A.
Awal Mula Kesusastraan
Bentuk-bentuk
sastra, seperti dongeng, drama dan sajak-sajak ternyata sangat disenangi
anak-anak. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa pada umur-umur seperti
inilah anak-anak mulai mengenal sifat-sifat sastra. Anak-anak balita (bawah lima tahun) lebih suka bercerita dan mendengarkan sebuah dongeng. Mereka akan
lebih cepat mengetahui bagaimana dongeng tersebut mengisahkan kegagalan dan
keberhasilan orang dalam mengarifi dunia ini. Sosok Lia dan Leo
sepasang kakak beradik yang selalu berhasil dalam hidupnya. Juga Nalna dan
Nalni yang sangat tidak beruntung dalam hidup atau selalu mengalami kegagalan
dalam setiap pekerjaannya.
Proses
pemerolehan sifat sastra ini juga lewat pengamatan melalui media elektronik.
Dari media televisi,
misalnya mereka akan memperoleh sebuah bentuk campuran sastra, yaitu cerita dan
drama. Pada suatu ketika mereka akan diajak untuk mengenali sastra yang
sesungguhnya. Mereka akan diajak untuk bermain drama atau pentas untuk
anak-anak. Dari sinilah mereka akan sendiri membedakan antara cerita fiksi dan
laporan peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh terjadi.
Peralihan
pemerolehan pengajaran sastra ke pembelajaran sastra hamper tidak disadari.
Peralihan berlangsung secara mendadak, tetapi berlangsung dalam sebuah proses
yang berkelanjutan. Pada
bangku Sekolah Menengah Pertama para siswa dilatih untuk belajar membaca dengan
baik. Kemudian di Sekolah Menengah Atas, para siswa dihadapkan dengan apa yang
disebut sebagai sastra. Sastra dalam kurikulum pengajaran di sekolah (SD SMA)
merupakan bagian integral dari pengajaran bahasa dan pengkajian teks.
Perhatian
untuk sastra untuk sebagian disebabkan oleh faktor-faktor historis dan sosial.
Ada asumsi bahwa pengajaran sastra dipergunakan untuk meneruskan nilai-nilai
yang telah ada, tanpa terlalu mengeritiknya. Asumsi ini membuat kalangan orang
hanya menyediakan tempat sederhana bagi sastra dalam rangka pengajaran teks.
Mempelajari sifat teks-teks sastra secara sistematik serta fungsinya di dalam
masyarakat dapat membantu kita untuk mengerti teks tersebut dengan lebih baik,
sehingga kita lebih tertarik juga untuk membaca sastra.
Diyakini sebagian atau sekelompok orang menaruh
perhatian dan memberikan
tempat yang cukup intens atas sastra. Oleh karena itu, sesungguhnya pengajaran
sastra hendaknya menjadi pengajaran yang otonom dan berdiri sendiri, terlepas
dengan pengajaran bahasa, kendatipun ada alasan-alasan yang adekuat untuk
membaurkan dua model pembelajaran yang berbeda tersebut.
Seni
sastra diamati sebagai kenalaran sistematis pada instasi rasional yang terakhir
adalah primer ‘mengungkapkan ada (das
Sein) manusiawi kita yang melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,
seni sastra merupakan sebuah bidang kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului
cabang-cabang kebudayaan lainnya. Sebelum adanya ilmu pengetahuan dan teknik,
kesenian sudah hadir sebagai media ekspresi pengalaman estettik manusia
berhadapan dengan alam sebagai penjelmaan keindahan (Taum,1997:9). Ekspresi
pengalaman itu bersifat dan menggembirakan manusia, karena di dalamnya manusia
mengenali hubungan yang akrab antara dirinya dengan sumber atau asas segala
sesuatu yang menarik, mengikat, memikat, dan memanggil manusia kepada-Nya.
Mengacu
pada ilustrasi di atas, Mangunwijaya menegaskan, “Pada awal mula, segala sastra
adalah religius”. Di lain sisi, filsuf Prancis J. Maritain, mengungkapkan bahwa
sastra merupakan interaksi antara manusia dan hakikat alam raya. Gagasan
Maritain tersebut tercemin dalam contoh, ‘suara
burung elang pada akhir musim kemarau menggerakan rasa rindu seorang pemuda
pada kekasihnya’.
Sekalipun
terminologi
sastra (literature) dengan pengertiannya baru
muncul di Eropa pada akhir abad ke-18, sastra sesungguhnya berakar dari masa
prasejarah dalam wujud sastar lisan dan bentuk-bentuk mitos. Mitos merupakan
wilayah kesustraan, oleh Carl Jung disebut sebagai memori rasial, difusi historis,
dan kesamaan dasar dalam pemikiran manusia. Richard Case kemudian menyebut
mitos sebagai karya sastra yang harus dipahami sebagai kreasi estetik dari
imajinasi manusia. Sebagai ekspresi kesenian, mitos mengungkapkan kekuatan magis impersonal yang mengacu kepada
pengalaman akan hal-hal yang luar biasa indah, menakutkan, mengagumkan, dahsyat
yang berkaitan dengan emosi-emosi preternatural.
Mitos
membentuk acuan (matrix), dan dari
acuan itu muncul sastra yang bersifat psikologis, historis, mitis, religius,
simbolis, ekspresi, dan impresif. Elemen-elemen kesustaraan, seperti alur,
tema, perwatakan dan citraan pada umumnya ditemukan pula dalam mitos dan
cerita-cerita rakyat (folklore).
Kalau dicermati, mitos sesungguhnya dapat merangsang penciptaan seni, dan lebih
dari itu, menawarkan konsep dan pola-pola kritik yang dapat dimanfaatkan untuk
menginterpretasikan karya sastra.
Sastra
bagaimanapun, memiliki kualitas-kualitas mistis karena mulanya orang bersastra
untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman mistik dengan menghayati
realita-realita palling mendasar dari ekssistensi manusia, kelahiran, kematian,
kesakitan, ketakutan, dan pendambaan keselamatan yang merupakan dimensi-dimensi
transedentalnya.
Dalam
studi sastra dikenal dua macam sastra, yaitu sastra serius atau sastra
interpretif (ingterpretive literature),
yaitu sastra untuk ditafsirkan, dan sastra hiburan atau sastra pop atau sastra
untuk pelarian (escape literature).
Sastra serius cenderung merangsang pembaca untuk menafsirkan atau
menginterprestasikan karya sastra itu, sedangkan sastrahiburan adalah karya
sastra untuk melarikan diri (escape)
dari kebosanan, dari kejenuan, kejumudan dari rutintas sehari-hari, atau
masalah-masalah yang sukar diselesaikan. Oleh karena itu, bersifat menghibur
dan karena itu banyak digemari. Karena banyak digemari, maka sastra hiburan
juga dinamakan sastra pop, sastra yang popular.
Sastra
serius merangsang untuk menafsirkan, tidak lain karena mendorong membaca untuk
termenung. Sastra serius merangsang pembaca untuk membaca, namun tidak untuk
menafsirkan. Sastra ini untuk iseng semata, dan karena itu, tidak meninggalkan
kesan yang serius dan tidak menambah wawasan. Cirinya, menampilkan tokoh-tokoh
yang tampan, vulgar, kaya dicintai dan dikagumi, serta sanggup mengatasi segala
masalah dengan mudah. Pembaca akan terpancing untuk melakukan identifikasi diri
(sel identification) seolah dirinya
tidak lain adalah tokoh itu sendiriPembaca akan merasa dirinya hebat, sementara
dalam kehidupan sehari-hari justru sama sekali dia tidak hebat. Maka, sastra
hiburan yang tidak lain adalah wishful thinking, impian-impian yang
tidak mungkin dicapai. Pembaca berhadapan dengan ilusi bukan masalah hakiki
kehidupan.
Karya
seni yang baik, menurut George Santayana adalah menampilkan gema kesan
berkepanjangan dalam pikiran dan jiwa seseorang yang mampu menghayati karya
seni itu dengan baik. Sastra serius menawarkan renungan (kontemplasi) yang
dalam, dank arena itu pada saat pembaca selesai membaca dia akan renung
berkepanjangan. Kendatipun renungan ini muncul kembali dan memberi suasana
kontemplatif.
Beberapa
kriteria yang umum dipakai,
tentang sastra, pertama, pada zaman Aristoteles hanya ada
dua genre, yaitu puisi dan drama. Drama dibagi dalam tiga subgenre, yaitu tragedi, komedi dan tragic-komedi. Yang dianggap paling tinggi nilainya adalah tragedi.
Karena drama ditulis dalam genre puisi, maka karya sastra yang baik dianggap
mempunyai nilai puitik (puitic) yang
tinggi. Nilai puitik drama tragedi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu pity, terror, dan catharsis (katarisis). Contoh, tiga faktor itu dapat dilihat dalam
semua drama tragedi Yunani Kuno sampai William Shakespeare pada abad ke-17.
Segala tindakan dapat menimbulkan pity,
rasa kasihan pada penonton atau pembaca. Segala malapetaka, termasuk ketika dia
membutakan matanya sendiri menimbulkan teror, rasa takut, rasa diteror, rasa
ngeri. Ketika
penonton merasa dirinya
bersih, tidak tercemari lagi oleg dosa dan kesalahan, maka penonton mengalami
chatarsis yang tebebas dari pity dan terror.
Kedua, Horace (Horatis) menganggap karya
seni yang baik, termasuk sastra, selalu memenuhi dua butir criteria. Unsur dulce,
et utile, rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan. Sastra harus bagus,
menarik, dan memberi kenikmatan. Sastra
harus memberi manfaat atau kegunaan, antara lain kekayaan bathin, wawasan
kehidupan (insight into life), dan moral. Masalah moral akhirnya
menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujung-ujungnya menyangkut masalah kreativitas.
Moral akan mengurangi nilai estetika karena mengganggu kenikmatan pembaca.
Contoh, novel Sutan Takdir Alisjahbana Layar Terkembang. Novel ini menuai
berbagai kritik karena moral novel ini sangat jelas: semua bangsa Indonesia, khususnya
pemuda dan pemudi harus berpikir ke depan, ke dunia barat yang maju. Karena
itulah, novel ini dianggap sebagai “esai
berbaju novel”. Esai tidak lain adalah khotbah.
Dalam
Belenggu, misalnya,
tampak kehidupan keluarga yang bobrok. Tokoh-tokoh utamanya, bukanlah
orang-orang yang bersih. Tono, sang suami, menyeleweng dengan seorang perempuan
yang bernama Rohaya, sementara Tini, istrinya patut diragukan keperawanannya
ketika menikah dengan Tono. Sebagai seorang yang berpikiran modern dengan
oreintasi Barat, Tono dapat menerima Tini dengan baik, tampa mempertimbangkan masa lampau Tini.
Ketika sudah menjadi istri Tono, Tini pernah pula berhubungan dengan mantan
kekasihnya dulu. Perkawinan akhirnya buyar. Dari segi moral, Belenggu benar-benar negatif. Namun, justru dengan moral negatif inilah
estetika Belenggu lebih baik daripada nilai estetika Layar Terkembang. Nilai
kontemplatif Belenggu lebih tinggi, dan karena itu, dan karena itu sampai sekarang Belenggu masih
diperbincangkan dengan semangat tinggi, sementara Layar Terkembang hanya
dicatat sebagai sebuah bagian dalam sejarah sastra.
Ketiga, keberhasilan Jane Austen dan
pengarang-pengarang lain dalam mengatasi dilema tuntutan moral melahirkan
criteria lain, yaitu bentuk (form) dan isi (content) harus
seimbang. Bentuk adalah cara atau teknik menulis, sedangkan isi adalah
pemikiran yang akan dituangkan dalam karya sastra. Bentuk yang terlalu baik
akan melahirkan karya sastra yang kosong, sedangkan isi yang baik tanpa
diimbangi oleh bentuk yang teat akan melahirkan karya sastra yang menggurui.
Salah
satu bagian adalah bahasa. Bahasa yang baik dengan isi tidak bermutu akan
melahirkan retorika kosong belaka. Moral sementara itu masuk dalam kapling isi.
Perimbangan yang baik antara bentuk dan isi menyangkut masalah moral. Namun,
dalan sastra modern ada kecenderungan untuk
mengabaikan moral, sebagaimana tampak dalam Belenggu di atas. Isi dengan sendirinya tidak lepas
dari konsep pengarangnya. Konsep ini tampak dalam aliran pengarang
masing-masing. Sajak-sajak William Wordworth, selalu dipenuhi oleh bahasa
sehari-hari, serta pemujaan terhadap alam sebagai penuntun kehidupan manusia.
Dia beraliran romantisme. Theodore Dreiser, selalu menggambarkan dunia kelas
bawah yang ambisius dan akhirnya gagal mencapai kebahagiaan, tidak lain karena
dia penganut naturalisme.
Keempat, E.M. Forster, seorang novelis dan
teoritikus sastra, dalam Aspects of the
novel, antara lain menulis mengenai cerita, plot, serta tokoh dan
penokohan. Cerita itu adalah sebuah peristiwa lain, kemudian diikuti oleh
peristiwa lain lagi, dan seterusnya. Plot merupakan rangkaian peristiwa yang
diikat oleh sebab-akibat.
Contoh
cerita, Dia kemarin berangkat dari rumah ke kantor jam 07.00 pagi, sampai di
kantor jam 08.00 pagi, kemudian dia langsung
bekerja sampai 12.00, lalu beristirahat makan siang sampai jam 13.00,
melanjutkan pekerjaannya sampai jam 17.30, lalu dia pulang, sampai di rimah dia
membaca Koran sebentar, lalu mandi, dan seterusnya. (Tugas: buatlah sebuah contoh
cerita). Contoh
plot, Raja sakit, karena itu dokter segera dipanggil. Namun, ternyata dokter
tidak sanggup menyembahkan Raja, dank arena itu dipanggilah dokter terkenal
dari luar negeri. Ternyata dokter ini pun tidak sanggup menyembuhkan Raja.
Sakit Raja makin parah, dank arena itu Ratu makin sedih. Pada suatu hari,
setelah melali masa-masa kritis, Raja pun wafat. Karena Raja wafat Ratu bertambah
sedih, dan akhirnya Ratu pun meninggal dunia.
Menurut
teori, karya sastra yang baik bukan sekedar cerita, tapi plot. Antara satu
peristiwa dengan peristiwa lain diikat oleh sebab-akibat. Kunci penting
sebab-akibat adalah konflik, dan kunci konflik adalah tokoh dan penokohan.
Sebagaimana manusia dalam kehidupan sehari-hari, masing-masing tokoh mempunyai
watak sendiri-sendiridan kadang-kadang bertentangan dengan satu sama lain. Perbedaan
watak inilah yang memicu timbulnya konflik, apalagi kalau watak-watak itu
saling bertentangan.
Forster
membagi tokoh menjadi dua, yaitu tokoh bulat (round character) dan tokoh
pipih (flat character). Tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk berubah,
belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Tokoh pipih
tidak mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman, dan
menyesuaikan diri dengan keadaan. Tokoh Bawang Merah dan Sinetron Bawang Merah
dan Bawang Putih, sampai akhir tidak pernah berubah. Atau juga tragedy
Shakespeare, Macbeth, sejak awal sampai akhir tetap serakah dan kejam. Titik
berkat keserakaan itu terletak pada sifat buruk dia, yaitu ambisi yang
berlebihan. Dia ingin menjadi raja, karena itu setiap orang yang menghalangi
nafsu serakahnya itu harus dimusnahkan.
Tanpa
interaksi tokoh satu dengan tokoh lain, konflik tidak akan terjadi, karena
konflik merupakan bagian integral yang harus ada. Forster mengatakan bahwa kriteria konflik yang baik adalah
konflik dilematis, tokoh berhadapan dengan dilema yang benar-benar tidak
memberi kesempatan untuk melarikan diri.
Contoh
konflik, dalam karya
sastra Antigone karya Sophocles, dalam tragedi Yunani Kuno. Drama tragedy ini Raja
Creon dari Thebes
dikisahkan mempunyai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Dua anak
laki-laki ini bermusuhan dalam perang saudara da akhirnya keduanya tewas. Oleh
Creon, salah satu anaknya yang tewas ini dianggap sebagai pahlawan, sedangkan
yang satunya dianggap penjahat. Mayat anak yang dianggap pahlawan dimakamkan
dengan upacara kebesaran, sedangkan mayat anak yang dianggap pengkhianat harus dilemparkan ke padang yang terbuka untuk menjadi makanan
burung-burung liar, tanpa upacara sama sekali.
Antigone,
anak perempuan tertua, menganggap bahwa dua saudaranya tadi harus dimakamkan
secara layak, dank arena itu dia mempersiapkan sebuah acara pemakaman untuk
menghormati abangnya yang mayatnya akan dibuang ke padang terbuka. Creon melarang, namun dia
tetap pada pendirianya. Konflik yang dilematis harus dihadapi Antigone: Kalau
dia menuruti kehendak ayahnya, salah satu mayat abangnya akan dinistahkan, dan
kalau dia melanggar perintah ayahnya dia akan dihukum mati. Konsistensi dan motivasi Raja Creon
sangat jelas, juga konsistensi dan motivasi Antigone. Sebagai tokoh-tokoh bulat
Raja Creon dan Antigone sangat memenuhi persyaratan estetika sastra. Sebagai konsekuensi keharusan adanya
konflik, muncul tuntutan lain,yakni klimaks, sebagai penentu penutup plot. Makin
tinggi nilai estetika sebuah konflik, makin tinggi pula nilai estetika sebuah
klimaks. Ada satu hal penting lain penutup plot cerpen adalan surprise.
Tokoh bulat, konflik,
dan klimaks merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh sebuah karya sastra
yang baik, namun surprise bukan
merupakan tuntutan mutlak. Contoh,
surprise, dalam cerpen Edith Wharton, “Demam Roma”. Pada penutup plot,
baik pembaca maupun salah satu tokoh dalam cerpen ini, Elida Slade menyadari
bahwa anak perempuan sahabat karibnya Grace Ansley tidak lain adalah anak
kandung suami Elida Slade sendiri. Surprise di sini hanya berfungsi ntuk
memberi kejutan kepada Elida Slade dan pembaca, tanpa fungsi lain yang
berbobot.
B. Pengertian
Sastra
Robert
Scoles menyatakan bahwa sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda. Tiga contoh
pandangan berikut akan dikemukakan sebagai ilustrasi untuk menunjukkan
perbedaan, bahkan pertentangan
pendapat para ahli kesusastraan mengenai sastra maupun studi sastra atau teori
sastra.
Rene
Wellek & Austin Waren, sastra adalah kegiatan kreatif, sederetan karya
seni. Sedangkan, teori sastra adalah studi prinsip, kategori dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak
dalam telaah dibidang sastra. Tidak mungkin kita menyusun teori sastra tanpa
kritik sastra dan teori sastra, kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah
sastra (dalam Taum, 1997:14). Dengan demikian, terlihat bahwa tugas teori
sastra adalah menetapkan prinsip-prinsip, kategori-kategori dan kriteria-kriteria
mengenai sifat sastra pada umumnya dengan memanfaatkan hasil-hasil kritik sastra
dan sejarah sastra. Menurut mereka teori sastra bukan hanya sekadar alat bantu
untuk mendukung pemahaman dan apresiasi perorangan terhadap karya sastra.
Jan
Van Luxemburg, cs (1987) menggunakan istilah ilmu sastra dengan pengertian yang
mirip dengan pandangan Wellek & Waren tentang teori sastra. Menurut mereka,
ilmu sastra adalah ilmu yang memperlajari teks-teks sastra secara sistematis
sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat. Tugas ilmu sastra adalah meneliti dan
merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-ciri khas kesastraan dan fungsi sastra
dalam Andre Lafevere, sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang
masyarakat) secara umum dan sistematis (Taum, 1997:15).
Sastra memiliki dimensi personal dan sosial
sekaligus. Menurut Lafevere, sastar adalah pengetahuan kemanusiaan (existential knowledge) yang sejajar
dengan bentuk hidup itu sendiri. Sastra penting dipelajari sebagai sarana
berbagai pengalaman (sharing) dalam
mencari dan menemukan kebenaran kemanusiaan. Untuk itu tidak sekedar diperlukan
persepsi, melainkan observasi. Persepsi berfungsi sebagai peta yang digunakan
untuk mencari kebenaran dan kenyataan sesungguhnya. Observasi membuat kita
terlibat secara aktif kepada aspek-aspek tertentu yang menarik perhatian kita.
Hasil dimaksud tidak hanya memiliki (to
have) kedalaman pemahaman, melainkan kita membuat (to make) kedalaman pemahaman itu sesuai dengan
pengalaman-pengalaman kehidupan kita sendiri.
Upaya
mendefenisikan sastra sudah banyak dilakukan, tetapi upaya-upaya tersebut,
belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1. Sering orang mendefenisikan terlalu
banyak sekaligus. Sering dilupakan bahwa ada perbedaan khas antara sebuah
defenisi deskriptif mengenai sastra: yang memberi jawaban terhadap pertanyaan,
sastra itu apa?, dan defenisi evaluatif yang ingin menilai apakah sebuah karya
sastra yang bai atau tidak. Apakah Layar Terkembang itu sastra atau tidak.
Apakah Siti Nurbaya itu sastra atau tidak, dst.
2. Sering orang mencari defenisi
ontologis mengenai sastra, yaitu sebuah defenisi yang emngungkapkan hakikat
sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa sastra hendaknya didefenisikan dalam
situasi pemakai atau pembaca sastra.
3. Asumsi mengenai sastra, terlalu
ditentukan oleh sastra Barat, khususnya sejak zaman Renaissance, tanpa
memperti,bangkan bentuk sastra yang khas dalam lingkungan kebudayaan di luar
Eropa, dalam zaman tertentu atau lingkungan sosial tertentu.
4. Ada defenisi-defenisi yang cocok
untuk sejumlah jenis sastra, tetapi kurang relevan untuk untuk jenis sastra.
Singkat
kata, pengertian tentang sastra sering dimutlakkan dan dijadikan sebagai tolok
ukur universal, tanpa tanpa memperhatikan kenisbian historis sebagai titik
pangkal. Berikut ini akan dikemukakan beberapa defenisi historis tentang sastra
sejak zaman Romantik. Suatu ikthiar bahwa segala sesuatu itu pertama-tama
mengandung nilai sejarah.
1. Sastra merupakan sebuah ciptaan,
sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seniman menciptakan sebuah
dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan
menyempurnakannya. Sastra merupakan luapan emosi yang spontan.
2. Sastra bersifat otonom, tidak
mengacu kepada sesuatu yang lain, sastra tidak berisifat komunikatif. Sartre
menulis, kata-kata dalam puisi tidak merupakan ‘tanda-tanda’, melainkan’ benda-benda’.
3. Karya sastra yang otonom bercirikan
suatu koherensi. Adanya keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi.
4. Sastra menghidangkan sebuah sintesa
antara hal-hal yang saling bertentangan, Pertentangan antara bentuk, pria dan
wanita, roh dan benda, dst.
5. Sastra mengungkapkan hal-hal yang
tak terungkapkan. Roland Bathers mengungkapkan bahwa menafsirkan sebuah teks
sastra tidak boleh menunjukkan suatu arti saja, melainkan membeberkan aneka
kemungkinan.
Lalu
sastra itu apa? Pertanyaan ini akan coba dijawab dari beberapa sudut
pandang pemahaman berikut ini.
1. Sastra
ialah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan
komunikatif yang praktis yang hanya berlangsung untuk sementara waktu saja. Hasil karya sastra juga
bacaan-bacaan sastra cuma dijual di kios-kios atau diterminal bus tidak
langsung bertujuan pragmatis, supaya langsung dipergunakan, tetapi ditawarkan
sebagai bahan bacaan hiburan.
2.
Bagi
sastra barat dewasa ini teks drama dan
cerita mengandung fiksionalitas.
3. Puisi lirik tidak dinamakan ‘rekaan’. Istilah yang lebih pas adalah konvensi distansi, untuk mengambil jarak
sehingga tidak setiap sajak yag menampilkan ‘aku’ kita anggap sebagai pengakuan
pribadi sang penyair.
4. Bahan sastra diolah secara istimewa.
Ada yang menekankan penyimpangan teradap tata bahasa (licentia poetica), dan mengandung unsur ambiguitas atau kepadatan arti.
5. Sebuah karya sastra dapat dibaca
menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Sejauhmana tahap-tahap arti itu
dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu
karya sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca.
Ditinjau dari aspek sudut karya
situasi sastra, M.H. Abrams memeberikan sebuah bahan sederhana namun cukup
efektif sebagai berikut:
(Realitas)
Universe
Work
(karya)
Artist Audience
(Pencipta) (Pembaca)
Rahman Selden
mengklasifikasikan teori-teori sastra berdasarkan penekanan orientasi
komunikasinya yang tampak sebagai berikut.
Konteks
Pengirim Pesan Pendengar
Hubungan
Kode (dikutip
dari Taum,1997:17)
Selden kemudian memilih
teori-teori sastra yang memperhatikan fungsi tertentu yang lebih ditekankan
dibandingkan fungsi lainnya. Penilaian tersebut diilistrasikan dalam skema
berikut.
Marxis
Romantik
Formalistik Orientasi
Pembaca
Strukturalistik
Keterangan:
Teori-teori
Romantik menekankan pikiran penulis dan kehidupannya. Kritik sastra pembaca
(atau kritik sastra fenomenologis) memusatkan diri pada pengalaman pembacaan.
Teori-teori formalis berpusat pada benruk tulisan itu sendiri secara eksekusif.
Kritik sastra Marxis memandang konteks sosiologis dan histories sebagai dasar.
Teori sastra strukturalis memberikan perhatian kepada kode-kode yang digunakan untuk membangun
makna. Teori-teori reseptif beroreintasi kepada peranan pembaca dalam penikmatan
dan penilaian karya sastra.
C. Masalah
Definisi Sastra
Dalam
bahasa-bahasa barat, istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa
Latin Literature (littera berarti
huruf atau karya tulis). Istilah tersebut dipakai untuk menyebut tata bahasa
dan puisi. Istilah Inggris Litterature,
istilah Jerman Literatur, dan istilah
Prancis Litterature yang berarti
segala macam pemakaian bahasa dan bentuk tertulis. Dalam bahasa Indonesia kata
sastra diturunkan dari bahasa Sansekerta (sas-
mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan, akhiran tra- biasanya menunjukkan alat atau
sasaran) yang artinya alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau
pengajaran. Misalnya, kamasastra- buku petunjuk mengenai seni cinta, silpasastra-
buku petunjuk arsiktektur, dll.
Mencermati
penjelasan di atas, maka tersirat sebuah pemahaman yang menimbulkan pertanyaan
besar buat kita. Kalau istilah sastra semata-mata berkiblat kepada sastra
tulis,apakah sastra lisan tidak termasuk sastra? Upaya untuk menghindari
kerancuan di atas (gejala reitifikasi), yakni dengan menggunakan terminologi belle letters,
sastra yang indah yang
mutunya benar-benar tinggi, maka belle
letters dianggap identik dengan sastra klasik. Makna klasik adalah kelas
satu ditafsirkan sebagai kuno karena mampu bertahan melampaui berbagai zaman.
Dalam konteks bahasa Indonesia, ada teoritis yang menyebut awalan –su dalan kata susastra yang berarti,
baik, indah, perlu dikenakan pada karya-karya sastra untuk membedakannya dari
bentuk pemakaian bahasa lain.
Foucoult,
menyebutkan bahwa sastra modern lahir dan bertumbuh dalam kemapanan bahasa dan
kungkungan pola-pola linguistik yang kaku. Oleh karena itu, sastra modern
berlomba-lomba mentransgresikan dirinya pada suatu ruang yang abnormal. Sastra
modern justru menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam kesadaran
masyarakatnya. Fenomena Sade (yang menekuni bahasa dan keasingan dunia).
Sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan habis-habisan. Pembaca
justru diajak untuk merasa takut, jijik, ngeri, bodoh, emosi, marah, dan diam. (Sade adalah, seorang sastrawan narapidana Perancis yang memelopori model
sastra ini).
D. Letak
Teori Sastra
Studi
sastra mempunyai tiga genre, yaitu teori sastra, kritik sastra, dam sejarah
sastra.
1. Teori sastra (Theory Literatura), kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam analisa
karya sastra.
2. Kritik sastra (Literatura Criticism) penerapan kaidah-kaidah, rambu-rambu atau
teori-teori tertentu dalam analisis karya sastra, seperti strukturalisme, dll.
3. Sejarah sastra (History of Literature), sejarah perkembangan sastra yang mungkin
meliputi alran-aliran dalam penulisa karya sastra (klasisme, romantisme,
realisme, dalam sastra Barat yang mempunyai pengaruh terhadap sastra
nusantara) periodisasi sastra (Zaman Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan ’45, dll).
E. Lima
Cabang Studi Sastra
Selain
tiga genre sastra yang telah disebutkan di atas, studi sastra juga mempunyai lima cabang sastra, yaitu:
1.
Sastra
Umum (General Lierature).
Sastra pada
umumnya tidak dikaitkan dengan bangsa, negara, atau wilayah geografi tertentu.
Oleh karena itu, sastra umum berkaitan dengan gerakan-gerakan internasional,
sebagaimana misalnya poetics dan
teori sastra. Makna teori sastra sudah jelas, yakni kaidah-kaidah untuk
diterapkan dalam karya sastra. Poetics
adalah ilmu mengenai: (a) keberhasilan
sastrawan dalam menciptakan karya sastra. Sastarwan yang mampu menulis karya
sastra yang baik memiliki kemampuan poetics
yang tinggi, dan sebaliknya, dan (b) keberhasilan
pembaca dalam menghayati arya satra. Pembaca yang mampu menghayati karya sastra
dengan baik adalah pembaca yang memiliki kemampuan poetics yang tinggi, dan sebaliknya. Istilah poetics tercipta pada
zaman Yunani Kuno, dan pada masa itu
puisi merupakan genre satu-satunya, yang meliputi penyair dan pembaca.
2.
Sastra
Nasional (National Literature)
Sastra
bangsa atau Negara tertentu, misalnya sastra Brunai Darussalam, Sastar Indonesia, Sastra Malaysia, Sastra Inggris, dan
lain-lain. Tempat seorang sastrawan dalam konteks sastra nasional tidak
ditentukan oleh bahasa karya sastra sang sastrawan, tetapi oleh kewarganegaraan
sastrawan tersebut. Sastrawan Singapura yang menulis dalam bahasa Inggris
adalah tetap sastrawan nasional Singapura, dll. Ketika sastra nasional
ditentukan oleh kewarganegaraan sastrawannya, timbul pertanyaan, apakah warna
lokal dapat dianggap
sebagai salah
satu kriteria penting
untuk menentukan sastra nasional?
Di Indonesia
ada sastra daerah,
yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa daerah. Misalnya, sastra Bali, Sastra
Jawa, dan Sastra Sunda. Karena Indonesia
menganut paham pluralisme, maka kebudayaan yang dianggap mewakili Indonesia
adalah kebudayan nasional.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang dimaksud dengan kebudayaan nasional adalah
puncak-puncak kebudayaan daerah karena kebudayaan daerah berada di bawah
kebudayaan nasional. Kedudukan sastra nasional Indonesia, dengan demikian juga
berada di atas sastra daerah.
3.
Sastra Regional (Regional Literature)
Sastra dari
kawasan geografi tertentu yang mencakup beberapa negara, baik yang
mempergunakan bahasa yang sama maupun mempergunakan bahasa yang berbeda,
seperti: (a) sastra
ASEAN (sastra negara-negara anggota ASEAN) dengan bahasa yang berbeda-beda
sesuai dengan negara anggota masing-masing, dan (b) sastra nusantara, (sastra berbahasa
Melayu/Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Malaysia).
4.
Sastra
Dunia (World Literature)
Sastra
Dunia, Ssatra yang reputasi para sastrawannya dan karya-karyanya diakui secara
internasional. Sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai karya sastra besar
dan diakui secara internasional, manakala karya sastra itu ditulis dengan
bahasa yang baik, dan dengan tujuan untuk menaikkan harkat dan derajat manusia
sebagai makhluk yang paling mulia.
Istilah ini mula-mula digunakan oleh Johan Wolfgang Von
Goethe (1749-1832), seorang sastrawan dan pemikir Jerman. Bagi Goethe,
sastra adalah sebuah dunia nyang sangat sukar, dan karena itu dimengerti dan dihayati dengan serius. Dia
percaya bahwa sastra merupakan dunia pemikiran, karena itu mempelajari sastra sama dengan mempelajari dunia pemikiran. Dia yakin bahwa alat untuk
mmenggunakan gagasan atau pemikiran adalah bahasa. Kerana itu, seseorang juga
sebaiknya mempelajari bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan
besar yang menuliskan karya-karyanya. Untuk mempelajari bahasa dengan baik,
maka sastrawan berusaha melakukan
total immersion, mencerburkan diri dengan baik dengan
masyarakat pemakai bahasa asing yang dia pelajari.
5.
Sastra
Bandiingan (Comperative Literature)
Studi
bandingan pada awalnya dating dari studi bandingan ilmu pengetahuan (science), kemudian diikuti oleh
lahirnya bandingan agama. Lahirnya sastra bandingan, sebagaimana lahirnya American Studies, ada kaitannya dengan
jati diri bangsa, karena sastra tidak lain adalah pencerminan aspirasi
bangsanya. Untuk memahami diri sendiri, seseorang perlu menengok keluar dan
membandingkan keadaan di luar dirinya. (*)
Daftar
Rujukan
Darma, Budi. 2004. Pengantar
Teori Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Depadiknas.
Taum, Yapi Yoseph. 1997. Pengantar
Teori Sastra. Ende: Nusa Indah.
Sutrisno, Mudji,SJ.1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.
Sukada, Made, 1987. Beberapa Aspek
Tentang Sastra, Denpasar Kayumas dan Yayasan Ilmu Seni Lesiba.
Jan,Van Luxemburg. Pengantar Ilmu
Sastra. Kanisius: Yogyakarta.
Rene Wellek & Austin Warren. Teori Kesusastraan. Kanisius