Halaman

Selasa, 14 November 2017

Universitas Flores: Rahim Persemaian Nilai




Tentang pembangunan sumber daya pendidikan sebagai pilar kemajuan suatu bangsa, seorang Napaleon Bonaparte berpendapat bahwa untuk mendapat suatu generasi masa depan yang sungguh baik dan bermoral, didiklah ibunya, karena ibulah yang paling dekat dengan anak. Dalam konteks demikianlah, tulisan ini meletakkan Universitas Flores (Uniflor) sebagai ibu, “rahim” persemaian ilmu dan nilai. “Rahim” karena lembaga ini identik dengan ibu, sosok yang senantiasa terus melahirkan manusia baru. Tanpa ibu, manusia baru tak kan pernah ada. Begitu juga lembaga Uniflor adalah ibu yang tak pernah akan berhenti mengemban tugas reproduksi. Melahirkan generasi baru, mediator ilmu dan nilai baru bagi masyarakat luas. Untuk itulah Uniflor hadir di bumi ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan pendidikan di tanah Flores secara umum, dan Ende khususnya dirintis oleh para misionaris Katolik Portugis dan Belanda. Kilas ringkas ini menampilkan “Ende dalam Flores”. Artinya, Ende tidak sebagai tempat yang berdiri sendiri, namun Ende dibaca sebagai satu-kesatuan Flores. Dengan demikian, Uniflor di Ende berada dalam satu garis lintasan perkembangan pendidikan di Flores.
Misi “menaklukan tanah Flores” sebagai titik pengabdian para misionaris Katolik untuk penyebaran agama juga dilandasi oleh misi kerasulan awami untuk pembebasan umat akibat keterbelengguan ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, kekafiran, bahkan peperangan antarsuku. Tahun 1895 Pemerintah Hindia Belanda memberikan wewenang yang luas kepada para misionaris Katolik untuk menangani segala urusan pendidikan dengan memberikan subsidi pendidikan sebagaimana yang telah digulirkan tahun 1890. Kebijakan inilah menjadi daya dorong perluasan akses pendidikan di Flores (Pater Lamber Lame Uran. Tanpa tahun. Sejarah Perkembangan Misi  Flores).
Membicarakan Uniflor mendorong kita menengok sosok “Sang Visioner” H.J. Gadi Djou, Drs.Ekon. Menghayati filosofi Cina, Sang Visioner sampai pada kekuatan visi aforisme Kon Fu Tse, ahli filsafat Cina yang mengatakan “kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu satu tahun, maka tanamlah padi; kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu sepuluh tahun, maka tanamlah pohon; dan kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu seratus tahun, maka didiklah rakyat” (via H.J Gadi Djou,  Uniflor: Sejarah Berdirinya, Perjuangannya, dan Misi Depan Bangsa, Pena Persada Offset Yogyakarta, 2005). Seluruh pergumulan yang intens Sang Visioner atas filosofi Kon Fu Tse di atas terarah pada misi penyelamatan anak bangsa dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan dalam dunia pendidikan.
Benih dan inspirasi misi pendidikan tersebut mulai terinkubasi berkenaan dengan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 162/1967 untuk menutup semua cabang Perguruan Tinggi Negeri di seluruh Indonesia, termasuk FKIP Undana Cabang Ende telah menimbulkan “keresahan” di kalangan masyarakat Ende, dan Flores pada umumnya. Keputusan ini menjadi “daya dorong” untuk menggagas dan melahirkan sebuah lembaga pendidikan tinggi di Ende. Jadilah “19 Juli 1980”, lahirlah “Universitas Flores” dengan Rektor pertama H.J. Gadi Djou, Drs.Ekon. Empat dosen negeri Undana diperbantukan di Uniflor Ende, yakni Drs. Sebastianus Ndate, Drs. Remigius Dewa, Drs. Frans Fernandes, dan Drs. Yosef Beda Kedang (Ibid).
Uniflor mulai menerima mahasiswa baru Tahun Ajaran 1980/1981 pada tiga fakultas, yakni Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Pendidikan, dan Fakultas Keguruan. OSPEK pertama dilaksanakan pada 18 Agustus 1982 bertempat di Lapangan Perse Ende dan berakhir pada 22 Agustus 1982 dengan perayaan misa. Perkuliahan menggunakan bekas kantor Bupati Ende di Jalan Soekarno sampai tahun 2005. Tanggal 30 Maret 1982, Dr. JB Sumarlin, Menteri Penertiban Aparatur Negara mengunjungi Uniflor dan menjadi Inspektur Upacara pada apel pagi bersama mahasiswa di kampus Uniflor, Jalan Soekarno. Dalam masa awal, Universitas Flores berada di bawah Kopertis VI Surabaya. Evolusi waktu seluruh perguruan tinggi di NTT dipindahkan ke Kopertis Wilayah VIII, nomor 280/KOP-VIII/B.02/1984 tentang Ijin Persetujuan Sementara kepada Universitas Flores bagi FH, FKIP, dan Fakultas Teknik.
Status Terdaftar oleh Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Nomor 0134/O/1985, 13 Maret 1985, diserahkan oleh Kopertis VIII Prof Dr. Ida Bagus Oka, pada Lustrum Uniflor 19 Juli 1985. Tanggal 9 April 1988, Uniflor melaksanakan Wisuda Perdana Sarjana sebanyak 47 orang dengan perincian: (a) Prodi PMP dan Kewarganegaraan sebanyak 18 orang; (b) Prodi Pendidikan Sejarah sebanyak 2 orang; (c) Pendidikan Dunia Usaha sebanyak 8 orang; dan (d) Prodi Psikologi dan Bimbingan sebanyak 19 orang. Status DIAKUI baru didapat pada tahun 1993 melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 242/DIKTI/Kep/1993, tanggal 1 Mei 1993. Di ulang tahunnya yang ke-37 ini, satu lagi program studi baru yang mendapat ijin penyelenggaraan perkuliahan, yakni Program Studi Pendidikan Biologi. Sehingga, Uniflor telah memiliki tujuh fakultas dengan enam belas program studi.
Rahim Uniflor dalam usia yang ke-37 tahun ini telah “melahirkan” ribuan anak muda baru yang tengah mengabdi di seantero negri ini. Mereka  menempati berbagai karya dan profesi di bidangnya. Dari merekalah, nilai-nilai lembaga dibawa dan ditebar untuk membantu masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Terutama, visi sebagai “mediator budaya”. Kita berharap, di usianya yang ke-37, Uniflor tetap tumbuh konsisten berjuang mencerdaskan anak bangsa. (*)


[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 22 Juli 2017

Sarjanakan Semua Guru Di NTT!




            Judul yang imperatif. Semacam “memerintah”, mengharuskan, dan bersifat segera. Perihal penting untuk ditindak lanjuti. Kira-kira demikian, kalau tulisan ini dianggap sebagai sebuah surat. Ya, sebuah surat kecil. Bingkisan atau kado pada setapak jedah usia perjalanan kemerdekaan bangsa yang ke-72 tahun. Usia 72 tahun adalah sebuah rentang perjalanan waktu yang tidak singkat. Jauh, dan tentunya melelahkan. Begitu banyak hasil pembangunan yang telah kita tuai dan nikmati bersama sebagai anak bangsa. Itulah sehingga, di usia ini kita mensyukurinya bahwa bangsa ini tetap tegak merdeka, sekalipun berbagai bencana menimpanya. Namun, aneka evaluasi juga perlu dilakukan demi pencapaian yang lebih baik.
Judul di atas menggugah rasa kesadaran saya, juga sesama kita, terutam apara elite penguasa di propinsi kepulauan ini, penguasa pendidikan di NTT untuk ”segera” mengambil langkah dan jalan keluar strategis menyelamatkan guru-guru NTT yang menurut data yang disampaikan Sekretaris Dinas PPO NTT Aloysius Min, sebanyak 31,45% belum sarjana (PosKupang, 10 Agustus 2017). Tentu kita prihatin. Guru menjadi komponen penting dalam pendidikan. Mutu pendidikan itu selalu dikaitkan dengan mutu guru. Dan, salah satu strategi untuk menjaga mutu adalah dengan mensarjanakan para guru. Walaupun kita seakan telah terlambat merespon regulasi pendidikan tentang kualifikasi guru.
Pertanyaannya adalah mungkinkah masih ada kesempatan bagi para guru yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat untuk boleh melanjutkan pendidikannya pada pendidikan tinggi, secara khusus sebagaimana yang dipersentasikan di atas? Dan, apakah mungkin setelah itu keluhan tentang kualitas pendidikan di NTT yang selama ini menjadi keprihatinan semua pihak dapat teratasi? Gagasan singkat ini lebih menyoroti pertanyaan pertama di atas.
Solusi Segera
Mendesak sehingga dibutuhkan solusi segera karena persoalan keberhasilan pendidikan tentunya melibatkan berbagai komponen. Bagi saya komponen yang juga mendesak yang perlu ditangani secara cepat adalah guru. Guru menjadi titik mulai dan akhir pembelajaran di kelas. Anak-anak kita akan mulai belajar di kelas kalau guru sudah masuk kelas. Sebaliknya, kelas akan menjadi tidak aman kalau guru tidak berada di dalam kelas. Ini artinya, keberhasilan belajar para siswa juga sangat ditentukan oleh guru sebagai sang kreator kelas. Oleh karena itu, terlepas berbagai faktor dan komponen keberhasilan pendidikan, komponen guru menjadi perhatian serius di tengah lajunya dunia pendidikan dengan aneka pendekatan, paradigma, dan teknologi pembelajaran yang bergerak cepat.
Pertama,secara pribadi saya berterima kasih kepada Sekretaris Dinas Pendidikan NTT yang telah menyampaikan ke media tentang kondisi guru-guru di NTT yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat. Bagi saya ini merupakan motivasi atau lecutan energi baru kepada para guru yang masuk dalam kelompok ini untuk mengambil langkah “menyekolahkan diri” tentu atas restu dinas. Sementara di pihak lain, pemberitaan ini merupakan kritik kepada pemangku kepentingan di masing-masing kabupaten/kota untuk mengambil langkah bijak dan segera demi menjawab harapan agar semua guru di NTT pada tiga atau empat tahun mendatang harus berijasah sarjana atau diploma empat. Dengan demikian, dinas pendidikan kabupaten/kota perlu melakukan pemutahiran data lengkap agar jalan keluar yang ditempuh juga tepat, tentunya disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang saling menguntungkan.
Kedua, Pemerintah NTT, dalam hal ini Dinas Pendidikan NTT melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota secepatnya menggandeng atau bekerja sama dengan LPTK di NTT untuk peningkatan kualifikasi pendidikan dan kapasitas kompetensi para guru yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU No.14/2005. Pasal 8 berbunyi “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Sedangkan Pasal 9 berbunyi “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”.
Ini artinya, kita belum terlambat demi kemaslahatan dan kemajuan pendidikan kita. Secara pribadi saya optimis bahwa LPTK di NTT sangat memadai dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk pendidikan lanjut para guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan akademik sarjana. Langkah ini tentunya diikuti dengan kebijakan-kebijakan stretegik lainnya, seperti suntikan dana, kemudahan pemberian izin belajar, mengingat NTT sebagai Propinsi Kepulauan dengan konsentrasi penyelenggaraan pendidikan tinggi selama ini masih terpusat di kota.Di Flores ada Universitas Flores Ende, Unipa Maumere, dan STKIP Ruteng, sedangkan di Timor ada Undana, Unwira,Unimor, dan beberapa PTS yang lain.
Ketiga, LPTK di NTT juga sedapat mungkin memberi dan membuka ruang akademik yang cukup untuk kerja sama. Ini dilandasi oleh kesadaran, keterlibatan juga keberpihakan yang sungguh terhadap peningkatan sumber daya manusia guru, menuju penguatan kapasitas daya saing pendidikan dan pemerataan akses pendidikan sampai ke pelosok daerah. Oleh sebab itu, para pemangku kepentingan LPTK di NTT untuk berpikir dan diharapkan untuk bertindak dalam menangani puluhan ribu guru kita yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat. Mekanisme yang ditempuh tentu tetap berlandas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kita berharap agar tiga atau empat tahun yang akan datang jumlah guru di atas telah berijazah sarjana atau diploma empat. Tentunya ini sebuah solusi, sekaligus salah satu upaya untuk keluar dari pesimisme emosional masyarakat bahwa mutu pendidikan kita selalu saja merosot. Terlepas faktor lain, bagi saya setelah guru-guru kita berijazah sarjana, maka pendidikan, terlebih proses pembelajaran di kelas akan memasuki tahapan baru menuju pencapaian mutu yang kita idamkan. (*)


[1] Artikel ini dimuat dalam HU Pos Kupang, 17 Agustus 2017

Merajut Kebhinekaan, Mengukuhkan Kebangsaan




Sebagai sebuah bangsa kita telah menjejak jalan hidup panjang dengan bersandar pada nilai-nilai kebangsaan yang telah tertanam dalam bangunan bangsa Indonesia. Keuletan dan ketokohan para pendahulu untuk teguh pendirian menghadirkan sebuah bangsa Indonesia yang berdaulat. Mereka mulai meratas dan meretas “jalan panjang” penuh liku menuju bangunan NKRI yang satu. Mereka adalah representasi “sedikit” orang dari “banyak” orang, jika ditilik dari situasi kekinian, yang memiliki itikad dan ikhtiar untuk terus merawat perdamaian. Perdamaian yang dialami sekarang juga adalah bukti sebuah “jalan panjang” yang ditenun secara bersama-sama. Maka, atas nama perdamaian di tengah kebhinekaan, upaya “berdamai” dengan sesama anak bangsa harus tetap diperjuangkan. Tanpa melihat ada perbedaan sedikitpun, karena justru perbedaan itulah telah berperan merekat dan memadukan semua kita dalam satu negara Indonesia. Negara yang berkarakter kuat dalam gagasan dan pandangan yang humanis kemanusiaan, maupun dalam tindakan, perilaku, dan sikap hidup. Karena bahwa setiap manusia secara imanen mempunyai kesadaran terhadap apa yang ada di sekeliling kita yang masing-masing berbeda, sehingga sebaiknya kita harus mengakui kesadaran itu, tanpa bermaksud menilainya baik atau buruk dan kurang atau lebih.
Dalam kehidupan heterogenitas masyarakat memang cenderung terjadi polarisasi hubungan antara orang perorang, maupun antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Faktornya juga bermacam-macam. Salah satunya adalah pertentangan atau perbedaan itu terjadi akibat cara pandang dua kelompok yang berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam struktur masyarakat yang demikian, hubungan seperti ini sering berjalan tidak linier. Sebagai jalan tengah memulihkan relasi akibat polarisasi dimaksud, maka masyarakat mesti membangun dan merajut kembali interaksi dialogis.
Dalam cara pandang interaktif dialogis yang demikian, Bourdieu mengajukan dua konsep yang disebutnya sebagai habitus dan ranah. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Oleh karena itu, habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus bagi Bourdieu (Takwin, 2009:xix), merupakan produk budaya sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat. Pada proses interaksi dengan pihak luar itulah, terbentuklah ranah yang menjadi pertemuan pada ruang sosial untuk memungkinkan individu dan habitusnya berhubungan dengan individu lain dalam berbagai realitas sosial.
Dalam koridor hubungan yang demikianlah ranah telah menjadi pertaruhan kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Para pemodal, penguasa dan kelompok elite adalah contoh konkrit kelompok yang memiliki skemata kognisi yang mapan sebagai perwujudan habitus dalam rangka melakukan tawar-menawar untuk mendapatkan ranah atau posisi dan kekuatan mempertahankan status quo. Mereka akan berbaur dengan kelompok-kelompok humanis yang senantiasa mengusung perdamaian dan “menolak” untuk melanggengkan konflik, sehingga mereka terus tak henti menganjurkan jalan keluar penyelesaian melalui jalur damai. Pendekatan yang barangkali tidak diminati kelompok kekuatan kognisi maupun kekuatan modal.
Mengacu pada berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti anarkisme, radikalisme, premanisme, penyalahgunaan kuasa dan wewenang, dan pola kekerasan lain yang bersifat destruktif, sesungguhnya menyiratkan adanya krisis jati diri kebangsaan identitas yang sangat substansif. Pada akhirnya, dibutuhkan sebuah model pengajaran pada semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sebuah model pengajaran yang diharapkan menjadi pengajaran kebangsaan yang teraplikasi melalui mata pelajaran dan mata kuliah bernuansa kebangsaan, selain pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan pengajaran lain yang selama ini telah diterapkan. Pengajaran kebangsaan dianggap menjadi media pengayak juga penghalus hati dan budi manusia Indonesia, terutama peserta didik sebagai generasi muda masa depan.  Untuk itu, pengajaran kebangsaan tetap menjadi pengajaran yang aktual dan relevan sebagai prioritas lembaga-lembaga formal kita, agar perihal jiwa kebangsaan perlu ditanamkan sejak dini.
Dari sudut yang lain, bolehlah kita jujur bahwa penyebab sikap dan perilaku yang destruktif disebabkan juga oleh adanya kepesatan perkembangan teknologi dan informasi. Ketika bangsa ini belum siap mental d
an psikologis, terpaan teknologi itu datang secara massif. Jadilah bangsa inipun kaget dan menjadi bangsa yang konsumtif. Namun demikian, tentu kitapun tidak bisa menolak, mengelak dengan kepesatan yang ada. Melalui pintu pendidikan segenap anak bangsa mesti memiliki sikap selektif yang baik untuk memilah dan memilih aneka macam informasi agar tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi itu. Di tengah aliran deras informasi hoaks dan ujaran kebencian yang kian tak terelakan. Menyaksikan perkembangan industrialisasi yang pesat ini, Betrand Russel mengajak umat manusia untuk membaca Buku Kedua Tuhan dengan lebih baik. Buku Pertama, menurutnya adalah Kitab Suci, sedangkan Buku Kedua adalah alam, dengan bahasanya adalah ilmu pengetahuan. Pemujaan terhadap mesin adalah sesuatu yang memuakkan, sehingga pemujaan berlebihan terhadapnya adalah pemujaan setan di zaman modern. (*)



[1] Artikel opini ini dimuat dalam HU Flores Pos, 13 Mei 2017

Mengapa Pendidikan Kita selalu Tertinggal?




            Persentase ketidaklulusan sekolah-sekolah menengah di hampir semua kabupaten di Nusa Tenggara Timur, nyaris tidak bergeser posisi dari tahun ke tahun. Tidak dapat kita ingkari juga bahwa pars pro toto siswa kita memiliki kecerdasan yang membanggakan. Namun, boleh dibilang pendidikan kita berjalan di tempat. Tidak saja lulusan sekolah menengah. Lulusan perguruan tinggi kita di propinsi kepulauan inipun dikeluhkan para pengguna jasa karena minimnya kreativitas dan inovasi riil yang bisa diciptakan setelah menempuh pendidikan tinggi.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional Muhamad Nuh menyebutkan bahwa persentase ketidaklulusan yang tinggi disebabkan oleh empat faktor, yakni: (1) terkait motivasi belajar dengan budaya belajar, (2) terkait kualitas guru, (3) terkait infrastruktur kelengkapan laboratorium dan sebagainya, dan (4) terkait dukungan keluarga, budaya yang ada di sekitarnya (Jawa Pos, 20 Desember 2010).
Uraian ini menyoroti dua faktor yang terkait dengan motivasi belajar dengan budaya belajarnya, dan dukungan keluarga, budaya yang ada di sekitarnya. Dua faktor ini menempatkan keluarga, masyarakat, dan lingkungan budaya anak sebagai kontributor terbesar keberhasilan siswa, sedangkan dua faktor yang lain lebih merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil kebijakan penyelenggaraan pendidikan.

Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik

Motivasi intrinsik, seperti kemauan anak, kesadaran, kehendak, niat, ikhtiar untuk mencapai keberhasilan. Anak tahu dan mau memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya untuk mencapai keberhasilan. Motivasi ekstrinsik, misalnya, di NTT, pemerintah telah mencanangkan “Gong Belajar” dalam rangka mempersiapkan siswa-siswa menghadapi UN. Bimbingan belajar setiap hari menjelang ujian nasional adalah model belajar yang ditempuh untuk meningkatkan persentase kelulusan sekolah.
Terkait dukungan keluarga, budaya di sekitarnya beberapa komponen penting yang terlibat langsung. Ada orang tua, guru dan masyarakat. Orang tua mendidik karena secara kodrati mereka harus mendidik. Baik buruknya anak di sekolah sebagian besar merupakan tanggung jawab orang tua. Keluarga telah terlibat aktif dalam pembentukan nilai, sikap, kebiasaan dari keterampilan untuk menunjang keberhasilan sekolah. Dengan demikian, asumsi bahwa tugas orang tua selesai ketika menghantar anaknya ke sekolah adalah suatu kekeliruan. Sekolah memfasilitasi tumbuhkembang anak melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Guru bukan menjadi satu-satunya sumber belajar. Di era berlangsungnya revolusi digital yang luar biasa yang mengubah kebudayaan, peradaban, dan sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan menjadikan siswa mendapatkan pengetahuan di luar kelas. Guru hanyalah salah satu sosok yang mengemban tugas mendidik. Guru sebagai motivator dan fasilitator dalam bahasa Kurikulum 2013. Konsekuensinya, guru hanya bertemu dengan anak (siswa) kurang lebih 67 jam dalam sehari. Selebihnya anak akan berada bersama orang tua dari masyarakat.
Berbagai pengamatan, ditemukan beberapa problematika penyelenggaraan pendidikan, termasuk di wilayah kita. Ada kesengajaan untuk membuat diri dan masyarakat kita tetap berada dalam belitan kemiskinan yang tanpa disadari telah terstruktur dan terkultural secara sistemik dan sistematis.
Secara sistemik, lembaga-lembaga pemerintahan kita pekat dengan berbagai ketimpangan. Bukan hanya dosa bangsa berupa korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi juga perebutan kekuasaan, dan jabatan. Mulai prioritas kepentingan-kepentingan yang tidak populis hingga pejabat yang tidak peduli dengan kepentingan publik. Masalah kita gelondongan dana, ibarat gelondongan-gelondongan kayu, uang negara terus digulirkan ke NTT melalui berbagai program pemerintah. Namun, secara faktual, keprihatinan terus terjadi, lantaran gelondongan-gelondongan uang tersebut banyak yang raib di tengah jalan melalui cara korupsi. Lagi-lagi, seperti menggerojok air ke padang pasir, tidak berbekas. Gambaran ini menunjukkan bahwa bantuan atau apapun program pemerintah selama ini tidak banyak menyentuh persoalan hak dasar rakyat miskin dan tak mampu menaikan derajat pendidikan, mengentaskan kemiskinan, ketertinggalan, dan kelaparan.
Secara kultural berkecambah kebiasaan-kebiasaan usang dan tidak mencerahkan. Orang NTT yang dilahirkan dan dibesarkan di NTT tidak bersedia meneruskan pekerjaan orang tuanya, misalnya menjadi petani. Namun, ketika ia keluar dari NTT atau berpindah ke kabupaten lain di NTT, ia sukses bekerja sebagai petani. Kita lebih suka pesta. Kehidupan sumir, hura-hura selama berhari-hari sampai larut malam. Harta benda disumbangkan kepada penyelenggara pesta dengan pertimbangan akan mendapat balasan serupa saat ia menyelenggarakan pesta. Sikap gotong royong saat berpesta menyebabkan segala sesuatu dipestakan.
Reformasi melahirkan keterkejutan budaya. Seperti orang yang terpenjara, kemudian melihat tembok penjara runtuh. Semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan, dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Euforia psikologis demikian membuat masyarakat menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi. Lagi-lagi birokrasi yang lamban, korup, dan tidak kreatif, merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya, pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Mengharap kucuran dana dari pusat, bahkan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Dinas-dinas teknis berjalan tanpa koordinasi yang signifikan justru memelihara keangkuhan egosektoral. Di lingkungan sekolah, menyeruak kasus pungutan liar di akhir tahun ajaran dan saat pendaftaran siswa baru, menjadi contoh nyata betapa tidak sinkronnya penerapan berbagai regulasi pendidikan yang ada.
Beberapa jalan keluar: pertama, siswa hendaknya memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming) dengan dunia luar melalui pembelajaran yang interaktif dalam bangunan komunikasi yang inklusif dan inovatif (Tilaar, 2002:124), kedua secara kolektif kemasyarakatan membangun unit-unit pendidikan berkelanjutan, tanpa meninggalkan identitas-identitas lain yang telah memasyarakat. Misalnya, arisan-arisan pendidikan, koperasi, kumpul keluarga pendidikan, dan ketiga, jauhkan sikap malas, putus asa, rendah diri, sebaliknya mengembangkan dan memupuk sikap kerja keras, saling membantu, menabung, kerja sama, demi terciptanya masa depan generasi yang cerdas, terampil, visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif. (*)



[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 8 Juli 2017