Halaman

Sabtu, 26 Februari 2022

Berdiamlah Di Keabadian Surga, Bapak Yoseph Beda Narek



Tahun 2010 saya bertemu dengan Bapak Yoseph Beda Narek untuk sebuah urusan. Ia pun sepakat, hanya saja permintaannya harus di kebun. Dan, itu bisa dilaksanakan setelah selesai memberi makan ternak dan tentu mengiris tuak. Sesuai kesepakatan saya pun ditemani kakak dan adik menuju tempat yang ditentukan, sebuah dataran hijau yang oleh masyarakat setempat dinamakan Dua.  Persis di daerah perbukitan. Dari sini mata kita terpesona memandang sampai ke wilayah tanjung Atadei, teluk Wulandoni, dan perairan Lamalera. Di utara, tatapan kita jatuh tepat pada deretan hutan kayu Ampupu di sepanjang lereng Gunung Labalekan, mulai dari wilayah Lamanuk, Imulolong, dan Puor. Di bagian bawahnya lagi berdiri hamparan hutan kemiri masyarakat yang menjadi komoditas primadona petani di lereng Gunung Labalekan. 

Menurutnya, di kebun adalah tempat yang paling hening melantunkan doa atau syair. Selain itu, tentu ada nuansa alami dan panorama keindahan yang musti terus disyukuri. Bahwa pujian kepada Tuhan Ama Lera Wulan Tana Ekan dan sesama juga adalah sebentuk keindahan rasa. Sebuah getaran sukma yang paling dalam atas semua peristiwa, kisah suka duka, yang dialami oleh manusia. Dan, itu juga butuh ketenangan dan kedamaian. Kisah padu padan seperti itulah yang sering dinarasikan dalam bentuk ceritera yang acapkali dinyanyikan. Dalam masyarakat Lamaholot disebut Oreng. 

Bapak Yoseph Beda Narek adalah figur yang memiliki kemampuan menarasikan suatu peristiwa dengan bernyanyi. Dan, itu dilakukan tanpa salah. Spontan, lancar, dan mengalir begitu saja. Saat itu, beberapa kali jedah untuk mengambil napas. Kami selingi dengan meneguk tuak putih dan ubi kayu bakar. Enak memang. Kami habisi waktu cukup lama.

Pagi tadi, datang kabar dari kampung bahwa Bapak Yoseph telah dipanggil Tuhan. Tentu saya dan orang-orang yang mencintai budaya merasa kehilangan Bapak Yoseph yang memiliki kemampuan dalam melantunkan syair adat. Apalagi, di saat modern ini susah sekali mendapatkan orang-orang yang seperti ini. Namun, hidup kita sepenuhnya berada pada tangan Tuhan. Mengapa harus "di kebun". Baru saya sadar bahwa kebun adalah gambaran dunia estetika yang paling alami, tempat manusia mengalami unio mystica, pertemuan atau persekutuan dengan Tuhan. Mendaraskan Oreng berarti mendaraskan keindahan. 

Semoga alamahrum Bapak Yoseph Beda Narek berjalan pulang melalui jalan lurus menuju Rumah Bapa di surga. Di sana sorak-sorai nyanyian para malaikat menantimu sebab menyanyikan syair telah menjadi talenta yang diberikan Tuhan kepadamu semasa hidupmu. Bapak Yoseph telah menggandakannya berlipat-lipat di dunia. (*)

Kamis, 24 Februari 2022

Di Sini, Di Uniflor Saja

Semenjak virus Corona menghantam dunia global, nyaris pula melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk sendi pendidikan yang menjadi garda terdepan mencetak sumber daya manusia Indonesia unggul. Tak pelak, misalnya ujian nasional bagi siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas sebagai syarat kelulusan melangkah ke jenjang pendidikan selanjutnya pun, terpaksa ditiadakan. Para siswa dinyatakan lulus dengan sebutan angkatan Corona. 

Dunia seakan gugup menghadapi pandemi global ini. Instruksi untuk patuh pada protokol kesehatan dari  pemerintah terus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Mulai jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, hindari kerumunan merupakan cara terbaik memutus mata rantai penyebaran virus ini. Masyarakat pun dihimbau untuk di rumah saja. Kantor-kantor pemerintah dan swasta pun ditutup dan mewajibkan karyawannya untuk bekerja dari rumah. Lembaga-lembaga pendidikan juga setali tiga uang. Siswa belajar dari rumah. Mobilitas manusia antarwilayah tak seramai sebelum situasi pandemi ini.

Para siswa tamatan sekolah menengah atas yang ingin melanjutkan kuliah ke jenjang perguruan tinggi pun agak was-was. Kebingungan. Orang tua juga khawatir jika anaknya bisa terkena virus ini, jika bepergian jauh. Memang dilematis. Situasi sulit yang membutuhkan pilihan tepat dan pasti. Satu hal yang pasti, Corona boleh melanda kita, tapi pendidikan anak sudah jelas menjadi prioritas. Bulan ini, bulan depan, bahkan tahun depan virus ini pasti hilang lenyap dari keseharian kita, namun jika pendidikan tidak tertata dengan baik hari ini, maka cuma ada penyesalan di hari esok, sebab kata orang bijak pendidikan merupakan investasi masa depan. 

Puisi Menyesal

Seperti tulis Haji Hasjmi dalam puisi yang berjudul "Menyesal". Berikut saya kutip lengkap puisi tersebut.

Pagiku hilang sudah melayang

Hari mudaku sudah pergi

Kini petang datang membayang

Batang usiaku sudah tinggi

Aku lalai di hari pagi

Beta lengah di masa muda

Kini hidup meracun hati

Miskin ilmu, miskin harta


Ah, apa guna kusesalkan

Menyesal tua tiada berguna

Hanya menambah luka sukma


Kepada yang muda kuharapkan

Atur barisan di hari pagi

Menuju arah padang bakti

Bagi adik-adik yang tamatan SMA/SMK/MAN di Flores Lembata, NTT, dan di seantero nusantara tentukan pilihanmu sekarang. Pastikan bahwa Anda bisa melibas badai ini. Karena masa depanmu ada di tangan Anda sendiri. Jika adik-adik lalai bahkan terlambat mengambil keputusan untuk melanjutkan kuliah, maka mungkin saja kesempatan ini akan terbuang begitu saja, sebab tahun depan belum tentu peluang ini ada lagi.

Mari, "Di Sini Saja", bergabung bersama kami di Universitas Flores. Jangan terlambat, secepatnya daftarkan diri Anda "Di Sini Saja", di Universitas Flores. Kami telah mengalami pencapaian yang luar biasa. Adik-adik bisa menghubungi 081338322945, 085337855502, atau 081353989718. (*)

Tuhan Tahu, Tapi Menunggu

Judul di atas adalah sebuah Cerpen yang ditulis oleh Leo Tolstoy. Nama lengkapnya Lev Nikolayevich Tolstoy. Lahir di Rusia, 9 September 1828. Entah apa gerangan, tiba-tiba cerpen ini menjadi menarik untuk saya tulis di sini.

Tuhan Tahu Tapi Menunggu

Cerpen "Tuhan Tahu, Tapi Menunggu" mengisahkan seorang Saudagar yang berhati mulia besok pagi akan pergi ke sebuah kota yang jauh untuk memenuhi janjinya. Ternyata, tiba-tiba istrinya menceritakan mimpinya yang buruk bahwa suaminya melakukan perjalanan jauh, mengalami musibah, dan akhirnya meninggal dengan tidak hormat. Belakangan, meninggal tidak hormat barangkali disebut meninggal tidak wajar. Karena mimpi buruk itulah, sang istri memohon dengan segenap hati agar suaminya membatalkan rencana perjalanan jauh tersebut.

Namun, bagi Saudagar suaminya, janji adalah janji yang harus ditepati. Dengan mengabaikan nasihat sang istri, berangkatlah ia menunggangi kuda kesayangannya. Pada suatu malam ketika sedang tidur lelap di sebuah rumah penginapan, terjadilah sebuah peristiwa pembunuhan yang sadis, yang kemudian merubah seluruh perjalanan Saudagar ini. Seseorang telah mati terbunuh, dan orang-orang menemukan sebilah pisau di bawah bantal Saudagar. Dia ditangkap polisi dan diadili, kemudian dijatuhi hukuman seumur hidup, karena telah membunuh nyawa seseorang.

Semua orang, termasuk sahabat dan keluarganya, tidak percaya bahwa Saudagar yang berperangai hati mulia bukanlah seorang pembunuh. Mereka mengajukan pembelaan, namun dia tetap dijatuhi hukuman. Karena itu, Saudagar pun dijauhi oleh keluarga. Ketika dia berada di dalam penjara, dia tidak pernah dikunjungi, termasuk istri dan anak-anaknya. 

Waktu terus berputar. Saudagar yang baik hati menjadi uzur. Selama dalam penjara dia selalu menaati dan menjalankan masa tahanan dengan baik. Atas pertimbangan itu, Saudagar mendapat remisi untuk dibebaskan. Dalam hatinya, jika saya keluar, ke mana saya harus pergi? Semua anggota keluarga, sahabat karib, teman dan kerabat pasti menolak kehadiranku sebab mereka tahu aku adalah seorang pembunuh. 

Ketika dia hendak meninggalkan penjara, seorang lain dimasukan dalam penjara. Saat Saudagar melihat narapidana itu, tahulah ia bahwa orang itu adalah pembunuh yang sebenarnya. Namun, karena telah lama memaafkan pembunuh yang sebenarnya tersebut, dia diam. Bahkan ketika suatu saat di akhir masa pembebasannya, dia pun diancam dibunuh oleh narapidana baru itu, Saudagar pun pasrah. Akhirnya, dia meninggal sebagai seorang pembunuh yang selalu menunjukkan perilaku baik di dalam tahanan yang akan dibebaskan. "Tuhan Tahu, Tapi Menunggu". (*)

Terima Kasih


(1)

Setiap kita, siapa saja ketika menerima sesuatu dari orang lain, entah kenal maupun tidak pasti kita mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, jika kita melakukan atau memberi sesuatu kepada orang lain, kita pun akan mendapat ucapan yang sama, terima kasih. Terima kasih merupakan ungkapan kejujuran dan rasa dari dalam diri yang nilainya paling mahal karena tidak bisa ditakar dengan bentuk lain. 

Kali ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada adik Robyy Watowai. Dia alumni PBSI Uniflor tahun 2015. Setelah lulus, Roby mencari peruntungannya ke propinsi kaya raya Papua. Di sana dia menjalani profesi sebagai wartawan di koran Timika Expres. Selepas itu, dia bekerja di koran Radar Timika (Jawa Pos Grup) di bagian desain grafis (lay out dan ilustrasi). Bekal jurnalistik cuma didapat dibangku kuliah dalam mata kuliah pilihan rumpun jurnalistik, yang waktu itu cuma 1 jam. Berbagai pertimbangan, termasuk umpan balik dari alumni tentang respek bidang ini cukup besar di lapangan, maka mata kuliah-mata kuliah rumpun jurnalistik sekarang sudah menjadi 3 jam.

Sekarang Roby sudah kembali ke Ende, Flores, tanah kelahirannya. Berbekal pengalaman yang diperoleh di bidang media, alumni berdarah Adonara Flores Timur ini mulai menekuni dunia lukis. Dunia ini dipelajari secara otodidak. Kegiatan ini dilakukan mengisi waktu luang usai menjalani tugas di bidang desain grafis sebuah koran online di kota Ende. Di bawah ini salah satu lukisannya.  Terima kasih Roby, alumni sekaligus anak bimbingan tugas akhir yang tak kenal menyerah (*)

(2)

Bertemu lagi dengan Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum di Prodi PBSI Universitas Flores, setelah tahun 2015, Pak Yapi ke Uniflor mengikuti Temu Sastrawan NTT 2. Saat itu PBSI Uniflor menjadi penyelenggaranya. Setelah berdiskusi dengan para dosen, beliau menyempatkan waktunya untuk berbincang dengan para mahasiswa tentang sastra siber. Menurut Yapi, jika dikelola dengan baik media sastra jenis ini dapat memberikan efek positif yang luar biasa, asal mahasiswa sungguh-sungguh mau mengakrabinya dengan baik. 

Pada kesempatan tersebut, Pak Yapi menyerahkan buku "Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya." Buku yang diluncurkan di Lewoleba Lembata, pada 12 Oktober 2022 bertepatan dengan ulang tahun Kabupaten Lembata ke-23. Terima kasih berlimpah kepada penulis bukuk ini, seorang penulis dan jurnalis senior, Bapak Thomas Ataladjar.

Bahasa-bahasa Lokal: Warisan Nilai dan Strategi Pelestariannya


    Kamis, 10 Desember 2020, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende menyelenggarakan Webinar Nasional bertema "Bahasa-bahasa Lokal: Warisan Nilai dan Strategi Pelestariannya". Tema ini aktual dan selalu relevan dalam setiap perbincangan, jika kita hendak menelisik keberadaan kita sebagai individu dan anggota komunitas atau masyarakat. 

    Jika kita semua lebih sedikit tenang dan sabar merunut dan merenungi perjalanan peradaban kita, maka kita sepakat bahwa "bahasa-bahasa lokal" merupakan bagian sejarah intelektual, bahkan telah menjadi artefak dari pikiran manusia. Hanya manusialah yang mampu menciptakan artefak untuk ditinggalkan kepada generasi muda melalui khazanah budaya, bahasa, dan sastra. Dengan demikian, artefak tidak sekadar benda, melainkan hasil pikiran manusia.

Sebagai masyarakat yang multietnik sekaligus multilingual, kita diharapkan untuk menggembur dan menyuburkan kembali eksistensi bahasa-bahasa lokal yang menjadi identitas kultural. Sebab, di dalamnya mengandung kekayaan nilai dan fungsi-fungsi simbolik yang menjadi modal sosial masyarakat penuturnya. Dengan begitu, kita dan generasi masa depan tetap kokoh, serta tidak akan mengalami ketercerabutan akar lokal yang berdampak pada kegoyahan jati diri di tngkat lokal maupun nasional. Alasan historis dan kultural tersebutlah menjadi daya dorong dan rasionalisasi, mengapa panitya memilih "Bahasa-bahasa Lokal" sebagai tema Webinar Nasional. 

Saat kegiatan, para peserta Webinar Nasional berterima kasih karena bisa bertemu dan berdiskusi dengan para expert dalam bidang budaya, bahasa, dan sastra. Antara lain, (1) Prof. Dr. Simon Sabon Ola, M.Hum., dari Undana Kupang, (2) Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum., (3) Prof. Dr. Aron Meko Mbete daru Universitas Warmadewa Bali, (4) Dr. Simon Sira Padji , M.A., dari Universitas Flores, (5) Stefen Danerek, P.Hd, peneliti dari Lund University Swedia, (6) Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan (7) Dr. Willem Burung, seorang peneliti bahasa-bahasa Trans-New Guinea di Papua.

Terima kasih untuk semua peserta Webinar yang telah mengambil bagian dalam kegiatan tersebut. Program Studi PBSI Universitas Flores tetap punya komitmen untuk melestarikan budaya, bahasa, dan sastra lokal seirama dengan visi Uniflor menjadi Mediator Budaya. (*)

Dengan Puisi Aku (Nora Nua Go)

Saya mendapat kesempatan menerjemahkan puisi "Dengan Puisi, Aku", karya Taufik Ismail ke dalam bahasa Lamaholot (2015). Dengan penguasaan bahasa pertama saya bahasa Lamaholot, judul puisi tersebut saya terjemahkan menjadi "Nora Nua, Go". Penerjemahan puisi Taufik Ismail ini dalam rangka merayakan usianya yang ke-80. Hasil terjemahannya dibukukan dalam buku "Dengan Puisi, Aku 1 Puisi, 80 Bahasa, 80 Tahun". 

80 bahasa dimaksud terdiri atas 58 bahasa dunia dan 22 bahasa daerah. Bahasa Tamil, Yunani, Ibrani, Esparanto, Persia, Katalan, Jepang, Serbia, Burma, dan Filipino adalah beberapa bahasa di antara 58 bahasa dunia. Selain bahasa Jawa, Minangkabau, Toraja yang tersebar di Indonesia, terdapat 6 bahasa di Flores dalam buku tersebut,  antara lain, bahasa Manggarai, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka, dan Lamaholot.

Buku yang diterbitkan oleh Majalah Sastra HORISON, dengan prakata oleh Prof. Victor A. Pogadaev dari FBL, University Malaya. Dalam prakata berjudul "Taufik Ismail: Penyambung Lidah Orang Miskin dan Tertindas", Prof. Victor menyebut Taufik Ismail sebagai penyair tersohor Indonesia. Seluruh bakat, upaya, dan dayanya diserahkan untuk melawan totalitarisme. Taufik Ismail sebagai penyambung lidah orang miskin dan tertindas, pembela kebebasan individu dan kebebasan kreatif. Setiap kekuasaan adalah kekerasan. Olehnya, kewajiban seorang penyair sebagai warga negara adalah membuat kekuasaan itu lebih berperi-kemanusiaan dan memaksanya meringankan penderitaan rakyat. 

Taufik Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935 dan dibesarkan di daerah Pekalongan Jawa. Dia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Kecenderungan membaca tersebut diwariskan dalam puisinya "Kupu-kupu di dalam Buku". 

Taufik Ismail juga disebut Prof. Victor sebagai maitre, pemimpin Angkatan 66 yang diakui, yang patut diteladani oleh semua sastrawan generasi muda.

Selamat ulang tahun sastrawan Indonesia Taufik Ismail, sastrawan yang pernah menulis puisi tentang keindahan padang safana Sumba dengan judul Beri Daku Sumba (2014).

Bagi adik-adik tamatan SMA/SMK/MAN di wilayah Flobamora atau wilayah Indonesia yang ingin melanjutkan kuliah, Ayo..., bergabung dengan kami di Universitas Flores  Ende. 

Secara khusus, bagi adik-adik yang ingin mengasah daya imajinasi dalam bidang sastra, kami menantimu dengan senang hati di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. (*)

Lelaki Tua dan Laut


Santiago namanya. Ia Lelaki Tua yang menjadi tokoh sentral dalam novel Lelaki Tua dan Laut. Ditulis oleh Ernest Hemingway. Hemingway mengisahkan perjuangan seorang Lelaki Tua Kuba yang telah 84 hari berjuang untuk menangkap ikan marlin raksasa. Ia gagal menangkap seekor ikan pun. Fisiknya memang tua, namun menyimpan kekuatan dan daya tahan tubuh yang luar biasa. Terciptalah sublim, sebagaimana tampak ketika dia sendirian berada di laut sebulan lebih tanpa menghasilkan apa-apa.

Ingatan Lelaki Tua melayang-layang ke masa mudanya, ketika dia berpetualang ke Afrika dan menyaksikan begitu banyak singa di pantai, dan saat dia selalu menang dalam pertandingan poncho. 

Perjuangan tanpa menyerah Lelaki Tua mengajarkan betapa kesabaran, ketabahan, dan kegigihan dalam mengarungi lautan kehidupan. Kisah menyentuh dan inspiratif ini juga diwarnai suka duka pertemanannya dengan seorang anak lelaki. (*)

Menulis dengan Makna dan Rasa

Kita semua, siapa saja patut  membiasakan diri menulis secara benar. Sekecil apapun kesalahan yang ditulis tentu menimbulkan salah tafsir dari pembaca. 

Fenomena ini terus kita jumpai dalam beranda media sosial, misalnya facebook, maupun media-media publikasi online. Kehadiran media-media online, bak cendawan di musim hujan, selaras dengan pertumbuhan dan kemajuan perangkat tekonologi komunikasi dan informasi. Kita mendukung dan memberi apresiasi atas kehadiran media-media tersebut untuk membantu mempercepat terpenuhinya akses informasi bagi masyarakat pembaca. Namun, kita pun berharap agar ikhtiar penyebarluasan informasi publik tersebut hendaknya ditulis dan dipublikasikan secara benar agar dapat sampai dan dipahami oleh pembaca, terlebih tidak menimbulkan salah tafsir di tengah pembaca. 

Manajemen media-media online (pars pro toto) acapkali abai terhadap kaidah dan tata tulis bahasa Indonesia. Asal tulis, tanpa memperhatikan tata ejaan pula. Belum lagi soal struktur dan gramatikanya. Padahal, kata orang bijak menulis sesuatu secara benar itu menggambarkan derajat keterpelajaran kita sebagai penutur bahasa.

Gerakan literasi yang belakangan ini gencar disosialisasikan juga memberikan efek positif, bahkan menjadi pelecut semangat berliterasi pada semua lapisan sosial masyarakat.

Penulis itu pujangga atau penyaji rangkaian kata dan kalimat bernas dengan keindahan makna dan rasa, selain sajian kebenaran dan kebijaksanaan. Penulis itu komposer, penata ide dengan mengusung misi kemanusiaan dan aksiologis. Penulis itu juga penemu gagasan atau ide, atau peramu resep dan peracik menu konseptual melalui rangkaian kalimat koherensif dan kohesif untuk membedakannya dengan orang lain. Dan, kita semua telah menjadi penulis: penata kata, peramu gagasan, dan peracik resep.

Saya tidak membatasi keluwesan dan keleluasaan setiap kita untuk menuliskan sesuatu. Akan tetapi, pemahaman kita sebagai penutur terhadap tata bahasa Indonesia diharapkan dapat memperkaya dan meningkatkan kualitas kemahiran berbahasa kita. 

Mari kita gunakan bahasa Indonesia secara benar, tanda kesetiaan kita sebagai penutur yang bermartabat. Bahasa Indonesia bahasa kita. (*)

Selasa, 22 Februari 2022

Gorys Keraf: Pemakai Bahasa Patut Memiliki Moral yang Tinggi


Tanggal 22 Pebruari 1978 Gregorius Keraf (Gorys Keraf) mempertahankan Disertasi dengan judul "Morfologi Dialek Lamalera" untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sastra pada Universitas Indonesia, dengan promotor Prof. Dr. Amran Halim,  Prof. Dr. J.W.M. Verhaar, dan Dr. E.K.M. Masinambouw.

Gorys Keraf. Adalah Profesor Doktor Gorys Keraf. Profesor linguistik itu lahir di Lamalera Kabupaten Lembata, 17 Nopember 1936. Beliau meninggal pada 30 Agustus 1997, persis di usia 61 tahun. Hari ini kita memperingati hari lahirnya yang ke-84. Mengenang almahrum Gorys Keraf, hemat saya berarti mengenang kembali aneka pemikirannya dari berbagai sudut pandang kebahasaan. 

Pada tahun 1970 beliau menulis buku Tatabahasa Indonesia dan menjadi buku primer rujukan para guru bahasa dan siswa dalam pembelajaran tatabahasa di sekolah menengah. Setelah itu, Gregor Keraf, begitu nama yang dia tulis pada kata pengantar disertasinya dengan judul Morfologi Dialek Lamalera (1978), menulis serial buku Komposisi yang naik cetak pertama pada (1971) yang mengalami cetak ulang ke-13 pada tahun 2004.

Buku Komposisi merupakan sebuah buku wajib bagi mahasiswa dan dosen pada program studi pendidikan kebahasaan, juga mungkin program studi komunikasi. Tak disangkal pula buku best seller ini dapat dimiliki oleh siapa saja. Serial Komposisi ini diikuti oleh Diksi dan Gaya Bahasa, Eksposisi dan Desksripsi, serra Argumentasi dan Narasi.

Buku Komposisi mengulas tentang kemahiran berbahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Tidak saja soal kemahiran berbahasa, namun di bagian lain Keraf berpendapat bahwa "pemakai bahasa tidak saja harus memiliki kemahiran berbahasa, tetapi juga harus memiliki moral yang tinggi, sehingga dapat menjadi batu timbangan dalam mengadakan kontrol sosial terhadap anggota-anggota masyarakat, terutama bila pembicara itu menduduki suatu tempat yang penting dalam masyarakat atau memegang tampuk pimpinan suatu masyarakat" (1989:10).

Lalu, siapakah yang dimaksud Keraf sebagai orang atau pemakai bahasa yang menduduki suatu tempat yang penting dalam masyarakat ataupun memegang tampuk pimpinan suatu masyarakat?

Ketika menulis Linguistik Bandingan Historis (1991) yang diterbitkan Gramedia Utama Pustaka Jakarta. Buku ini mengulas tentang asal mula bahasa, sejarah linguistik bandingan historis dan metode-metode perbandingan, geografi dialek, migrasi bahasa, serta negeri asal Austronesia dan bahasa-bahasa Austria Gorys Keraf berpendapat bahwa negeri asal bangsa dan bahasa-bahasa Austronesia adalah wilayah Republik Indonesia (1991:201).

Bahasa, selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat kontrol sosial, begitulah Keraf mengingatkan kita selaku pemakai bahasa. Jadi, tentu kita pun perlu teliti dan hati-hati mengucapkan bahasa (kata-kata) dalam kehidupan sosial, apalagi di era menjamurnya media sosial. Kitapun diminta untuk selalu memiliki "moral yang tinggi" dalam berbahasa. 

Kita berdoa agar almahrum Profesor Gorys Keraf dapat memperoleh tempat yang layak di keabadian surga. (*)

Kamis, 17 Februari 2022

Merayakan Kairos, Pancawindu Uniflor 19 Juli 2020

Manusia selalu membuat dan memiliki sejarah, sehingga kerap disebut sebagai makhluk menyejarah. Dia selalu bergerak dalam suatu urutan waktu (kronos) maupun kairos, waktu yang paling penting untuk dihayati dalam perjalanan sejarah hidupnya. Ia menjadi momentum yang unik bagi orang perorang–pribadi, maupun kelompok untuk berhenti sejenak di titik itu, memberi “tanda” tentang perjalanannya. Kairos juga menjadi semacam batu pengilo menimbang seberapa berat (banyak) pribadi maupun kelompok bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Bahkan, momentum tersebut juga menjadi semacam kaca cermin untuk mengevaluasi derajat kualitas karya dan pelayanan yang telah dibuat. Di jedah itulah, sebagai makhluk dinamis akan merumuskan kiat, ide, dan cita-cita dengan strategi pencapaian dalam menapak setapak jalan yang ada di depan.

Universitas Flores sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi di Flores, pada tanggal 19 Juli 2020, menggapai usia Pancawindu atau 40 tahun berkarya.  Secara kelembagaan, institusi telah terakreditasi B. Semua fakultas dan program studi telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Ini artinya, masyarakat tidak perlu ragu atau khawatir mempercayakan putra-putrinya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Flores.

Hingga saat ini, Universitas Flores memiliki tujuh fakultas, yaitu pertama: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan tujuh program studi, antara lain (1) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, (2) Program Studi Sejarah, (3) Program Studi Pendidikan Ekonomi, (4) Program Studi Pendidikan Matematika, (5) Program Studi Pendidikan Fisika, (6) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, dan (7) Program Studi Pendidikan Biologi.

Kedua, Fakultas Hukum, dengan Program Studi Ilmu Hukum; Ketiga, Fakultas Teknik, dengan Program Studi Teknik Sipil, dan Arsitektur; Keempat, Fakultas Ekonomi, dengan program Studi Akuntansi, Manajemen, dan Studi Pembangunan; Kelima, Fakultas Pertanian, dengan Program Studi Agroteknologi; Keenam, Fakultas Bahasa dan Sastra, dengan Program Studi Sastra Inggris; dan Ketujuh, Fakultas Teknologi Informasi, dengan Program Studi Sistem Informasi.

Menuju puncak perayaan Pancawindu 40 Tahun Universitas Flores, telah dilaksanakan berbagai kegiatan. Pencanangan Pancawindu dimulai dengan misa Pencanangan tanggal 2 November 2019, berpusat di Gereja Santu Yoseph Onekore. Waktu itu, Pastor Paroki Onekore Pater Herman Sina, SVD (Almahrum), dalam khotbahnya menandaskan tentang mewujudkan “kekentalan persahabatan” dalam aneka karya. Uniflor sebagai lembaga ilmiah mesti terus mengepakkan sayap membantu masyarakat dan umat di tengah kegelisahan hidup yang terus saja menghantui mereka. Permintaan Pater Herman ketika itu adalah, Uniflor sebagai lembaga yang berada di wilayah Paroki Onekore, hendaknya mengambil bagian dalam perayaan ekaristi. Dan, bagai gayung bersambut, kesiapan tanggungan liturgi di paroki ini pun langsung mulai dilaksanakan beberapa waktu setelah itu. 

Sebelumnya, pada tanggal 26 Oktober 2019, panitia melaksanakan kuliah umum menghadirkan Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Refly Harun. Dalam kesempatan tersebut, Rektor Universitas Flores, Dr. Simon Sira Padji, M.A., mengungkapkan bahwa Ende dan Uniflor ini menjadi semacam melting spot, tempat pertemuan juga peleburan berbagai budaya. Dengan iklim dan cuaca yang pas-pas, Ende juga Uniflor menjadi magnet tersendiri bagi orang, termasuk mahasiswa yang memilih Uniflor sebagai pilihan melanjutkan studi.

 

Menguatkan Sumpah

Memperingati Bulan Bahasa 2019, segenap civitas akademika Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) “menguatkan sumpah” dalam sebuah diskusi ringan di bawah tema “Sastra dan Ekolinguistik”. Diskusi yang dimoderatori oleh mahasiswa semester IV Anselmus Nong Sareng menghadirkan narasumber yang adalah dosen program studi antara lain: Dr. Yosef Demon, M. Hum., Dr. Petrus Pita, M.Hum, Dr. Veronika Genua, S.Pd., M.Hum, dan Dra. Maria Marietta Bali Larasati, M.Hum.

Pada kesempatan itu, bertempat di Anjungan Lantai 3 Gedung Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jalan Sam Ratulangi Ende, warga PBSI fokus pada perbincangan untuk “menguatkan sumpah” dalam tindak berbahasa, terutama berusaha menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar di tengah persaingan bahasa daerah dan bahasa asing dengan ragam penggunaannya yang banyak pula. Secara khusus, penggunaan bahasa di media sosial yang kaya dengan singkatan dan akronim. Sampai di titik ini, warga PBSI mesti menjadi contoh atau sosok yang perlu ditiru dalam penggunaan bahasa. “Harapan ini akan menjadi kenyataan, jika kita semua dari hari ke hari terus menata dan mengasah kemampuan dan keterammpilan berbahasa kita”, tegas Ketua Program Studi PBSI Dr. Yosef Demon, M. Hum., di hadapan peserta diskusi. Jika demikian, maka kita pantas “menguatkan sumpah” untuk setia dan loyal mengkampanyekan tidak saja bahasa Indonesia, namun juga bahasa daerah sebagai wahana filosofis yang padat dengan pandangan dan modal sosial hidup masyarakat, lanjut Dr. Petrus Pita, M.Hum.

Doktor Veronika Genua, M.Hum, saat menjawab pertanyaan tentang kapling ekolinguistik, menjelaskan tentang bagaimana kita menghargai dan melestarikan lingkungan. Verni mengilustrasikan bahwa semesta ciptaan Tuhan telah dilengkapi dengan bahasa. Jika kita merawat alam atau semesta, maka kita sedang merawat bahasa. Sebab, bahasa juga menekankan tentang keberlanjutan sebagaimana manusia membicarakan kelestarian dan keberlanjutan alam dan kehidupannya. Dalam soal yang sama, Ibu Eta Larasati menekankan tentang kontribusi sastra dalam kehidupan mahasiswa. Mahasiswa mesti selalu menajamkan daya imajinasinya dalam berpikir dan bertindak, asal tetap dalam konteks yang positif dan produktif.

 

Parade Budaya dan Invitasi Bola EGDC

Segenap civitas akademika Uniflor melakukan parade budaya, dengan titik start Lapangan Pancasila Ende hingga Stadion Marilonga. Pesertanya adalah mahasiswa, dosen, dan karyawan enam belas program studi. Mereka menampilkan budaya khas dari semua etnik Flobamorata. Sebagai missal, Program Studi Guru Sekolah Dasar menampilkan budaya Lamaholot Lembata. Tampak di atas sebuah pick up, animasi gambar ikan Paus yang sangat menarik perhatian massa. Dilengkapi dengan asesori khas Lembata: kain tenun, topi yang terbuat dari daun lontar, siri, pinang, parang, tombak, dan lain sebagainya. Para peserta menyanyikan yel-yel di setiap singgahan. Di depan para juri dan penonton yang berjubel sepanjang jalur perjalanan. Hal yang sama juga terlihat dari tampilan program studi lain.

Setibanya di Stadion Marilonga, peserta dihibur oleh 1.600 penari kolosal. Mereka datang dari utusan masing-masing program studi. Peragaan bentuk dan modifikasi aneka tarian khas Flobamorata menjadi tontonan ribuan penonton yang sudah mengantre.

Saat setelah hiburan, dilangsungkan pembukaan invitasi Sepak Bola Ema Gadi Djou Cup. Menurut Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi Flores, Dr. Lory Gadi Djou, invitasi sepak bola Ema Gadi Djou Cup adalah bagian dari napak tilas merunut kembali perjalanan pendiri lembaga Universitas Flores, yakni Bapak Herman Josef Gadi Djou. Beliau sendiri adalah sosok atau figur yang suka bermain bola.

Sebagaimana yang dikisahkan istri Almahrum, Mia Gadi Djou, dalam “Saita Kai Na” (tanpa tahun) bahwa pertemuan atau cinta mereka bersemi karena bola. “Kebetulan karena bola, kalau boleh saya menggunakan istilah ini untuk menggambarkan pertemuan saya dan Ema”, tulis mama Mia (hal. 23). Ema adalah pemain Bon Jogja dan PS GAMA. Hampir semua yang suka nonton bola pasti tahu Herman, karena Ema bermain sangat bagus dan pencetak gol (hal. 42). Karena bola pulalah Ema dikenal, dari pejabat, tukang becak, maupun pedagang di toko (hal. 25).

Cerita Mia Gadi Djou, dengan keterampilannya menggocek bola, maka baju klub gampang didapat untuk mahasiswa Flores. Tuturnya, terdapat dua klub elite Jogja yang kostum pemainnya hanya sekali dipakai langsung dibuang. Ema memulung kostum-kostum tersebut bagi mahasiswa (hal. 24). Lanjutnya, karena Ema adalah pencetak gol, maka setiap klub yang berhadapan dengan klub PS GAMA atau Bon Jogja selalu menghalau kelincahan Ema. Jika pertandingan tersebut ada taruhannya, akan lebih berhati-hati pemain lawan. Tentang ini, Mia Gadi Djou menulis, “Suatu kali di sebuah pertandingan di Jogja, saat turun minum (istirahat), seorang bapak datang bertemu, minta supaya Ema jangan lagi memasukkan gol. Karena taruhannya 1–2. Ema susah menolak karena kalau tambah 1 gol berarti bapak ini melarat bersama keluarganya. Ema berdoa, semoga Tuhan berkenan mengatur yang terbaik. Dan, Tuhan memang mengatur yang terbaik, karena bapak penjudi itu tidak bangkrut, dan Ema tidak punya beban. Lantas, si Bapak memeluk Ema dan bertanya mau minta apa, Ema menjawab: yang penting bapak dan keluarga senang (hal. 25).

Itulah mengapa invitasi sepak bola EGDC menjadi momentum mengenang dan terus menghidupi figur bola yang satu ini. Tentu tidak sekadar mencari bibit-bibit bola tanah Ende Sare Lio Pawe. Lebih dari itu, invitasi ini juga menjadi kaca cermin mengukur derajat kemajuan sepak bola kita.

Rangkaian acara menuju puncak Pancawindu terus bergulir. Ada Jalinan Kasih di bawah koordinasi Ibu Sri Hartati Gadi Djou, melalui kegiatan sosial karitatif dengan mengunjungi Panti Asuhan dan keluarga-keluarga fakir miskin di Kota Ende, yang dilaksanakan pada 14–16 Desember 2019. Setelah itu dilangsungkan konser Natal pada 19 Desember 2019, bertempat di Auditorium H.J. Gadi Djou. Dan, masih banyak lagi kegiatan yang telah dilaksanakan panitia di tengah pagebluk Covid-19, termasuk melaksanakan wisuda daring, 18 Juli 2020. Selamat ulang tahun Universitas Flores.(*)

 



[1] Artikel ini dimuat pada https://florespos.co.id/berita/detail/merayakan-kairos--pancawindu-uniflor-19-juli-2020

Jumat, 11 Februari 2022

Puisi Memandangmu & Di Pantai Ende

Memandangmu (1)


memandangmu tak berkedip

dari puncak bukit Wongge

hamparan laut Sawu

palung menangkar ikan dan biota laut

tempat mengail nafkah para petualang bahari


akan kuceriterakan kepada anak-anakku di ruang kelas

saat diskusi tentang dunia bahari

yang luas tak bertepi

juga tentang engkau nelayan 

yang setia melempar pukat dan sauh


akan kujawab pertanyaan siswa dengan kejujuran

tentang dedikasi, semangat, dan kerja keras

darimu yang tanpa patah asa

mengarungi ombak biru pagi malam

demi asupan protein generasi bangsa.


setelah itu aku pulang

menceriterakan kepada istri dan anak

tentang keringat yang menetes pekat

luruh pelan dari petambak garam 

yang hasilnya dinikmati di atas meja makan

tapi hidupnya pas-pasan


itu semua dari laut sayang

demi kesehatan bangsa


dan akan kuajarkan tentang makna kesabaran dan ketabahan 

juga tentang kesuksesan yang tidak datang sendiri.

pun tentang keramahan menjaga ekosistem bahari

kepada semua mereka yang mencintai laut

agar masa depan anak bangsa lestari.

(*)



Di Pantai Ende


di pantai Ende

ikan-ikan berkeriapan


ada seorang nelayan datang bercerita

tentang musim melaut

yang selalu membuat jala terkoyak

penuh rezeki melimpah


di suatu pagi ketika pulang melaut

di musim tenggara

seorang lagi bercerita

tentang kail dan umpan

yang tak pernah bersarang semalam suntuk


keduanya bersua

melukis kisah di pasir pantai Ende

memeterai terima kasih di atas riak arus selatan

bahwa rahmat Tuhan selalu disyukuri (*)


____________________

Puisi Memandangmu dan Di Pantai Ende dimuat dalam Antologi Puisi Maritim: Tarian Laut, yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta (2022)









Manusia Makhluk Menyejarah


Manusia itu memiliki sejarah (menyejarah). Ia selalu bergerak dalam suatu urutan waktu (khronos), maupun kairos, waktu yang penting dalam sejarah perjalanannya.

Manusia adalah makhluk yang suka bercakap-cakap, bahkan menghabiskan waktunya untuk bercerita, mulai dari hal-hal yang remeh temeh hingga hal-hal yang besar urgensif. Manusia juga adalah makhluk yang berhasil membangun dunia dan lingkungannya melalui bahasa.

Manusia juga suka atau gemar bermain-main dengan bahasa (homo ludens). Salah satu ciri rancang bangun bahasa adalah ketika manusia dapat berbicara tentang masa lalu atau masa lampaunya, masa kini, rencana atau menghayal dan bermimpi tentang masa depannya. Ia dapat membuat skenario untuk mempersiapkan diri tentang apa yang mungkin terjadi.

Manusia sebagai homo symbolicum, mencipta lambang untuk mempresentasikan konsep, gagasan, maupun pengalamannya secara abstrak.

Manusia juga adalah makhluk homo sapiens, makhluk berpikir atau pemikir bijak yang selalu menyadari keberadaannya. Sebagai makhluk acapkali mempertanyakan keberadaannya atau eksistensinya.

Manusia itu unik---sebagai kelompok maupun unik sebagai pribadi---orang perorang. Secara pribadi, manusia ibarat sebuah "bab" penting dalam kitab/buku dalam sejarah umat manusia, dan bab itu tak tergantikan (*)