Halaman

Rabu, 10 Mei 2023

Pendekatan Semiotik Sastra

 


Bahasa yang menjadi sistem tanda dalam karya sastra disebut sistem tanda tingkat pertama. Dalam ilmu semiotik sistem tanda tingkat pertama disebut meaning (arti). Arti tanda ditentukan berdasarkan konvensi masyarakat (sastra). Dengan demikian, muncullah arti baru yaitu arti sastra. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk membedakannya dengan (arti bahasa), arti sastra itu disebut makna (significance).

Makna sajak tersebut bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas diri, arti tambahan (konotatif), daya liris, pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan oleh konvensi sastra, misalnya tipografi, enjambement, sajak, baris sajak, ulangan dan lain-lain (Pradopo, 2005: 122).

Istilah semiotika dan semiologi sebetulnya merupakan dua konsep yang mempunyai acuan yang sama, yakni bahasa yang merupakan sistem tanda, di mana sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Jadi, semiotika berarti ilmu yang mengkaji struktur dan proses tanda, (Larsen dalam Baryadi,2007:46). 

Peletak dasar kajian semiotik ini adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce yang ahli filsafat itu memakai istilah semiotik. Saussure di Eropah mengusung model semiotik yang disebut semiotik struktural, sedangkan Peirce di Amerika mengusung model semiotik analitis. Urgensi semiologi ala Saussure dan semiotik ala Peirce akan dipaparkan di bawah ini.

Teori Semiotik Peirce

Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut tanda, jika ia mewakili sesuatu yang lain. Tanda (representamen) hendaknya mewakili sesuatu objek, acuan (designatum,denotatum) yang akhir-akhir ini disebut referent. Misalnya, anggukan kepala mewakili persetujuan, dan gelengan kepala mewakili ketidaksetujuan. Tanda menurut Peirce (Baryadi,2007:46)), harus memiliki tiga ciri. Pertama, tanda (representamen) menunjuk atau merepresentasikan sesuatu. Sesuatu itu disebut objek. Kedua, Tanda itu diinterpretasikan. Hasil interpretasi tanda itu disebut interpretan. Ketiga, sesuatu sebagai tanda karena ada yang mendasarinya (ground). Ground ini merupakan keseluruhan peraturan, perjanjian atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat bahasa tertentu. Inilah yang oleh Zoest disebut kode. Antara tanda dengan objek terdapat tiga jenis hubungan yang mendsarinya, yakni (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol.

Ikon merupakan tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya. Misalnya, foto atau peta. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai. Misalnya, asap adalah indeks dari api. Simbol berarti tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan (Zoest dalam Sobur,2002:126).

 Teori Semiotik Saussure

Semiotik Saussure menampilkan dua aspek, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau aspek material, yakni apa yang ditulis atau apa yang dibaca. Signified merupakan gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure juga berpendapat bahwa bahasa sebagai tanda adalah kesan psikis yang bermuka dua, yaitu gambaran akustis atau bunyi dan konsep. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, artinya tidak bermotivasi. Contoh, deretan kata bunga dalam bahasa Indonesia tidak memiliki kaitan atau hubungan apa pun dengan referennya yang disebut bunga secara realitas. Contoh ini, menyiratkan bahwa bahasa dipandang bersifat otonom. Bahasa adalah sistem yang lengkap di dalam dirinya (self-contained system). Bahasa tidak berkaitan dengan realitas yang diacunya, sehingga ikon dalam bahasa oleh Saussure dianggap sebagai penyimpangan (an anomaly). (Baryadi,2007:48).

Salah satu teori Saussure yang dipakai secara luas untuk pengkajian sastra yaitu konsep sintagmatik dan paradigmatik (Nurgiyantoro, 2002: 45). Dalam sebuah wacana terdapat kata-kata yang saling berhubungan dan berkesinambungan dan bersifat linieritas. Di pihak lain, ada sejumlah kata-kata yang mempunyai kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi kekayaan individu dalam bentuk langue. Hubungan yang bersifat linier disebut hubungan sintagmatik atau hubungan konfigurasi, hubungan konstruksi, berupa bentuk atau susunan, dan hubungan asosiatif disebut hubungan paradigmatic atau hubungan makna dan pelambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir.

Hubungan linier tampak pada kehadiran kata, kalimat, alinea sampai akhirnya membentuk sebuah teks yang membentuk hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Kehadiran berbagai unsur dalam teks tersebut, maka hubungan ini disebut juga hubungan in praesentia (Nurgiyantoro, 2002: 45). Hubungan antara aspek formal, kata, dan kalimat tentulah mengandung makna. Hubungan antara aspek formal dan makna inilah yang disebut aspek asosiatif, karena makna merupakan sesuatu yang tersirat dan hanya dapat diasosiasikan (nota bene tidak dapat dilihat), maka hubungan ini sering disebut hubungan in absentia, Todorov (dalam Nurgiyantoro, 2002: 46)

DAFTAR RUJUKAN

Baryadi,Praptomo I.2007. Teori Ikon Bahasa: Salah Satu Pintu Masuk ke Dunia Semiotika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Sobur,Alex.2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pradopo,Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurgiyantoro,Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar