Halaman

Kamis, 30 Maret 2023

Parameter Mengukur Kualitas Penutur Berbahasa Indonesia


 

Kemampuan Berbahasa Kita

Terdapat berbagai faktor, mengapa penggunaan bahasa Indonesia pebelajar belum memuaskan, walaupun agak ironis ketika usia bahasa Indonesia yang berembrio dari dialek Melayu ini telah lama diakui dan dimerdekakan sebagai bahasa negara. Selain faktor geografi dialek, juga geopolitik, serta kemajemukan etnik, agama, budaya, lingkungan sosiokultural, dan keanekaan bahasa daerah, faktor internal pebelajar bahasa juga menjadi hambatan mengapa bahasa negara ini belum berkembang baik dalam perihal penggunaannya, sekalipun pada kalangan elite cendikiawan dan kaum terpelajar. Koentjaraningrat (Chaer,2010:8–10) mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan berbahasa seseorang dengan sikap mental para penuturnya. Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kelompok elite dan golongan intelektual dipengaruhi oleh sifat-sifat negatif yang melekat (inheren) pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat itu adalah (1) suka meremehkan mutu, (2) mental menerabas, (3) tuna harga diri, (4) tidak disiplin, (5) enggan bertanggung jawab, dan (6) suka latah atau ikut-ikutan.

Suka meremehkan mutu, tampak pada perilaku bahasa yang pokoknya mengerti. Sikap ini menyebabkan bahasa yang digunakan asal jadi. Orang lebih menggunakan bahasa untuk bisa dimengerti dengan alasan soal benar dan salah dalam berbahasa menjadi urusan guru bahasa bahasa Indonesia atau penyuluh bahasa Indonesia. Adanya sikap pragmatisme kontekstual.

Mental menerabas, tercermin dalam perilaku berbahasa yang memiliki ikhtiar untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tanpa disertai dengan keinginan untuk belajar. Mereka berpendapat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kita yang ada secara alami, yang akan bisa dikuasai tanpa belajar. Adanya klaim atau anggapan bahwa setiap penutur yang lahir di Indonesia pandai berbahasa Indonesia. Klaim ini bukan terjadi bagi masyarakat penutur tradisional, melainkan juga mengidap pada kategori kelompok masyarakat intelektualis. Bahkan, untuk kelompok ini, karena kecendikiaannya sehingga begitu gampang melakukan kesalahan.

Tuna harga diri, berarti tidak mau menghargai milik sendiri, tetapi sangat menghargai milik orang lain, orang asing atau budaya asing. Karena lebih menghargai bahasa asing, maka coba lihat saja di pintu-pintu masuk bertuliskan in bukan “masuk”, dan pintu keluar bertuliskan exit bukan “keluar”, keset-keset di depan kantor bertuliskan welcome bukan “selamat datang”, pada daun pintu yang dapat dibuka dua arah bertuliskan push dan pull, bukannya “dorong” dan “tarik”, dll. Adanya sikap memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, sikap ini justru mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap kebudayaan kita sendiri. Dapatlah kita pahami bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang merupakan kristalisasi bening dari khazanah budaya bangsa yang oleh keikhlasan dan ikhtiar para pemuda waktu itu telah menyepakati untuk dijadikan sebagai bahasa bangsa.

Tidak disiplin, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti kaidah tata bahasa. Patutlah kita amini bahwa kelupaan menggunakan bahasa Indonesia secara baik, diakibatkan juga oleh dinamika kebudayaan yang semakin pesat dan dahsyat. Kondisi demikian telah menembus tembok ketahanan diri yang telah kita bangun berabad-abad. Dinamika pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan mental dan perilaku penutur bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.

Suka latah atau ikut-ikutan, tercermin dalam perilaku berbahasa yang selalu mengikuti saja ucapan orang lain, yang biasanya pejabat atau toko masayarakat yang mungkin secara semantik atau gramatikal tidak benar. kalau boleh kita jujur, peran kelompok elite kita untuk meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya, untuk urusan naik pangkat, menempati jabatan-jabatan politk, struktural, maupun fungsional, minimal harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama ini, kalaupun ada itu hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial belaka.

Secara sosiologis kemasyarakatan ada fakta yang sangat berpengaruh. Pertama, tingkat pendidikan rakyat rendah. Fakta ini begitu kuat dirasakan di tengah peredaran dan galaunya mekanisme pembangunan yang digalakkan pemerintah. Terlebih proses pembangunan di daerha-daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Pada proses ini, pemerintah menggunakan istilah-istilah pembangunan dan politik yang formal, bahkan sangat susah diterjemahkan rakyat. Saluran komunikasi demikian akan buntu (stag) dan tak bermakna. Akhirnya, rakyat tetap tak tercerdaskan: pembangunan bangsa pun gagal dan gagal terus.

Kedua, kekurangpahaman dan kesadaran untuk berkomunikasi lisan dan tulis secara baik. Urusan ini hanya diserahkan kepada guru bahasa Indonesia. Jadi, kebanyakan hanya menjadi penonton. Tidak terlibat secara aktif dalam proses pembiasaan untuk menjadikan diri lebih baik dalam berbahasa. Kita pun diharap menyadari prinsip language arts and skill. Prinsip arts, mereferensi pada sesuatu yang original, kreatif, dan personal. Ini artinya, berbahasa merupakan kemampuan yang melekat secara imanensial dalam diri kita. Semuanya butuh kreativitas kita untuk mengembangkannya. Prinsip skill mereferensi pada sesuatu yang bersifat eksak, mekanis, dan impersonal. Ini artinya, membutuhkan keterampilan yang memadai untuk mendayagunakan kemampuan berbahasa, terutama pada aspek eksplorasi kecakapan berbahasa yang kita miliki.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas disebabkan pula oleh kepesatan teknologi dan informasi melalui kepesatan media-media berbasis online. Penutur atau pengguna bahasa memiliki kepiawaian dan kemahiran dalam berbahasa multimedia, ketimbang kecakapan dan kemahiran dalam berbahasa tulis. Atas kondisi demikian, pengguna bahasa perlu diberikan pemahaman yang lebih mumpuni tentang bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di media-media sosial. Kebenaran informasi yang disajikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar sekalipun melalui media online menjadi jaminan bahwa informasi yang disampaikan adalah baik dan benar, di samping menjadi tanda bahwa penutur bahasa Indonesia memiliki sikap loyal terhada bahasa kenegaraan kita.

Meningkatkan Kemahiran Berbicara

Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara  berarti mengatakan sesuatu atau mengucapkan atau mengatakan dengan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Berbicara menjadi aktivitas rutin manusia yang tak pernah tergantikan sepanjang hari. Misalnya, memberikan informasi, memberi motivasi, mempersuasi, dll. Oleh karena itu, Berbicara merupakan salah satu kemampuan yang inheren (melekat) pada manusia. Kemahiran berbicara memungkinkan seseorang untuk dapat terampil dalam berkomunikasi lisan dan tulis, seperti terampil berpidato, berargumentasi, berdiskusi, dan bernegosiasi (Hendrikus,1991:14). Dengan demikian, retorika merupakan kesenian untuk berbicara baik (ars bene dicendi) yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Kesenian berbicara baik berarti kemampuan untuk berbicara atau berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan, bukan sebaliknya.

Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengingkapan yang tepat dan daya pembuktian dan penilaian yang tepat. Jadi, retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara. Kesanggupan dan keterampilan untuk menguasai seni berbicara dapat dicapai dengan mencontohi para retor terkenal (imitatio), dengan mempelajari dan menggunakan hukum-hukum retorika (doctrina), dan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dituntut pula penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).

Ilmu Retorika berhubungan dengan dialektika dan elocutio. Dialektika adalah metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Dengan dialektika, orang mampu menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan argumentasi (inventio), dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio). Elocutio adalah kelancaran berbicara. Elocutio menjadi prasyarat kepandaian berbicara.

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan, informasi, ide, gagasan, pendapat, penjelasan, data, berita, dari individu atau pihak tertentu ke individu atau pihak yang lain dengan suatu maksud tertentu. Pesan atau ide yang disampaikan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Pada titik ini, bahasa berfungsi sebagai enigma, bahkan suatu keajaiban. Bahasa telah memungkinkan orang untuk berkumpul dan menjadi bersama sebagai gambaran atau perwujudan kondisi eksistensial terjadinya struktur dialogis wacana apapun dan menjelma sebagai suati cara masuk untuk mengatasi kesendirian fundamental setiap manusia (Ricoeur,2003:43). Sebagai alat komunikasi, bahasa menjadi media atau saluran perumusan dan penyampaian maksud. Media melahirkan dan mengekspresikan perasaan dalam memungkinkan adanya kerja sama antara individu maupun kelompok (Keraf,2004:8). Dengan demikian, setiap orang, terutama peserta didik perlu meningkatkan frekuensi latihan berbicara secara berkelanjutan dan dilaksanakan secara efektif agar potensi dan kemahiran berbahasa tulis terus ditingkatkan. Jika demikian, maka komunikasi yang tercipta semakin memberikan peluang untuk meningkatkan kerja sama yang komunikatif dengan publik atau masyarakat luas.

Membangun Ruang Kesadaran Baru

Dalam sentra usia bahasa Negara yang kesekian ini, hendaknya menjadi momentum bersejarah. Momentum untuk berhenti sejenak dan merefleksi, sejauh mana rasa kebangsaan yang mengendap dan mengental pada kita. Mungkinkah ada ruang harapan tersisa (meminjam istilah Romo Mudji Sutrisno: sanctuary), untuk sebuah proses pembatinan dalam upaya tapak undur agar lebih menghayati bahasa Indonesia sebagai identitas tak terbantahkan dalam alur jatuh bangun dan maju mundurnya peradaban bangsa ini? Indonesia sangat beruntung karena masalah bahasa sudah tertangani secara lebih baik, jauh sebelum Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Tahun 1926, Soekarno melalui ide nasionalismenya telah mempropagandakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dan bahasa perjuangan (Bung Karno dan Pancasila,Tim Nusa Indah Ende, 2006:27).

Atas keberhasilan yang demikian, masih ada sejumlah celah yang harus ditutup agar bahasa Indonesia pada masa depan bisa lebih baik. Di antaranya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, terutama imperealisme bahasa, politik bahasa tetap mempertimbangkan keragaman   bahasa. Untuk itu, politik bahasa yang perlu dikembangkan adalah politik bahasa yang egaliter dalam menghormati keragaman-keragaman dimaksud. Ini membuktikan bahwa fungsi bahasa tetap menjadi cerminan dan refleksi realitas yang senantiasa dipertahankan sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan publik.

Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa, menurut Pateda, dapat mewujud dalam dua kenyataan, yakni bahasa Indonesia menampakkan diri sebagai identitas fonik, dan Merah Putih serta Garuda Pancasila sebagai wujud fisik. Ketika mendengar bunyi, oh…kakiku”, serta merta kita mengatakan, pembicara itu adalah orang Indonesia, tidak melihat bahwa apakah dia orang Jawa, Sumatera, Flores. Sebaliknya, ketika melihat sebuah gedung yang di sekitarnya berkibar bendera Merah Putih, dan di depan pintunya ada gambar Burung Garuda, maka kita dapat memastikan bahwa gedung tersebut adalah gedung perwakilan Republik Indonesia.

Dengan sebuah kesadaran bahwa bahasa Indonesia yang merupakan identitas bangsa juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan bangsa, yang mau atau tidak mau juga mempersoalkan tentang bahasa. Kesadaran dimaksud beirmplikasi pada kesadaran tentang identitas bangsa. Tentang identitas, Emil Salim (1990) menegaskan bahawa upaya mempertahankan identitas merupakan prioritas yang harus diperjuangkan mati-matian dengan ciri utama menjaga keseimbangan antara aspek material maupun spiritual.

Penutup

Mengacu pada berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti kenakalan remaja, premanisme penyalahgunaan kuasa dan wewenang, sesungguhnya menyiratkan adanya krisis jati diri atau identitas yang substansif. Persoalan ini ketika ditautkan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, maka pengajaran kebangsaan tetap menjadi aktual dan relevan untuk tetap menjadi pertimbangan prioritas untuk diberikan pada lembaga-lembaga formal kita, karena perihal jiwa kebangsaan hanya diikutkan pada mata pelajaran-mata pelajaran lain. Usaha mempertahankana bahasa Indonesia sebagai sebuah identitas bangsa wajib diupayakan dalam mengisi tahapan pembangunan, termasuk memajukan pendidikan bangsa ini dengan menggunakannya sebagai sarana pembangunan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, kita berangkat dengan sebuah cita-cita bahwa bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dapat membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif di atas fundasi peradaban bahasa kita sendiri. (*)

Daftar Pustaka

Chaer,Abdul.2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika: Termapil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Kanisius.

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Ende: Nusa Indah.

Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana, Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa. Terjemahan oleh Musnur Hery. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sugono, Dendy. 2004. Berbahasa Indonesia Dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

Tim Nusa Indah Ende. 2006. Bung Karno dan Pancasila. Ende: Nusa Indah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Budaya Minta dan Budaya Pesta

 

Suatu situasi yang paradoks ketika memandang, melihat para kaum muda, termasuk kaum terpelajar terperangkap dalam budaya minta. Mau ke mana atau hendak melakukan sesuatu atau membuat apa masih minta uang dari orang tua atau kerabat. Tidak terkecuali sikap dan perilaku demikian dipraktikkan oleh para sarjana jebolan perguruan tinggi. Hampir saja mereka tidak punya kelincahan berkreativitas apalagi berinovasi sebagai manifestasi atas kerangka keilmuan yang telah diperoleh. Dalam perspektif positif, budaya minta secara hakiki mencerminkan solidaritas terhadap sesama sebab menanamkan rasa kesetiakawanan sosial. Namun, pada sisi yang lain, tentu sisi negatif, budaya minta telah menghadirkan, bahkan menciptakan mental malas, cari gampang, dan memperpanjang daftar pengangguran yang semakin meluas. Kita terus berharap agar budaya ini dari waktu ke waktu diminimalisir dengan tujuan agar manusia dan generasi kita tumbuh menjadi manusia mandiri dan otonom. Sikap berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) bukan berarti menciptakan egoisme, namun mengakarkan mental kuat dalam membangun diri dan bangsa.

Budaya Pesta


Pada kelompok orang-orang yang sudah berkeluarga di Flores, misalnya, kental sekali dengan nuansa pesta. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka selalu ditandai dengan pesta. Dari peristiwa kelahiran hingga peristiwa kematian, saat ajal menjemput. Fenomena ini semakin kental dalam masyarakat kita, dan jika ditelisik tentu punya manfaat positif maupun negatif. Solidaritas dan kebersamaan terus dipupuk sebab orang-orang berkumpul dan bersolidaritas bersama atas suatu peristiwa sosial tersebut. Namun, dalam perspektif yang lain pesta telah menimbulkan pesan negatif. Ambil contoh, untuk berobat atau memeriksakan kesehatan ke dokter, tidak ada uang, tetapi untuk membeli babi atau sapi demi suatu urusan yang sifatnya konsumtif, pasti ada uang. Apalagi pesta. Ada pesta pernikahan, pesta wisuda, pesta sambut baru, pesta sunat, dan lain sebagainya. Belum lagi untuk pesta urusan adat yang akhir-akhir ini juga dirasakan membebankan. Pesta merupakan bagian mengucap syukur, namun musti dipikirkan matang agar tidak menimbulkan pemborosan uang dan materi. (*)

Jumat, 24 Maret 2023

Jadilah Sarjana yang Membawa Berkah bukan Kutukan

 


Saya mengutip pesan Albert Einstein, si Jenius, teoretikus besar bidang ilmu alam, kepada para mahasiswa California Institute Of Technology (1938). Pesan ini saya pandang relevan dengan peristiwa yudisium sarjana FKIP, kelompok anak muda, petualang intelektual berdarah segar yang dilantik hari ini.

“Saya merasa sangat bahagia melihat Anda semua di hadapan saya, sekumpulan orang muda yang sedang mekar yang telah memilih bidang keilmuan sebagai profesi. Saya berhasrat untuk menyanyikan himne yang penuh puji, dengan refrain kemajuan pesat di bidang keilmuan yang telah kita capai, dan kemajuan yang lebih pesat lagi yang akan Anda bawakan. Sesungguhnya kita berada dalam kurun waktu dan tanah air keilmuan” (Suriasumantri, 1999).


Jadilah Sarjana yang Peka 

Jadilah sarjana baru yang peka dan memiliki rasa percaya diri tinggi untuk menyongsong masa depan, bukan sarjana yang takut untuk keluar dari kampus. Jadilah sarjana yang senantiasa menyadari kemampuan yang dimiliki, sehingga betapapun kerasnya kompetisi di luar, yang akan Anda hadapi, yakinlah dan bangun rasa optimisme bahwa Anda pasti bisa. Dengan demikian, Anda menghindari rasa pesimistis karena itu membunuh semangat dan kreativitas Anda. Mulailah dari hal yang sederhana, sebagaimana orang bisa berkata-kata sekarang karena memang dimulai dengan mengeja huruf-huruf. Atau sebagaimana Anda menjadi seperti sekarang karena Anda pernah berproses dari dahulu kala. Anda pun demikian. Mulailah dengan prinsip coba dan gagal, dan hindari sikap putus asa.

Saya kembali meneruskan pesan si Jenius, Albert Einstein, peraih nobel  untuk sumbangannya dalam bidang ilmu fisika, buat Anda yang akan terpencar ke segala penjuru, pelosok desa, dan sudut kota demi aplikasi pekerjaan kemanusiaan.

“Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda–agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan”. (Suriasumantri, 1999). (*)

 

2 Inspirasi Menggapai Sukses

 

Perkenankanlah saya menyapa undangan dengan “Yang Berbahagia”, atas rahmat dan Penyelenggaraan Tuhan Sang Mahakasih yang kita terima hingga saat ini, secara khusus pada hitungan angka ke-30 tahun berdirinya Prodi PBSI Universitas Flores.

2 Inspirasi



Kami di Prodi PBSI, mengapresiasi dan bersyukur atas hasil yang kami raih ini dalam dua inspirasi berikut ini. Pertama, hemat teman-teman dosen dan pegawai di Prodi, proses akreditasi yang kami lalui merupakan “proses pendakian”, proses “mendaki” dari lembah ke bukit. Sebagaimana kisah Alber Camus melalui tokoh Sysipus dalam The Myth of Sysipus. Tokoh Sisipus menggulingkan batu karang dari lembah ke bukit. Setiap kali batu karang itu hampir sampai di bukit, batu itu terguling kembali ke lembah. Dia pun kembali melakukan aktivitas yang sama. Akhirnya, suatu saat Sisipus pun sadar bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan sia-sia (dalam Gawen, 2011:31). Yang hendak disampaikan Camus melalui tokoh Sisipus adalah bagaimana membangun semangat dan kerja keras atau ajakan “ada bersama” untuk menghargai sebuah proses bukan hasil: proses jatuh dan bangun, duduk dan berdiri, suka dan duka hingga menggapai hasil yang diimpikan. Ada keyakinan yang teguh bahwa hasil yang diraih akan memuaskan kalau proses yang dilalui pun dilakukan secara maksimal dan sungguh-sungguh tanpa hitungan apapun dengan melibatkan berbagai pilar atau pemangku kepentingan. Tokoh cerita di atas juga serentak mengajarkan kita untuk tidak cepat putus asa. Bahwa kegagalan adalah kerikil-kerikil penopang kesuksesan. Dengan kata lain, coba dan gagal adalah dua kutub yang saling berhimpitan dan saling tumpang tindih. Keduanya perlu diarifi secara bijaksana tanpa mengesampingkan yang satu dengan yang lain.

Kedua, inspirasi dari sosok filsuf Heraklitos yang hidup pada zaman Yunani Kuno yang berpendapat bahwa tidak ada sesuatu hakikat yang murni, definitif, dan mutlak dalam kehidupan ini. Segala sesuatu yang ada senantiasa “sedang menjadi” atau “panta rei”, yang berarti tidak ada yang tetap, segala sesuatu dalam “proses menjadi” dan berubah-ubah (Kaelan, 2009:157). Karena itu, kami yakin bahwa perjuangan dari waktu ke waktu terus mencatat perkembangan dan kemajuan berkat adanya upaya dan kerja keras. Waktu terus berubah menuntut manusia pun ikut berubah di dalamnya (tempora mutantur et nos mutamur in ills). Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam segala aspek kehidupan, semangat dan idealisme untuk berubah telah menjadi komitmen tersendiri untuk memacu perubahan yang berkualitas. Dalam cara pandang ini, Peringkat C yang kami dapat di tahun 2013, menjadi pelecut nadi dan semangat untuk terus berusaha menggapai Peringkat Baik. Alhasil, berdasarkan SK BAN PT Nomor: 118/SK/BAN-PT/Akred/S/III/2015, memutuskan bahwa Prodi PBSI Uniflor mendapat Peringkat Baik. Demikianlah, mudah-mudahan berkat semangat dan kerja keras yang sama, lima tahun yang akan datang Prodi bisa “menggapai puncak”, dengan peringkat maksimum, yakni A. Prodi telah belajar banyak dan memiliki asa dari proses ini, dan untuk itulah kiat-kiat mengajukan akreditasi telah kami pelajari untuk ikhtiar yang mulia ini.

Bersyukur, Mendaki ke Puncak

Universitas melalui fakultas senantiasa mendorong dan mengajak Prodi untuk terus “mendaki ke puncak” hingga mencapai Peringkat Baik. Sebagai bagian dari keluarga besar civitas akademika Uniflor, kami percaya bahwa dengan dua inspirasi yang kami sajikan di atas, dapat menjadi suplemen semangat bagi teman-teman di Prodi lain yang sedang menyiapkan diri menyongsong akreditasi.

Demikian satu dua pengalaman, sheer yang  bisa kami sampaikan untuk kita pada kesempatan ini. Sekali lagi, Saya atas nama teman-teman dosen, pegawai, dan panitya kecil syukur ini, mengucapkan terima kasih atas kesediaan kita semua dalam “bersyukur” bersama, dan tak lupa  kami sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, apabila pelayanan kami semenjak ketibaan para hadirin di Auditorium H.J. Gadi Djou ini tidak memuaskan. Maafkan juga seluruh tutur kata, silaf sikap yang mungkin mengganggu Bapak/Ibu pada kesempatan ini. Sekian dan Terima kasih. (*)

(17 Juni 2015 pada syukuran akreditasi “B” Prodi PBSI Universitas Flores, sehari menjelang Ultah di 2015) (*)


Senin, 20 Maret 2023

Mempertebal Sikap Ekologi



Isu tentang lingkungan menjadi isu yang sangat penting untuk dibicarakan belakangan ini. Isu menjadi penting karena kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Kerusakan lingkungan ini terjadi karena sikap atau perilaku manusia yang tidak memperhatikan lingkungan hidup sebagai tempat manusia berdiam atau berpijak.

Mempertebal Sikap Ekologi

Artikel ringkas ini akan memaparkan beberapa penyebab, mengapa manusia kurang atau tidak sama sekali memperhatikan lingkungan hidup tersebut. Pertama, kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang menekankan modal sebagai poin utama untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran yang sedikit. Salah satu jalan yang dilakukan adalan menekan upah pekerja sekecil-kecilnya. Kedua, konsumerisme merupakan gaya hidup atau perilaku hidup manusia, baik perorangan atau kelomopok yang membeli dan menggunakan barang secara berlebihan. Ketiga, mode atau perkembangan teknologi dan gaya hidup, pola hidup atau life style atau tatanan hidup seseorang atau kelompok orang yang yang dilakukan sekadar untuk mencari hedonisme atau kesenangan hidup. Membangun prestise dengan mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih banyak. Kelima, individualisme, merupakan pandangan hidup yang mementingkan kemerdekaan diri sendiri. Mengabaikan kepentingan atau keberpihakan kepada kelompok masyarakat banyak. Keenam, antroposentrisme, manusia menjadi pusat spesies yang paling penting sehingga mengabaikan makhluk hidup yang lain. Dengan demikian, setiap kita, apapun profesi kita, kita senantiasa sadar untuk menjaga ekologi dengan sikap mempertebal sikap ekologis melalui menanam, merawat, melestarikan alam bagi keutuhan dan keseimbangan hidup antara makhluk hidup. (*)

Kamis, 16 Maret 2023

Pancasila sebagai Rumah Kebangsaan

 


Nasionalisme Indonesia yang dibangun dalam Rumah Pancasila dengan lima tiang utama perlu dijaga, dirawat. Melestarikan nilai-nilai luhur yang tercantum di dalamnya agar tidak keropos dimakan rayap kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sampai hari ini, fakta korupsi adalah fakta yang telah ikut menggerus nilai-nilai edukatif kebangsaan yang telah dipraktikkan dan bahkan diwariskan pendahulu bangsa untuk generasi muda bangsa ini. Sayangnya, godaan pragmatisme dan kesombongan egoisme orang perorang menjadikan bangsa ini menjadi “buah bibir” warga bangsa sendiri, maupun dunia luar akan praktik-praktik tidak terpuji itu. Lantas, apakah bangsa ini menyerah dan terus membiarkan kesombongan orang-orang yang tipis nurani dan hatinya itu untuk terus menggerus bangsa ini melalui perbuatan-perbuatan terkutuk tersebut? Tentu, semua elemen bangsa secara spontan dan tegas menjawab tidak.

Untuk itu, salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah meresapi dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam dasar Negara kita, yaitu Pancasila. Nilai-nilai demikian adalah kristalisasi dan serapan nilai-nilai yang ada dalam keragaman hidup berbangsa Indonesia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi wajib “merapal” nilai-nilai tersebut untuk menjadi acuan dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupannya sehari-hari. Jika demikian, maka lembaga-lembaga pendidikan terus dibenah, diperkuat, diawasi dalam rancang bangun kurikulum dan penerapannya.  Arah dan mekanisme pembelajaran, secara khusus Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila terus diupayakan menjadi pembelajaran kebangsaan yang berfungsi sebagai wadah menanam dan menebalkan semangat patriotism dan cintah tanah air.

Pancasila sebagai Rumah Kebangsaan

Ketika dibuang ke Ende tahun 1934–1938 Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik Indonesia (Djawanai, 2013: 99). Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.

Jika kita runut, cita-cita dan bangunan kebangsaan Indonesia telah diikhrarkanoleh para pemuda dalam momentum historis Sumpah Pemuda. Sejak saat itulah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang pluralisttik menjadi harga mati. Bukan homogenitas. Meskipun konsepnya atau butir-butir ikhrar diawali dengan kata ‘Kami’, namun makna semantis dalam pernyataan atau sumpah tersebut adalah kekitaan kolektif. Karena para pemuda yang datang dari berbagai pelosok nusantara berasal dari beragam etnis, budaya, dan agama. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda hendak menandaskan tentang hakikat menjunjung dan merawat bangsa dalam semangat bersama-sama. Tanpa dilandasi kebersamaan cita-cita memajukan bangsa tidak dapat tercapai dengan baik.

Telah adanya konsensus dan semangat kesediaan untuk saling menerima dalam keperbedaan identitas masing-masing. Persatuan Indonesia itu begitu kuat karena dengan menjadi Indonesia orang Jawa tak perlu takut kehilangan budaya Jawanya, orang Batak tak perlu takut kehilangan kebiasaan Bataknya, orang Flores akan menjadi luas pandangannya. Gambaran Sumpah Pemuda sebetulnya mencerminkan kekitaan kolektif berbangsa. Kekolektifan berbangsa tersebut semakin dimurnikan dan tampak secara jelas dalam sila-sila Pancasila, khususnya Persatuan Indonesia. Pancasila dengan jelas menyatakan bahwa Indonesia milik kita semua tanpa membeda-bedakaan mana yang mayoritas dan minoritas. Oleh sebab itu semboyan Biineka Tunggal Ika dan toleransi agama yang sudah diwariskan harus terus digembur di tengah keragaman Indonesia. Dengan demikian, tugas bersama semua elemen ke depan adalah mengurangi konflik berdarah yang terjadi di berbagai tempat di nusantara.

Soekarno di Ende, menggagas sebuah rumah Indonesia. Paling kurang ada kiat untuk upaya reaktualisasi nilai-nilai perjuangan Soekarno di Ende yang perlu digelorakan dari waktu ke waktu demi menghindari efek amnesia sejarah generasi masa depan kita. Terutama, bagaimana memandang keragaman Indonesia sebagai anugerah terindah yang patut dihidupi dari waktu ke waktu.

Dengan demikian, adalah suatu komitmen bersama untuk menjadikan bangsa ini bebas dari segala kekerasan. Tentunya, generasi muda menjadi prioritas. Sebab mereka adalah pemegang estafet masa depan bangsa. Kalau pendidikan nilai dan proses internalisasi tidak mendapat skala prioritas dalam pembangunan ke depan, maka bukan tidak mungkin kita akan menghadapi badai beruntun yang tanpa disadari akan menggoyahkan bangsa ini.

Uraian yang disajikan di atas menggambarkan kondisi faktual Indonesia dalam perspektif Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol kebangsaan Indonesia yang plural, dan Pancasila sebagai “candi intelektual” yang menjadi dasar dan idiologi negara. Indonesia masih menjadi sebuah cita-cita yang belum selesai. Perlu diupayakan terus-menerus dari berbagai aspek kehidupan untuk mencapai cita-cita bersama adil dan makmur.Jika ini sebuah teks, maka Indonesia juga merupakan sebuah teks yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. (*)

Rabu, 15 Maret 2023

Menulis Budaya dan Bahasa Warisan Masa Lampau

 


Pemerolehan bahasa secara universal, sebagaimana juga terjadi pada berbagai bahasa di dunia, sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor budaya. Segala ciptaan pengetahuan seseorang dapat juga dimiliki oleh orang lain dan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah dua gejala kebahasaan yang saling terkait. Kedua gejala kebahasaan ini juga tidak bisa terlepas dari gejala persaingan bahasa. Bahasa dikatakan mengalami pergeseran ketika masyarakat mulai meninggalkan bahasa tradisionalnya (bahasa daerah atau bahasa ibu). Akibat lanjut dari pergeseran bahasa adalah terpinggirkannya suatau bahasa dan termuliakannya bahasa yang lain. 

Apabila bahasa yang terpinggirakan itu benar-benar ditinggalkan para penuturnya, bahasa itu dianggap bahasa yang terancam punah. Pemertahanan bahasa perlu dilakukan agar bahasa daerah yang terancam punah tersebut hidup dan dituturkan kembali oleh masyarakat pemakainya. Bahasa sangat erat hubungannya dengan komunikasi. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya adalah masyarakat pemakai dua bahasa (bahasa ibu (daerah) dan bahasa indonesia), mempunyai kemungkinan besar dapat menciptakan konflik kebahasaan.

Setiap insan tentunya memiliki budaya yang merupakan warisan leluhur yang selalu melekat dan  tetap dijaga hingga saat ini. Budaya mengajarkan  kita untuk patuh dan taat  dapat dijadikan sebagai pola hidup pada tradisi yang telah diwariskan. Budaya yang telah diwariskan akan bertumbuh, dan berkembang  dalam jiwa dan sanubari setiap insan di bumi pertiwi ini.  Selain itu,  dapat memberikan energi untuk menanamkan nilai dan etos kerja sebagai pilihan perdana dan keutamaan dalam konsep hidup.

Kelayakan hidup sebagai manusia demi nilai, dan demi harga diri sebagai manusia, patut ditulis kembali dengan berbasiskan data warisan masa lalu yang tersimpan dalam kemasan bahasa-bahasa lokal. Ini tugas kita semua, tanpa kecuali. Hidup yang sedang kita jalani ini sesungguhnya sesuatu yang nyata, sarat makna, dan nilai. Jadi, khazanah budaya, nilai, dan falsafah kita sekaligus yang menjadi idiologi etnik dan komunitas patut digali dan ditulis kembali dengan bahasa (lokal) baru, dan ditanamkan kembali pula kepada kaum muda melalui berbagai bentuk pengajaran, kendati transformasi sosial budaya telah menawarkan wujud kerja yang sudah berubah. 

Mahasiswa sebagai intelektual muda wajib memiliki, memahami, dan menguasai,  pengetahuan tentang budayanya. Itu bukan berarti kita abai untuk menguasai pengetahuan orang lain atau dunia luar. Namun, kita perlu memiliki basis juga landasan tentang identitas kita secara lebih utuh. Jika demikian, maka masing-masing berusaha untuk merawat    tradisi budayanya, termasuk bahasa daerahnya dengan baik agar tidak tergerus oleh arus perkembangan zaman dan teknologi yang kian pesat.

Budaya dan ekologi atau lingkungan merupakan satu kesatuan ekosisitem yang tidak dapat dipisahkan karena bertautan dengan prinsip-prinsip relasi pada jenjang yang lebih tinggi dan lebih luhur lagi. Menjaga dan merawat keharmonisan hidup dengan Tuhan Allah yang kita sembah, sesama manusia, dengan lingkungan alam tempat kita berpijak, serta  berdamai dengan alam  adalah guru natural, bahkan juga dengan segala sesuatu yang tidak kasat indera, adalah keniscayaan yang paling dalam. Banyak prinsip kehidupan yang terkandung dalam budaya dan dalam kemasan bahasa-bahasa lokal yang perlu digali dan dikaji. Sebab, bahasa daerah telah mengajarkan banyak hal, antara lain tentang moral, etika, logika, kesetiakawanan, solidaritas, yang musti dijaga dan diwariskan terus-menerus keppeada generasi yang akan dating. (*)

Selasa, 14 Maret 2023

Pementasan Drama Teka Iku

 

Sabtu, 09 Januari 2021 mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Flores menyelenggarakan pentas drama cerita rakyat dari Kabupaten Sikka yang berjudul Teka Iku. Drama yang dipentaskan oleh mahasiswa semester V bertempat di Anjungan PBSI Uniflor.

 “Saya memberi apresisasi yang setinggi- tingginya kepada mahasiswa semester V untuk perjuangan sampai pementasan. Banyak kendala dari proses latihan sampai pementasan, namun kuasa Tuhan dan leluhur acara ini berlangsung luar biasa. Beberapa hal positif yang diungkapkan oleh Kaprodi PBSI Dr. Drs. Yosef Demon Bataona, M.Hum., Pertama,  background yang sederhana namun akting dari masing-masing pemeran sangat luar biasa menjadikan panggunannya hidup, kedua, masing-masing pemeran menjiwai perannya, ketiga, busana daerah yang natural, keempat, tata musik dan lampu sangat bagus, namun sedikit redup, yang membuat suasana sedikit gelap dengan latar kain hitam, tetapi semangat benar-benar luar biasa, dan kelima, peran sutradara sangat luar biasa dalam memadu berbagai karakter pemain menjadi utuh.

Drama Teka Iku mengisahkan tentang rakyat kecil yang dijajah, diperas, dipaksa, dan diwajibkan membayar pajak kelapa tiap pohon empat buah tiap tiga bulan. Selama satu tahun 16 buah dan harus dihantar ke pesisir untuk ditanam, dirawat, demi kepentingan Ratu Negeri Belanda dan para raja/ratu tawa tana. Teka Iku muak atas perbuatan dan tingkah laku penjajah yang dijuluki Ata Bura Pikut Saan bersama para penjilat yang juga dikatakan anjing belang penjilat (ahu kela lea tai).

Pementasan drama yang dilakukan sangat bagus. Selama kurang lebih 2 bulan berlatih, mahasiswa mampu menampilkan pementasan yang meriah seperti ini. Apresiasi dari bapak/ ibu dosen pun luar biasa. Saya dapat melihat dan merasakannya ketika mereka sedang berlatih, kerja sama dan rasa kekeluargaan yang sangat erat itu terbangun, dari sutradara dan tim pemain atau pemeran. Pementasan drama dapat memberikan kontribusi nilai hidup terhadap mahasiswa dalam kehidupannya sehari- hari. Dalam ranah pembelajaran drama dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan kepandaian, misalnya dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, kesusastraan, bersifat permainan, memberikan pengertian baru, berlatih gerak, menyanyi, menyesuaikan kata dengan pikiran, rasa, kemauan dan mengajarkan adat sopan santun, demikan Ibu Encys, pengampu dan pelatih drama Teka Iku.  “Semoga kegiatan ini bisa dikemas lebih menarik untuk menjadi nilai jual prodi ke depan”, harap Eta Larasati, dosen PBSI Ende. (Tim Lota PBSI).

 

LOTA: Wahana Memaknai Keberagaman

 

Bahasa dan budaya adalah dua sistem yang melekat. Bahasa adalah sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi, sedangkan budaya adalah sistem yang mengatur interaksi itu sendiriBudaya tidak saja berwujud benda atau fisik yang dapat diindrai, melainkan berwujud gagasan yang bersifat abstrak berupa suprastruktur ideologis, gagasan atau konsep-konsep. Bahkan, berwujud perilaku atau sistem sosial yang bersifat konkrit menyangkut sistem-sistem yang sudah dilaksanakan atau diterapkan dalam masyarakat. Jadi, kebudayaan adalah proses dan produk pikiran, perasaan, dan perilaku manusia, hasil pengalaman manusia dengan diri, masyarakat, dan alam kosmos.

Kata drama berasal dari bahasa Yunani yaitu draomai yang berarti bertindak, berbuat. Secara ringkas drama didefinisikan sebagai suatu jenis karya sastra yang menggambarkan suatu kehidupan atau kisah, watak, serta tingkah laku manusia melalui gerakan dan dialog yang dipentaskan di atas panggung dalam beberapa babak. Pementasan naskah drama demikian dikenal dengan sebutan teater. Kisah yang ditulis di dalam naskah drama memiliki ragam emosi dan konflik yang khusus diciptakan untuk pementasan teater. Terdapat berbagai cerita rakyat di Flores Lembata yang dapat ditransformasi menjadi naskah drama. Cerita rakyat Teka Iku dari etnik Sikka Maumere adalah salah satu dari aneka cerita rakyat tersebut. Transformasi cerita rakyat ke dalam naskah drama menjadi solusi dan alternatif pembelajaran sastra di sekolah. Selain memperkenalkan sebaran cerita rakyat di Flores Lembata, langkah ini bertujuan untuk menanamkan sikap, dedikasi, dan loyalitas peserta didik terhadap lokalitas setempat. Tentu termasuk menanamkan budi pekerti dan akhlak.

Nilai-nilai lain, seperti pengorbanan, gotong royang, setia kawan, solidaritas, dan keberanian yang menjadi ciri khas masyarakat kita dicuatkan kembali kepada generasi muda. Setidak-tidaknya nilai-nilai tersebut dibaca sebagai modal sosial kolektif sekaligus modal kultural untuk perlu dihidupi secara bersama-sama dalm komunitas dan guyub etnik tertentu. Drama Teka Iku, misalnya menorah jejak historis yang bergayut dengan kehidupan hari ini. Bahwa tokoh Teka Iku adalah representasi keberanian pada umumnya masyarakat kita menghadapi imperealisme penjajah. Drama Teka Iku mengisahkan tentang rakyat kecil yang dijajah, diperas, dipaksa, dan diwajibkan membayar pajak kelapa tiap pohon empat buah tiap tiga bulan. Selama satu tahun 16 buah dan harus dihantar ke pesisir untuk ditanam, dirawat, demi kepentingan Ratu Negeri Belanda dan para raja/ratu tawa tana. Teka Iku muak atas perbuatan dan tingkah laku penjajah yang dijuluki Ata Bura Pikut Saan bersama para penjilat yang juga dikatakan anjing belang penjilat (ahu kela lea tai)

Di titik ini, kita berharap para siswa yang adalah generasi muda perlu menghayati, terutama menginternalisasi sikap dan nilai-nilai kepahlawanan tokoh Teka Iku, juga tokoh-tokoh sejarah lainnya di daerah ini dalam merajut dan membangun masyarakat agar sejahtera. Lota adalah produk pikiran komunitas etnik Ende yang digunakan sebagai wahana, wadah, atau sarana menyampaikan dan menerima maksud orang lain. Tentu dalam interaksi menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Lota dipilih sebagai nama Bulanan LOTA PBSI sekali lagi untuk mempertegas jati diri keetnikan kita. Ini cuma salah satu contoh untuk menegaskan bahwa setiap etnik yang ada dan hidup di Flores Lembata punya kekhasan identitas yang perlu digali untuk memperkaya jagat kebudayaan kita sekaligus memaknai keberagaman Indonesia. (*),

 


Senin, 13 Maret 2023

Metode Berbicara di Depan Umum

 


Berbicara di depan umum (public speaking) menghendaki penguasaan bahasa yang runtut, sistematis, dan lancar. Selain itu, persyaratan lain yang  perlu diperhatikan, misalnya keberanian, ketenangan sikap, pandangan menyeluruh ke pesertagerak-gerik yang luwes dan tidak kaku dan cemas, serta urutan penyampaian gagasan yang teratur.

Sebenarnya, persiapan yang dilakukan antara penyajian lisan dan penyajian tulis memiliki banyak kesamaan. Perbedaan mendasar keduanya dalam hal ini, yaitu (1) penyajian lisan mengutamakan gerak-gerik, sikap, hubungan langsung dengan hadirin, sedangkan komposisi tertulis tidak demikian, dan (2) penyajian lisan tidak ada kebebasan bagi pendengar untuk memilih bahan mana yang harus didahulukan dan bahan mana yang dapat diabaikan. Pendengar harus mendengar seluruh sajian dari pembicara, dan dalam penyajian tulis pembaca bebas memilih mana yang dianggap menarik, dan bagian lain ditunda atau diabaikan (Keraf, 2004: 359).

Metode Berbicara di Depan Umum

Jenis-jenis public speaking atau penyajian lisan, di antaranya pidato, ceramah, orasi, presentasi, menjadi pemateri diskusi, mengajar di kelas, memberikan briefing, memandu acara: Master of Ceremony/Pembawa Acara/Host), dan memimpin rapat atau berbicara dalam rapat. Dari segi metode atau cara penyajian lisan, dikenal empat metode public speaking (Keraf,  2004: 359–361) sebagai berikut.

1)      Ad Libitum/Impromptu, yakni public speaking secara mendadak, tanpa persiapan. Dalam dunia siaran, Ad Libitum artinya berbicara tanpa naskah (script).

2)      Manuscript/Reading Complete Text, yakni public speaking dengan cara membaca naskah pidato yang sudah disiapkan. Biasanya dilakukan pejabat negara atau mereka yang memberi sambutan di acara remi/formal.

3)      Memoriter/Memorizing, yakni public speaking dengan menyampaikan hafalan naskah pidato.

4)      Ekstempore/Using Note, yakni public speaking dengan bantuan catatan, pointer, garis besar materi (outline), atau slide materi yang ditayangkan di layar melalui infocus atau LCD Projector.

Cara public speaking "Using Note" dipandang sebagai cara public speaking terbaik karena bebas berimprovisasi, menjaga kontak mata, lebih komunikatif, dan pembicaraan "terkendali" dengan sistematika materi yang dibuat dalam catatan/makalah/slide. (*)