Halaman

Rabu, 19 April 2023

Hubungan Antara Bahasa dan Pikiran (3-selesai)

                     Cogito Ergo Sum: (Saya berpikir maka saya ada), 

demikian tesis Rene Descartes

 

Mempertalikan hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain. Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda, yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam penampilan kegiatan yang sama. Pada bagian ini akan dideskripsikan sejenak tentang bahasa dan pikiran sebagai dua macam peneampilan kegiatan yang sama.


Bahasa dan Pikiran Sebagai Dua Macam Penampilan Kegiatan yang Sama 

Perspektif ketiga ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa dan pikiran sebagai dua macam kegiatan yang sama dapat dipandang dari dua indikator, yakni (1) keduanya mewakili kategori-kategori kognitif tertentu; dan (2) keduanya mewakili kategori-kategori sosial. Kategori-kategori kognitif muncul sebagai tanggapan atau respon terhadap berbagai macam informasi yang diterima manusia melalui berbagai indranya. Selanjutnya, bagaimana manusia memprosesnya dalam pikiran, memilah-milah dan mendistribusikannya untuk sebuah penyimpanan dalam ingatan (storage) dan menemukannya kembali (retrieve). Greenberg (dalam Djojosuroto, 2007: 274-279), menyebut kegiatan memproses, menyimpan dan mendistribusikan pesan sebagai kategorisasi.  Menurutnya kategorisasi tersebut berupa kategorisasi bilangan, peniadaan, sebab dan akibat, dan waktu. Kategori-kategori sosial mendeskripsikan keadaan hidup manusia sebagai makhluk sosial dan kultural. Dengan demikian, kategori-kategori sosial ini dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni perkerabatan; kata ganti orang; ungkapan-sapaan; dan kelas sosial.

Dari konsep-konsep yang diperikan di atas tampaknya bahwa bahasa dan pikiran umpama sepasang anak kembar yang susah untuk dibedakan. Keduanya berperawakan sama, sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Namun, yang pasti bahwa bahasa dan pikiran menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek yang “berkelimpahan”. Sebagai makhluk individual sekaligus menjadi makhluk sosial yang seanantiasa menciptakan dan mengkreasikan sebuah kehidupan agar lebih dinamis. Dari sudut pandang ini, bahasalah menjadi senjata terakhir dan satu-satunya dianggap tepat untuk setiap situasi dan konteks. Ada saatnya manusia menyimpan pesan dan ada saatnya manusia memproduksi pesan. Dalam konteks demikian, bahasa dan pikiran menjadi media vital dan primer yang mau tidak mau perlu dijaga, disadari agar dapat digunakan secara baik dan lestari. (*)

Daftar Bacaan

Brown, H.Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Diterjemahkan oleh Nor Cholos dan Yusi Avianto Pareanom). Jakarta: Kedubes Amerika Serikat, Pearson Education Inc.

Bakker, Anton. 1986. Metode-metode Filsafat. Jakarta:  Ghalia Indonesia.

Bourdieu, P. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Havard University Press.

Clark,Herbert H, dan Eve V. Clark. 1977. Psychology and Language. New York: Harcourt Brace Juvanovich, Inc.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Dardjowidjojo,Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan OBOR Indonesia.

Ellis,Rod. 1994. The Study of Second Langage Acquicition. Oxford: Oxford University Press.

Kadarisman, Efendi. 2009. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Saryono,Djoko. 2010. Pemerolehan Bahasa: Teori dan Serpih Kajian. Malang: Nasa Media.

Wareing, Shan &Thomas, Linda. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Abdul Syukur Ibrahim (Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hubungan Antara Bahasa dan Pikiran (2)

 


Mempertalikan hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain. Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda, yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam penampilan kegiatan yang sama. Pada bagian ini akan dideskripsikan sekilas tentang bahasa dan pikiran amat erat hubungannya.

Bahasa dan Pikiran Amat Erat Hubungannya 

Perspektif pertama dalam mengkontraskan hubungan antara bahasa dan pikiran memang menampilkan sebuah nuansa yang sangat halus dan tipis. Secara serta merta kita tentunya sepakat bahwa antara bahasa dan pikiran tidak terdapat jedah, celah, batas pemisah karena keduanya adalah satu, tunggal (mono). Hubungan ini telah menjadi petualangan pemikiran Edward Sapir dan muridnya Benjamin Lee Whorf. Hasil pemikiran mereka terakumulasi dalam sebuah hipotesis yang disebut dengan Hipotesis Shapir–Whorf, atau secara simpel disebut sebagai Hipotesis Whorfian. Menurut hipotesis ini hubungan antara bahasa dan pikiran dapat ditafsirkan dari dua sisi, yakni teori relativitas linguistik, dan teori determinisme linguistik. Teori relativitas linguistik menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan bahwa perbedaan-perbedaan ini akan tampak atau terkodekan dalam bahasa. Digunakan term relativistik dalam hipotesis ini, berarti tidak ada cara yang mutlak atau alami secara absolut untuk memberikan label pada isi dunia ini. Kita dapat memberi label atau menamai sesuatu tentunya berangkat dari persepsi kita yang berbeda-beda tentang sesuatu itu, dan karena itu bersifat relatif, dalam arti berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. (Thomas &Wareing, 2007: 38).

Teori determinisme linguistik, menyatakan bahwa  bukan hanya persepsi kita terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa kita, melainkan bahasa yang kita gunakan juga dapat mempengaruhi cara berpikir secara sangat mendalam. Bahasa bisa dikatakan sebagai kerangka (term of reference) dari pemikiran (Kadarisman, 2009: 38), kita yang memampukan kita untuk berbicara atau berpendapat, berurun rembuk secara bergayut, runtut, sistematis, dan teratur.

Secara linguistis, dikatakan bahwa bahasa adalah data pemikiran. Selain bahasa secara sosial digunakan sebagai alat komunikasi, namun bahasa juga digunakan untuk proses berpikir itu sendiri. Pikiran memiliki peran strategis dalam kegiatan menyimak, menyimpan dan memproses sampai memproduksi pesan atau ide atau tahapan pengujaran. Gagasan-gagasan atau pesan-pesan yang tersimpan akan dieksplor melalui untaian-untaian fonologis berupa pesan kepada pendengar dalam kegiatan komunikasi. Eksplorasi pesan tersebut menggunakan media berupa simbol-simbol atau lambang bahasa yang menjadi konvensi dan kesepakatan bersama berdasarkan konteks komunikasi yang sedang dibangun. Dengan demikian, bahasa bukan menjadi sebuah alat mati dan statis dalam pikiran, tetapi secara logika mempunyai peran yang sangat strategis dalam kehidupan secara umum.

Clark &Clark menyebut Hipotesis Shapir–Whorf, sebagai “versi kuat”, ketika banyak kritikan terhadap hipotesis ini. Clark &Clark tidak menolak hipotesis tersebut, tetapi mengajukan suatu “versi lemah” yang berbunyi ada pengaruh struktur bahasa pada cara berpikir orang, dan melalui pikiran orang dapat juga mempengaruhi perilakunya. Sampai di sini, adagium klasik “bahasa menunjukkan identitas” mungkin masih relevan untuk menjembatani pemahaman tentang hubungan ini. Karena itu, perilaku seseorang tidak hanya mewujud dari cara berbahasa saja, namun tampak juga dari aspek-aspek non verbal lainnya. Dan, menurut saya faktor terakhir inilah menjadi nyata dan riil untuk menilai dan menyelami diri seseorang. (*)


Hubungan Antara Bahasa dan Pikiran (1)

 

Cogito Ergo Sum: (Saya berpikir maka saya ada), 

demikian tesis Rene Descartes


Mempertalikan hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain. Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda, yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam penampilan kegiatan yang sama. Bagian pertama ini, akan dipaparkan tentang bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda.

Bahasa dan Pikiran Adalah Dua Hal yang Berbeda


Dikotomi ini sesungguhnya telah diretas jauh sebelumnya oleh Wilhelm Von Humboldt (Kadarisman, 2009: 33) yang pada akhirnya disebut sebagai hipotesis relativitas kebahasaan (Bdk. Djojosuroto, 2007). Menurut Humboldt, terdapat hubungan yang erat antara masyarakat, bahasa dan budaya. Hubungan ini oleh Gumperz (dalam Kadarisman, 2009: 34) sebagai tritunggal: satu bahasa, satu masyarakat, satu budaya. Setiap bahasa berbeda dari bahasa lainnya, dan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua entitas yang tak terpisahkan.  Bahwa bahasa bertugas membentuk weltanshauung, atau pandangan dunia seseorang (Brown, 2008:232). Hipotesis Humboldt di atas menyiratkan dengan terus terang bahwa bahasa seseorang sangat mempengaruhi pikirannya. Batas bahasaku adalah batas duniaku, yang dicanangkan oleh Wittgenstein semakin memperkuat penalaran ini.

Ketika ada dua orang, katakan yang satu adalah pebelajar asing yang sedang belajar bahasa Indonesia, dan yang satunya adalah penutur bahasa Indonesia yang nota bene adalah cendik pandai, sama-sama diminta untuk menarasikan sebuah obyek yang sama (contohnya: buah apel), maka narasi yang dibeberkan akan sangat jauh berbeda antara keduanya. Penutur asing pasti akan sangat kesulitan bahkan mencari-cari, mungkin juga mengernyitkan dahi terus-menerus memilih kata bahasa Indonesia yang terkait dengan buah apel. Kita akan mendapatkan sebuah narasi yang terputus-putus, bahkan tidak merepresentasikan obyek yang ada. Hal ini dapat dipahami bahwa penutur asing masih sangat keterbatasan kosa akat bahasa Indonesia. Kondisi yang berbeda terjadi pada penutur asli bahasa Indonesia. Dia akan begitu mudah, gampang, dan tanpa kesulitan untuk mendeskripsikan buah apel secara jelas, bahkan mungkin disertai gaya dan pilihan kata yang sangat menarik dan elegan.

Ilustrasi ini bagi saya sangat bersimetris dengan pernyataan bahwa bahasa dan pikiran merupakan dua hal yang berbeda. Dengan demikian, penguasaan bahasa (kosa kata) sangat mempengaruhi kualitas berbahasa seseorang. Realitas dunia nyata, eksistensi kefanaan manusia dan kekuasaannya dapat terselami dengan dalam dan komperhensif hanya dengan bahasa, karena bahasa itulah menggerakkan pikirannya untuk mengungkap sesuatu yang ada di sekitarnya. Relativitas bahasa yang demikian, seaspirasi dengan pemikiran seorang Saussura tentang penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda (signifier) mengacu pada bentuk atau form sebuah bahasa, sedangkan petanda (signified) mengacu pada makna yang ada pada bentuk bahasa yang diacu. Namun demikian, hubungan antara penanda (signifier), dan petanda (signified) bersifat sewenang-wenang (arbitrer).(*)

Daftar Bacaan

Brown, H.Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Diterjemahkan oleh Nor Cholos dan Yusi Avianto Pareanom). Jakarta: Kedubes Amerika Serikat, Pearson Education Inc.

Bakker, Anton. 1986. Metode-metode Filsafat. Jakarta:  Ghalia Indonesia.

Bourdieu, P. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Havard University Press.

Clark,Herbert H, dan Eve V. Clark. 1977. Psychology and Language. New York: Harcourt Brace Juvanovich, Inc.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Dardjowidjojo,Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan OBOR Indonesia.

Ellis,Rod. 1994. The Study of Second Langage Acquicition. Oxford: Oxford University Press.

Kadarisman, Efendi. 2009. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Saryono,Djoko. 2010. Pemerolehan Bahasa: Teori dan Serpih Kajian. Malang: Nasa Media.

Wareing, Shan &Thomas, Linda. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Abdul Syukur Ibrahim (Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-Undang Karya Sastra: Intelek, Moral, dan Estetika

 

Terdapat prinsip-prinsip umum atau semacam undang-undang kesusastraan dalam istilah George Henry Lewes untuk mengatur koridor penciptaan karya sastra, yaitu intelek (principle of vision), moral (principle of sincerity), dan estetika. Tiga undang-undang kesusastraan tersebut merupakan batu tungku menghasilkan karya sastra yang baik. Ketiganya saling menopang. Gairah pengarang untuk mempertahankan kaidah-kaidah kemanusiaan sebab karya sastra juga mendetil tentang wawasan, pengalaman, imajinasi, memori, idealisme, realitas, dan sebagainya.

Intelek, Moral, dan Estetika

        Intelek menuntut sang pengarang untuk menatap sesuatu secara jernih, jelas, apakah itu berupa fakta-fakta atau ide-ide dalam kebeningan dalam hubungannya dengan obyek-obyek. Ini agar pembaca juga mampu menangkap atau melihat dengan jernih dan jelas fakta-fakta tersebut. Moral (sincerity) bermakna pengarang tidak mengibuli publik karena ia bertolak dari keyakinan dan kesungguh-sungguhan. Oleh karena itu, ia bertumpuh dari kejujuran dengan ketidakjujuran yang disampaikan merupakan keyakinan untuk membuat publik percaya. Bukan sebaliknya. Sebab ketidakjujuran adalah kelemahan, sedangkan kejujuran adalah kekuatan. Estetika merupakan kemampuan menampilkan karya yang indah dari segala komposisi dan gaya. Kemampuan ini bertolak dari apa yang disebut grace, sesuatu yang meluhurkan budi nurani manusia.
        Oleh sebab itu, kebenaran (truth) adalah tujuan kesesastraan, kejujuran adalah moral kebenaran, dan kecantikan adalah estetika kebenaran. Jika ketiganya dipadukan oleh pengarang dalam karya sastra, maka karya sastra tersebut telah memberikan sumbangan berharga bagi umat manusia secara khusus sumabngan bagi masyarakat pembaca. Ini bertujuan untuk menjaga iklim pikir tentang pengalaman kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. (Nadeak, 1984: 63–64).

Senin, 17 April 2023

Bulan April Sebagai Wula Balu Re'e



Manusia mengalami satuan waktu sebagai satu sekuens yang terjadi secara berturut-turut dalam satu rentangan yang dikenal dengan khronos, seperti urutan hari, urutan minggu, urutan bulan, dan urutan tahun. Selain itu, ada sekuens waktu yang disebut khairos, yakni waktu penting di mana beberapa hal atau peristiwa penting serentak terjadi bersamaan dan sekaligus menjadi perhatian khusus dalam suatu komunitas etnik atau masyarakat tutur. Hampir semua masyarakat etnik di dunia ini mengalami sekuens waktu yang demikian.

Dalam kalender masyarakat tradisional etnik Lio, sekuens waktu sangat ditentukan oleh perilaku dan tata kelola petani dalam sistem pertanian tradisional. Nama bulan dengan prosesi sejumlah kegiatan ritual adat menjadi dasar pembagian waktu dalam setahun tersebut. Berbagai ritual pertanian tradisional  dilaksanakan dengan padi dan jagung menjadi fokus atau pusat perhatian masyarakat Lio. Hal yang sama juga kita jumpai pada masyarakat agraris lainnya.

Kalender Tradisional Etnik Lio

Dalam kalender masyarakat Lio, Bulan April ini disebut sebagai wula balu re'e. Dalam bulan ini dilaksanakan upacara keti uta/sepa uta/nggua uta atau ka pesa delu. Upacara ini ditandai melalui masyarakat petani memberikan sesajen kepada dewa dan dewi penguasa langit dan bumi (Du'a lulu wula ngga'e wena tana). Ini dilaksanakan sebagai tanda syukur dan terima kasih atas hasil panen baru. Para petani mulai mengonsumsi sayur dan jagung muda yang merupakan makna kegiatan dalam wula balu re'e ini. Makan atau mengonsumsi hasil panen baru merupakan tanda pembaharuan diri dan komunitas. (*)

Jumat, 14 April 2023

Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran

 

Pendidikan menjadi bagian penting yang terintegral dengan bagian-bagian lain pembangunan dalam seluruh rangkaian proses pembangunan bangsa. Dengan kata lain, proses berlangsungnya pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan secara umum diarahkan dan betujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagai suatu proses pendidikan diarahkan dalam rangka membentuk peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya dan memungkinkannya pula untuk berkarya secara kompeten dalam kehidupan bermasyarakat. Keberhasilan pendidikan bangsa sangat erat kaitannya dengan sekolah, lembaga formal tempat berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas maupun di luar kelas. Karena pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Dalam melihat dan memandang keberadaan sekolah sebagai sebuah tempat terjadinya proses belajar-mengajar, proses pendidikan diharapkan untuk berlangsung dalam suasana kebersamaan sebagai sebuah cerminan miniatur pola kehidupan insani suatu masyarakat yang kompleks. Guru adalah sosok atau anggota suatu masyrakata. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik dan pengajar guru diharapkan dapat melamapui tugas mulianya, yakni menjadi “kreator” pembelajaran. Agar rencana dan pelaksanaan pembelajaran membuat peserta didik lebih kreatif dan inovatif.

Karena itulah, proses pendidikan juga adalah upaya atau proses pelatihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, pikiran, karakter dan seterusnya, khususnya melalui persekolahan formal. Pemahaman seperti ini mendasarkan diri pada pemahaman bahwa pendidikan memiliki sifat dan sasaranya yaitu untuk kesejahteraan manusia. Manusia sebagai individu mengandung banyak aspek karena sifatnya yang sangat kompleks. Karena itu, tidak ada suatu batasan yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan pendidikan yang dibuat para ahli tampak begitu beraneka ragam, dan kandungannya berbeda antara satu dan yang lain. Batasanyang ada  bertujuan untuk memberi arah atau cakupan pelaksanaan pendidikan nasional itu sendiri (Tilaar: 2002: 67).

Beeraneka ragam pendekatan yang dapat diterapkan oleh guru dalam menyampaikan pembelajarannya di kelas. Pemilihan aneka pendekatan pembelajaran tersebut tentu disesuaikan dengan karakteristik dan kedalaman materi yang akan disampaikan kepada siswa. Aspek sederhana, murah, mudah, dan efektif menjadi titik perhatian pemilihan pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan yang digunakan guru dalam membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran adalah pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning). Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Pendekatan kontekstual adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak karena menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari peserta didik (Jhonson, 2012:57).

Kontekstual memfokuskan diri pada pembangunan ilmu, pemahaman, keterampilan peserta didik, dan juga pemahaman kontekstual peserta didik tentang hubungan mata pelajaran yang dipelajarinya dengan dunia nyata. Pembelajaran akan lebih bermakna apabila guru menekankan agar peserta didik lebih mengerti relevansi akan apa yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi kehidupan nyata di mana isi pelajaran akan digunakan.

Tujuan pembelajaran kontekstual adalah untuk membekali peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan (skill) yang lebih realistis karena inti pembelajaran berbasis kontekstual adalah untuk mendekatkan hal-hal yang teoretis ke hal-hal atau persoalan-persoalan yang bersifat praktis. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual diusahakan agar teori yang dipelajari teraplikasi dalam situasi riil. Bagi guru metode ini membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan sebelumnya dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka di masyarakat (Nurhadi, 2009: 50). Perubahan pola atau paradigma pembelajaran sebagaimana yang disajikan di atas, telah memberikan gambaran bahwa telah terjadi perubahan atau peralihan pola-pola pendekatan pembelajaran di kelas. (*)

Sabtu, 01 April 2023

Pengantar Memahami Teori Sastra


 


A.    Awal Mula Kesusastraan

Bentuk-bentuk sastra, seperti dongeng, drama dan sajak-sajak ternyata sangat disenangi anak-anak. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa pada umur-umur seperti inilah anak-anak mulai mengenal sifat-sifat sastra. Anak-anak balita (bawah lima tahun) lebih suka bercerita dan mendengarkan sebuah dongeng. Mereka akan lebih cepat mengetahui bagaimana dongeng tersebut mengisahkan kegagalan dan keberhasilan orang dalam mengarifi dunia ini. Sosok Lia dan Leo sepasang kakak beradik yang selalu berhasil dalam hidupnya. Juga Nalna dan Nalni yang sangat tidak beruntung dalam hidup atau selalu mengalami kegagalan dalam setiap pekerjaannya. 

Proses pemerolehan sifat sastra ini juga lewat pengamatan melalui media elektronik. Dari media televisi, misalnya mereka akan memperoleh sebuah bentuk campuran sastra, yaitu cerita dan drama. Pada suatu ketika mereka akan diajak untuk mengenali sastra yang sesungguhnya. Mereka akan diajak untuk bermain drama atau pentas untuk anak-anak. Dari sinilah mereka akan sendiri membedakan antara cerita fiksi dan laporan peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh terjadi.

Peralihan pemerolehan pengajaran sastra ke pembelajaran sastra hamper tidak disadari. Peralihan berlangsung secara mendadak, tetapi berlangsung dalam sebuah proses yang berkelanjutan. Pada bangku Sekolah Menengah Pertama para siswa dilatih untuk belajar membaca dengan baik. Kemudian di Sekolah Menengah Atas, para siswa dihadapkan dengan apa yang disebut sebagai sastra. Sastra dalam kurikulum pengajaran di sekolah (SD SMA) merupakan bagian integral dari pengajaran bahasa dan pengkajian teks.

Perhatian untuk sastra untuk sebagian disebabkan oleh faktor-faktor historis dan sosial. Ada asumsi bahwa pengajaran sastra dipergunakan untuk meneruskan nilai-nilai yang telah ada, tanpa terlalu mengeritiknya. Asumsi ini membuat kalangan orang hanya menyediakan tempat sederhana bagi sastra dalam rangka pengajaran teks. Mempelajari sifat teks-teks sastra secara sistematik serta fungsinya di dalam masyarakat dapat membantu kita untuk mengerti teks tersebut dengan lebih baik, sehingga kita lebih tertarik juga untuk membaca sastra.

Diyakini sebagian atau sekelompok orang menaruh perhatian dan memberikan tempat yang cukup intens atas sastra. Oleh karena itu, sesungguhnya pengajaran sastra hendaknya menjadi pengajaran yang otonom dan berdiri sendiri, terlepas dengan pengajaran bahasa, kendatipun ada alasan-alasan yang adekuat untuk membaurkan dua model pembelajaran yang berbeda tersebut.

Seni sastra diamati sebagai kenalaran sistematis pada instasi rasional yang terakhir adalah primer ‘mengungkapkan ada (das Sein) manusiawi kita yang melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, seni sastra merupakan sebuah bidang kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului cabang-cabang kebudayaan lainnya. Sebelum adanya ilmu pengetahuan dan teknik, kesenian sudah hadir sebagai media ekspresi pengalaman estettik manusia berhadapan dengan alam sebagai penjelmaan keindahan (Taum,1997:9). Ekspresi pengalaman itu bersifat dan menggembirakan manusia, karena di dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab antara dirinya dengan sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat, dan memanggil manusia kepada-Nya.

Mengacu pada ilustrasi di atas, Mangunwijaya menegaskan, “Pada awal mula, segala sastra adalah religius”. Di lain sisi, filsuf Prancis J. Maritain, mengungkapkan bahwa sastra merupakan interaksi antara manusia dan hakikat alam raya. Gagasan Maritain tersebut tercemin dalam contoh, ‘suara burung elang pada akhir musim kemarau menggerakan rasa rindu seorang pemuda pada kekasihnya’.

Sekalipun terminologi sastra (literature) dengan pengertiannya baru muncul di Eropa pada akhir abad ke-18, sastra sesungguhnya berakar dari masa prasejarah dalam wujud sastar lisan dan bentuk-bentuk mitos. Mitos merupakan wilayah kesustraan, oleh Carl Jung disebut sebagai memori rasial, difusi historis, dan kesamaan dasar dalam pemikiran manusia. Richard Case kemudian menyebut mitos sebagai karya sastra yang harus dipahami sebagai kreasi estetik dari imajinasi manusia. Sebagai ekspresi kesenian, mitos mengungkapkan kekuatan magis impersonal yang mengacu kepada pengalaman akan hal-hal yang luar biasa indah, menakutkan, mengagumkan, dahsyat yang berkaitan dengan emosi-emosi preternatural.

Mitos membentuk acuan (matrix), dan dari acuan itu muncul sastra yang bersifat psikologis, historis, mitis, religius, simbolis, ekspresi, dan impresif. Elemen-elemen kesustaraan, seperti alur, tema, perwatakan dan citraan pada umumnya ditemukan pula dalam mitos dan cerita-cerita rakyat (folklore). Kalau dicermati, mitos sesungguhnya dapat merangsang penciptaan seni, dan lebih dari itu, menawarkan konsep dan pola-pola kritik yang dapat dimanfaatkan untuk menginterpretasikan karya sastra.

Sastra bagaimanapun, memiliki kualitas-kualitas mistis karena mulanya orang bersastra untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman mistik dengan menghayati realita-realita palling mendasar dari ekssistensi manusia, kelahiran, kematian, kesakitan, ketakutan, dan pendambaan keselamatan yang merupakan dimensi-dimensi transedentalnya.

Dalam studi sastra dikenal dua macam sastra, yaitu sastra serius atau sastra interpretif (ingterpretive literature), yaitu sastra untuk ditafsirkan, dan sastra hiburan atau sastra pop atau sastra untuk pelarian (escape literature). Sastra serius cenderung merangsang pembaca untuk menafsirkan atau menginterprestasikan karya sastra itu, sedangkan sastrahiburan adalah karya sastra untuk melarikan diri (escape) dari kebosanan, dari kejenuan, kejumudan dari rutintas sehari-hari, atau masalah-masalah yang sukar diselesaikan. Oleh karena itu, bersifat menghibur dan karena itu banyak digemari. Karena banyak digemari, maka sastra hiburan juga dinamakan sastra pop, sastra yang popular.

Sastra serius merangsang untuk menafsirkan, tidak lain karena mendorong membaca untuk termenung. Sastra serius merangsang pembaca untuk membaca, namun tidak untuk menafsirkan. Sastra ini untuk iseng semata, dan karena itu, tidak meninggalkan kesan yang serius dan tidak menambah wawasan. Cirinya, menampilkan tokoh-tokoh yang tampan, vulgar, kaya dicintai dan dikagumi, serta sanggup mengatasi segala masalah dengan mudah. Pembaca akan terpancing untuk melakukan identifikasi diri (sel identification) seolah dirinya tidak lain adalah tokoh itu sendiriPembaca akan merasa dirinya hebat, sementara dalam kehidupan sehari-hari justru sama sekali dia tidak hebat. Maka, sastra hiburan  yang tidak lain adalah wishful thinking, impian-impian yang tidak mungkin dicapai. Pembaca berhadapan dengan ilusi bukan masalah hakiki kehidupan.

Karya seni yang baik, menurut George Santayana adalah menampilkan gema kesan berkepanjangan dalam pikiran dan jiwa seseorang yang mampu menghayati karya seni itu dengan baik. Sastra serius menawarkan renungan (kontemplasi) yang dalam, dank arena itu pada saat pembaca selesai membaca dia akan renung berkepanjangan. Kendatipun renungan ini muncul kembali dan memberi suasana kontemplatif.

Beberapa kriteria yang umum dipakai, tentang sastra, pertama, pada zaman Aristoteles hanya ada dua genre, yaitu puisi dan drama. Drama dibagi dalam tiga subgenre, yaitu  tragedi, komedi dan tragic-komedi. Yang dianggap paling tinggi nilainya adalah tragedi. Karena drama ditulis dalam genre puisi, maka karya sastra yang baik dianggap mempunyai nilai puitik (puitic) yang tinggi. Nilai puitik drama tragedi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu pity, terror, dan catharsis (katarisis). Contoh, tiga faktor itu dapat dilihat dalam semua drama tragedi Yunani Kuno sampai William Shakespeare pada abad ke-17. Segala tindakan dapat menimbulkan pity, rasa kasihan pada penonton atau pembaca. Segala malapetaka, termasuk ketika dia membutakan matanya sendiri menimbulkan teror, rasa takut, rasa diteror, rasa ngeri. Ketika penonton merasa dirinya bersih, tidak tercemari lagi oleg dosa dan kesalahan, maka penonton mengalami chatarsis yang tebebas dari pity dan terror.

Kedua, Horace (Horatis) menganggap karya seni yang baik, termasuk sastra, selalu memenuhi dua butir criteria. Unsur dulce, et utile, rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan. Sastra harus bagus, menarik, dan  memberi kenikmatan. Sastra harus memberi manfaat atau kegunaan, antara lain kekayaan bathin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral. Masalah moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujung-ujungnya menyangkut masalah kreativitas. Moral akan mengurangi nilai estetika karena mengganggu kenikmatan pembaca. Contoh, novel Sutan Takdir Alisjahbana Layar Terkembang. Novel ini menuai berbagai kritik karena moral novel ini sangat jelas: semua bangsa Indonesia, khususnya pemuda dan pemudi harus berpikir ke depan, ke dunia barat yang maju. Karena itulah, novel ini dianggap sebagai    “esai berbaju novel”. Esai tidak lain adalah khotbah.

Dalam Belenggu, misalnya, tampak kehidupan keluarga yang bobrok. Tokoh-tokoh utamanya, bukanlah orang-orang yang bersih. Tono, sang suami, menyeleweng dengan seorang perempuan yang bernama Rohaya, sementara Tini, istrinya patut diragukan keperawanannya ketika menikah dengan Tono. Sebagai seorang yang berpikiran modern dengan oreintasi Barat, Tono dapat menerima Tini dengan baik, tampa mempertimbangkan masa lampau Tini. Ketika sudah menjadi istri Tono, Tini pernah pula berhubungan dengan mantan kekasihnya dulu. Perkawinan akhirnya buyar. Dari segi moral, Belenggu benar-benar negatif. Namun, justru dengan moral negatif inilah estetika Belenggu lebih baik daripada nilai estetika Layar Terkembang. Nilai kontemplatif Belenggu lebih tinggi, dan karena itu, dan  karena itu sampai sekarang Belenggu masih diperbincangkan dengan semangat tinggi, sementara Layar Terkembang hanya dicatat sebagai sebuah bagian dalam sejarah sastra.

Ketiga, keberhasilan Jane Austen dan pengarang-pengarang lain dalam mengatasi dilema tuntutan moral melahirkan criteria lain, yaitu bentuk (form) dan isi (content) harus seimbang. Bentuk adalah cara atau teknik menulis, sedangkan isi adalah pemikiran yang akan dituangkan dalam karya sastra. Bentuk yang terlalu baik akan melahirkan karya sastra yang kosong, sedangkan isi yang baik tanpa diimbangi oleh bentuk yang teat akan melahirkan karya sastra yang menggurui.

Salah satu bagian adalah bahasa. Bahasa yang baik dengan isi tidak bermutu akan melahirkan retorika kosong belaka. Moral sementara itu masuk dalam kapling isi. Perimbangan yang baik antara bentuk dan isi menyangkut masalah moral. Namun, dalan sastra modern ada kecenderungan untuk  mengabaikan moral, sebagaimana tampak dalam Belenggu di atas. Isi dengan sendirinya tidak lepas dari konsep pengarangnya. Konsep ini tampak dalam aliran pengarang masing-masing. Sajak-sajak William Wordworth, selalu dipenuhi oleh bahasa sehari-hari, serta pemujaan terhadap alam sebagai penuntun kehidupan manusia. Dia beraliran romantisme. Theodore Dreiser, selalu menggambarkan dunia kelas bawah yang ambisius dan akhirnya gagal mencapai kebahagiaan, tidak lain karena dia penganut naturalisme.

Keempat, E.M. Forster, seorang novelis dan teoritikus sastra, dalam Aspects of the novel, antara lain menulis mengenai cerita, plot, serta tokoh dan penokohan. Cerita itu adalah sebuah peristiwa lain, kemudian diikuti oleh peristiwa lain lagi, dan seterusnya. Plot merupakan rangkaian peristiwa yang diikat oleh sebab-akibat.

Contoh cerita, Dia kemarin berangkat dari rumah ke kantor jam 07.00 pagi, sampai di kantor jam 08.00 pagi, kemudian dia langsung  bekerja sampai 12.00, lalu beristirahat makan siang sampai jam 13.00, melanjutkan pekerjaannya sampai jam 17.30, lalu dia pulang, sampai di rimah dia membaca Koran sebentar, lalu mandi, dan seterusnya. (Tugas: buatlah sebuah contoh cerita). Contoh plot, Raja sakit, karena itu dokter segera dipanggil. Namun, ternyata dokter tidak sanggup menyembahkan Raja, dank arena itu dipanggilah dokter terkenal dari luar negeri. Ternyata dokter ini pun tidak sanggup menyembuhkan Raja. Sakit Raja makin parah, dank arena itu Ratu makin sedih. Pada suatu hari, setelah melali masa-masa kritis, Raja pun wafat. Karena Raja wafat Ratu bertambah sedih, dan akhirnya Ratu pun meninggal dunia.

Menurut teori, karya sastra yang baik bukan sekedar cerita, tapi plot. Antara satu peristiwa dengan peristiwa lain diikat oleh sebab-akibat. Kunci penting sebab-akibat adalah konflik, dan kunci konflik adalah tokoh dan penokohan. Sebagaimana manusia dalam kehidupan sehari-hari, masing-masing tokoh mempunyai watak sendiri-sendiridan kadang-kadang bertentangan dengan satu sama lain. Perbedaan watak inilah yang memicu timbulnya konflik, apalagi kalau watak-watak itu saling bertentangan.

Forster membagi tokoh menjadi dua, yaitu tokoh bulat (round character) dan tokoh pipih (flat character). Tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Tokoh pipih tidak mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Tokoh Bawang Merah dan Sinetron Bawang Merah dan Bawang Putih, sampai akhir tidak pernah berubah. Atau juga tragedy Shakespeare, Macbeth, sejak awal sampai akhir tetap serakah dan kejam. Titik berkat keserakaan itu terletak pada sifat buruk dia, yaitu ambisi yang berlebihan. Dia ingin menjadi raja, karena itu setiap orang yang menghalangi nafsu serakahnya itu harus dimusnahkan.

Tanpa interaksi tokoh satu dengan tokoh lain, konflik tidak akan terjadi, karena konflik merupakan bagian integral yang harus ada. Forster mengatakan bahwa kriteria konflik yang baik adalah konflik dilematis, tokoh berhadapan dengan dilema yang benar-benar tidak memberi kesempatan untuk melarikan diri.

Contoh konflik, dalam karya sastra Antigone karya Sophocles, dalam tragedi Yunani Kuno. Drama tragedy ini Raja Creon dari Thebes dikisahkan mempunyai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Dua anak laki-laki ini bermusuhan dalam perang saudara da akhirnya keduanya tewas. Oleh Creon, salah satu anaknya yang tewas ini dianggap sebagai pahlawan, sedangkan yang satunya dianggap penjahat. Mayat anak yang dianggap pahlawan dimakamkan dengan upacara kebesaran, sedangkan mayat anak yang dianggap pengkhianat  harus dilemparkan ke padang yang terbuka untuk menjadi makanan burung-burung liar, tanpa upacara sama sekali.

Antigone, anak perempuan tertua, menganggap bahwa dua saudaranya tadi harus dimakamkan secara layak, dank arena itu dia mempersiapkan sebuah acara pemakaman untuk menghormati abangnya yang mayatnya akan dibuang ke padang terbuka. Creon melarang, namun dia tetap pada pendirianya. Konflik yang dilematis harus dihadapi Antigone: Kalau dia menuruti kehendak ayahnya, salah satu mayat abangnya akan dinistahkan, dan kalau dia melanggar perintah ayahnya dia akan dihukum mati. Konsistensi dan motivasi Raja Creon sangat jelas, juga konsistensi dan motivasi Antigone. Sebagai tokoh-tokoh bulat Raja Creon dan Antigone sangat memenuhi persyaratan estetika sastra. Sebagai konsekuensi keharusan adanya konflik, muncul tuntutan lain,yakni klimaks, sebagai penentu penutup plot. Makin tinggi nilai estetika sebuah konflik, makin tinggi pula nilai estetika sebuah klimaks. Ada satu hal penting lain penutup plot cerpen adalan surprise.

Tokoh bulat, konflik, dan klimaks merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh sebuah karya sastra yang baik, namun surprise bukan merupakan tuntutan mutlak. Contoh, surprise, dalam cerpen Edith Wharton, “Demam Roma”. Pada penutup plot, baik pembaca maupun salah satu tokoh dalam cerpen ini, Elida Slade menyadari bahwa anak perempuan sahabat karibnya Grace Ansley tidak lain adalah anak kandung suami Elida Slade sendiri. Surprise di sini hanya berfungsi ntuk memberi kejutan kepada Elida Slade dan pembaca, tanpa fungsi lain yang berbobot.

B.     Pengertian Sastra

Robert Scoles menyatakan bahwa sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda. Tiga contoh pandangan berikut akan dikemukakan sebagai ilustrasi untuk menunjukkan perbedaan, bahkan pertentangan pendapat para ahli kesusastraan mengenai sastra maupun studi sastra atau teori sastra.

Rene Wellek & Austin Waren, sastra adalah kegiatan kreatif, sederetan karya seni. Sedangkan, teori sastra adalah studi prinsip, kategori dan kriteria  yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah dibidang sastra. Tidak mungkin kita menyusun teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra (dalam Taum, 1997:14). Dengan demikian, terlihat bahwa tugas teori sastra adalah menetapkan prinsip-prinsip, kategori-kategori dan kriteria-kriteria mengenai sifat sastra pada umumnya dengan memanfaatkan hasil-hasil kritik sastra dan sejarah sastra. Menurut mereka teori sastra bukan hanya sekadar alat bantu untuk mendukung pemahaman dan apresiasi perorangan terhadap karya sastra.

Jan Van Luxemburg, cs (1987) menggunakan istilah ilmu sastra dengan pengertian yang mirip dengan pandangan Wellek & Waren tentang teori sastra. Menurut mereka, ilmu sastra adalah ilmu yang memperlajari teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat. Tugas ilmu sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-ciri khas kesastraan dan fungsi sastra dalam Andre Lafevere, sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang masyarakat) secara umum dan sistematis (Taum, 1997:15).

Sastra memiliki dimensi personal dan sosial sekaligus. Menurut Lafevere, sastar adalah pengetahuan kemanusiaan (existential knowledge) yang sejajar dengan bentuk hidup itu sendiri. Sastra penting dipelajari sebagai sarana berbagai pengalaman (sharing) dalam mencari dan menemukan kebenaran kemanusiaan. Untuk itu tidak sekedar diperlukan persepsi, melainkan observasi. Persepsi berfungsi sebagai peta yang digunakan untuk mencari kebenaran dan kenyataan sesungguhnya. Observasi membuat kita terlibat secara aktif kepada aspek-aspek tertentu yang menarik perhatian kita. Hasil dimaksud tidak hanya memiliki (to have) kedalaman pemahaman, melainkan kita membuat (to make) kedalaman pemahaman itu sesuai dengan pengalaman-pengalaman kehidupan kita sendiri.

Upaya mendefenisikan sastra sudah banyak dilakukan, tetapi upaya-upaya tersebut, belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut.

1. Sering orang mendefenisikan terlalu banyak sekaligus. Sering dilupakan bahwa ada perbedaan khas antara sebuah defenisi deskriptif mengenai sastra: yang memberi jawaban terhadap pertanyaan, sastra itu apa?, dan defenisi evaluatif yang ingin menilai apakah sebuah karya sastra yang bai atau tidak. Apakah Layar Terkembang itu sastra atau tidak. Apakah Siti Nurbaya itu sastra atau tidak, dst.

2. Sering orang mencari defenisi ontologis mengenai sastra, yaitu sebuah defenisi yang emngungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa sastra hendaknya didefenisikan dalam situasi pemakai atau pembaca sastra.

3. Asumsi mengenai sastra, terlalu ditentukan oleh sastra Barat, khususnya sejak zaman Renaissance, tanpa memperti,bangkan bentuk sastra yang khas dalam lingkungan kebudayaan di luar Eropa, dalam zaman tertentu atau lingkungan sosial tertentu.

4. Ada defenisi-defenisi yang cocok untuk sejumlah jenis sastra, tetapi kurang relevan untuk untuk jenis sastra.

Singkat kata, pengertian tentang sastra sering dimutlakkan dan dijadikan sebagai tolok ukur universal, tanpa tanpa memperhatikan kenisbian historis sebagai titik pangkal. Berikut ini akan dikemukakan beberapa defenisi historis tentang sastra sejak zaman Romantik. Suatu ikthiar bahwa segala sesuatu itu pertama-tama mengandung nilai sejarah.

1. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra merupakan luapan emosi yang spontan. 

2. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain, sastra tidak berisifat komunikatif. Sartre menulis, kata-kata dalam puisi tidak merupakan ‘tanda-tanda’, melainkan’ benda-benda’.

3.  Karya sastra yang otonom bercirikan suatu koherensi. Adanya keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi.

4.  Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan, Pertentangan antara bentuk, pria dan wanita, roh dan benda, dst.

5. Sastra mengungkapkan hal-hal yang tak terungkapkan. Roland Bathers mengungkapkan bahwa menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan suatu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan.

Lalu sastra itu apa? Pertanyaan ini akan coba dijawab dari beberapa sudut pandang pemahaman berikut ini.

1.   Sastra ialah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis yang hanya berlangsung untuk sementara waktu saja. Hasil karya sastra juga bacaan-bacaan sastra cuma dijual di kios-kios atau diterminal bus tidak langsung bertujuan pragmatis, supaya langsung dipergunakan, tetapi ditawarkan sebagai bahan bacaan hiburan.

2.    Bagi sastra barat dewasa ini teks drama  dan cerita mengandung fiksionalitas.

3.    Puisi lirik tidak dinamakan ‘rekaan’. Istilah yang lebih pas adalah konvensi distansi, untuk mengambil jarak sehingga tidak setiap sajak yag menampilkan ‘aku’ kita anggap sebagai pengakuan pribadi sang penyair.

4. Bahan sastra diolah secara istimewa. Ada yang menekankan penyimpangan teradap tata bahasa (licentia poetica), dan mengandung unsur ambiguitas atau kepadatan arti.

5.  Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Sejauhmana tahap-tahap arti itu dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca.

Ditinjau dari aspek sudut karya situasi sastra, M.H. Abrams memeberikan sebuah bahan sederhana namun cukup efektif sebagai berikut:

(Realitas)

Universe

 

Work

(karya)

 

Artist                                                              Audience

       (Pencipta)                                                                        (Pembaca)

 

 

Rahman Selden mengklasifikasikan teori-teori sastra berdasarkan penekanan orientasi komunikasinya yang tampak sebagai berikut.

          Konteks

Pengirim                           Pesan                               Pendengar

                                      Hubungan

       Kode        (dikutip dari Taum,1997:17)

Selden kemudian memilih teori-teori sastra yang memperhatikan fungsi tertentu yang lebih ditekankan dibandingkan fungsi lainnya. Penilaian tersebut diilistrasikan dalam skema berikut.

   Marxis

 

            Romantik                                 Formalistik              Orientasi Pembaca

 

                                                            Strukturalistik

Keterangan:

Teori-teori Romantik menekankan pikiran penulis dan kehidupannya. Kritik sastra pembaca (atau kritik sastra fenomenologis) memusatkan diri pada pengalaman pembacaan. Teori-teori formalis berpusat pada benruk tulisan itu sendiri secara eksekusif. Kritik sastra Marxis memandang konteks sosiologis dan histories sebagai dasar. Teori sastra strukturalis memberikan perhatian kepada kode-kode yang digunakan untuk membangun makna. Teori-teori reseptif beroreintasi kepada peranan pembaca dalam penikmatan dan penilaian karya sastra.

 

C.     Masalah Definisi Sastra

Dalam bahasa-bahasa barat, istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin Literature (littera berarti huruf atau karya tulis). Istilah tersebut dipakai untuk menyebut tata bahasa dan puisi. Istilah Inggris Litterature, istilah Jerman Literatur, dan istilah Prancis Litterature yang berarti segala macam pemakaian bahasa dan bentuk tertulis. Dalam bahasa Indonesia kata sastra diturunkan dari bahasa Sansekerta (sas- mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan, akhiran tra- biasanya menunjukkan alat atau sasaran) yang artinya alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Misalnya, kamasastra- buku petunjuk mengenai seni cinta, silpasastra- buku petunjuk arsiktektur, dll.

Mencermati penjelasan di atas, maka tersirat sebuah pemahaman yang menimbulkan pertanyaan besar buat kita. Kalau istilah sastra semata-mata berkiblat kepada sastra tulis,apakah sastra lisan tidak termasuk sastra? Upaya untuk menghindari kerancuan di atas (gejala reitifikasi), yakni dengan menggunakan terminologi belle letters, sastra yang indah yang mutunya benar-benar tinggi, maka belle letters dianggap identik dengan sastra klasik. Makna klasik adalah kelas satu ditafsirkan sebagai kuno karena mampu bertahan melampaui berbagai zaman. Dalam konteks bahasa Indonesia, ada teoritis yang menyebut awalan –su dalan kata susastra yang berarti, baik, indah, perlu dikenakan pada karya-karya sastra untuk membedakannya dari bentuk pemakaian bahasa lain.

Foucoult, menyebutkan bahwa sastra modern lahir dan bertumbuh dalam kemapanan bahasa dan kungkungan pola-pola linguistik yang kaku. Oleh karena itu, sastra modern berlomba-lomba mentransgresikan dirinya pada suatu ruang yang abnormal. Sastra modern justru menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam kesadaran masyarakatnya. Fenomena Sade (yang menekuni bahasa dan keasingan dunia). Sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan habis-habisan. Pembaca justru diajak untuk merasa takut, jijik, ngeri, bodoh, emosi, marah, dan diam. (Sade adalah, seorang sastrawan narapidana Perancis yang memelopori model sastra ini).

 

D.    Letak Teori Sastra

   Studi sastra mempunyai tiga genre, yaitu teori sastra, kritik sastra, dam sejarah sastra.

1. Teori sastra (Theory Literatura), kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam analisa karya sastra.

2.  Kritik sastra (Literatura Criticism) penerapan kaidah-kaidah, rambu-rambu atau teori-teori tertentu dalam analisis karya sastra, seperti strukturalisme, dll.

3.  Sejarah sastra (History of Literature), sejarah perkembangan sastra yang mungkin meliputi alran-aliran dalam penulisa karya sastra (klasisme, romantisme, realisme, dalam sastra Barat yang mempunyai pengaruh terhadap sastra nusantara) periodisasi sastra (Zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, dll).

 

E.    Lima Cabang Studi Sastra

Selain tiga genre sastra yang telah disebutkan di atas, studi sastra juga mempunyai lima cabang sastra, yaitu:

1.    Sastra Umum (General Lierature).

Sastra pada umumnya tidak dikaitkan dengan bangsa, negara, atau wilayah geografi tertentu. Oleh karena itu, sastra umum berkaitan dengan gerakan-gerakan internasional, sebagaimana misalnya poetics dan teori sastra. Makna teori sastra sudah jelas, yakni kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam karya sastra. Poetics adalah ilmu mengenai: (a) keberhasilan sastrawan dalam menciptakan karya sastra. Sastarwan yang mampu menulis karya sastra yang baik memiliki kemampuan poetics yang tinggi, dan sebaliknya, dan (b) keberhasilan pembaca dalam menghayati arya satra. Pembaca yang mampu menghayati karya sastra dengan baik adalah pembaca yang memiliki kemampuan poetics yang tinggi, dan sebaliknya. Istilah poetics tercipta pada zaman Yunani Kuno, dan pada masa itu puisi merupakan genre satu-satunya, yang meliputi penyair dan pembaca.

2.    Sastra Nasional (National Literature)

Sastra bangsa atau Negara tertentu, misalnya sastra Brunai Darussalam, Sastar Indonesia, Sastra Malaysia, Sastra Inggris, dan lain-lain. Tempat seorang sastrawan dalam konteks sastra nasional tidak ditentukan oleh bahasa karya sastra sang sastrawan, tetapi oleh kewarganegaraan sastrawan tersebut. Sastrawan Singapura yang menulis dalam bahasa Inggris adalah tetap sastrawan nasional Singapura, dll. Ketika sastra nasional ditentukan oleh kewarganegaraan sastrawannya, timbul pertanyaan, apakah warna lokal dapat dianggap sebagai salah satu kriteria penting untuk menentukan sastra nasional?

Di Indonesia ada sastra daerah, yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa daerah. Misalnya, sastra Bali, Sastra Jawa, dan Sastra Sunda. Karena Indonesia menganut paham pluralisme, maka kebudayaan yang dianggap mewakili Indonesia adalah kebudayan nasional. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang dimaksud dengan kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah karena kebudayaan daerah berada di bawah kebudayaan nasional. Kedudukan sastra nasional Indonesia, dengan demikian juga berada di atas sastra daerah.

3.    Sastra Regional (Regional Literature)

Sastra dari kawasan geografi tertentu yang mencakup beberapa negara, baik yang mempergunakan bahasa yang sama maupun mempergunakan bahasa yang berbeda, seperti: (a) sastra ASEAN (sastra negara-negara anggota ASEAN) dengan bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan negara anggota masing-masing, dan (b) sastra nusantara, (sastra berbahasa Melayu/Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Malaysia).

4.    Sastra Dunia (World Literature)

Sastra Dunia, Ssatra yang reputasi para sastrawannya dan karya-karyanya diakui secara internasional. Sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai karya sastra besar dan diakui secara internasional, manakala karya sastra itu ditulis dengan bahasa yang baik, dan dengan tujuan untuk menaikkan harkat dan derajat manusia sebagai makhluk yang paling mulia.

Istilah ini mula-mula digunakan oleh Johan Wolfgang Von Goethe (1749-1832), seorang sastrawan dan pemikir Jerman. Bagi Goethe, sastra adalah sebuah dunia nyang sangat sukar, dan karena itu dimengerti dan dihayati dengan serius. Dia percaya bahwa sastra merupakan dunia pemikiran, karena itu mempelajari sastra sama dengan mempelajari dunia pemikiran. Dia yakin bahwa alat untuk mmenggunakan gagasan atau pemikiran adalah bahasa. Kerana itu, seseorang juga sebaiknya mempelajari bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan besar yang menuliskan karya-karyanya. Untuk mempelajari bahasa dengan baik, maka sastrawan  berusaha  melakukan  total immersion,  mencerburkan diri dengan baik dengan masyarakat pemakai bahasa asing yang dia pelajari.

5.    Sastra Bandiingan (Comperative Literature)

Studi bandingan pada awalnya dating dari studi bandingan ilmu pengetahuan (science), kemudian diikuti oleh lahirnya bandingan agama. Lahirnya sastra bandingan, sebagaimana lahirnya American Studies, ada kaitannya dengan jati diri bangsa, karena sastra tidak lain adalah pencerminan aspirasi bangsanya. Untuk memahami diri sendiri, seseorang perlu menengok keluar dan membandingkan keadaan di luar dirinya. (*)

 

Daftar Rujukan

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depadiknas.

 

Taum, Yapi Yoseph. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende: Nusa Indah.

 

Sutrisno, Mudji,SJ.1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.

 

Sukada, Made, 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra, Denpasar Kayumas dan Yayasan Ilmu Seni Lesiba.

Jan,Van Luxemburg. Pengantar Ilmu Sastra. Kanisius: Yogyakarta.

Rene Wellek & Austin Warren. Teori Kesusastraan. Kanisius