Halaman

Sabtu, 16 Mei 2020

Universitas Flores Ende Memperoleh Akreditasi Institusi “B”




Dengan mengambil tema “Yang menabur dengan mencucurkan air mata akan menuai dengan sorai sorai,” Keluarga Besar Universitas Flores (Uniflor) Ende hendaknya memaknai peristiwa pengakuan negara melalui Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) ini dalam nuansa syukur istimewa secara meriah. Syukur ini juga menjadi momentum pemicu bagi semua sivitas akademika untuk bergerak maju menatap masa depan secara baik. “Saya yakin benar bahwa raihan akreditasi institusi denganPeringkat B ini adalah sebentuk tuaian atas seluruh kerja keras, kerja sama dengan niat yang tulus untuk masa depan lembaga ini.” Pernyataan di atas disampaikan oleh Yang Mulia Uskup Agung Ende Mgr. Vinsensius Sensi Potokota, dalam perayaan syukur akreditasi “B” institusi Universitas Flores, Jumad, 16 September 2016, di Auditorium H.J. Gadi Djou, Jalan Sam Ratulangi Ende.
Menurut Uskup Sensi di balik keberhasilan ini ada tantangan yang siap menghadang. Tantangan yang dimaksudnya adalah bahwa lembaga pendidikan ini harus melihat secara baik manusia yang ada di lembaga pendidikan tercinta ini. Karena dari dan untuk merekalah akreditasi bisa diperoleh. Untuk itu, lembaga ini terus membenihkan dan menyebarkan budaya memberi dan menerima. Budaya ini tidak pada nilai atau jumlah, melainkan pada kerelaan disertai keteguhan sebagai manusia yang beriman. “Hendaklah budaya ini juga dapat menemukan sebuah dinamika interaksi cinta yang meneguhkan di antara segenap sivitas akademika”, Lanjut Uskup Sensi.
Rektor Universitas Flores Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., menegaskan tentang peristiwa syukur ini sebagai sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian proses pendidikan yang dijalankan di lembaga ini. “Dalam kerangka itulah, Uniflor senantiasa membangun reputasi, nama baik, terutama dalam mengembangkan pola pikir dan pola bertindak untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, kekeluargaan berlandaskan pada Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Di samping itu, pengembangan sumber daya dosen juga tetap menjadi strategi prioritas. Prof Steph menambahkan bahwa Uniflor sampai saat ini Uniflor telah memiliki 226 dosen tetap, yang terdiri dari 11 dosen bergelar doktor, 190 berijazah magister, 28 dosen bergelar sarjana, dan 29 dosen NIDK. Katanya, “Dengan sumber daya yang memadai ini, institusi akan terus meningkatkan mutu lulusan dan membuka akses kerja sama dengan pihak-pihak lain.”
Ketua Alumni Uniflor Martinus Ndate, S.H., pada kesempatan itu mengucapkan profisiat sambil mengharapkan agar setelah institusi Uniflor mendapat akreditasi B sudah saatnya membuka Program Pascasarjana demi mengakomodir seluruh stakeholders di Ende, dan Flores pada umumnya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang Magister (S-2). “Apapun jurusannya, yang penting Uniflor dalam waktu dekat mengupayakan pembukaan Program Pascasarjana”, katanya.
Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif), Dr. Laurentius Dominicus Gadi Djou, Akt., mengatakan bahwa status akreditasi B yang dimiliki Uniflor merupakan sebuah babak baru dalam sejarah pelayanannya kepada masyarakat Flores Lembata, khususnya dan Provinsi NTT umumnya. Dengan akreditasi B ini tentu Uniflor bersama Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif) yang menaunginya, semakin percaya diri dalam pelayanannya. Kiranya berbagai pihak pemangku kepentingan dan masyarakat Flores Lembata tidak perlu ragu dan bimbang mengirimkan putra/putrinya untuk kuliah di Uniflor. Berbagai pihak pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah, instansi pemerintah dan swasta, berbagai lembaga pendidikan, kiranya tidak perlu ragu dan bimbang juga menerima lulusan Uniflor untuk bekerja dan mengabdi sesuai bidang keahlian masing-masing, imbuhnya di sela-sela acara syukuran.
(Laporan Alexander Bala Gawen)


Aneka Komentar tentang Akreditasi “B” Universitas Flores.
Mama Mia Gadi Djou:
Prestasi ini praktis perlu dirawat dan terutama dioptimalkan lagi oleh seluruh civitas akademika. Semua pihak  harus merasa memiliki Unflor, bukan hanya sekedar bekerja tetapi harus turut menyumbangkan seluruh energi positifnya untuk membangun atmosfir kerja sama yang kondusif. Mari, satukan langkah bulatkan tekad menuju Uniflor bermutu.

Sekretaris Yapertif  (Yosef Devi Gadi Djou):
Akreditasi B merupakan “akta” otentik yang berisi tentang pengakuan Negara (pemerintah) atas pengelolaan institusi Pendidikan Tinggi yang transparan dan terpercaya. Dengan akreditasi B kita lebih banyak membantu orang. Status akreditasi tercantum di dalam ijasah dapat menjadi nilai plus bagi alumni kita terutama saat melamar kerja.

Christina M. Yosephina (Karyawan Senior, mengabdi selama 30 Tahun di Uniflor)
Akreditasi B merupakan jawaban dari semua perjuangan Uniflor selama 36 tahun. Saya turut merasa bangga atas pencapaian ini. Awalnya sarana dan prasarana pembelajaran sangat minim, namun Uniflor terus berbenah dan kembang sampai hari ini.Harapan saya, Uniflor tidak hanya puas dengan akreditasi B tapi juga meningkatkan kualitas untuk akreditasi A. Syukur kepada Tuhan dan terima kasih untuk semua yang telah berjasa.

Yolenta Novianti Wea (Mahasiswi Semester I pada  Prodi Ekonomi Pembangunan)
Akreditasi B berarti dosennya berkualitas dalam mengajar dan sarana-prasarana memenuhi standar kelayakan. Semoga dosen memberi pelayanan terbaik kepada mahasiswa dan mahasiswa-pun diharapkan memiliki etika hidup yang bermartabat.

Kornelis Erik Dhajo (Mahasiswa semester 3 pada Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian)
Sejak kecil Saya tinggal di sekitar Uniflor. Dulu, pusat Uniflor di Auditorium Kampus 1, ruangannya disekat-sekat. Sekarang, gedung-gedungnya sudah sangat megah dan menyebar. Kalau Uniflor sudah diakreditasi otomatis Uniflor sudah diakui pihak luar. Mudah-mudahan akan ada peningkatan fasilitas laboratorium pertanian dan memperbanyak praktik lapangan.

Maria Goreti Djandon (Dosen, Mengabdi di Uniflor sejak tahun 1992)
Nilai akreditasi B adalah berkat Tuhan atas kerja keras semua orang. Sarana dan prasarana kita sudah sangat bagus. Sekarang saatnya dilakukan pembenahan prodi sebagai dapur utama Uniflor, terutama peningkatan di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Merawat apa yang sudah ada saat ini membutuhkan ketelitian dan ketekunan dari semua pihak.

Angelo Wake Kako (Alumni tahun 2012, Ketua Pengurus Pusat PMKRI, Mahasiwa Pascasarjana Ketahanan Nasional UI)
Sebagai alumni tentu bangga dengan pencapaian Uniflor saat ini. Pencapaian hari ini merupakan bukti bakti dan sinergisitas yang tulus dari segenap komponen (yayasan, pengajar, pegawai, mahasiswa, alumni). Pencapaian ini juga membuktikan bahwa Uniflor secara perlahan terus bergerak dalam rangka menjadi magnet di kawasan Timur Indonesia. Adik-adik mahasiswa jangan pernah merasa kecil ketika kuliah di Uniflor. Prestasi ini harus mampu mendorong percaya diri mahasiswa dalam bersaing di tengah iklim kompetitif dewasa ini. Prestasi Uniflor bukan puncak, melainkan sebuah lintas perjalanan menuju prestasi yang lebih baik di masa datang. Uniflor harus terus memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan di Indonesia, dan hadirnya harus semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lewat pengabdian yang tanpa pamrih. Selamat bagi keluarga besar Uniflor!

Hengky Ola Sura (Alumni Prodi PBSI, FKIP)
Akreditasi B menggembirakan saya sebagai bagian dari Uniflor. Akreditasi B berarti kerja keras stakeholder di kampus menjadi nyata. Akreditasi juga menjadi cambuk agar Uniflor terus menunjukkan kualitas. Secara pribadi saya salut dengan lulusan PGSD dari FKIP Uniflor karena keberadaan mereka baik di sekolah maupun masyarakat mendapat penerimaan yang luar biasa. Saya pernah membuat riset kecil tentang lulusan Uniflor, dan hasil yang ditunjukkan PGSD sangat baik. Semoga semua fakultas dan program studi juga meningkatkan kualitasnya. (Tim Publikasi Uniflor)

KKN Universitas Flores 2016: Mendorong Mahasiswa Untuk Peduli




Program KKN (Kuliah Kerja Nyata) Universitas Flores (Uniflor) 2016 memberi penekanan khusus kepada mahasiswa untuk “peduli” dengan sesama, lingkungan, dan peduli dengan diri sendiri. “KKN sebenarnya hendak mengajak Anda untuk kembali ke tengah masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai medan pengabdian setelah sekian lama Anda bergumul dengan teori dan aneka konsep di bangku kuliah. Waktu inilah menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa aneka pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang telah Anda peroleh tersebut dapat diaktualisasikan dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat”. Ajakan ini disampaikan oleh Rektor Uniflor Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., ketika membuka kegiatan KKN Uniflor 2016, Selasa, 2 Agustus 2016, di Auditorium H.J.Gadi Djou, Jalan Sam Ratulangi Ende.
Lanjut Prof. Steph paradigma ini diambil agar mahasiswa jangan sampai “terputus” dengan masyarakatnya. Mahasiswa harus kembali ke masyarakat untuk ikut serta terlibat penuh dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan. Masayarakat, menurut Prof. Steph adalah laboratorium mini bagi mahasiswa untuk terus belajar, berkarya, kekerja keras, hidup bermasyarakat, peduli dengan orang lain, belajar jujur, disiplin, serta bertanggung jawab. Gagasan Prof Steph ini seiring dengan visi Uniflor untuk menjadikan seluruh sivitas akademiknya sebagai mediator budaya. “Mahasiswa peserta KKN ini perlu meresapi visi ini secara mendalam. Mahasiswa dituntut untuk menjadi jembatan atau penghubung antara budaya tradisional dengan budaya modern, dan tetap berpijak pada daya atau nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh dan hidup di tengan masyarakat. Itulah sebabnya, saya mendorong Anda untuk memiliki kepedulian dengan kehidupan di sekitar Anda”, tuturnya
Menurutnya, KKN yang mulai diluncurkan tahun 1971 di UGM Yogyakarta oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasumantri melalui pengerahan tenaga mahasiswa (PTM). Misi awal inilah yang diteruskan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dalam program Indonesia Mengajar (IM). Sebuah program untuk membangun solidaritas dan kepedulian pendidikan bagi masayarakat Indonesia, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Panitya Yohanes Paulus Luciany,S.E.,M.Si., mengatakan bahwa mulai tahun 2016 ini, kegiatan Uniflor mengembangkan empat jenis kegiatan KKN, antara lain (1) KKN berbasis tematik yang sasarannya menyesuaikan dengan program dan permasalahan di desa; (2) KKN berbasis lokasi dengan konsentrasi di tiga pasar di kota Ende, yakni pasar Mbongawani, pasar Potulando, dan pasar Wolowona; (3) KKN berbasis kemitraan yang lokasinya adalah kebun misi Bhoanawa, BBK St.Konrardus Ende, dan kebun pertanian Uniflor; dan (4) KKN kemitraan antara Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Sebut Yance, KKN 2016 ini akan berlangsung mulai tanggal 8 Agustus dan berakhir 16 September 2016. Jumlah peserta sebanyak 1051 orang. Dari jumlah peserta ini, sebanyak 200 orang akan melaksanakan KKN di Kecamatan Adonara Barat dan Adonara Tengah di Kabupaten Flores Timur, dan 851 lainnya akan melaksanakan KKN di Kabupaten Ende, yang tersebar di Kecamatan Detusoko, Maurole, Kelimutu, Wolowaru, dan Kecamatan Ende. (Laporan  Alexander Bala Gawen).

Dari Eksotisme Kampung Adat Bena sampai Pemandian Air Panas So’a




Cerita Pendek Maria Grace Simo Gawen 
Kelas IX-1, SMP Katolik Frateran Ndao, Ende



Pada bulan Juni lalu, saya dan teman-teman kelas VIII-6 dan wali kelas berwisata ke Manu Lalu, Kampung Adat Bena, dan Pemandian  Air Panas di So’a. Dalam perjalanan, kami menikmati keindahan bebukitan dan hamparan laut luas dan begitu indah. Beberapa teman yang ikut berwisata asik bermain gitar dan bernyanyi. Ada yang ketiduran karena mengantuk. Tibalah kami di tempat tujuan. Kami mulai menikmati kegagahan Manu Lalu. Kami pun langsung berfoto-foto. Dari Manu Lalu, eksotisme kampung adat Bena dapat terlihat. Jaraknya tidak terlalu jauh dari situ. Kami pun meninggalkan Manu Lalu untuk melanjutkan perjalanan ke kampung adat Bena.

Bis kayu Trans Mardi Wiyata yang kami tumpangi masuk dan berlabuh di area parkir. Sebagaimana biasanya, kami satu persatu mendekati loket masuk dan membayar karcis masuk ke kampung adat Bena yang sangat terkenal ini. Bermacam-macam ornamen dan karya asli peninggalan sejarah, kami amati satu-persatu. Tidak lupa mengabadikannya dalam foto. Ya,...biar jadi fotografer dadakan, celetuk seorang teman dalam rombongan itu. Kami berjalan mengelilingi rumah-rumah adat. Indah dan unik. Itulah kesan yang tampak. Bersama Om Logus, kami tidak bosan menikmati kealamiahan kompleks tua ini. Om Logus membantu memperkenalkan barang-barang bersejarah yang diwariskan oleh leluhurd ari penduduk yang tinggal di dalam rumah-rumah adat tersebut. Sambil mengelilinginya, kami berfoto-foto dengan penduduk di situ. Kemudian, kami naik ke puncak Gua Maria dan kami bisa melihat betapa indahnya rumah adat Bena serta panorama alam yang ada di atas puncak itu. Setelah lama berfoto-foto, kami pun meninggalkan kampung adat Bena dan melanjutkan perjalanan ke pemandian Air Panas di So’a.

Senang sekali. Banyak cerita tentang Manu Lalu dan kampung adat Bena menjadi bahan cerita penuh semangat di atas kendaraan. Pokoknya penuh canda dan tawa. Akhirnya, kami pun tiba di tempat tujuan. Hati pun senang. Seperti biasa, kami membayar karcis masuk dan langsung memilih tempat untuk beristirahat. Banyak sekali pengunjung yang sudah ada di sana. Lalu, kami mandi di air panas tersebut sepuasnya. Kami pun beristirahat sebentar untuk mengisi perut dengan makanan yang kami bawa. Mandi-mandi di air panas kami lanjutkan. Untuk menghilangkan bau belerang, kami semua menuju ke kamar mandi yang telah disiapkan. Kata penjaga air panas, belerang dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Kami mengemas barang-barang. Menyimpan semua pakaian dalam tas masing-masing. Membersihkan area di tempat makan tadi. Semuanya telah siap untuk kembali ke Ende. Om Logus, sopir bis kayu Trans Mardi Wiyata yang kami tumpangi menghidupkan mesin. Wali kelas memastikan bahwa kami semua telah ada di dalam kendaraan. Perlahan-lahan, kendaraan kami meninggalkan So’a. Pulang ke kota Ende.

Dalam perjalanan pulang, kami ketiduran. Om Logus membuka lagu. Kami yang tadinya tidur, segera bangun. Waktu perjalanan ke kota Ende terasa lama. Sudah gelap. Dari kejauhan kemerlap lampu-lampu dari kota Ende terlihat terang. Pintu masuk bagian barat kota Ende kami lewati. Dan, gerbang sekolah Yayasan Mardi Wiyata asuhan para Frater Bunda Hati Kudus (BHK), persis di batas barat kota Ende itu kami hampiri. Kira-kira pukul 07.00 malam. Tepatnya di lapangan bola volly, kami pun turun dari bis kayu Trans Mardi Wiyata. Hati terasa senang karena tiba di kota Ende dengan selamat. Ada rasa bangga dengan aneka kisah wisata yang penuh dengan kebersamaan. (*)






Telah Dimuat dalam Warta Flobamora, Edisi 46–November 2017, halaman 27

Sabtu, 09 Mei 2020

Ekoleksikon: Bergerak ke Kajian Linguistik Instrumental, Biografi Intelektual Dr. VeronikaGenua, S.Pd.,M.Hum.






“Bagi saya, studi ke jenjang doktoral bukan hanya sekadar persoalan tuntutan profesi sebagai dosen di Universitas Flores (Uniflor), namun menjadi penting karena seorang kandidat doktor dituntut untuk belajar lebih spesifik tentang sesuatu yang ditekuni, serta dapat menemukan hal-hal baru, terutama teori maupun metode baru dalam membedah suatu kajian  yang belum pernah dilakukan oleh orang lain atau peneliti sebelumnya.”
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Dr. Veronika Genua, S.Pd., M.Hum., salah seorang dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Uniflor. Verni yang lahir di Besei Lembata, 12 Pebruari 1971, dan kini Lektor di Uniflor, telah menempuh Promosi Doktor, tanggal 17 Januari 2018 dengan hasil yang sangat memuaskan dan lulus dengan predikat Pujian/Istimewa. Ia dipromotori oleh Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., dengan Kopromotor I dan II Prof. Dr. Aron Meko Mbete, dan Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. Sedangkan, tim penguji terdiri dari Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A, Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.A., Prof. Dr. I Wayan Rasna, M.Pd., Dr. Ana Agung Putu Putra, M.Hum., dan Dr. I Made Netra, M.Hum.
Torehan prestasi ini tentu tidak lepas dari kerja kerasnya selama menempuh pendidikan Pascasarjana (S-3) Ilmu Linguistik di Universitas Udayana (2014–2018). Ia mengaku banyak kendala yang dihadapi, termasuk mengalami kekurangan biaya walaupun sudah mendapat beasiswa dan hibah karena terlalu banyak urusan kampus yang membutuhkan biaya sehingga selalu saja berkekurangan. Tetapi semua itu dijalani dengan penuh senyuman dan berpasrah pada Tuhan sebagai sumber kekuatan juga para leluhur yang selalu mendampingi. Selain itu, ia juga mengalami kendala dalam upaya untuk menemukan promotor karena berbagai urusan Tri Darma Perguruan Tinggi, tetapi dengan kesabaran ia selalu berusaha untuk mencari dan menghubungi agar dapat berkontribusi tentang kesulitan dalam menganalisis tulisan.
Sebelumnya, Verni mengenyam pendidikan Sarjana (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) pada FKIP, Uniflor (1990–1995) dengan judul Skripsi “Tinjauan Kontaminasi pada Karangan Narasi Siswa SMAK Frateran Ndao Ende Tahun Ajaran 1994/1995” dan dibimbing oleh Drs. Pius Pampe, M.Hum., (Almh) dan Drs.Yoakim Jekson Kebol, M.Hum. Ziarah akademispun ia lanjutkan ke jenjang Pascasarjana (S-2) Program Studi Ilmu Linguistik, Universitas Udayana (2005-2007) dan tesis  berjudul “Teks Sodha dalam Ritual Joka Ju pada Masyarakat Lio Ende Flores”, dibimbing oleh Prof. Dr. Aron Meko Mbete, dan Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum.
Ketertarikannya pada ilmu bahasa (linguistik) dan alam semesta membuatnya menulis Disertasi dengan judul, “Ekoleksikon Nijo pada Guyub Tutur Lio Flores”. Kajian ini membedah tentang hubungan bahasa dan lingkungan alam suatu masyarakat. Dalam konteks ini, disertasi ini membedah guyub tutur Lio Flores terhadap struktur bahasa, makna, nilai dan ideologi yang terkandung dalam nijo yang juga merupakan pola dan falsafah hidup masyarakatnya. Selain itu, istri dari Petrus Duu, S.Ag., dan ibu dari Ignasius Azevedo Wanwol ini mengatakan bahwa tulisannya bertujuan untuk melihat dinamika pengetahuan, pemahanman dan penggunaan bahasa daerah antargenerasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi karena sebagian besar pengguna bahasa daerah dalam ranah tertentu beralih ke bahasa Indonesia.

Kajian Ekolinguistik

Secara umum, penelitian dalam Disertasi anak pasangan Nikolaus Nago (Alm.) dan Maria Lema (Almh.) ini, berusaha untuk mengungkap fenomena kebahasaan, secara khusus ekoleksikon nijo, pengobatan tradisional pada guyub tutur Lio Flores dalam kajian ekolinguistik. Kajian tersebut memiliki relevansi dengan linguistik dalam mengkaji hubungan antara bahasa dan lingkungan alam karena memiliki interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan guyub tutur setempat. Kehidupan guyub tutur bergantung pada lingkungan alam karena merupakan sumber penghidupan yang selalu dijaga dan dilestarikan antargenerasi.
Ekoleksikon nijo merupakan doa dan pengobatan secara tradisional yang merupakan warisan budaya leluhur, sudah menyatu dengan kehidupan guyub tutur Lio Flores. Setiap kata/frasa yang diucapkan memiliki kekuatan atau energi penyembuhan dari suatu penyakit yang dilakukan oleh ata bhisa ‘dukun’. Ekoleksikon nijo memiliki berbagai bentuk yang unik dan beragam untuk dikaji dari perspektif ekolinguistik. Salah satu kendala yang ditemuinya saat penelitian berkaitan dengan ata bhisa adalah sumber tidak dapat memberi informasi yang sesuai. Hal tersebut karena ia harus berhadapan dengan para ata bhisa untuk mendapatkan teks yang berhubungan dengan pengobatan tradisional karena bahan atau sumber yang diinginkan berhubungan dengan data serta transkripsi yang tidak dipahami secara mendalam serta data yang secara pribadi yang tidak dapat dibagikan kepada orang lain karena menjadi milik perorangan yang bersifat sangat pribadi.
Bentuk dan struktur nijo sangat berbeda dengan bahasa sehari-hari, seperti kalimat 'demi take miulake ‘yang tertahan singkapkanlah’. Dinamika pengetahuan kebahasaan antargenerasi secara khusus generasi muda dan dewasa mulai bergeser, terutama pengetahuan sumber daya lingkungan melalui khazanah bahasa lokal dan pengetahuan kearifan tradisi setempat. Khazanah ekoleksikon nijo terdapat berbagai kategori yakni, nomina, verba, adjektiva dan numeralia dalam pengobatan secara tradisional. Bentuk dan struktur lingual nijo tradisional berupa bentuk fonologi, yakni segmental dan suprasegmental, morfologi, dan semantik. Dinamika pengetahuan dan pemahaman antargenerasi tentang ekoleksikon nijo sangat bervariasi dan karena itu generasi muda kurang memahaminya. Hal ini disebabkan tidak dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, terdapat ideologi keyakinan untuk penyembuhan suatu penyakit, serta makna dan nilai yang terkandung seperti nilai kepasrahan, kapatuhan dan keharmonisan.
Verni mengakui, setelah meraih gelar Doktor, ia akan terus melakukan penelitian baik yang berhubungan dengan bidang keahlian maupun lintas bidang untuk berkontribusi atas berbagai kekayaan kearifan yang hampir punah karena belum tersentuh kajian akademik. Selain penelitian, ia juga akan melakukan pengabdian kepada masyarakat tentang pemanfaatan lingkungan alam sebagai sumber kehidupan dan kekayaan masyarakat.
Di akhir wawancara bersama Tim Suara Uniflor, Verni bercerita tentang salah satu kegiatan yang dilakukannya di Denpasar, yang merupakan bagian dari promosi Kabupaten Ende. Selama kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, ia dipercayakan sebagai koordinator untuk mengadakan pentas tarian gawi dan ja’i pada HUT Fakultas Ilmu Budaya dengan melibatkan mahasiswa S-1 dan S-2, dan teman-teman S-3 dari NTT. Sangat susah berlatih karena sebagian berasal dari luar Pulau Flores. Namun setelah berlatih secara berulang-ulang serta modifikasi untuk tarian gawi, pada akhirnya semua berjalan dengan baik, lancar, dan pada saat pentas semua penari mengenakan pakaian daerah Ende lengkap (lawo, lambu, luka lesu). (*)

Feature ini telah dimuat pada Harian Umum Flores Pos, 16 September 2017