Kata wacana selalu ramai dan disebut belakangan ini dan setara dengan kata-kata lain,
seperti: hak asasi manusia, lingkungan hidup, masyarakat sipil, demokrasi,
pelecehan seksual, terorisme, dll. Kata ini pun banyak digunakan oleh para ahli
dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, linguistik, psikologi, politik,
sosiologi, hukum, kesehatan, pertanian, dll. Dalam wawasan sosiologi, misalnya wacana menunjuk
pada hubungan antara konteks sosial dan pemakaian bahasa. Dalam wawasan
linguistik, wacana merupakan kesatuan bahasa yang lengkap, yang umumnya lebih
besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis.
Dalam
wawasan politik, wacana menunjuk pada praktik pemakaian bahasa, terutama
politik bahasa. Perbedaan pemakaian istilah tiap-tiap bidang ilmu demikian akan
memberi penafsiran yang berbeda atas sebuah istilah yang sama. Penafsiran yang
berbeda tersebut disebabkan oleh luasnya disiplin ilmu tersebut dalam memandang wacana tersebut.
Konsep Wacana
Konsep-konsep
wacana berikut, dapat menjelaskan tentang luasnya persepsi dan cara pandang
mengenai definisi wacana. Paling tidak dapat memberikan gambaran bagi kita
semua dalam perkuliahan ini.
NO
|
PENDAPAT
|
DEFINISI
|
1.
|
Collins
Concise English Dictionary (1988)
|
(1) Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; (2) sebuah
perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; (3) sebuah unit teks
yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.
|
2.
|
Longman
Dictionary of the English Language (1984)
|
(1) Sebuah percakapan khusus alamiah formal dan
pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; (2) pengungkapan
dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya, sebuah unit yang
dihubungkan ucapan atau tulisan
|
3.
|
J.S
Badudu (2001)
|
(1) Rentetan
kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna
yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; (2) kesatuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan
koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai
awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
|
4.
|
Crystal
(1987)
|
Analisis
wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa
lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan,
wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan.
|
5.
|
Hawthorn
(1992)
|
Wacana
adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai sebuah pertukaran di
antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana
bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya
|
6.
|
Roger
Fowler (1977)
|
Wacana
adalah komunikasi lisan atau tulisanyang dilihat dari titik pandang
kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini
mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman
|
7.
|
Foucault
(1972)
|
Wacana:
kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok
pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulati yang dilihat dari
sejumlah pernyataan
|
8.
|
Alwi
Hasan,dkk (2003)
|
Wacana
adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yanng
satu dengan proposisi yang lainyang membentuk kesatuan.
|
Sumber: Eriyanto, 2001:2
Dari
beberapa pendapat di atas, maka secara ringkas, wacana dapat didefinisikan
sebagai: pertama, satuan
bahasa, satuan bahasa yang tidak sekadar bacaan, melainkan merupakan satuan bahasa yang lebih besar dalam
sebuah komunikasi (di
bawahnya: kalimat, frase, kata, dan bunyi). Sehingga wacana tidak
sebagaimana asalnya, yakni sekadar sebagai bahan bacaan, percakapan, atau tuturan, melainkan discourse (Inggris).
Kedua, hasil dan proses. Dalam komunikasi apapun harus adanya penyapa
(addressor) dan pesapa (addressee). Misalnya, dalam wacana
lisan penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis
dan pesapa adalah pembaca. Dalam komunikasi ini penyapa dan pesapa tidak
berhadapan langsung, namun penyapa menuangkan ide/gagasannya dalam kode-kode
kebahasaan yang biasanya berupa rangkaian kalimat, dan pesapa (pembaca)
menafsirkan kode-kode tersebut. Wujud
wacananya berupa teks, rangkaian
proposisi berupa hasil pengungkapan ide atau gagasan. Dalam komunikasi lisan, wacana merupakan suatu
proses, yang berisi rangkaian ujaran lisan. Antara penyapa dan pesapa
ada relasi resiprokal, dan
tergantung pada konteks. Oleh
karena itu, wacana lisan bersifat temporer (setelah diucapkan langsung hilang).
Ketiga, penggunaan bahasa. Wacana merupakan penggunaan bahasa
(lisan dan tulisan), yang dapat berwujud iklan, drama, percakapan, diskusi,
debat, tanya jawab, surat, makalah, tesis, dan sebagainya. Oleh karena itu, wacana merupakan kesatuan semantik
bukan kesatuan gramatikal. Bukan
karena bentuknya (morfem, kata, klausa, atau kalimat), namun kesatuan arti
(Halliday dan Hasan, 1979: 1-2). Hoed merujuk pada de Saussure yang membedakan
langue dan parole, di mana wacana merupakan bangun teoretis abstrak yang
maknanya dikaji dalam kaitan dengan konteks
dan situasi komunikasi (Rani, 2006:5). Dengan demikian, wacana berada pada tataran langue
(sistem) dan teks adalah realisasi
wacana pada tataran parole.
Contoh Wacana
Kalimat (1) dapat dikaji dan dipahami maknanya dengan
situasi komunikasi yang mengiringi ujaran tersebut. Jika, ujaran ini
disampaikan oleh seorang penumpang
kepada sopir bus bahwa belok kiri kalau sudah ada tanda lampu hijau.
Sebaliknya, bagi pengendara roda dua,
baru membelokkan kendaraannya, ketika ada lampu hijau. Ini konvensi bahasa. Makna penggunaan
bahasa yang demikianlah yang menjadi tugas para analis wacana.
Manfaat Wacana
a. Mengkaji
hubungan bahasa dengan konteks penggunaannya. Unsur-unsur yang terlibat di
dalamnya adalah konteks dan koteks.
Konteks mencakup segala hal di lingkungan bahasa. Menurut, Syafi’e, (dalam
Sobur, 2002), bahwa ada empat macam konteks pemakaian bahasa: (1) konteks fisik (physical context) meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa
dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan, tindakan atau perilaku dari para
peran dalam komunikasi; (2) konteks
epistemis (epistemic context),
latar belakang pengetahuan pembicara dan pendengar; (3) konteks linguistik (linguistics
context), tampak lewat kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan dalam peristiwa
komunikasi; dan (4) konteks sosial
(social context), relasi sosial dan
latar setting yang melengkapi
hubungan antara pembicara dengan pendengar. Konteks juga sangat penting dalam
memberikan nilai yang tepat pada fenomena-fenomena linguistik, seperti
pra-anggapan, implikatur
percakapan. Dengan memahami
implikatur percakapan kita dapat
memahami prinsip sebuah
ujaran, lingkungan percakapan, mitra tutur, sehingga pemahaman
antara pembicara dan pendengar sama. Pragmatik berkaitan dengan
konteks pengguna, dan tidak bisa membatasi dirinya pada kajian
aspek-aspek konteks yang disandikan secara gramatikal, sebagaimana
diisyaratkan oleh ‘persyaratan
gramatikalisasi, melainkan membuka dirinya pada konteks sosial verbal dan konteks situasi
(Ullmann, 2009: 59). Tiga
cara yang dapat digunakan untuk menyusun hubungan ini: semantikisme, pragmatikisme, komplementarisme. Sedangkan, koteks merupakan teks yang mendahului atau yang mengikuti sebuah teks.
b.
Memahami bahasa. Artinya, analisis wacana tidak hanya
penting untuk memahami hakikat bahasa, melainkan memahami proses belajar bahasa dan perilaku berbahasa.
Tujuannya, untuk dapat dapat menemukan dan mendeskripsikan penyimpangan kaidah
penggunaan aturan bahasa.
c.
Melalui wacana, misalnya wacana tidak resmi seperti
wacana percakapan sehari-hari, dapat menjadi data utama penelitian bahasa yang bersifat alamiah. Data jenis ini
menjadi data yang lebih tetap (stabil) dan ajeg karena terjadi secara tidak
direncanakan (natural/alamiah).
d.
Mengetahui kemampuan
bercakap. Untuk anak-anak, misalnya dapat menerangkan pemerolehan
kemampuan berkomunikasi, (teori
kognitif Piaget:
anak-anak dapat bercakap dengan orang lain pada akhir masa kana-kanak, sekitar
7–8 tahun).
e.
Mengetahui strategi
pembelajar dalam melakukan percakapan. Strategi ini merupakan bagian
dari kompetensi komunikatif. (*)