Halaman

Jumat, 29 Desember 2017

Waktu

Gambar diambil dari 




Waktu. Satu kosa kata yang sangat familiar dengan kehidupan kita. Istilah yang secara semantik menunjuk pada rangkaian saat (ketika) untuk mengungkapkan saat atau lamanya suatu proses perbuatan atau keadaan berada berlangsung. Artinya, waktu berproses terus, dari saat ke saat, dan dari waktu ke waktu. Suatu tenggat eksistensi manusia serta makhluk hidup yang bernapas menjalani hidupnya. Hampir bisa dipastikan bahwa rentang eksistensi itu telah diatur oleh waktu. Seluruh pergumulan aktivitas dan rutinitas kita telah terkapling dalam zona waktu. Mulai bangun pagi hingga sore, bahkan sampai malam. Dari menit pertama sampai menit terakhir. Bahkan, dari jam, hari, bulan hingga tahun berganti. Kita senantiasa “menyerahkan” hidup dan diri kita pada kata ini, waktu.
             

Peluncuran Buku Inspirasi Almamater: Antologi Puisi Komunitas Puisi Jelata Universitas Flores




Geliat sastra di Flores kota Bunga, secara khusus, di kota Ende, kota Pancasila belakangan ini tengah bergairah. Lahirnya komunitas sastra di kota-kota di Flores, termasuk Ende adalah tanda betapa sastra sangat dibutuhkan oleh masyarakat pembaca dalam menanggapi dan memaknai hidup. Sastra semacam jalan, tapak kaki yang meninggalkan bekas, dan bekas tapak kaki itulah makna terdalam yang musti diapresiasi. Satu indikator kemajuan bersastra adalah lahirnya karya-karya sastra, entah puisi, cerpen, drama.

Komunitas Jelata

Universitas Flores sebagai lembaga pendidikan tinggi turut ambil bagian dalam proses mendidik dan membimbing calon penulis sastra yang baik. Salah satu hasil bersastra yang dituai ketika Komunitas Sastra Jejak Langkah Kita (JeLaTa) Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores, Jumad, 17 Februari 2017, bertempat di Anjungan PBSI Uniflor meluncurkan karya sastra mahasiswa dengan judul Inspirasi Almamater: Antologi Puisi Komunitas Puisi Jelata Universitas Flores. Peluncuran dihadiri oleh Ketua Umum Yapertif Dr. Laurentius D. Gadi Djou, M.Akt., Ketua Program Studi PBSI Sr. Imelda Oliva Wissang, S.Pd.,M.Pd., Penanggung Jawab penerbitan, dan editor Drs. Yohanes Sehandi, M.Si., para dosen dan ratusan mahasiswa.
Ketua Prodi Imelda Oliva Wissang, S.Pd.,M.Pd., dalam sapaan pembukanya di hadapan sedikitnya 200-an peserta diskusi menyampaikan kebanggaan dan apresiasi atas satu capaian mahasiswa. “Ini sebuah perjuangan. Suatu capaian dan jerih payah dalam merekonstruksi teori ke dalam praktik yang patut diapresiasi. Bahwa mahasiswa sebagai generasi muda mampu menuliskan isi pikirannya. Puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa dalam buku antologi ini merupakan karya kreatif dan ungkapan hati tentang beraneka hal. Saya memberikan apresiasi yang dalam atas terbitnya karya ini sambil tetap terus mendorong lahirnya karya-karya berikut”, harapnya.
Selanjutnya, Drs. Yohanes Sehandi, M.Si., penanggung jawab penerbitan, dan editor buku antologi menjelaskan proses seleksi hingga terbitnya naskah. Terdapat 54 nama penyumbang puisi dalam antologi Inspirasi Almamater, terdiri dari 42 orang penulis perempuan, dan 12 orang penulis pria. Seleksi terhadap puisi dilakukan oleh para pengurus Komunitas Puisi Jelata didampingi oleh dua dosen Prodi PBSI yaitu Rosa Dalima Bunga dan Sr. Imelda Oliva Wissang. Menurut Yan Sehandi, editor hanya melakukan pengeditan bahasa dan lay out, terutama pengeditan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Katanya, Antologi Inspirasi Almamateradalah buku yang ketiga yang diterbitkan oleh Prodi PBSI. Pertama, buku Pesona Indonesiaku: Antologi Puisi Anak Sekolah Dasar Kota Ende, Editor Imelda Oliva Wissang, diterbitkan atas kerja sama dengan Penerbit Nusa Indah Ende, 2013. Buku ini merupakan antologi puisi hasil lomba penulisan puisi siswa SD se-kota Ende pada waktu peringatan Bulan Bahasa Oktober 2012 yang diselenggarakan Program Studi PBSI Universitas Flores,
Kedua, buku Wajah Indonesiaku: Antologi Cerpen Siswa SMA Flores Lembata, Editor Imelda Oliva Wissang, Yohanes Sehandi dan Veronika Genua, diterbitkan atas kerja sama dengan Penerbit Aditya Media, Yogyakarta, 2014. Buku ini berisi 18 cerpen siswa SMA sedaratan Flores Lembata yang mengikuti lomba penulisan cerita pendek pada peringatan Bulan Bahasa Oktober 2013. Buku ketiga Inspirasi Almamater: Antologi Puisi Komunitas Puisi Jelata Universitas Floresadalah hasil kreativitas mahasiswa PBSI angkatan 2013 yang tergabung dalam Komunitas Puisi JeLaTa. Buku antologi ini diberi Prolog oleh Maria Marieta Bali Larasati, dosen kritik sastra dan epilog oleh Imelda Oliva Wissang, Ketua Program Studi PBSI sekaligus dosen Apresiasi dan Kajian Puisi. Menurut Yan Sehandi, prolog dan epilog dalam antologi ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi para pembaca untuk dapat menikmati puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi..
Usai sesi peluncuran dilanjutkan dengan diskusi buku dengan menghadirkan empat pembicara, yaitu Pater Amandus Klau, SVD., Gratiana Sama, S.Pd.,M.Hum., Dra. M.M. Bali Larasati, M.Hum., dan Beatrix Aran.
Pater Amandus Klau, SVD., dalam pemaparannya berangkat dari pendapat Plato yang mengatakan bahwa karya sastra kabur dan bernilai rendah. Namun demikian, sebuah karya sastra mesti dibongkar untuk memberikan bobot sekaligus menemukan makna terdalam lahirnya sebuah karya sastra, Bobot itu dapat mencerminkan realitas yang sesungguhnya, entah dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, kemanusiaan, dan alam semesta. Dalam konteks itulah, menurut dosen Jurnalistik pada Prodi PBSI dan editor HU Flores Pos ini, bila dibongkar, sekurang-kurangnya terdapat lima makna inspiratif dari antologi ini, antara lain makna waktu dan kebebasan, makna persahabatan, makna keberimanan, makna politik, dan makna postmodern. Makna-makna ini menggambarkan eksistensi mahasiswa idealis yang terus mencari dan mencari. Itulah sebabnya, hemat Pater Amandus, proses mencari adalah sebuah sikap menemukan identitas dan jati diri, kendati itu dalam cipta sastra.
Gratiana Sama, S.Pd.,M.Hum., melihat lahirnya antologi ini sebagai sebentuk ekspresi kerinduan mahasiswa akan berbagai rasa dan cinta. Gratiana yang juga dosen Prodi Sastra Inggris Uniflor ini, menandaskan kerinduan adalah soal hasrat dalam hidup yang mesti diperjuangkan setiap kita. Salah satu perjuangan dalam cara pandang mahasiswa adalah menulis puisi. Dan, mahasiswa telah memberikan andil untuk mengawetkan kerinduan-kerinduan yang terpendam itu dalam bentuk antologi. Sebuah langkah positif yang saya apresiasi karena menulis, bagi saya bermakna abadi. Walaupun ekspresi kerinduan itu masih terbatas pada iman, sosok ibu, situasi sedih, lingkungan almamater, situasi politik, namun itulah suatu rentang dan babak kehidupan yang menggambarkan keberadaan para penulis (mahasiswa).
Dra. M.M. Bali Larasati, M.Hum., menyoroti kehadiran Inspirasi Almamter dari terminologi “sastra wangi” yang menebarkan aroma inspirasi yang lahir dari kedalaman nubari ”alma”, ibu atas kehidupan. Menurutnya, puisi-puisi di dalamnya menyebarkan aroma harum mewangi yang mesti terus-menerus digairahkan melalui kegiatan membaca sastra dan menulis sastra. “Tentu Anda jangan puas dan berhenti menulis. Pengamatan saya, mahasiswa belum optimal menggunakan perpustakaan secara baik untuk menggali dan mendapatkan informasi yang utuh tentang sastra. Akibat kemajuan teknologi dengan bantuan media elektronik yang pesat, mahasiswa lebih suka membaca potongan-potongan informasi melalui internet. Perpustakaan, baru banyak dikunjungi mahasiswa pada saat hendak menulis skripsi. Padahal, seorang penulis puisi yang baik adalah juga seorang pembaca sastra yang baik, ” ujar Ibu Eta yang dosen kritik sastra ini.

Menulis Sebagai Proses Gerak Hati

Menurut Eta, menulis puisi adalah proses gerak hati, pikiran dan kekayaan imajinasi. Pengalaman menghayati proses inilah melahirkan empat manfaat bagi seorang penulis. Pertama, sebagai alat ekspresi diri, suasana dan pengalaman batin, rasa suka, duka, bebas, tertekan, galau, frustrasi, bahagia, berontak, dan lain-lain. Kedua, menulis puisi sebagi alat memahami secara lebih jelas danmendalam ide-ide yang ditulisnya. Ketiga, sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keempat, alat untuk terlibataktif dalam kegiatan bersastra. Dengan pengalaman bersastra kreatif inilah, mahasiswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang ilmu sastra dan apresiasi sastra, tetapi juga pengalaman proses kreatif.
Mewakili teman-teman penulis, Beatrix Aran menyampaikan terima kasih atas berbagai konsep dan ilmu sastra yang diperoleh dari para dosen. “Saya mengucapkan terima kasih. Ilmu sastra yang kami peroleh, mengendap, dan terartikulasi dalam aneka rasa puisi dalam antologi ini. Tentu kami masih membutuhkan petunjuk dan dampingan para dosen untuk proses kreatif kami selanjutnya.”
“Tugas kita semua adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlewatkan dalam diskusi ini pada setiap perjumpaan kita di dalam proses perkulihan. Satu yang penting kita mesti terus berproses dalam berbagai karya sastra, karena demikianlah yang bisa kita baktikan untuk masyarakat” tandas Falentinus Bata, moderator diskusi siang itu. Salam Almamater.*









[1] Disari dari kegiatan Peluncuran Inspirasi Almamater: Antologi Puisi Komunitas Puisi Jelata Universitas Flores oleh Komunitas Sastra Jejak Langkah Kita (JeLaTa) Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores, Jumad, 17 Februari 2017, bertempat di Anjungan PBSI Uniflor.

Wajah Indonesiaku: Wajah Kita Semua



Wajah dapat diartikan sebagai roman muka atau muka. Semua orang memiliki wajah dan tentu sangat berharap agar wajah tersebut memancarkan sesuatu yang baik. Diksi wajah ini dipilih untuk melengkapi diksi Indonesia sebagai judul antologi cerpen siswa SMA Flores Lembata. Wajah yang secara khusus menyentuh dan melekat kuat pada kedirian seseorang digunakan dalam konteks ini untuk mengungkap sesuatu yang lebih luas menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, setidak-tidaknya wajah sebuah Indonesia dapat ditemukan dalam antologi cerpen ini. Pemakaian diksi Indonesia saja dalam konteks ini, telah memunculkan rasa bangga tentang sebuah nama juga tempat yang spesial di hati kita semua anak bangsa. Sebuah nama yang memang secara empiris sangat multikultural, multilingual, dan pluralistis dengan ruang geografis pulau Nusantara, dan lingkungan sosiokultural yang unik dan spesifik. Sangat menakjubkan dunia sejagat.
Wajah Indonesiaku menjadi lengkap apabila dipandang dari dua sisi yang berbeda, sebagaimana eksistensi kehidupan manusia itu sendiri yang dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian. Pilihan Wajah Indonesiaku juga masih dalam semangat yang sama yakni ingin menampilkan sisi lain kehidupan sebuah Indonesia. Sebuah wajah yang dahulunya cantik dan ayu, sekarang tampak bopeng, karut marut, tercabik-cabik, penuh dengan konflik horizontal. Dari pusat sampai ke daerah, bahkan menusuk hingga ke kampung-kampung. Inilah sebuah realitas kekinian yang sedang menimpa wajah Indonesia. Wajah lain yang dimaksudkan tertuang dalam antologi cerpen siswa SMA Flores Lembata. Letupan emosi dan ekspresi penghayatan juga pengalaman kekinian mereka tentang kehidupan sesungguhnya. Bagaimana mereka berusaha menghayati dan mencipta dengan sungguh realitas sekitar. Mereka telah berusaha melihat dengan mata telanjang dan mengangkat sesuatu yang terlewatkan oleh kebanyakan orang. Mereka juga telah memposisikan diri sebagai produsen dalam mengangkat dan menggarap sesuatu tidak pada tempatnya untuk dipasarkan ke tengah masyarakat. Mereka telah menjadi lentera kehidupan yang selalu menyalakan kandil di tengah kegelapan.
Bagi saya letupan perasaan para siswa SMA Flores Lembata yang tertuang dalam karya sastra cerpen ini menjadi semacam renungan profetis. Renungan-renungan ikhlas tentang serangkaian kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani dan kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya. Dengan demikian, sastra menjadi media interaksi sosial masyarakat. Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok sosial yang lebih besar. Sastra juga menjadi media belajar bersama tentang hidup nan kompleks. Sastra menjadi “bahasa penghubung” tentang kehidupan material dan spiritual, di samping menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur kehidupan masyarakat secara universal. Renungan-renungan dimaksud telah menghadirkan sebuah interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di antara dua orang atau lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, daan kontak sosial. Karya sastra dapat pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang dinamis antara dorongan batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.
Namun, karya sastra sebagai teks hanyalah jejak (trace), bekas telapak kaki, di dalamnya pembaca harus menemukan manusianya, demikian ungkap Derrida. Jejak bukanlah makna itu sendiri, jejak hanyalah mediasi antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara yang tertinggal dengan yang harus dicari. Pembacalah yang harus mencarinya, bukan penulis. Di sanalah eksistensi pengarang ditemukan sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Aspek yang tertulis adalah kesadaran, dan aspek yang tidak tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat metafora gunung es, yang menjadi aspek yang jauh lebih luas, dalam dan beragam. Dengan kata lain, unsur-unsur di luar bahasalah yang lebih kaya yang dapat dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan pemahaman yang komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh pengarang. Ini dilandasi oleh pemikiran bahwa sastra bukan merupakan sebuah ilmu pasti yang sekali baca langsung dipahami, namun sastra merupakan karya interpretatif yang menyajikan sekian banyak kemungkinan penyelesaian persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan, tuangan karya interpretatif dalam antologi ini merupakan wujud kepedulian para siswa kita yang adalah bagian dari anggota masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana interaksi sastra untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.
Kehadiran antologi ini sekaligus disertai dengan sebuah harapan yang sama bahwa akan lahir lagi karya-karya sastra yang lain dari anak-anak bangsa, terutama anak-anak Flores Lembata. Mudah-mudahan antologi ini dapat memberikan sesuatu yang lain dalam kehidupan para pembaca. *
Selamat membaca!







[1] “Wajah Indonesia, Wajah Kita Semua” dalam Antologi Cerpen Siswa SMA Flores Lembata. (Yohanes Sehandi, dkk. Ed). Yogyakarta: Penerbit dan Percetakan Aditya Media Yogyakarta. ISBN: 978-602-7957-41-1
[2] Pengasuh mata kuliah Sosiolinguistik pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores

Nasionalisme dan Harmonisasi




               

Mengenang Sumpah Pemuda yang ke 84 (28 Oktober 2012), anak-anak muda (pemuda) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores menggelar beberapa kegiatan: lomba debat, lomba pidato, lomba membuat mading, dan lomba menulis dan membaca puisi bagi siswa sekolah dasar se-kota Ende. Beberapa bentuk revitalisasi peran pemuda yang coba dikerjakan untuk orang-orang di sekitarnya. Pemuda adalah harapan dan tulang punggung bangsa, merupakan terminologi  yang sarat makna. Sebuah kebanggaan yang menghentak seraya membangunkan kesadaran kolektif pemuda bahwa kita sesungguhnya berpijak di atas tanah dan rahim ibu yang sama. Oleh sebab itu, gerakan kepemudaan yang ditandai dengan ikhrar Sumpah Pemuda 84 tahun silam telah memberikan sebuah format stimulasi pembaharuan dari prosesi pencarian kesadaran akan harga diri anak bangsa yang dipasung akibat ketakberdayaan politik hutang budi penjajah.
Dalam semangat, kesadaran dan idealisme tersebut, ada signifikansi konkrit yang muncul sebagai implementasi daya kecerdasan dan relevansi sosial, melalui kecerdasan mengelola perubahan dan relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di atas + 500 etnik yang menyebar pada +1377 pulau di Nusantara ini. Ruang kesadaran demikian tertanam dalam relung terdalam anak-anak kita. Mereka penerus ruang kesadaran yang sama dari orang-orang di sekitarnya. Ruang kesadaran yang sama inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk mengalami nasionalisme dan simpati yang dalam terhadap sebuah bangsa. Dengan demikian, mereka diharapkan untuk tidak terjerat dalam keganasan dan apatisme kolektif yang bernuansa kelompokisme, sekretarianisme, dan lain-lain.
Atas pertimbangan tersebut, program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores mengambil peran dalam pembangunan watak anak bangsa melalui menulis puisi. Hasil atas peran dimaksud mewujud dalam bentuk buku Antologi Puisi Anak yang sedang ada di tangan Anda ini.
***
Buku  Antologi Puisi Anak melukiskan rasa nasionalisme akan Bumi Pertiwi terhadap tanah air, alam, dan budaya bangsa Indonesia. Lukisan-lukisan anak-anak dalam puisi-puisi ini telah menghentak sekaligus membangunkan kita menuju sebuah ruang kesadaran baru, sambil mengajak kita untuk berempati akan situasi kronis bangsa ini. Namun, itulah seorang anak, mereka tetap dan bertahan bernarasi dalam sebuah piranti waktu yang riang, santai, tapi dalam. Tampil dengan gaya bercerita dengan pilihan kata yang denotatif dan kontekstual menandai keaslian memperhensi keseharian mereka. Itulah dunia anak yang nyata tanpa basa-basi.
Sebuah imajinasi nasionalisme yang utuh dari anak-anak ini. Bagi saya inilah nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme yang bening, jernih. Lahir dari kesungguhan hati, kebeningan nurani dan jiwa raganya akan sebuah nama: Indonesia. Tempatnya dan orang-orang di sekitar dia membumi. Inilah fakta faktual kecintaan mereka yang berani mempertaruhkan dan mengabdi pada Bumi Pertiwi. Bukan nasionalisme setengah-setengah atau setengah hati. Spirit, vitalitas, dan kesungguhan untuk berada dan mencintai Indonesia. Bukan basa-basi. Bukan pameran vulgar verbalistik yang bopeng, keropos, dan eufemistik. Sebagaimana yang kita amati akhir-akhir ini.
Walau diterpa dan dibombardir berbagai penyakit akut sosial, penebangan hutan, pembakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan oleh kaum kapitalis, Indonesia tetap menjadi Indonesia mereka. Begitulah dunia anak. Dunia tanpa dusta. Dunia jujur. Bening. Tenteram tanpa konflik. Lugas, bebas bermain ke sana-ke mari tanpa henti, apalagi takut disihir berbagai napsu birahi berbagai konflik interest manusia edan Indonesia. Keprihatinan santun terus membuncah mengajaknya menukil sekali lagi realitas ‘praktik orang besar’ Indonesia yang apatis akan ketercerabutan budaya bangsa yang gemah santun dan toleran, hukum yang karut-marut, harga-harga barang yang meroket, dalam baris-baris optimisme tegak seraya mengajak sekalian anak untuk tetap mencintai Indonesia.
Buku Antologi Puisi Anak juga menghadirkan sebuah harmonisasi. Nasionalisme dan harmonisasi merupakan dua hal yang jauh dan sangat berbeda. Namun, dalam konteks dunia anak, mampu dielaborasi menjadi satu-kesatuan yang kohesif dan terpadu. Letupan dan ekspresi-ekspresi imajiner yang terungkap dalam puisi-puisi anak ini boleh jadi merupakan pengalaman mimetik mereka untuk ada bersama dalam sebuah proses kultural yang sama. Proses kultural bagi dunia anak merupakan proses murni tanpa artifisial. Dalam dunia inilah mereka membangun relasi dan interaksi yang selaras dan harmonis. Mereka belajar berbudaya sekaligus belajar memelihara ketenangan hidup. Memelihara ketenangan hidup dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan diri dan sesama, dan memelihara hubungan harmonis dengan alam lingkungannya. Oleh karena itu, buku Antologi Puisi Anak, yang sedang ada di tangan para pembaca ini, sedapat mungkin menjadi cermin bagi pembaca dan masyarakat kita untuk sekali lagi berkaca tentang nasionalisme dan harmonisasi.
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada para staf dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores, yang telah menggagas dan ikut serta dalam kegiatan penilaian hingga terbitnya buku ini. Rasa bangga juga saya ucapkan kepada para kepala sekolah dan guru bidang studi Bahasa Indonesia se-Kota Ende yang telah terlibat aktif dalam mendorong dan membimbing para siswa dalam menulis puisi. Kepada Pemimpin Umum Penerbit Nusa Indah Ende yang telah bersedia menerbitkan buku Antologi Puisi Anak ini, saya ucapkan terima kasih.
Mudah-mudahan buku kecil, karya anak-anak kita ini mendapat apresiasi luas dari kalangan pembaca di Flores dan Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, menjadi langkah awal merangsang daya anak dalam mencipta karya sastra sebagai wahana penghalus budi dan rasa. Atas maksud yang sama, kehadiran buku Antologi Puisi Anak dapat memperkaya daftar referensi sastra Anda sekaligus menjadi salah satu sumber pembelajaran sastra di sekolah. *
Selamat membaca!
Ende, Tengah Februari 2013



[1] “Nasionalisasi dan Harmonisasi” dalam Antologi Puisi Anak Se Kota Ende. (Imelda Oliva Wissang, dkk. Ed). Ende: Nusa Indah. ISBN: 979-429-331-8—(2013)
[2] Pengasuh mata kuliah Sosiolinguistik pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores

Menjadi Guru yang Jurnalis




Kemajuan yang semakin pesat di satu pihak, menghadirkan tuntutan yang juga dirasakan kian kompetitif di pihak yang lain. Setidak-tidaknya, Anda yang calon guru ini “dituntut” untuk saling berkompetisi secara terbuka berdasarkan kompetensi dan kemampuan yang Anda miliki. Menurut saya kompetensi yang patut Anda miliki, selain menjadi guru adalah menjadi jurnalis. Guru yang jurnalis, dan jurnalis yang menjadi guru. Harapan demikian dilontarkan oleh Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores Alexander Bala Gawen, ketika tampil menjadi narasumber pada pelatihan jurnalistik yang dielenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Faklutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor), Jumad, 9 Desember 2016, bertempat di Aula Kampus 4 Uniflor.
Mulailah dengan merubah kebiasaan dan cara pandang. Memang tidak mudah bagi seseorang dapat merubah kebiasaan atau kultur, lebih-lebih kebiasaan yang kurang bagus. Merubah mindset (cara pikir, cara pandang). Diperlukan keberanian ekstra untuk usaha merubah kebiasaan jelek. Satu contoh di masyarakat kita tumbuh kultur jam karet (sering terlambat, molor, menunggu teman, cepat puas dengan apa yang ada, putus asa) kurang disiplin dan kurangnya penghargaan terhadap waktu. Tidak heran bila ada satu orang mencoba tepat waktu, maka akan banyak komentar dari sekelilingnya. Namun, bagi Anda yang mau maju ikutilah hal ini. Niscaya, Anda berhasil.

Subyek Kreator

Dalam konteks ini, menurut Alex, mahasiswa sebagai subyek “kreator” mesti terus berusaha, mencipta, memodifikasi segala sesuatu agar bisa menemukannya. Bicara, omong atau bertutur saja tidak cukup. Akan menguap begitu saja. Alangkah lebih bijak Anda mesti menguasainya secara berimbang: “omong oke, tulis pun oke”. Dengan demikian, daya, kemampuan, dan potensi yang ada pada diri Anda mesti dieksplorasi. Tinggalkan sikap malas dan “nrimo”, menerima saja nasib. Selalu berpikir positif. Buang jauh-jauh pikiran-pikiran yang membelenggu diri. Jadilah Anda kaum intelektual—cendikia yang bermartabat. Setia pada pilihan pekerjaan Anda. Kendati menjadi GURU. Guru yang Jurnalis. (@bg).




[1] Disampaikan pada pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor), Jumad, 9 Desember 2016, bertempat di Aula Kampus 4 Uniflor.

Kamis, 21 Desember 2017

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme: Sebuah Sentuhan Jurnalistik




Jelajahi dunia dan akhirat dengan membaca, dan
Ikatlah dengan menulisnya (anonim)

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme
Dunia jurnalistik mengajak Anda melalangbuana. Berpetualang sama ketika Anda sedang berselancar mengarungi area laut luas. Namun, saya hendak mengkapling dan mengerucutkan petualangan ini pada satu dua gagasan yang lebih merupakan sentuhan etis-psikologis-emosional untuk menginspirasi Anda dalam memahami hidup Anda (mahasiswa) sebagai satu kelompok  sosial kategorial yang “plus”.
Di dalam sebuah masyarakat, bangsa, dan negara, mahasiswa dapat di­kategorikan sebagai kelompok strategis. Ia diha­rapkan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dan memainkan peran-peran ter­tentu demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai kelompok strategis, mahasiswa dapat dikategorikan sebagai intele­gensia, bahkan intelektual (cendekiawan—cerdas, berakal, pikiran jernih berdasar ilmu pengetahuan).
             Sebagaimana umumnya kaum intelektual, mahasiswa sudah selayaknya (a) menunjukkan kemampu­an nalar (reasoning power) yang baik dan cemerlang, (b) menunjukkan ke­mampuan berpikir bebas dan kritis, (c) meminati persoalan-persoalan rohani (things of mind), dan (d) memiliki kemampuan mempertanyakan kebenaran-kebenar­an yang berlaku pada suatu saat demi kebenaran yang lebih hakiki, tinggi, dan luas.
            Di samping itu, mahasiswa sebagai kelompok intelektual harus memiliki asketisme (?) intelektual, gaya hidup atau gaya kerja yang tidak mengejar keun­tung­an-keuntung­an praktis kebendaan. Ia harus dapat hidup dan bekerja de­ngan penuh kegembiraan di segala lapangan kehidupan.
                Pemuda adalah subyek yang hidup dengan kelimpahan idealisme yang perlu dieksploitasi dalam kehidupan nyata. Namun, terkadang pemuda cenderung bersikap eksklusif dan radikal juga mengedepankan rasionalitas tujuan dan mengabaikan rasionalitas nilai. Dalam idealisme yang berkelimpahan tersebut, mesti ada signifikansi antara daya kecerdasan dan relevansi sosial, terutama relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di kepulauan di Nusantara ini. Oleh karena itu mahasiswa mesti sebagai “ragi” penggembur nilai-nilai kebaikan melalui “demonstrasi tulis”.
  Transformasi idealisme pemuda dalam membangun integritas bangsa mulai tampak pada peristiwa 28 Oktober 1928. Namun, sebuah dosa sejarah yang mesti ditanggung oleh pemuda rezim Orde Baru, bahwa posisinya yang partisan di hadapan politik penguasa. Ketika itu pemuda tidak berkembang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan penguasa. Sebagai bagian yang inheren dari rakyat, pemuda memiliki posisi tawar yang lemah, bahkan dalam banyak kasus pemuda justru tergoda dan terkooptasi dengan iming-iming pragmatisme politik dan ekonomi yang ditawar oleh rezim Orde Baru dan agen kapitalisme.
          Fakta yang menimpa pemuda dan mahasiswa semasa Orde Baru tentu saja tidak bersifat pars pro toto (generalisasi), karena dalam skala kecil dan bersifat sproradis, tumbuh pula gerakan kritis pemuda  terhadap hegemoni kekuasaan Orde Baru. Daya kritis pemuda yang terus tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu telah melahirkan gerakan reformasi 1998 yang akhirnya menggenjot dan menambah perbendaharaan peran historis pemuda. Modal terbesar pemuda adalah idealisme. Jika modal ini dipelihara, maka akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk menggilas penindasan, penipuan, kebohongan, praktik KKN, serta kebobrokan sosial lainnya. Tanpa idealisme, Ibu Pertiwi tak mungkin terlepas dari cengekeraman kolonialisme dan imperealisme. Tanpa idealisme tanah air kita akan tetap menjadi tanah jajahan tempat berkubangnya para perampok. Tanpa idealisme, negeri ini tak mungkin merdeka. Tanpa idealisme rezim represif Orde Baru yang mengingkari kedaulatan rakyat tidak mungkin lengser.
       Sajian singkat di atas, menyiratkan bahwa perlu adanya redefinisi peran pemuda. Perlu ada reorientasi paradigma terhadap eksistensi pemuda sebagai social-category. Hal demikian mengandung makna bahwa pemuda merupakan asset sosial dan asset bangsa yang paling strategis. Oleh karena itu, jiwa kepeloporan dan partisipasi perlu terus digali dan ditingkatkan kualitasnya dalam upaya pencarian dan penemuan tujuan kehidupan berbangsa dn bernegara sebagaimana teramanah dalam UUD 1945. Kesadaran pemuda dalam peta demografis bangsa amat strategis dari perspektif kuantitas. Hampir 80 juta orang dari 220 juta populasi masyarakat Indonesia terkategori sebagai pemuda atau generasi muda. Ini adalah potensi yang sungguh tinggi derajat eksistensialnya bagi konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara.



Jurnalis: Sebuah Pilihan Pekerjaan

      Menjadi Jurnalis adalah sebuah pilihan pekerjaan. Sebagaimana Anda sedang menimba ilmu sekarang ini dengan karakteristik disiplin ilmu yang berbeda. Anda sedang berorientasi menjadi guru bidang studi A, B, C, atau D. Maka, menjadi Jurnalis merupakan sebuah pilihan profesi yang menarik untuk digeluti. Sebagai guru, Anda perlu mengalami suasana tulis-menulis dan menjadikannya sebagai suasana yang lazim dan berkesinambungan. Mulai dari merancang rencana pembelajaran, penyusunan evaluasi, sampai proses dan penentuan penilaian. Itulah rangkaian kegiatan tulis-menulis seorang guru. Dengan demikian, menjadi jurnalis tidak saja harus menjadi “wartawan”, melainkan menjadi guru yang jurnalis atau guru yang wartawan.
        Hal ini penting saya ungkapkan di sini mengingat guru sekarang tidak sama dengan guru tempoe dulu. Guru sekarang adalah guru yang mesti menulis secara berkelanjutan. Untuk setiap kenaikan pangkat mulai dari Golongan IIIa ke IIIb, guru mesti menulis karya ilmiah, melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) secara reguler, menghasilkan berbagai karya ilmiah sampai menulis artikel ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal yang ber-ISSN (International Standard Serial Number).
         Inilah guru yang sebenarnya. Guru yang memiliki niat dan ikhtiar untuk maju terus dan pantang untuk mundur. Dalam mekanisme kenaikan pangkat dan golongan yang kian ketat dan menantang seperti inilah “memaksa” Anda yang masih mahasiswa ini untuk terus belajar tanpa henti. Menyiapkan diri dan mengasah kemampuan dan nalar Anda secara jernih untuk memperoleh banyak faedah dan keuntungan.
        Faedah yang paling tampak dari seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca dan menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang mahasiswa. Ingat, ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan mengayuh sepeda onthel. Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda itu. Begitu juga menulis.
        Tulisan telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan kesinnambungan hidup manusia sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275).
    Rektor Uniflor, Profesor Stephanus Djawanai juga berpendapat yang sama bahwa dunia tulis-menulis merupakan sebuah dunia yang mengekspresikan ciri keintelektualan manusia, untuk mengenal inti budaya dan kehidupan manusia universal (Flores Pos, 23 Maret 2015). Jelaslah bahwa amnesia sejarah ini terjadi lantaran tak disangga oleh tulisan. Inilah pesan penting para pemashyur, pemikir dan penulis andal yang karyanya masih tetap unggul dan relevan bagi persemaian peradaban dan ilmu pengetahuan abad ini.
 Berpikir, membaca, dan menulis menurut Bacharuddin Jusuf Habibie  merupakan terapi-diri (self-healing). Untuk mencegah apa yang disebut sebagai “black-hole”, yaitu kondisi “psiko somatic malignan”, yakni gangguan emosional berdampak negatif pada sistem organ vital manusia. Untuk memperpanjang umurnya, Habibie memilih untuk melakukan kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya dengan menulis (Habibie & Ainun, 2012: xiv). 
 Bangsa-bangsa atau negara-negara yang memiliki tradisi ilmu yang kuat selalu memiliki tradisi berpikir-menulis-membaca yang baik dan tinggi. Tradisi menulis dan membaca tentu memerlukan tradisi berpikir–terutama berpikir kritis atau kreatif yang disangga oleh penalaran. Tradisi berpikir bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga peradaban keberaksaraan (literacy) yang berfondasikan teks, bukan kelisanan (orality) yang berfondasikan tuturan.
   Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai karya khasanah fatis yang ada, hidup, terawat dan awet dalam masyarakat kita. Kapan dan siapa yang bertanggung jawab mengaksarakan berbagai karya khasanah fatis dalam tradisi lisan tadi menjadi tradisi tulis. Paling kurang generasi yang akan datang dapat mengetahui dengan runut dan runtut khasanah-khasanah fatis dimaksud melalui tulisan. Ada pesan moral yang ditinggalkan untuk mereka, yakni bagaimana menghargai kehidupan ini dengan menulisnya. Lembaga-lembaga dan satuan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu pengemban amanat tradisi ilmu. Karena itu, harus memiliki sekaligus memelihara penguasaan tradisi berpikir-menulis-membaca secara baik. Ini artinya, kegiatan berpikir-menulis-membaca sekaligus kegiatan mengasah penguasaan bahasa Indonesia, diikuti dengan memberikan pelayanan yang memadai merupakan langkah konkrit memuliakan tulisan. Tentu ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari visi dan misi membangun Indonesia sejahtera.

Merubah Kultur, Merubah Mindset

Tidak mudah bagi seseorang dapat merubah kebiasaan atau kultur, lebih-lebih kebiasaan yang kurang bagus. Merubah mindset (cara pikir, cara pandang). Diperlukan keberanian ekstra untuk usaha merubah kebiasaan jelek. Satu contoh di masyarakat kita tumbuh kultur jam karet (sering terlambat, molor, menunggu teman, cepat puas dengan apa yang ada, putus asa) kurang disiplin dan kurangnya penghargaan terhadap waktu. Tidak heran bila ada satu orang mencoba tepat waktu, maka akan banyak komentar dari sekelilingnya. Namun, bagi Anda yang mau maju ikutilah hal ini. Niscaya, Anda berhasil. Kata orang  sedikit-sedikit menjadi bukit.

Memanfaatkan sampai Mencipta Peluang

Mahasiswa sebagai subyek “kreator” yang mesti terus berusaha, mencipta, memodifikasi segala sesuatu agar bisa menemukannya. Bicara, omong atau bertutur saja tidak cukup. Akan menguap begitu saja. Alangkah lebih bijak Anda mesti menguasainya secara berimbang: omong oke, tulis pun oke. Dalam konteks ini, daya, kemampuan, dan potensi yang ada pada diri Anda mesti dieksplorasi. Tinggalkan sikap malas dan “nrimo”, menerima saja nasib. Selalu berpikir positif. Buang jauh-jauh pikiran-pikiran yang membelenggu diri. Jadilah Anda kaum intelektual—cendikia yang bermartabat. Setia pada pilihan pekerjaan Anda. Kendati menjadi GURU. Guru yang Jurnalis.

Ende, 9 Desember 2016



[1] Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Jurnalistik yang Diselenggarakan Oleh BEM FKIP Universitas Flores, Bertempat di Aula FKIP Universitas Flores, Jumad, 9 Desember 2016
[2] Dosen Universitas Flores, Ende