Kemampuan Berbahasa Kita
Terdapat
berbagai faktor, mengapa penggunaan bahasa Indonesia pebelajar belum memuaskan,
walaupun agak ironis ketika usia bahasa Indonesia yang berembrio dari dialek Melayu ini
telah lama diakui dan dimerdekakan sebagai bahasa negara. Selain faktor
geografi dialek, juga geopolitik, serta kemajemukan etnik, agama, budaya,
lingkungan sosiokultural, dan keanekaan
bahasa daerah, faktor internal pebelajar bahasa juga menjadi hambatan
mengapa bahasa negara ini belum berkembang baik dalam perihal penggunaannya,
sekalipun pada kalangan elite cendikiawan dan kaum terpelajar. Koentjaraningrat
(Chaer,2010:8–10) mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara
kemampuan berbahasa seseorang dengan sikap mental para penuturnya. Buruknya
kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kelompok
elite dan golongan intelektual dipengaruhi oleh sifat-sifat negatif yang
melekat (inheren) pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat itu
adalah (1) suka meremehkan mutu, (2) mental menerabas, (3) tuna harga diri, (4)
tidak disiplin, (5) enggan bertanggung jawab, dan (6) suka latah atau
ikut-ikutan.
Suka meremehkan mutu, tampak pada
perilaku bahasa yang pokoknya mengerti. Sikap ini menyebabkan bahasa yang
digunakan asal jadi. Orang lebih menggunakan bahasa untuk bisa dimengerti
dengan alasan soal benar dan salah dalam berbahasa menjadi urusan guru bahasa
bahasa Indonesia atau penyuluh bahasa Indonesia. Adanya sikap pragmatisme
kontekstual.
Mental menerabas, tercermin
dalam perilaku berbahasa yang memiliki ikhtiar untuk menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik, tanpa disertai dengan keinginan untuk belajar. Mereka
berpendapat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kita yang ada secara alami,
yang akan bisa dikuasai tanpa belajar. Adanya klaim atau anggapan bahwa setiap
penutur yang lahir di Indonesia pandai berbahasa Indonesia. Klaim ini bukan terjadi bagi
masyarakat penutur tradisional, melainkan juga mengidap pada kategori kelompok
masyarakat intelektualis. Bahkan, untuk kelompok ini, karena kecendikiaannya
sehingga begitu gampang melakukan kesalahan.
Tuna harga diri, berarti tidak
mau menghargai milik sendiri, tetapi sangat menghargai milik orang lain, orang
asing atau budaya asing. Karena
lebih menghargai bahasa asing, maka coba lihat saja di pintu-pintu masuk
bertuliskan in bukan “masuk”, dan pintu
keluar bertuliskan exit bukan
“keluar”, keset-keset di depan kantor bertuliskan welcome bukan
“selamat datang”, pada daun pintu yang dapat dibuka dua arah bertuliskan push dan pull,
bukannya “dorong”
dan “tarik”,
dll. Adanya sikap
memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, sikap ini justru
mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap kebudayaan kita sendiri. Dapatlah kita pahami bahwa bahasa
Indonesia yang kita gunakan sekarang merupakan kristalisasi bening dari
khazanah budaya bangsa yang oleh keikhlasan dan ikhtiar para pemuda waktu itu
telah menyepakati untuk dijadikan sebagai bahasa bangsa.
Tidak disiplin, tercermin
dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti kaidah tata
bahasa. Patutlah kita amini bahwa kelupaan menggunakan bahasa Indonesia secara
baik, diakibatkan juga oleh dinamika kebudayaan yang semakin pesat dan dahsyat.
Kondisi demikian telah
menembus tembok ketahanan diri yang telah kita bangun berabad-abad. Dinamika
pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan mental dan perilaku penutur
bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.
Suka latah atau ikut-ikutan, tercermin
dalam perilaku berbahasa yang selalu mengikuti saja ucapan orang lain, yang
biasanya pejabat atau toko masayarakat yang mungkin secara semantik atau
gramatikal tidak benar. kalau boleh kita jujur, peran kelompok elite kita untuk
meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas
berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya,
untuk urusan naik pangkat, menempati jabatan-jabatan politk, struktural, maupun
fungsional, minimal harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Selama ini, kalaupun ada itu hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial
belaka.
Secara
sosiologis kemasyarakatan ada fakta yang sangat berpengaruh. Pertama, tingkat pendidikan rakyat rendah.
Fakta ini begitu kuat dirasakan di tengah peredaran dan galaunya mekanisme
pembangunan yang digalakkan pemerintah. Terlebih proses pembangunan di
daerha-daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Pada
proses ini, pemerintah menggunakan istilah-istilah pembangunan dan politik yang
formal, bahkan sangat susah diterjemahkan rakyat. Saluran komunikasi demikian
akan buntu (stag) dan tak bermakna.
Akhirnya, rakyat tetap tak tercerdaskan: pembangunan bangsa pun gagal dan gagal terus.
Kedua, kekurangpahaman
dan kesadaran untuk berkomunikasi lisan dan tulis secara baik. Urusan ini hanya
diserahkan kepada guru bahasa Indonesia. Jadi, kebanyakan hanya menjadi
penonton. Tidak terlibat secara aktif dalam proses pembiasaan untuk menjadikan
diri lebih baik dalam berbahasa. Kita pun diharap menyadari prinsip language
arts and skill. Prinsip arts, mereferensi pada sesuatu yang original, kreatif, dan personal.
Ini artinya, berbahasa merupakan kemampuan yang melekat secara imanensial dalam
diri kita. Semuanya butuh kreativitas kita untuk mengembangkannya. Prinsip skill
mereferensi pada sesuatu yang bersifat eksak, mekanis, dan impersonal. Ini
artinya, membutuhkan keterampilan yang memadai untuk mendayagunakan kemampuan
berbahasa, terutama pada aspek eksplorasi kecakapan berbahasa yang kita miliki.
Faktor-faktor
yang disebutkan di atas disebabkan pula oleh kepesatan teknologi dan informasi
melalui kepesatan media-media berbasis online.
Penutur atau pengguna bahasa memiliki kepiawaian dan kemahiran dalam berbahasa
multimedia, ketimbang kecakapan dan kemahiran dalam berbahasa tulis. Atas
kondisi demikian, pengguna bahasa perlu diberikan pemahaman yang lebih mumpuni
tentang bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di
media-media sosial. Kebenaran informasi yang disajikan dengan bahasa Indonesia
yang baik dan benar sekalipun melalui media online
menjadi jaminan bahwa informasi yang disampaikan adalah baik dan benar, di
samping menjadi tanda bahwa penutur bahasa Indonesia memiliki sikap loyal
terhada bahasa kenegaraan kita.
Meningkatkan Kemahiran Berbicara
Titik tolak retorika adalah
berbicara. Berbicara berarti mengatakan
sesuatu atau mengucapkan atau mengatakan dengan kata atau kalimat
kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Berbicara menjadi aktivitas rutin
manusia yang tak pernah tergantikan sepanjang hari. Misalnya,
memberikan informasi, memberi motivasi, mempersuasi, dll. Oleh karena itu,
Berbicara merupakan salah satu kemampuan yang inheren (melekat) pada manusia. Kemahiran berbicara memungkinkan
seseorang untuk dapat terampil dalam berkomunikasi lisan dan tulis, seperti terampil berpidato,
berargumentasi, berdiskusi, dan bernegosiasi (Hendrikus,1991:14).
Dengan demikian, retorika merupakan kesenian untuk
berbicara baik (ars bene dicendi) yang
dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars,
techne). Kesenian
berbicara baik berarti kemampuan untuk berbicara atau berpidato secara singkat,
jelas, padat, dan mengesankan, bukan
sebaliknya.
Retorika modern mencakup ingatan yang
kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengingkapan yang tepat dan
daya pembuktian dan penilaian yang tepat. Jadi, retorika modern
adalah gabungan yang
serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara. Kesanggupan dan
keterampilan untuk menguasai seni berbicara dapat dicapai dengan mencontohi
para retor terkenal (imitatio), dengan mempelajari dan menggunakan
hukum-hukum retorika (doctrina), dan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dituntut pula
penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).
Ilmu Retorika berhubungan dengan dialektika dan elocutio. Dialektika adalah metode
untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Dengan dialektika,
orang mampu menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan
argumentasi (inventio), dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio). Elocutio adalah kelancaran berbicara. Elocutio menjadi prasyarat kepandaian berbicara.
Komunikasi
adalah proses penyampaian pesan, informasi, ide, gagasan, pendapat, penjelasan,
data, berita, dari individu atau pihak tertentu ke individu atau pihak yang
lain dengan suatu maksud tertentu. Pesan atau ide yang disampaikan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya. Pada titik ini, bahasa berfungsi sebagai enigma, bahkan suatu keajaiban. Bahasa
telah memungkinkan orang untuk berkumpul dan menjadi bersama sebagai gambaran
atau perwujudan kondisi eksistensial terjadinya struktur dialogis wacana apapun
dan menjelma sebagai suati cara masuk untuk mengatasi kesendirian fundamental
setiap manusia (Ricoeur,2003:43). Sebagai alat komunikasi, bahasa menjadi media
atau saluran perumusan dan penyampaian maksud. Media melahirkan dan
mengekspresikan perasaan dalam memungkinkan adanya kerja sama antara individu
maupun kelompok (Keraf,2004:8). Dengan demikian, setiap orang, terutama peserta
didik perlu meningkatkan frekuensi latihan berbicara secara berkelanjutan dan
dilaksanakan secara efektif agar potensi dan kemahiran berbahasa tulis terus
ditingkatkan. Jika demikian, maka komunikasi yang tercipta semakin memberikan
peluang untuk meningkatkan kerja sama yang komunikatif dengan publik atau
masyarakat luas.
Membangun Ruang Kesadaran Baru
Dalam
sentra usia bahasa Negara yang kesekian ini, hendaknya menjadi momentum
bersejarah. Momentum untuk berhenti sejenak dan merefleksi, sejauh mana rasa
kebangsaan yang mengendap dan mengental pada kita. Mungkinkah ada ruang harapan
tersisa (meminjam istilah Romo Mudji Sutrisno: sanctuary),
untuk sebuah proses pembatinan dalam upaya tapak undur agar lebih menghayati
bahasa Indonesia sebagai identitas tak terbantahkan dalam alur jatuh bangun dan
maju mundurnya peradaban bangsa ini? Indonesia
sangat beruntung karena masalah bahasa sudah tertangani secara lebih baik, jauh
sebelum Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Tahun 1926, Soekarno melalui ide
nasionalismenya telah mempropagandakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pemersatu bangsa dan bahasa perjuangan (Bung Karno dan Pancasila,Tim Nusa Indah Ende, 2006:27).
Atas keberhasilan yang demikian, masih ada sejumlah celah yang harus ditutup agar bahasa
Indonesia pada masa depan bisa lebih baik. Di antaranya memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, terutama imperealisme bahasa, politik
bahasa tetap mempertimbangkan keragaman
bahasa. Untuk itu, politik bahasa yang perlu dikembangkan adalah politik
bahasa yang egaliter dalam menghormati keragaman-keragaman dimaksud. Ini membuktikan bahwa fungsi bahasa
tetap menjadi cerminan dan refleksi realitas yang senantiasa dipertahankan
sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan publik.
Bahasa Indonesia sebagai identitas
bangsa, menurut Pateda, dapat mewujud dalam dua kenyataan, yakni bahasa
Indonesia menampakkan diri sebagai identitas fonik, dan Merah Putih serta
Garuda Pancasila sebagai wujud fisik. Ketika
mendengar bunyi, “oh…kakiku”,
serta merta kita mengatakan, pembicara itu adalah orang Indonesia, tidak
melihat bahwa apakah dia orang Jawa, Sumatera, Flores. Sebaliknya, ketika melihat
sebuah gedung yang di sekitarnya berkibar bendera Merah Putih, dan di depan
pintunya ada gambar Burung Garuda, maka kita dapat memastikan bahwa gedung
tersebut adalah gedung perwakilan Republik Indonesia.
Dengan
sebuah kesadaran bahwa bahasa Indonesia yang merupakan identitas bangsa juga
menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan bangsa, yang mau atau tidak mau
juga mempersoalkan tentang bahasa. Kesadaran dimaksud beirmplikasi pada
kesadaran tentang identitas bangsa. Tentang identitas, Emil Salim (1990) menegaskan bahawa upaya mempertahankan
identitas merupakan prioritas yang harus diperjuangkan mati-matian dengan ciri
utama menjaga keseimbangan antara aspek material maupun spiritual.
Penutup
Mengacu pada berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti kenakalan remaja,
premanisme penyalahgunaan kuasa dan wewenang, sesungguhnya menyiratkan adanya
krisis jati diri atau identitas yang substansif. Persoalan ini ketika ditautkan
dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, maka pengajaran
kebangsaan tetap menjadi aktual dan relevan untuk tetap menjadi pertimbangan
prioritas untuk diberikan pada lembaga-lembaga formal kita, karena perihal jiwa
kebangsaan hanya diikutkan pada mata pelajaran-mata pelajaran lain. Usaha
mempertahankana bahasa Indonesia sebagai sebuah identitas bangsa wajib
diupayakan dalam mengisi tahapan pembangunan, termasuk memajukan pendidikan
bangsa ini dengan menggunakannya sebagai sarana pembangunan kesejahteraan
bangsa. Oleh karena itu,
kita berangkat dengan sebuah cita-cita bahwa bahasa Indonesia sebagai identitas
bangsa dapat membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif di atas fundasi
peradaban bahasa kita sendiri. (*)
Daftar Pustaka
Chaer,Abdul.2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta:
Rineka Cipta.
Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika: Termapil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi.
Yogyakarta: Kanisius.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Ende: Nusa
Indah.
Ricoeur,
Paul. 2003. Filsafat Wacana, Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa.
Terjemahan oleh Musnur Hery. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD.
Sugono,
Dendy. 2004. Berbahasa Indonesia Dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.
Tim
Nusa Indah Ende. 2006. Bung Karno dan Pancasila. Ende:
Nusa Indah.