Halaman

Selasa, 30 Mei 2023

Pembelajaran Berbasis Teks

 

Pembelajaran bahasa Indonesia, termasuk aspek sastra dalam kurikulum 2013 menggunakan pendekatan teks (Mahsun, 2013a). Dengan berbasis teks atau melalaui penyajian berbagai teks berbais realitas keseharian diharapkan siswa menggunakan bahasa tidak saja sebagai sarana komunikasi, tetapi penting sebagai sarana mengembangkan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir sebagai sasaran pembelajaran berbasis teks ini merupakan suatu keniscayaan dalam masa sekarang ini.

Teks Dalam Kurikulum

Pengertian teks dalam kurikulum ini berbeda dengan pengertian teks selama ini yang hanya diartikan sebagai wacana tertulis. (Alwi,et al, 2002:1159). Teks itu adalah ungkapan pikiran manusia yang lengkap yang di dalamnya ada situasi dan konteksnya (Mahsun, 2013a). Teks dibentukoleh konteks situasi penggunaan bahasa yang di dalamnya ada register atau ragam bahasa yang melatarbelakangi lahirnya teks tersebut. Mahsun (2013b) menyatakan bahwa bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks.



Maryanto (Kompas, 3 April 2013) juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks dalam kurikulum 2013 adalah berbentuk tulisan, lisan, dan bahkan multimodal, seperti gambar. Pengertian ini setara dengan pendapat Kim dan Gillman (2008: 114) yang membedakan teks dengan istilah visual text dan spoken text. Teks sastra dalam kurikulum 2013 merupakan pembahasan yang penting dalam pembelajaran sastra. Keberadaan pembelajaran sastra selama ini sering dipermasalahkan bahkan sering terjadi beda pendapat, pro dan kontra. Pendapat yang pro menganggap pembelajaran sastra sangat penting dalam rangka ikut membentuk watak siswa, sedangkan pendapat yang kontra menganggap bahwa sastra tidak penting dan membuang-buang jam pembelajaran. (*)

Senin, 29 Mei 2023

Menulis Itu Seperti Menenun Sarung

Menulis identik dengan tenun kata. Me(tenun) kata. Menenun sarung proses kerjanya sama persis dengan menenun kata atau menulis. Dua-duanya butuh ketelitian, kejelimetan untuk menserasikan aneka warna benang dalam satu paduan corak atau motif yang enak dipandang mata. Menulis dimulai dengan memilih kata. Menenun diawali dengan memilih benang. Aneka warna benang disiapkan. Kejelimetan mengurai dan memadukan warna agar membentuk model atau motif tertentu adalah "senyawa" dalam tarikan napas yang sama. Satu aliran darah dengan degupan jantung yang terus memompa semangat mencipta sang penenun. lahirlah motif dan aneka motif berpadu padan dalam satu mahakarya hasil budaya anak bangsa.


Menulis Itu Seperti Menenun Sarung

Proses menenun sarung tersebut sama dengan proses menulis. Beralur dalam satu aliran dan tarikan napas yang sama. Dimulai dengan menentukan tema atau topik tulisan. Memilih kata atau diksi untuk mewakili pesan yang ingin ditulis. Agar pembaca paham dan mengerti tentang apa yang ditulis. Maksud tersebut dielaborasi dalam kalimat-kalimat yang membentuk suatu alinea atau paragraf yang utuh dan maksimal. Pesan-pesan yang dimaksudkan penulis dirangkai terus-menerus dalam paragraf-paragraf lain dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan keutuhan relasi antara paragraf dimaksud. Apa yang dimaknai sebagai kohesivitas paragraf, sambil keeratan maksud kalimat dirangkai secara koherensif. Jadilah suatu ide atau gagasan tertuang utuh dalam wacana. 



Demikianlah hubungan antara menenun sarung dan menulis kata hingga merangkai paragraf. Sederhana. Prosesnya sama. Menulis pun membutuhkan ketelitian dan kejelimetan memilih kata dan memadunya dalam kalimat dan paragraf. (*)



Jumat, 26 Mei 2023

Naskah Drama Sukarno


Dua dari 12 naskah tonil (sandiwara) yang ditulis Sukarno ketika menjalani masa pembuangan di Ende. Dokter Syaitan pernah dipentaskan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores di ruang siar RRI Ende dengan dua pelaku lain, yaitu Prof. Dr. Stephanus Djawanai, Ph.D., dan Taufik Kiemas. Keduanya sudah dipanggil pulang keharibaan Tuhan Pencipta pemilik kehidupan. Kiranya mereka damai di surga.

Naskah tonil Rahasia Kelimutu juga pernah dipentaskan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores (Uniflor) tahun 2013 di Auditorium H.J. Gadi Djou Ende, di hadapan tamu dari Kementerian Pendidikan, Kementerian Pariwisata, dan tamu undangan lainnya bertepatan dengan pemugaran situs-situs Bung Karno selama pembuangannya di Ende. 

Tonil bagi Soekarno merupakan jalan lain untuk mengirim pesan kepada kaum kolonial bahwa kita bangsa Indonesia ini punya harkat dan harga diri. Oleh karena itu, Sukarno tidak hanya menulis naskah, namun ia tampil sebagai sutradara, produser, bahkan sebagai penonton untuk memberi semangat kepada penonton dan khalayak masyarakat untuk terus berjuang. (*)

Kamis, 25 Mei 2023

Kelimoetoe Toneel Club


Presiden Joko Widodo mengunjungi Ende pada tanggal 1 Juni 2022. Menurut informasi yang diperoleh RI1 akan menginap semalam di Ende. Ende punya kisah historis yang kuat. Di Ende Soekarno pernah diasingkan (1934-1938). Ada beberapa bukti sejarah Bung Karno di Ende. Salah satunya adalah Kelimoetoe Toneel Club. 



Kelimoetoe Toneel Club

Klub Tonel Kelimutu, klub yang dibentuk oleh Ir. Soekarno ketika di Ende. Klub ini dipandangnya sebagai "kampus" untuk menyelenggarakan diskusi, pementasan drama, bernyanyi, berpawai, termasuk berlatih lagu-lagu popular.  Anggotanya diperkirakan sebanyak 90 orang, ketika itu. Di hadapan massa, Soekarno tampil menjadi "singa podium".

 Semuanya tergantung pada kepemimpinan Bung Karno, sang sutradara dan seniman. Ia melatih secara rinci orang-orang tak terpelajar, seperti bagaimana memainkan orang mati di panggung sederhana. Anggota tonil pun tidak memahami dan mengerti mengapa orang hidup yang sengaja menjadi mati dipertontonkan di atas panggung. Namun, Soekarno tidak pernah lelah, berhari-hari memberikan pelatihan agar pementasan tonil berhasil.

Selama di Ende Soekarno menghasilkan beberapa naskah tonil. Tonil yang terkenal adalah Dokter Syaitan dan Rahasia Kelimutu. Properti pementasan, misalnya banner dilukis dan digambar sendiri, sebab Bung Karno juga adalah seorang pelukis. (*)

Senin, 22 Mei 2023

Makna Kebangkitan Nasional


              Hemat saya, negara ini dibangun sekaligus dengan dua kekuatan, kekuatan fisik melalui perang dan gerilya. Masuk keluar hutan melawan penjajah kaum imperealis. Kekuatan yang kedua adalah kekuatan membangun narasi dan gagasan melalui diplomasi dan diskusi internal maupun eksternal. Mereka atau para pemuda yang kokoh berjuang ketika itu adalah primus interpares, tokoh pemuda yang kuat, tangguh, kukuh, kokoh, dan kuat. Warisan atau legacy para tokoh primus interpares tersebuat adalah kemerdekaan yang sedang kita nikmati.

Pertanyaan Serius                  

         Pertanyaan seriusnya adalah apa beban atau tanggung jawab Anda sebagai pemuda yang notabene adalah mahasiswa dalam masa ini? Jawaban yang paling mungkin dari saya dan paling bisa dalam konteks ini adalah belajar, belajar, belajar. Jangan takut. Belajar sesungguhnya bukan ketika Anda berhadapan dengan Bpk/Ibu dosen tidak masuk kuliah berarti Anda tidak belajar. Ini pandangan atau paradigma belajar yang salah. Karena paradigma belajar/kurikulum sudah berubah dalam paradigma merdeka belajar untuk menggapai derajat aspirasi atau cita-cita yang didambakan oleh Anda dan orang-orang yang Anda cintai.

           Manusia itu makhluk yang otonom yang mampu merencanakan dan mengatur diri sendiri. Maka misalnya, dalam teori belajar lahirlah teori kognitivisme. Berbekal pengetahuan yang dimiliki Anda musti mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui teori belajar konstruktivisme, an lain-lain. Siapkan diri baik-baik di masa kuliah ini agar setelah keluar dari gedung atau lembaga ini Anda tidak lagi gugup apalagi gagap berhadapan dengan dunia luar. Jika itu Anda lakukan dengan baik, terukur, dan sistematis, maka Anda akan dengan gampang dan mudah menyesuaikan pekerjaan Anda di luar.

       Kurikulum itu bukan hanya untuk kepentingan mahasiswa semata, namun bertujuan mengakomodir semua kepentingan masyarakat, idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan berbagai aspek kehidupan lain. Manfaatkan waktu untuk bergumul di tempat ini. Jangan stress dalam belajar karwna itu akan membuat Anda terkungkung untuk menimba ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya.

        Mari sama-sama kita berubah, karena perubahan itu dimulai dari diri sendiri. Ok!

 

 

 


Rabu, 17 Mei 2023

Teori-Teori Belajar Bahasa

Teori belajar berfungsi menjadi panduan dalam belajar. Teori-teori tersebut sangat mempengaruhi proses dan hasil belajar seseorang pembelajar. Banyak teori yang berperan dalam konteks dan kepentingan ini. Pada halaman ini, saya menulis 3 teori dasar belajar bahasa. Teori belajar bahasa adalah teori atau proses untuk menguasai bahasa, baik penguasaan secara alamiah (acquicition) dan penguasaan secara formal (learning).

3 Teori Dasar Belajar Bahasa

Dua teori dasar belajar bahasa tersebut, yakni teori nativisme, behaviorisme, dan teori kognitifisme. Teori nativisme adalah teori belajar bahasa dengan asumsi bahwa kemampuan menguasai sebuah bahasa karena terdapat kemampuan yang dibawa sejak seorang manusia dilahirkan. Kemampuan tersebut kemudian didayakan untuk mencapai kematangan dan kemahiran berbahasa. Teori behaviorisme mementingkan lingkungan, reaksi, kebiasaan dan hasil belajar, memecahkan masalah trial dan error. Ada rangsangan belajar secara eksternal bagi seorang pembelajar. Sedangkan, teori kognitivisme merupakan teori yang mementingkan apa yang ada dalam diri anak (nativus), bermaksud pula sebagai belajar keseluruhan, keseimbangan dalam diri (dynamic equilibrium), yang mementingkan insight yang bertumpuh pada kemampuan dasar anak. (*)

Senin, 15 Mei 2023

Yudisium Sarjana FKIP Uniflor

 

Yudisium adalah penentuan nilai (lulus) ujian sarjana lengkap (di perguruan tinggi). Jadilah sarjana baru yang peka dan memiliki rasa percaya diri tinggi untuk menyongsong masa depan, bukan sarjana yang takut untuk keluar dari kampus. Jadilah sarjana yang senantiasa menyadari kemampuan yang dimiliki, sehingga betapapun kerasnya kompetisi di luar, yang akan Anda hadapi, yakinlah dan bangun rasa optimisme bahwa Anda pasti bisa. 

Bangun Optimisme

Dengan demikian, Anda menghindari rasa pesimistis karena itu akan membunuh semangat dan kreativitas Anda. Mulailah dari hal yang sederhana, sebagaimana orang bisa berkata-kata sekarang karena memang dimulai dengan mengeja huruf-huruf. Atau sebagaimana Anda menjadi seperti sekarang karena Anda pernah berproses dari dahulu kala. Anda pun demikian. Mulailah dengan prinsip coba dan gagal, dan hindari sikap putus asa. Jadilah sarjana yang unggul, berdidikasi memperjuangkan tercapainya merdeka belajar di setiap satuan pendidikan tempat Anda berlabuh memberikan dan mengabdi ilmu. Semoga Anda berhasil dan sukses. 

Sarjana Unggul

Selamat bergabung dalam jubelan kelompok  intelektual. Pekerjaan kemanusiaan sudah dan sedang menanti Anda. Jadilah sarjana yang unggul, berdidikasi memperjuangkan tercapainya merdeka belajar di setiap satuan pendidikan tempat Anda berlabuh memberikan dan mengabdi ilmu. Semoga Anda berhasil dan sukses.(*)

Sabtu, 13 Mei 2023

Sastra sebagai Sejarah Intelektual


Sastra adalah sejarah intelektual. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, ia menuntun dengan pasti setiap langkah dan peristiwa dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sastra juga menjadi artefak dari pikiran manusia. Hanya manusia yang bisa menciptakan artefak untuk ditinggalkan kepada generasi muda melalui bahasa, budaya, ekonomi, politik, dan berbagai bidang kehidupan manusia yang lain. 

Artefak Berkaitan dengan Pemikiran

Jadi, artefak tidak terbatas pada benda, melainkan berkaitan dengan pikiran dan pemikiran manusia. Pada perspektif yang lain tentang kehidupan manusia, sastra dipandang sebagai institusi atau lembaga yang faktual yang membuat hidup manusia itu akan semakin panjang. Dengan mengecap berbagai hasil genre sastra, manusia akan meresepsi sekian pesan untuk kehidupan dan masa depannya. Sebab, sastra berpihak pada humaniora yang bertujuan untuk memupuk rasa empati, toleransi, kepedulian sosial dan etis religius untuk membangun kemanusiaan dan kebudayaan agar masyarakat mampu berpikir mandiri. (*)

Rabu, 10 Mei 2023

Pendekatan Semiotik Sastra

 


Bahasa yang menjadi sistem tanda dalam karya sastra disebut sistem tanda tingkat pertama. Dalam ilmu semiotik sistem tanda tingkat pertama disebut meaning (arti). Arti tanda ditentukan berdasarkan konvensi masyarakat (sastra). Dengan demikian, muncullah arti baru yaitu arti sastra. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk membedakannya dengan (arti bahasa), arti sastra itu disebut makna (significance).

Makna sajak tersebut bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas diri, arti tambahan (konotatif), daya liris, pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan oleh konvensi sastra, misalnya tipografi, enjambement, sajak, baris sajak, ulangan dan lain-lain (Pradopo, 2005: 122).

Istilah semiotika dan semiologi sebetulnya merupakan dua konsep yang mempunyai acuan yang sama, yakni bahasa yang merupakan sistem tanda, di mana sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Jadi, semiotika berarti ilmu yang mengkaji struktur dan proses tanda, (Larsen dalam Baryadi,2007:46). 

Peletak dasar kajian semiotik ini adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce yang ahli filsafat itu memakai istilah semiotik. Saussure di Eropah mengusung model semiotik yang disebut semiotik struktural, sedangkan Peirce di Amerika mengusung model semiotik analitis. Urgensi semiologi ala Saussure dan semiotik ala Peirce akan dipaparkan di bawah ini.

Teori Semiotik Peirce

Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut tanda, jika ia mewakili sesuatu yang lain. Tanda (representamen) hendaknya mewakili sesuatu objek, acuan (designatum,denotatum) yang akhir-akhir ini disebut referent. Misalnya, anggukan kepala mewakili persetujuan, dan gelengan kepala mewakili ketidaksetujuan. Tanda menurut Peirce (Baryadi,2007:46)), harus memiliki tiga ciri. Pertama, tanda (representamen) menunjuk atau merepresentasikan sesuatu. Sesuatu itu disebut objek. Kedua, Tanda itu diinterpretasikan. Hasil interpretasi tanda itu disebut interpretan. Ketiga, sesuatu sebagai tanda karena ada yang mendasarinya (ground). Ground ini merupakan keseluruhan peraturan, perjanjian atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat bahasa tertentu. Inilah yang oleh Zoest disebut kode. Antara tanda dengan objek terdapat tiga jenis hubungan yang mendsarinya, yakni (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol.

Ikon merupakan tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya. Misalnya, foto atau peta. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai. Misalnya, asap adalah indeks dari api. Simbol berarti tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan (Zoest dalam Sobur,2002:126).

 Teori Semiotik Saussure

Semiotik Saussure menampilkan dua aspek, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau aspek material, yakni apa yang ditulis atau apa yang dibaca. Signified merupakan gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure juga berpendapat bahwa bahasa sebagai tanda adalah kesan psikis yang bermuka dua, yaitu gambaran akustis atau bunyi dan konsep. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, artinya tidak bermotivasi. Contoh, deretan kata bunga dalam bahasa Indonesia tidak memiliki kaitan atau hubungan apa pun dengan referennya yang disebut bunga secara realitas. Contoh ini, menyiratkan bahwa bahasa dipandang bersifat otonom. Bahasa adalah sistem yang lengkap di dalam dirinya (self-contained system). Bahasa tidak berkaitan dengan realitas yang diacunya, sehingga ikon dalam bahasa oleh Saussure dianggap sebagai penyimpangan (an anomaly). (Baryadi,2007:48).

Salah satu teori Saussure yang dipakai secara luas untuk pengkajian sastra yaitu konsep sintagmatik dan paradigmatik (Nurgiyantoro, 2002: 45). Dalam sebuah wacana terdapat kata-kata yang saling berhubungan dan berkesinambungan dan bersifat linieritas. Di pihak lain, ada sejumlah kata-kata yang mempunyai kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi kekayaan individu dalam bentuk langue. Hubungan yang bersifat linier disebut hubungan sintagmatik atau hubungan konfigurasi, hubungan konstruksi, berupa bentuk atau susunan, dan hubungan asosiatif disebut hubungan paradigmatic atau hubungan makna dan pelambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir.

Hubungan linier tampak pada kehadiran kata, kalimat, alinea sampai akhirnya membentuk sebuah teks yang membentuk hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Kehadiran berbagai unsur dalam teks tersebut, maka hubungan ini disebut juga hubungan in praesentia (Nurgiyantoro, 2002: 45). Hubungan antara aspek formal, kata, dan kalimat tentulah mengandung makna. Hubungan antara aspek formal dan makna inilah yang disebut aspek asosiatif, karena makna merupakan sesuatu yang tersirat dan hanya dapat diasosiasikan (nota bene tidak dapat dilihat), maka hubungan ini sering disebut hubungan in absentia, Todorov (dalam Nurgiyantoro, 2002: 46)

DAFTAR RUJUKAN

Baryadi,Praptomo I.2007. Teori Ikon Bahasa: Salah Satu Pintu Masuk ke Dunia Semiotika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Sobur,Alex.2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pradopo,Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurgiyantoro,Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Selasa, 09 Mei 2023

Kohesi dan Koherensi dalam Wacana

 

Pembicaraan ini difokuskan pada unsur-unsur penting pembentuk sebuah teks. Unsur-unsur itu adalah kohesi dan koherensi. Sebuah teks, terutama teks tulis harus memiliki unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan pertalian unsur dalam struktur sintaksis; unsur pembentuk teks, untuk dapat membedakan bahwa sebuah rangkaian kalimat dikatakan teks atau tidak.

(1)

Entahlah, tetapi yang pasti bahwa masyarakat yang menghuni Nusa Flobamora telah gerah dengan bau sengat korupsi. Korupsi, sebuah kata yang menunjuk pada perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau korporasi yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, sekejap mata menjadi ramai diperbincangkan setelah pecah Era Reformasi, dan karena secara legal-yuridis merupakan perbuatan melawan hukum. Salah satu indikatornya adalah masyarakat Indonesia dan NTT belum terbebaskan dari belenggu-belenggu sosial dan semakin merajalelanya kebiasaan ‘makan’ uang atau korupsi di tangan para penguasa dan pemegang anggaran. Kemudian, mengapa perbuatan laknat terkutuk, tidak terpuji dan terlarang ini, terus saja mengular, merambah liar dan tumbuh sistemik pada bentangan Nusa Flobamora?

Beberapa Contoh

Untuk menghubungkan informasi antarkalimat di atas digunakan kata korupsi, salah satu, dan kemudian. Kata-kata tersebut menjadi pengikat ide atau penanda katon, atau pengikat formal. Istilah yang digunakan untuk pengikat formal ini disebut piranti kohesi (cohesion device).

(2)        A: Apa yang dilakukan si Ali?

            B:  Dia memukuli istrinya.

(3)        A: Apa yang dilakukan si Ali?

            B: Jahanam itu memukuli istrinya.

 Proposisi yang dinyatakan oleh A pada (2) berkaitan dengan proposisi yang dinyatakan B, yang diwujudkan dengan pemakaian proposisi dia yang merujuk ke si Ali. Pada (3) hubungan itu dinyatakan dalam frase jahanam itu yang dalam konteks normal merujuk pada hal yang sama, yakni si Ali. Hubungan tersebut juga dinyatakan dalam penggunaan verba yang sama, yakni dilakukan (2) dan memukul (3). Ini menandakan kesinambungan makna.

Namun, untuk membentuk sebuah wacana yang baik tidak hanya dengan kohesi, melainkan dengan memperhatikan faktor tekstual luar, kesesuaian antara teks, dan dunia nyata, serta pengetahuan tentang budaya turut membantu menciptakan koherensi teks. Untuk itu, dilengkapai dengan piranti koherensi (kepaduan hubungan maknawai antara bagian-bagian dalam wacana).

(4)

Bahasa adalah sine qua non bagi kebudayaan dan manusia. Lewat bahasa, manusia mengabstrakkan seluruh pengalaman empiris, rasional, dan spiritualnya secara konseptual, sistematis, dan terstruktur yang pada gilirannya mengantarkan lahirnya dunia simbolik yang melewati sekat-sekat ruang dan waktu. Lewat bahasa, manusia dapat menyampaikan dan menggambarkan pemikirannya dalam aneka wujud kebudayaan. Simbol-simbol bahasa memungkinkan kita berpikir, berrelasi dengan orang lain, dan memberi makna yang ditampilkan oleh alam semesta. Inilah mengapa bahasa selalu saja menarik untuk dikaji sepanjang masa peradaban manusia. Kajian-kajian tersebut berangkat dari perspektif masing-masing. Kaum strukturalisme, pragmatisme, posmodernisme, akan menggunakan cara pandang masing-masing yang mungkin saja berbeda dalam mengaji bahasa manusia.

 Wacana (4) kohesif, karena ada alat kohesi pengulangan, bahasa sampai beebrapa kali. Namun, paragraf tersebut tidak padu (tidak koheren), sehingga paragraf tersebut jelek, sebab bagian-bagiannya tidak mempunyai kepaduan maknawi.

(5)

Peran ketiga, tentang keberadaan para elite politisi kita yang banyak omong tanpa dimulai dengan membaca. Beberapa bulan lalu, misalnya wakil rakyat kita di Manggarai Timur membantah dilabeli sebagai wakil rakyat yang malas membaca (PK,27 Juli 2012). Sama halnya di Ende, Kepala Kejaksaan Negeri Ende berharap agar wakil rakyat membaca dulu sebelum memberikan komentar agar tidak terjaddi salah penafsiran (PK,21 Agustus 2012). Ini artinya, lembaga-lembaga politik di daerah perlu ‘memperkaya’ diri dengan membaca karena mereka itulah yang menjadi ‘corong masyarakat’.

 Bagian pada wacana (5) mempunyai kaitan secara maknawi. Kalimat beberapa bulan lalu... merupakan rincian atau penjelasan dari kalimat peran...Jadi, kalimat pada wacana di atas padu.

 (6)        A: Angkat telepon itu, Ma!

            B: Aku sedang Mandi,Pa!

            A: Oke!

 Wacana (6) hubungan antarproposisi tetap ada, namun secara fisik tidak kita temukan hubungan gramatikal maupun semantik. Kalimat B dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Aku sedang mandi, Pa! (Jadi, aku tidak dapat menrima telepon itu), sementara Oke! Yang diucapkan oleh A dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Oke! Kalau begitu, biar aku saja yang menerimanya. Dengan demikian, ada wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, dan ada pula yang koheren tetapi tidak kohesif, sehingga sebuah wacana tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren.

 (7)        A: Siapa yang dipukul Ali?

            B: Ali memukul anak kecil itu.

Kalimat A dan B memunculkan hubungan gramatikal dan semantis, melalui penggunaan kata-kata dipukul dan memukul, Ali dan Ali, tetapi tidak koheren karena pertanyaan A tentang siapa tidak dijawab tuntas, yakni orang yang dipukul Ali. Dalam percakapan yang normal, B diharapkan untuk menjawab, misalnya Anak kecil itu dan bukan Ali memukul anak kecil itu.

 Kohesi (Alwi,2003:428) menyebutkan bahwa kohesi dapat dihubungkan melalui sebuah konjungtor, antara lain:

a.         pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,

b.         pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,

c.          perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,

d.        konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun,

e.         tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya(*)

Wacana, Contoh, dan Manfaatnya


 

Kata wacana selalu ramai dan disebut belakangan ini dan setara dengan kata-kata lain, seperti: hak asasi manusia, lingkungan hidup, masyarakat sipil, demokrasi, pelecehan seksual, terorisme, dll. Kata ini pun banyak digunakan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, linguistik, psikologi, politik, sosiologi, hukum, kesehatan, pertanian, dll. Dalam wawasan sosiologi, misalnya wacana menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dan pemakaian bahasa. Dalam wawasan linguistik, wacana merupakan kesatuan bahasa yang lengkap, yang umumnya lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis. 

Dalam wawasan politik, wacana menunjuk pada praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Perbedaan pemakaian istilah tiap-tiap bidang ilmu demikian akan memberi penafsiran yang berbeda atas sebuah istilah yang sama. Penafsiran yang berbeda tersebut disebabkan oleh luasnya disiplin ilmu tersebut dalam memandang wacana tersebut.

Konsep Wacana

Konsep-konsep wacana berikut, dapat menjelaskan tentang luasnya persepsi dan cara pandang mengenai definisi wacana. Paling tidak dapat memberikan gambaran bagi kita semua dalam perkuliahan ini. 

NO

PENDAPAT

DEFINISI

 

1.

Collins Concise English Dictionary (1988)

(1)       Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; (2) sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; (3) sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.

2.

Longman Dictionary of the English Language (1984)

(1)       Sebuah percakapan khusus alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; (2) pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya, sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan

3.

J.S Badudu (2001)

(1) Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; (2) kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

4.

Crystal (1987)

Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan.

5.

Hawthorn (1992)

Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya

6.

Roger Fowler (1977)

Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisanyang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman

7.

Foucault (1972)

Wacana: kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulati yang dilihat dari sejumlah pernyataan

8.

Alwi Hasan,dkk (2003)

Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yanng satu dengan proposisi yang lainyang membentuk kesatuan.

Sumber: Eriyanto, 2001:2

Dari beberapa pendapat di atas, maka secara ringkas, wacana dapat didefinisikan sebagai: pertama, satuan bahasa, satuan bahasa yang tidak sekadar bacaan, melainkan merupakan satuan bahasa yang lebih besar dalam sebuah komunikasi (di bawahnya: kalimat, frase, kata, dan bunyi). Sehingga wacana tidak sebagaimana asalnya, yakni sekadar sebagai bahan bacaan, percakapan, atau tuturan, melainkan discourse (Inggris).

Kedua, hasil dan proses. Dalam komunikasi apapun harus adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee). Misalnya, dalam wacana lisan penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar.  Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis dan pesapa adalah pembaca. Dalam komunikasi ini penyapa dan pesapa tidak berhadapan langsung, namun penyapa menuangkan ide/gagasannya dalam kode-kode kebahasaan yang biasanya berupa rangkaian kalimat, dan pesapa (pembaca) menafsirkan kode-kode tersebut.  Wujud wacananya berupa teks, rangkaian proposisi berupa hasil pengungkapan ide atau gagasan. Dalam komunikasi lisan, wacana merupakan suatu proses, yang berisi rangkaian ujaran lisan. Antara penyapa dan pesapa ada relasi resiprokal, dan tergantung pada konteks. Oleh karena itu, wacana lisan bersifat temporer (setelah diucapkan langsung hilang).

Ketiga, penggunaan bahasa. Wacana merupakan penggunaan bahasa (lisan dan tulisan), yang dapat berwujud iklan, drama, percakapan, diskusi, debat, tanya jawab, surat, makalah, tesis, dan sebagainya. Oleh karena itu, wacana merupakan kesatuan semantik bukan kesatuan gramatikal. Bukan karena bentuknya (morfem, kata, klausa, atau kalimat), namun kesatuan arti (Halliday dan Hasan, 1979: 1-2). Hoed merujuk pada de Saussure yang membedakan langue dan parole, di mana wacana merupakan bangun teoretis abstrak yang maknanya dikaji dalam kaitan dengan konteks dan situasi komunikasi (Rani, 2006:5). Dengan demikian, wacana berada pada tataran langue (sistem) dan teks adalah realisasi wacana pada tataran parole.

Contoh Wacana  

Rounded Rectangle: BELOK KIRI MENGIKUTI ARAH LAMPU
 

 


Kalimat (1) dapat dikaji dan dipahami maknanya dengan situasi komunikasi yang mengiringi ujaran tersebut. Jika, ujaran ini disampaikan oleh seorang penumpang kepada sopir bus bahwa belok kiri kalau sudah ada tanda lampu hijau. Sebaliknya, bagi pengendara roda dua, baru membelokkan kendaraannya, ketika ada lampu hijau. Ini konvensi bahasa. Makna penggunaan bahasa yang demikianlah yang menjadi tugas para analis wacana.

Manfaat Wacana

a.    Mengkaji hubungan bahasa dengan konteks penggunaannya. Unsur-unsur yang terlibat di dalamnya adalah konteks dan koteks. Konteks mencakup segala hal di lingkungan bahasa. Menurut, Syafi’e, (dalam Sobur, 2002), bahwa ada empat macam konteks pemakaian bahasa: (1) konteks fisik (physical context) meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan, tindakan atau perilaku dari para peran dalam komunikasi; (2) konteks epistemis (epistemic context), latar belakang pengetahuan pembicara dan pendengar; (3) konteks linguistik (linguistics context), tampak lewat kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan dalam peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial (social context), relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar. Konteks juga sangat penting dalam memberikan nilai yang tepat pada fenomena-fenomena linguistik, seperti pra-anggapan, implikatur percakapan. Dengan memahami implikatur percakapan kita dapat memahami prinsip sebuah ujaran,  lingkungan percakapan, mitra tutur, sehingga pemahaman antara pembicara dan pendengar sama. Pragmatik berkaitan dengan konteks pengguna, dan tidak bisa membatasi dirinya pada kajian aspek-aspek konteks yang disandikan secara gramatikal, sebagaimana diisyaratkan  oleh ‘persyaratan gramatikalisasi, melainkan membuka dirinya pada konteks sosial verbal dan konteks situasi (Ullmann, 2009: 59). Tiga cara yang dapat digunakan untuk menyusun hubungan ini: semantikisme, pragmatikisme, komplementarisme. Sedangkan, koteks merupakan teks yang mendahului atau yang mengikuti sebuah teks.

b.    Memahami bahasa. Artinya, analisis wacana tidak hanya penting untuk memahami hakikat bahasa, melainkan memahami proses belajar bahasa dan perilaku berbahasa. Tujuannya, untuk dapat dapat menemukan dan mendeskripsikan penyimpangan kaidah penggunaan aturan bahasa.

c.    Melalui wacana, misalnya wacana tidak resmi seperti wacana percakapan sehari-hari, dapat menjadi data utama penelitian bahasa yang bersifat alamiah. Data jenis ini menjadi data yang lebih tetap (stabil) dan ajeg karena terjadi secara tidak direncanakan (natural/alamiah).

d.   Mengetahui kemampuan bercakap. Untuk anak-anak, misalnya dapat menerangkan pemerolehan kemampuan berkomunikasi, (teori kognitif Piaget: anak-anak dapat bercakap dengan orang lain pada akhir masa kana-kanak, sekitar 7–8 tahun). 

e.    Mengetahui strategi pembelajar dalam melakukan percakapan. Strategi ini merupakan bagian dari kompetensi komunikatif. (*)

Sabtu, 06 Mei 2023

Nilai Pendidikan dalam Sastra

 

Kehidupan manusia yang kian berkembang memaksa manusia itu sendiri saling bersaing merespon kemajuan dunia tersebut. Fenomena ini nyata, ketika perubahan-perubahan kehidupan yang hadir sebagai bukti perkembangan dan kemajuan zaman dimaksud menyata dalam realitas keseharian kita. Misalnya, dengan kemajuan alat-alat transportasi semakin memudahkan mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Akselerasi arus informasi yang semakin memadai, menjadikan dunia ini semakin kecil, sempit dan mudah dijangkau. Kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun dapat kita amati, bahkan kita saksikan secara langsung pada belahan dunia yang lain. Inilah bukti bahwa manusia selalu berusaha mencari dan menemukan jalan keluar permasalahan dalam kehidupannya, sekaligus memberikan warna atau batas tertentu pergantian dan perubahan suatu zaman.

Terlepas dari perspektif positip atas kemajuan yang telah dicapai manusia, kemajuan-kemajuan yang disebutkan di atas mendatangkan malapetaka baru, apabila diteropong dari perspektif negatif. Beberapa kasus yang belakangan ini ramai diberitakan lewat berbagai media massa cetak, maupun elektronik, antara lain, pemerkosaan anak di bawah umur, perkelahian antargeng, perang tanding antardesa, tawuran antarpelajar, pembunuhan secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu?Namun, yang pasti bahwa  perilaku-perilaku negatif yang timbul demikian semakin “menantang” peran kita (orang tua, sekolah, dan masyarakat) untuk merapatkan barisan demi memberikan peran dan tanggung jawab secara lebih terarah dan berkesinambungan. Belum cukup di sana lingkungan yang kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah generasi muda.

Nilai dalam Sastra

Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan kejam lagi panas lewat televisi dan laser disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi didengar. Terhadap realitas yang kian mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah turut memberikan kontribusi negatif, bahkan menurunkan degradasi moral anak bangsa. 

Karya sastra adalah karya yang kreatif bukan semata-mata imajinatif. Kreatif dalam karya sastra berarti ciptaan dari tidak ada menjadi ada. Jika kesusastraan mengandung isi, sering dianggap sebagai karya sastra yang tidak bernilai. Dalam karya sastra khususnya novel merupakan karya yang naratif dengan mengandalkan kekuatan imajinasi dalam proses penciptaannya. Dalam novel terdapat unsur intrinsik seperti tema, latar, penokohan, gaya bahasa, diksi. Setiap unsur dalam karya sastra saling berkaitan dan mempunyai hubungan dengan unsur lain. Sastra tidak sekedar bahasa yang dituliskan atau diucapkan. Ia tidak sekedar cerminan bahasa, akan tetapi bahasa yang mengandung makna yang lebih. Ia mempunyai nilai-nilai yang memperkaya rohani dan mutu kehidupan. Meski keselarasan yang ada dalam karya sastra tidak secara otomatis berhubungan dengan keselarasan yang ada dalam masyarakat tempat sastra itu lahir. Karya sastra adalah karya yang otonomi, yang lebih kurang terlepas dari aspek di luar karya itu.

 Novel Sayap-Sayap Patah ini merupakan salah satu karya dari banyaknya karya yang ditulis oleh seorang pengarang terkenal, yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia sastra. Ia adalah Kahlil Gibran. Novel ini sudah terkenal di dunia bahkan pernah menjadi buku terlaris di dunia.Novel Sayap-Sayap Patah mengupas kehidupan pengarangnya sendiri di masa lalunya dengan gemilang dan terbuka. Nilai-nilai sastra yang ada dalam novel ini merupakan kehidupan keseharian seorang Gibran sendiri sebagai novel yang mengandung unsur religusnya.

Novel adalah cerita yang berbentuk prosa yang menggambarkan pengalaman hidup seseorang atau suatu kelompok yang melukiskan watak, sifat dan perilaku. Secara garis besar, novel mempunyai dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intinsik adalah unsur yang membangun karya sastra seperti tema, latar, penokohan, gaya bahasa, alur, diksi, dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah segala unsur yang berada  di luar karya sastra dan ikut mempengaruhi karya sastra tersebut seperti faktor kebudayaan, sosial, politik, keagamaan dan tata nilai. Selain dua unsur penting pembangun novel, di dalam sebuah karya sastra prosa (novel), seperti yang akan dianalisis pada bagian ini, juga mengandung berbagai nilai edukatif yang dapat menjadi panduan untuk para pembaca. (*)