Manusia selalu membuat dan memiliki sejarah,
sehingga kerap disebut sebagai makhluk menyejarah. Dia selalu bergerak dalam
suatu urutan waktu (kronos) maupun kairos, waktu yang paling penting untuk
dihayati dalam perjalanan sejarah hidupnya. Ia menjadi momentum yang unik bagi
orang perorang–pribadi, maupun kelompok untuk berhenti sejenak di titik itu,
memberi “tanda” tentang perjalanannya. Kairos juga
menjadi semacam batu pengilo menimbang seberapa berat (banyak) pribadi maupun
kelompok bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Bahkan, momentum tersebut juga
menjadi semacam kaca cermin untuk mengevaluasi derajat kualitas karya dan
pelayanan yang telah dibuat. Di jedah itulah, sebagai makhluk dinamis akan
merumuskan kiat, ide, dan cita-cita dengan strategi pencapaian dalam menapak
setapak jalan yang ada di depan.
Universitas Flores sebagai sebuah lembaga
pendidikan tinggi di Flores, pada tanggal 19 Juli 2020, menggapai usia
Pancawindu atau 40 tahun berkarya. Secara kelembagaan, institusi telah
terakreditasi B. Semua fakultas dan program studi telah terakreditasi oleh
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Ini artinya, masyarakat
tidak perlu ragu atau khawatir mempercayakan putra-putrinya untuk melanjutkan
kuliah di Universitas Flores.
Hingga saat ini, Universitas Flores memiliki
tujuh fakultas, yaitu pertama:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan tujuh program studi, antara lain
(1) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, (2) Program Studi
Sejarah, (3) Program Studi Pendidikan Ekonomi, (4) Program Studi Pendidikan
Matematika, (5) Program Studi Pendidikan Fisika, (6) Program Studi Pendidikan
Guru Sekolah Dasar, dan (7) Program Studi Pendidikan Biologi.
Kedua, Fakultas Hukum, dengan
Program Studi Ilmu Hukum; Ketiga,
Fakultas Teknik, dengan Program Studi Teknik Sipil, dan Arsitektur; Keempat, Fakultas Ekonomi, dengan program
Studi Akuntansi, Manajemen, dan Studi Pembangunan; Kelima,
Fakultas Pertanian, dengan Program Studi Agroteknologi; Keenam, Fakultas Bahasa dan Sastra, dengan
Program Studi Sastra Inggris; dan Ketujuh,
Fakultas Teknologi Informasi, dengan Program Studi Sistem Informasi.
Menuju puncak
perayaan Pancawindu 40 Tahun Universitas Flores, telah dilaksanakan berbagai
kegiatan. Pencanangan Pancawindu dimulai dengan misa Pencanangan tanggal 2
November 2019, berpusat di Gereja Santu Yoseph Onekore. Waktu itu, Pastor
Paroki Onekore Pater Herman Sina, SVD (Almahrum), dalam khotbahnya menandaskan
tentang mewujudkan “kekentalan persahabatan” dalam aneka karya. Uniflor sebagai
lembaga ilmiah mesti terus mengepakkan sayap membantu masyarakat dan umat di
tengah kegelisahan hidup yang terus saja menghantui mereka. Permintaan Pater
Herman ketika itu adalah, Uniflor sebagai lembaga yang berada di wilayah Paroki
Onekore, hendaknya mengambil bagian dalam perayaan ekaristi. Dan, bagai gayung
bersambut, kesiapan tanggungan liturgi di paroki ini pun langsung mulai
dilaksanakan beberapa waktu setelah itu.
Sebelumnya,
pada tanggal 26 Oktober 2019, panitia melaksanakan kuliah umum menghadirkan
Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Refly Harun. Dalam kesempatan tersebut,
Rektor Universitas Flores, Dr. Simon Sira Padji, M.A., mengungkapkan bahwa Ende
dan Uniflor ini menjadi semacam melting spot, tempat pertemuan juga peleburan berbagai budaya.
Dengan iklim dan cuaca yang pas-pas, Ende juga Uniflor menjadi magnet
tersendiri bagi orang, termasuk mahasiswa yang memilih Uniflor sebagai pilihan
melanjutkan studi.
Menguatkan Sumpah
Memperingati
Bulan Bahasa 2019, segenap civitas akademika Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia (PBSI) “menguatkan sumpah” dalam sebuah diskusi ringan di
bawah tema “Sastra dan Ekolinguistik”. Diskusi yang dimoderatori oleh mahasiswa
semester IV Anselmus Nong Sareng menghadirkan narasumber yang adalah dosen
program studi antara lain: Dr. Yosef Demon, M. Hum., Dr. Petrus Pita, M.Hum,
Dr. Veronika Genua, S.Pd., M.Hum, dan Dra. Maria Marietta Bali Larasati, M.Hum.
Pada kesempatan itu, bertempat di Anjungan
Lantai 3 Gedung Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jalan Sam
Ratulangi Ende, warga PBSI fokus pada perbincangan untuk “menguatkan sumpah”
dalam tindak berbahasa, terutama berusaha menggunakan bahasa Indonesia secara
baik dan benar di tengah persaingan bahasa daerah dan bahasa asing dengan ragam
penggunaannya yang banyak pula. Secara khusus, penggunaan bahasa di media sosial
yang kaya dengan singkatan dan akronim. Sampai di titik ini, warga PBSI mesti
menjadi contoh atau sosok yang perlu ditiru dalam penggunaan bahasa. “Harapan
ini akan menjadi kenyataan, jika kita semua dari hari ke hari terus menata dan
mengasah kemampuan dan keterammpilan berbahasa kita”, tegas Ketua Program Studi
PBSI Dr. Yosef Demon, M. Hum., di hadapan peserta diskusi. Jika demikian, maka
kita pantas “menguatkan sumpah” untuk setia dan loyal mengkampanyekan tidak
saja bahasa Indonesia, namun juga bahasa daerah sebagai wahana filosofis yang
padat dengan pandangan dan modal sosial hidup masyarakat, lanjut Dr. Petrus
Pita, M.Hum.
Doktor
Veronika Genua, M.Hum, saat menjawab pertanyaan tentang kapling ekolinguistik,
menjelaskan tentang bagaimana kita menghargai dan melestarikan lingkungan.
Verni mengilustrasikan bahwa semesta ciptaan Tuhan telah dilengkapi dengan
bahasa. Jika kita merawat alam atau semesta, maka kita sedang merawat bahasa.
Sebab, bahasa juga menekankan tentang keberlanjutan sebagaimana manusia
membicarakan kelestarian dan keberlanjutan alam dan kehidupannya. Dalam soal
yang sama, Ibu Eta Larasati menekankan tentang kontribusi sastra dalam
kehidupan mahasiswa. Mahasiswa mesti selalu menajamkan daya imajinasinya dalam
berpikir dan bertindak, asal tetap dalam konteks yang positif dan produktif.
Parade Budaya dan Invitasi Bola EGDC
Segenap
civitas akademika Uniflor melakukan parade budaya, dengan titik start Lapangan
Pancasila Ende hingga Stadion Marilonga. Pesertanya adalah mahasiswa, dosen,
dan karyawan enam belas program studi. Mereka menampilkan budaya khas dari
semua etnik Flobamorata. Sebagai missal, Program Studi Guru Sekolah Dasar
menampilkan budaya Lamaholot Lembata. Tampak di atas sebuah pick up, animasi gambar ikan Paus yang
sangat menarik perhatian massa. Dilengkapi dengan asesori khas Lembata: kain
tenun, topi yang terbuat dari daun lontar, siri, pinang, parang, tombak, dan
lain sebagainya. Para peserta menyanyikan yel-yel di setiap singgahan. Di depan
para juri dan penonton yang berjubel sepanjang jalur perjalanan. Hal yang sama
juga terlihat dari tampilan program studi lain.
Setibanya
di Stadion Marilonga, peserta dihibur oleh 1.600 penari kolosal. Mereka datang
dari utusan masing-masing program studi. Peragaan bentuk dan modifikasi aneka
tarian khas Flobamorata menjadi tontonan ribuan penonton yang sudah mengantre.
Saat setelah hiburan, dilangsungkan
pembukaan invitasi Sepak Bola Ema Gadi Djou Cup. Menurut Ketua Umum Yayasan
Perguruan Tinggi Flores, Dr. Lory Gadi Djou, invitasi sepak bola Ema Gadi Djou
Cup adalah bagian dari napak tilas merunut kembali perjalanan pendiri lembaga
Universitas Flores, yakni Bapak Herman Josef Gadi Djou. Beliau sendiri adalah
sosok atau figur yang suka bermain bola.
Sebagaimana
yang dikisahkan istri Almahrum, Mia Gadi Djou, dalam “Saita
Kai Na” (tanpa tahun) bahwa pertemuan atau cinta mereka bersemi
karena bola. “Kebetulan karena bola, kalau boleh saya menggunakan istilah ini
untuk menggambarkan pertemuan saya dan Ema”, tulis mama Mia (hal. 23). Ema
adalah pemain Bon Jogja dan PS GAMA. Hampir semua yang suka nonton bola pasti
tahu Herman, karena Ema bermain sangat bagus dan pencetak gol (hal. 42). Karena
bola pulalah Ema dikenal, dari pejabat, tukang becak, maupun pedagang di toko
(hal. 25).
Cerita
Mia Gadi Djou, dengan keterampilannya menggocek bola, maka baju klub gampang
didapat untuk mahasiswa Flores. Tuturnya, terdapat dua klub elite Jogja yang
kostum pemainnya hanya sekali dipakai langsung dibuang. Ema memulung
kostum-kostum tersebut bagi mahasiswa (hal. 24). Lanjutnya, karena Ema adalah
pencetak gol, maka setiap klub yang berhadapan dengan klub PS GAMA atau Bon
Jogja selalu menghalau kelincahan Ema. Jika pertandingan tersebut ada
taruhannya, akan lebih berhati-hati pemain lawan. Tentang ini, Mia Gadi Djou
menulis, “Suatu kali di sebuah pertandingan di Jogja, saat turun minum
(istirahat), seorang bapak datang bertemu, minta supaya Ema jangan lagi
memasukkan gol. Karena taruhannya 1–2. Ema susah menolak karena kalau tambah 1
gol berarti bapak ini melarat bersama keluarganya. Ema berdoa, semoga Tuhan
berkenan mengatur yang terbaik. Dan, Tuhan memang mengatur yang terbaik, karena
bapak penjudi itu tidak bangkrut, dan Ema tidak punya beban. Lantas, si Bapak
memeluk Ema dan bertanya mau minta apa, Ema menjawab: yang penting bapak dan
keluarga senang (hal. 25).
Itulah mengapa invitasi sepak bola EGDC
menjadi momentum mengenang dan terus menghidupi figur bola yang satu ini. Tentu
tidak sekadar mencari bibit-bibit bola tanah Ende Sare Lio Pawe. Lebih dari
itu, invitasi ini juga menjadi kaca cermin mengukur derajat kemajuan sepak bola
kita.
Rangkaian
acara menuju puncak Pancawindu terus bergulir. Ada Jalinan Kasih di bawah
koordinasi Ibu Sri Hartati Gadi Djou, melalui kegiatan sosial karitatif dengan
mengunjungi Panti Asuhan dan keluarga-keluarga fakir miskin di Kota Ende, yang
dilaksanakan pada 14–16 Desember 2019. Setelah itu dilangsungkan konser Natal
pada 19 Desember 2019, bertempat di Auditorium H.J. Gadi Djou. Dan, masih
banyak lagi kegiatan yang telah dilaksanakan panitia di tengah pagebluk
Covid-19, termasuk melaksanakan wisuda daring, 18 Juli 2020. Selamat ulang
tahun Universitas Flores.(*)