadi “obat penawar” atas berbagai persoalan bangsa. Nilai-nilai Pancasila seperti saling menghormati, musyawarah, gotong royong, solidaritas, kerukunan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari semakin dipinggirkan. Jadi, Pancasila dan seluruh nilainya dapat dikembalikan dan menjadi dasar pembenihan, penanaman, dan pengembangan berbagai nilai pembelajaran formal untuk kehidupan masa depan para peserta didik di kehidupan masyarakat.

Jawaban pertama mengajak kita sendiri menjadi diri sendiri. Kita pun diajak untuk lebur dalam arena lapang berbagai ziarah hidup, namun tetap teguh pada jati diri, prinsip dan ajaran “kampung asal”. Ajaran-ajaran adiluhung dari budaya lokal yang dipandang penting untuk menjaga dan mengatur perilaku, tindak tanduk selama berziarah. Demikian maka, tidak ada di antara kita yang saling curiga, prasangka, karena kita semua: sama-sama mengenal diri kita, dan sedang ke mana kita berziarah. Untuk itulah, AL mengajak kita untuk selalu mengalami “natal” dalam setiap hari hidup kita.

 


 



[1] Prolog dalam Kumpulan Puisi “Kampung Matahari” karya Ansel Langowuyo (2017) yang diterbitkan oleh Penerbit Carol Maumere, ISBN 978-979-1407-61-4

Menulis Perjumpaan, Mengawetkan Kehidupan



 

Ketika beradu: tuntaslah tulisan di tanganku,

lalu kubaca pelan dan pasti: kau hadir bagai

matahari kehidupan

dalam renung tulisan

(Karena kehidupan, aku berpuisi

dari kehidupan aku menulis.

Maukah kamu menyatu menemani?)

[Mudji Sutrisno, Getar-Getar Peradaban, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 1994: 8]

 

 Sepanjang Detak Waktu (SDW) adalah rentetan kisah estetis penulis dari waktu ke waktu. Sepanjang waktu 2006–2017, kisah dan catatan tentang sebuah perjalanan pelayanan “kehidupan” terpatri indah dalam untaian bait-bait puisi. Rentetan ini sekaligus menjadi momentum literer. Sebab SDW merupakan bagian perjalanan leterasi menulis perjumpaan. Mengasah daya dan budi, mengurut kata memadat hati menemukan jalan keluar melalui pintu yang selalu terkuak: /Pintu itu...lapang hati/. Pintu simbol kelapangan hati, keterbukaan, keleluasaan, kebersediaan, niat, dan ikhtiar membuka diri sekaligus memberi diri untuk kebaikan orang lain. Menulis perjumpaan juga hendak momentum perjumpaan itu sendiri, beserta hal ihwal di sekelilingnya. Upaya ini pula merupakan jalan atau pintu mengawet kehidupan. Sebuah upaya ekspresi romantisme nostalgia bagi masyarakat untuk terus mencintai masa lampau. Sehingga karya literer ini adalah sebentuk menulis kehidupan masa lampau secara sungguh-sungguh dan lebih bermakna.

 Sepanjang Detak Waktu adalah sebuah penjelajahan kemanusiaan

Puisi sebagai karya sastra bernuansa seni hasil produksi pikir kreatif dengan mengandalkan daya imajinasi penulisnya menjadi semacam jalan meniti perjalanan panjang. Menjelajahi ruang-ruang belantara kehidupan. Menapaki lorong-lorong rindu menemui sahabat semesta. Sebuah karya seni yang telah diciptakan dan diapresiasi oleh masyarakat tidak dapat ditarik kembali oleh waktu (Ars longa vita brevis). Sebab itulah, segala karya seni, termasuk puisi dapat hidup sepanjang masa. Dan, oleh karena itu pula seni tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan masyarakat. Sebagai karya sastra, puisi memiliki sifat seni sekaligus menjadi balada keabadian. Padanya kita dapat memahami dan menikmati lanskap alam raya dengan aneka dandanan geososial dan geokultural,  menimba akan keterpaduan kehidupan semesta dan jagat kosmis, serta rentetan penjelajahan eksistensi lain, dari yang tidak dapat terobservasi oleh panca indera hingga runtutan dan tumpukan narasi perjumpaan dengan orang-orang tercinta.

Pada simpul perjumpaan demikianlah, hidup menjadi lebih kaya makna melalui bobot karya pelayanan akan satu dengan yang lain. Semuanya mengalami eksistensi keterberian untuk saling meningkatkan derajat pengalaman perjumpaan dimaksud. Dalam perspektif teoretis, benar yang dikatakan Lafevere bahwa sastra adalah pengetahuan kemanusiaan (existential knowledge) yang sejajar dengan bentuk dan perjalanan hidup itu sendiri. Untuk demikianlah, sastra secara khusus puisi menjadi sangat penting ditulis dan dipelajari dewasa ini sebagai sarana berbagi pengalaman (sharing) dalam mencari dan menemukan kebenaran kemanusiaan. Tidak sekadar diperlukan persepsi, melainkan observasi. Persepsi berfungsi sebagai peta jalan yang digunakan untuk mencari kebenaran dan kenyataan sesungguhnya. Observasi membuat kita terlibat secara aktif kepada aspek-aspek tertentu yang menarik perhatian kita. Hasil dimaksud tidak hanya memiliki kedalaman pemahaman, melainkan kita membuat kedalaman pemahaman itu sesuai dengan pengalaman-pengalaman kehidupan kita sendiri di antara perjumpaan pengalaman dengan realitas yang sesungguhnya.

Dalam pemahaman ini, hemat saya “Sepanjang Detak Waktu” (SDW) telah mencapai titik kontekstualisasi perjumpaannya pada debur-debur semesta. Saya mencatat, misalnya, 18 judul puisi dari 76 puisi dalam SDW yang menggunakan kata depan atau preposisi di”. Fungsi utama preposisi “di” adalah menyatakan tempat. Dalam konteks ini, preposisi “di” menukik atau menunjuk pada satu titik atau lokasi perjumpaan. Di sinilah kontekstualisasi dari apa yang saya sebut sebagai penjelajahan kemanusiaan. Judul-judul puisi dimaksud adalah Di Jantung Malam, Di Bulan Uzur, Di Teras Rumah, Di Tanah Ini, Bias Di Awal Tahun, Di Bawah Rembulan, Di Stasiun Kereta, Di Taman Ini, Di Bukit Ini, Di Atas Pasir, Malam Di Bukit Ini, Di Laut Malam, Berkaca Di Air Keruh, Di Tengah Badai, Purnama Di Bukit Ini, Pergimu Di Ubun Pagi, Di Jantung Kota, dan Di Restaurante.

Penjelajahan kemanusiaan bertemu dengan keindahan. Manusia sebagai homo educandus,  semesta alam raya, dan ruang kosmis adalah pengalaman keindahan itu. Kisah-kisa perjumpaan yang dilukis gamblang dan mempesona dalam SDW menjadi pengalaman yang vital yang tidak lain adalah cuatan keaslian ekspresi penulis yang sensibilitas. Pengalaman-pengalaman yang hebat serta refleksi dalam ragam perasaan dan nuansa natural itulah disampaikan dengan figura bahasa yang baik. Secara umum, SDW mendapat amplifikasi (perkuatan) secara kontras yang kaya ekspresi figuratif personifikasi. Penulis menghayati hidupnya dalam semangat perjumpaan sebagaimana hidup itu sendiri sebagai seni. Kita pun diajak untuk menikmati hidup itu layaknya sebuah karya kreatif (seni). Saya dan Anda harus membaca buku ini, terutama mahasiswa, dosen dan mereka yang menggandrungi dunia sastra. (*)

 

 



[1] Epilog untuk Antologi Puisi “Sepanjang Detak Waktu” (SDW) karya Ignasius Ukun Kaha (Ignas Kaha), Lahir di Augelaran, Solor Barat, Flores Timur, pada tanggal 24 Desember 1975. Pernah belajar Filsafat dan Teologi di STFK Ledalero, Maumere, dari tahun 1997 hingga tahun 2004. Sekarang berkarya sebagai Misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) di Mozambique, Afrika. Prolog Antologi Puisi “Sepanjang Detak Waktu” (SDW) ditulis oleh Dr. Fidelis Regi Waton, SVD–Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Sankt Augustin, Jerman.

 

[2]  Dosen Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende.